Sebagaimana yang
telah diungkapkan pada bagian terdahulu, masa akhir Tarumanagara (tahun 669
Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Sang Linggawarman kepada
menantunya, Sang Tarusbawa. Dengan berbagai akibatnya, Sang Tarusbawa merubah
sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dari sejak itulah, Kerajaan Sunda,
seharusnya tampil dalam panggung sejarah.
Walaupun kerajaannya sudah berbagi
kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat memberitakan
penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai negara sahabat.
Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir, menyebutkan "tentang
adanya utusan dan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".
Sang Tarusbawa memiliki pribadi
yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun,
walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh.
Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada
dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah".
Langkah Sang Tarusbawa berikutnya,
memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Di
sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah
keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton
tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, dan
Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya: Sri
Kadatwan Bima Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai
dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan
Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering
disebut Panca Persada.
Sang Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi,
dalam usia 91 tahun. Sebagai penggantinya, Sang Sanjaya, sebagai raja Kerajaan
Sunda yang kedua, dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu
Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Setelah 9 tahun berkuasa, pada tahun
654 Saka (732 Masehi), tahta Kerajaan Sunda dikuasakan kepada puteranya: Sang
Tamperan Barmawijaya.
Pelimpahan kekuasaan kepada puteranya, disebabkan
ia menjadi penguasa di tiga kerajaan di Pulau Jawa (Taraju Jawadwipa):
1. di Kerajaan
Galuh, ia pewaris tahta dari ayahnya Sang Sena, yang terusir oleh Sang
Purbasora;
2. di Kerajaan
Medang bumi Mataram (Kalingga Utara) Jawa Tengah, ia pewaris tahta dari ibunya:
Sanaha. Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putera sulung dari perkawinan
manu, Sena Sanaha;
3. di Kerajaan
Sunda, ia "cucu menantu" Sang Tarusbawa. Sebab, Sang Sanjaya menikah
dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayupurnawangi, cucu Sang Tarusbawa.
Seharusnya, yang menjadi pewaris tahta Kerajaan Sunda, adalah ayahnya Teja
Kancana, tetapi ia wafat dalam usia muda.
Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh,
antara Sang Manarah dengan Sang Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan
damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh Sang
Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan
Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diwisuda pada tahun 739 Masehi,
sebagai raja ketiga di Kerajaan Sunda, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana
Yasawiguna Ajimulya.
Dari pernikahannya dengan Kancana
Sari, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian,
karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas
Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan
Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi menteri muda di
Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Sang Banga menjadi raja di
Kerajaan Sunda sampai tahun 776 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan
Medang, dengan nama nobat Prabhu Hulukujang. Dari permaisurinya, Prabu
Hulukujang mempunyai seorang puteri, kemudian diberi nama Dewi Samatha. Puteri
tersebut diperisteri oleh Rakeyan Hujungkulon. Setelah Prabu Hulukujang wafat,
digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujungkulon, dengan nama nobat Prabu
Gilingwesi.
Adik Rakeyan Hujungkulon (Prabu
Gilingwesi) adalah Sang Tariwulan, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
raja Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja
Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan
Resiguru Demunawan.
Setelah prabu Gilingwesi wafat,
digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus, dengan nama nobat Prabu Pucuk Bumi
Darmeswara, pada tahun 795 Masehi.
Setelah Prabu Pucuk Bumi
Darmaweswara wafat, digantikan oleh puteranya, Rakeyan Wuwus, yang bernama
nobat Prabu Gajah Kulon pada tahun 819 Masehi.
Karena Prabu Linggabumi (raja
Galuh) tidak mempunyai keturunan, ketika ia wafat, tahta Kerajaan Galuh
dipercayakan kepada Prabu Gajah Kulon (raja Kerajaan Sunda). Dengan demikian,
kekuasaan di wilayah Jawa Barat dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang
Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang
putera, ialah:
1. Batara
Danghiyang Guruwisuda; dan
2. Dewi Sawitri.
Sebagai putera laki laki, Batara
Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan
Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang
Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah Kulon wafat,
tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya
Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun
memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan
Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan
Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik
tahta pada tahun 895 Masehi.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti
(Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua orang putera, antara lain:
1. Rakeyan Kamuning Galling; dan
2. Rakeyan Jayagiri.
3. Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada
tahun 913 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Kamuning Galling, dengan
nama nobat Prabu Pucukwesi.
Prabu Pucukwesi memerintah di Kerajaan
Sunda-Galuh hanya 3 tahun, sebab pada tahun 916, tahtanya direbut oleh adiknya
sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri naik tahta, dengan nama nobat Prabu
Wanayasa Jayabuana.
Di pihak lain, ketika peristiwa perebutan
tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata,
cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.
Pasukan Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di
Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan untuk merebut
keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama
pasukan Kerajaan Galuh.
Serangan kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang
besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan
inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang
dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
Kerajaan Galuh, membebaskan diri sebagal
kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu Jayadrata. la adalah kakak ipar
Rakeyan Limbur Kancana. Rakeyan Limbur Kancana, putera Rakeyan Kamuning Gading
(Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri.
Karena Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri
(merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di
wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana,
berkuasa di kerajaan Sunda sampal tahun 920 Masehi, karena dibunuh dan
digulingkan, oleh Rakeyan Umbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah
diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun
949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti,
akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu
Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas
perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana).
Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suanii Dewi Ambawati,
bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930
Masehi.
Prabu Limbur Kancana, berputera dua orang, di
antaranya:
1. Rakeyan Sunda Sembawa; dan
2. Dewi Somya.
Rakeyan Sunda Sembawa, berhasil
merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia
naik tahta, dengan nama nobat: Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu
Medang Gana. Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu
Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.
Rakeyan Wulung Gadung adalah suami
Dewi Somya. Dewi Somya, adik ipar Rakeyan Sunda Sembawa, menantu Prabu Limbur
Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973
sampai 989 Masehi.
Prabu Wulung Gadung, ketika wafat,
digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan Gendang, dengan nama nobat
Prabu Brajawisesa.
Putera Prabu Brajawisesa ada dua
orang, di antaranya:
1. Prabu Dewa
Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan
2. Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri
oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun
988 sampal 1012 Masehi.
Pada tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan
oleh Prabu Dewa Sanghiyang. Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh
dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh,
mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai
tahun 1027 Masehi.
Setelah Maharaja Dewa Sanghiyang wafat, digantikan oleh
puteranya, Prabu Sanghiyang Ageung. la berkuasa atas tahta Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh, dan menyandang gelar Maharaja. Sebagai penguasa di wilayah
Kerajaan Galuh, dipercayakan kepada adik isterinya, yaitu Dewi Sumbadra.
Bersama lama, keduanya memerintah, dimulal pada tahun 1019 Masehi.
Sang Maharaja Sanghiyang Ageung
wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan
Galuh, sampai tahun 1065 Masehi.
Setelah Sang Maharaja Sanghiyang
Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya
Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen
Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana
wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah
perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam
itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya,
dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.
Sebagai pengganti Sri Jayabhupati,
adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen
Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut
Kerajaan Sunda.
Sang Wikramajaya, berusaha merebut
kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat
ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan
Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada
Maharaja Darmaraja.
Dari pernikahannya dengan Dewi
Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya
ialah:
1. Prabu
Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
2. Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan;
dan
3. Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi,
adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang,
dua di anataranya ialah:
1. Dewi Puspawati;
dan
2. Dewi Citrawati.
Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi,
sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi.
Oleh karena itu, timbal hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.
Melihat adanya perselisihan di
antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi
Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan
tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru
Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru
Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami keagamaan.
Di pedesaan antara wilayah Galuh,
Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan
perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu
Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama
nobatnya Batari Hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di
Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan
dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah
padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk
angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian,
Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota
yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal
sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Sebenarnya, Sang Maharaja
Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi,
kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak
menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.
Tindakan Sang Maharaja
Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan
pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama
Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh
jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai
tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara,
Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja
Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur,
Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati),
dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai
akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
1. Sebelah barat
sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
2. Sebelah timur
sebagal Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan
ibukotanya di Galunggung.
Dari pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi
berputera beberapa orang, dua di antaranya:
1. Rakeyan Jayagiri
atau Prabu Menakluhur; dan
2. Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.
Prabu Langlangbumi lahir tahun
1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90
tahun. Sebagal penggantinya, puteranya, Prabu Menakluhur.
Prabu Menakluhur, memperisteri Ratna Satya,
dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna
Wisesa.
Ratna Wisesa diperisteri oleh Prabu
Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya
dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.
Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi
Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan
kepada Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga
kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
Sang Darmasiksa, tahun 1175
Masehi, menggantikan tahta ayahnya, dengan nama nobat: Prabu Guru Darmasiksa
Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah
Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung), beribukota di Saunggalah
(Kuningan). Kemudian, kedudukan pusat pemerintahan, tahun 1187 Masehi, pindah
ke Pakuan (Bogor).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang
isteri, yaitu:
1. Puteri
Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;
2. Puteri Darmageng, memperoleh putera, di
antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;
3. Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan
penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang
Jayadarma.
Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang
bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di
Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma
memperoleh putera, Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam
Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).
Rahiyang Jayadarma, tidak sempat
menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah
Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel Jawa Timur.
Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya
alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia
dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Sang Ragasuci atau Rahiyang
Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu
Kretanagara raja Singhasari).
Dari perkawinannya dengan Dara
Puspa, Rahiyang Saunggalah berputera: Citraganda. Rahiyang Saunggalah, menjadi
Raja Sunda hanya 9 tahun (1297 1303 Masehi). Karena sebelumnya, Prabu
Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu
seperempat abad lamanya (1175 1297 Masehi).
Pengganti Prabu Ragasuci,
puteranya, Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah
puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu
Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.
Prabu Citraganda memerintah di
Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai tahun 1311 Masehi.
Pengganti Prabu Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata. la memegang
kekuasaan di Kerajaan Sunda, sampai tahun 1333 Masehi.
Sebagai pengganti Prabu
Citraganda, adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu Ajiguna
Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada
masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke
Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna
Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:
1. Ragamulya Luhur
Prabawa, atau Aki Kolot;
2. Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu
Arya Kulon;
3. Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga
(Majalengka).
Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat tahun 1340 Masehi. Kemudian
digantikan oleh puteranya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang memerintah di
Kerajaan Sunda sampai tahun 1350 Masehi.
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, digantikan oleh puteranya,
Prabu Linggabuana, dengan nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. la dinobatkan
pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350
Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya,
Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Dari Sang Permaisuri Dewi Lara
Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:
1. Dyah Pitaloka,
lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
2. Putera kedua laki laki, meninggal dalam
usia 1 tahun;
3. Putera ketiga laki laki, meninggal dalam
usia 1 tahun;
4. Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.
Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka,
menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.
Sang Prabu Linggabuana Maharaja
Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah,
menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.
Setiba di sana, puteri mahkota
Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri
persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre
Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan
puterinya.
Sesungguhnya, sebelumnya, Bre
Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan
diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut
tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa
Barat.
Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah
dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui
keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang
Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.
Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda,
dengan Sang Patih Gajah Mada, sama sama mengeluarkan perkataan yang tidak
layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu
memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.
Semua pasukan Majapahit,
mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka,
ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa
ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.
Sang Prabu Maharaja termenung
sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu ragu. Betapapun, tidak
mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang
Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan
gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.
Lalu berkumpullah orang-orang
Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu
Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu
Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja
Majapahit.
Kemudian Sang Prabu Maharaja
Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun
darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku
dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara
dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"
Kemudian, tibalah pasukan besar
Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima
perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang
hanya beberapa puluh orang jumlahnya.
Orang Sunda serempak menyongsong
lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang
ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian,
Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati bela (bunuh diri).
Adapun para pembesar dan pengiring
kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing masing ialah: Rakeyan
Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya;
Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan
Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala
Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut
Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru
Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang
Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua
pengiringnya.
Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai
oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening
rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka
menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.
Peristiwa orang Sunda di Bubat itu
(pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang
datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.
Ketika perang di palagan Bubat
berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra
mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu,
pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang
Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Dalam menjalankan pemerintahan,
Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius.
Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la
dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.
Menurut naskah Kropak 630, tingkat
batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama,
tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5,
merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan
duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap
kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan
nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Dari permaisuri Laksmiwati, Sang
Bunisora mempunyai putera, di antaranya;
1. Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak
menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;
2. Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan
menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji
Purwa Galuh;
3. Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah
Galuh; dan
4. Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang
Niskala Wastu Kancana.
Sang Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun,
memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi
Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera,
Sang Haliwungan, yang lahir pada tahun 1369 Masehi.
Pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana
memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahm), puteri bungsu Sang Mangkubumi
Bunisora. pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di
Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.
Sang Niskala Wastu Kancana
menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan nama nobat: Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.
Tentang masa pemerintahan
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan
gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin),
akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah
pemerintahannya".
Sang Mahaprabu Niskala Wastu
Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari
(1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat
mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara
keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453 1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun,
Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia
sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti
hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat,
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang.
Selama masa pemerintahannya, ada
dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut Cina,
di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam
yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat (Danasasmita, 1984:
42).
Penulis Carita Parahiyangan
menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang.
Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada
yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama
berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).
Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat dalam kaol Cina,
antara lain sebagai berikut:
Chu fan chi adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda
dan pelabuhannya. Menurut Chau ju kua, Sunda pada waktu itu takluk pada
Sriwijaya atau San-fo tsi (Heuken,1999: 24).
Berita tentang Sunda yang dicatat Chau ju kua (1225 Masehi),
sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku fei (1178 Masehi), dalarn naskah
berita Ling wai tai ta. Ketika Chou Ku fei mencatatnva, ataupun ketika Chau-Ju
kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru
Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175 1297
Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda masih di Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju kua
mengutipnya, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).
Chau Ju kua membubuhkan komentar
dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau
San fo tsi". Rupa rupanya, catatan Chau ju kua itulah, yang sering menjadi
sumber dugaan, "bahwa Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana
yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.
Lain halnya dengan catatan Pangeran
Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda
dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah
seorang isteri Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha
Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya
Sanggaramawijayatunggawarman (1018 1027 Masehi).
Catatan Pangeran Wangsakerta
lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan
Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan
Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri
oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya
menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang
kalah.
Dalam masa "gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Kadiri, masing masing mengirimkan utusan ke negeri Cina, meminta
bantuan dan perlindungan.
Kaisar (Raja) Cina membalas kedua
surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:
1. Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan
menempuh jalan damai;
2. Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura
(Sunda Sembawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan
3. Perdamaian
dipimpin oleh Duta Cina, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua
pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Darmasiksa
Maharaja Sunda.
Upaya penyelesaian jalan damai, berlangsung di Sundapura
(Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan yang disepakati
bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya boleh bergerak
di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nitsantara".
Kemudian Kerajaan Sunda serta
kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para akhli, antara lain sebagai
berikut:
Banten dinamakan Sunda selama
empat abad berturut turut, baik oleh orang Cina (misalnya dalam teks Chan Ju
kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan
tan" dan "shun t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke 16
(misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).
"Banten dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot,
Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan
petunjuk: Hendaknya digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat
"Banten" (wan tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan,
apapun bahasanya(Guillot,1996:119).
Catatan Cina lainnya memberitakan
tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:
Dalam perjalanan ini
dari Shun t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal kapal menuju arah
97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia lie pa (=
kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju
arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che li wen (Cirebon).
Kapal kapal dari Wan
tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia liu pa
(Kelapa), Tanjung Chiao ch'iang wan (Tanjung Indramayu) dan Che li wen
(Cirebon) (Heuken,1999: 107).
Cina mencatat
pelabuhan pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan tan
(Banten); Chia lie pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio ch'iang wan (Tanjung
Indramayu) dan Che li wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula
oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:
Chu fan-chi adalah buku perlama yang menyebut (negeri) Sunda
dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju kua, Sunda pada waktu itu takluk pada
Sriwijaya atau San fo tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju kua itu menurut
Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten (Heuken,1999:
24).
Kapalembangan
diinaksud, boleh,jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta
tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di
Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir
barat Banten.