Kajian para akhli tentang Banten Girang, telah sering
dilakukan, terutama melalui penelitian arkeologi. Akan tetapi, jalan untuk
menuju ke Banten Girang, belum menemui titik terang, masih dilanda kegelapan.
Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono, telah berupaya
mengungkapkan hasil penelitiannya melalui buku Banten Sebelurn Zarnan Islam;
Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?
1526 (Penerbit Bentang, 1996). Sangat menarik, penampilan angka tahun
dalam judul buku tersebut, yaitu 932 yang dibubuhi tanda tanya (?). Artinya,
angka tahun tersebut, oleh Claude Guillot dan kawan kawan, masih diragukan atau
perlu diteliti lebih lanjut^
Claude Guillot dan kawan kawan menampilkan angka tahun 932?,
berdasarkan hasil kajian epigrafi Bosch, antara lain sebagal berikut:
Sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di
Kebonkopi, yaitu prasasti II (dinamakan demikian untuk membedakannya dengan
prasasti dari tempat yang sama yang berasal dari masa Kerjaan Taruma)
memberitahukan "pemulihan kembali Raja Sunda" (barpulihkan haji
Sunda). Prasasti tersebut telah dipelajari dan diterbitkan oleh Bosch, yang
menafsirkan tahunnya berdasarkan sebuah candrasangkala, yaitu 932 M (854 S)
(Guillot,1996:111).
Dari prasasti Kebonkopi II hasil kajian Bosch itulah, angka
tahun (titimangsa) Banten Girang dijadikan patokan. Pembuktian arkeologi
ditampilkan, sekaligus merupakan daya dukung, untuk memperkuat suatu anggapan.
Di satu pihak tampak dari analisis benda benda temuan, bahwa
Banten Girang didirikan pada abad ke 10, sedangkan candi yang terletak di G.
Pulasari, melihat arca arcanya, dapat ditentukan masa pembangunannya pada paro
pertama abad yang sama. Artinya kedua peristiwa tersebut sezaman dengan
prasasti Kebonkopi II yang memberitahukan berdirinya sebuah kerajaan di daerah
itu (Guillot,1996: 111).
Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah
dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim
Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989), antara lain sebagai berikut:
Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah
di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang.
Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan
Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).
Prasasti itu dipahatkan pada permukaan sebongkah batu, yang
bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris huruf, bunyinya demikian:
// ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sun
nda//
Sebelum memberi tetjemahan, terlebih dahulu Bosch
mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata
majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk cakakala atau
sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda
menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada
prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan
aya nda; pangambat, dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia
seorang pembesar istana.
Candrasangkala: kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai
angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi
berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari
belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka
Bosch menetapkan dengan tidak ragu ragu, bacaan yang benar adalah 854 Saka,
tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan, ia menuliskan tahun 942
Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati
Suleiman (1985).
Setelah memperhatikan terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch,
maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:
Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun
854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda dikembalikan kepada
kedudukannya yang dahulu.
Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi surat perintah
dalam bahasa Melayu Kuna, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada
awal abad ke 10 Masehi, secara kultural dan juga rupa rupanya dari segi politik
tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja &
Ekadjati,1989:186 187).
Timbulnya perbedaan anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan
dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji Panca Pasagi" pada
Prasasti Kebonkopi II.
1. Bosch
menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;
2. Satyawati
Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan
3. Guillot
menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut
didapat dari tafsiran Bosch.
Sebagaimana lajimnya pembacaan candrasangkala, seharusnya
dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga kawihaji panca pasagi (854),
menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi tersebut masih digunakan dalam
naskah naskah Sunda Kuna, yang usianya lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II.
Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita
Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.
Peristiwa sejarah, yang ada hubungannya dengan angka tahun
458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui naskah Pustaka Pararatwan i
Bhumi Jawadvripa, parwa I sarga 3, halaman 13 14, antara lain sebagai berikut:
.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman makaruck pirang
silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang
uehersatu luynrc sang candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira
dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja
yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring
patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang
mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang
candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi
rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran nira /
dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira
/ pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//
Terjemahannya:
Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai anak beberapa
orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman namanya, yang kelak
menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja Tarumanagara. la
memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483 Saka (535 561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang
Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Putera yang kedua, Mahisawarman namanya, yang menjadi
Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang Matsyawarman namanya, yang menjadi Panglima
pasukan laut (senapati sarwajala). Yang keempat perempuan, yaitu Dewi Bayusari
namanya la diperisteri oleh putera mahkota (yuwaraja) Kerajaan Pali.
Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat
"barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara lain:
"pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwtpa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal
"Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi
ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran kithcc
sundapara//
Terjemahannya:
Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi
menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura (Kota
Sunda).
Dalam prarasti
tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda
Sembawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.
Dengan demikian, "Barpulihkan
Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda",
tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan
(535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.
Upacara "barpulihkan"
dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I
"telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya
lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual
raja pendahulunya.
Kemudian, digunakannya bahasa Melayu Kuna pada Prasasti
Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk" kepada Sriwijaya,
seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke 10 Masehi, secara
kultural dan juga rupa rupanya dari segi politik, tunduk kepada kekuasaan
kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya
kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat
"Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi "Raja
Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman, menghadiri
upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai "Rakryan Juru
Pangambat".
catatan, menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parwa I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan
Pali terletak di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya,
pada tahun 536 Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah
kekuasaan kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi),
Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan
Pali mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh
wilayah Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada
tahun 669 Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.
Sebagai bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda
kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang meriwayatkan
kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut:
.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya wus magaway
samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang atuntunan
tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda / mruang
duta sunda haneng rajya criwija ya// ....
Terjemahannya:
Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya, telah melakukan
perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing masing, dengan
menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta
Sunda di kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja
keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang
Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih.
Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri
Jayanasa, raja Sriwijaya.
Berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai
pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan
tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan
Sunda. Pergantian nama kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu
mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda Sembawa (Bekasi). Guillot berupaya
mencari jejak kebesaran Hinduisme di Banten Girang, tapi yang ditemukannya
Sanghiyang Dengdek, yang tidak dapat dijadikan tiang penyangga hasil
penelitiannya. Kekecewaan Guillot, terungkap dalam tulisannya:
Sulit dibayangkan bahwa negeri yang terbuka ke dunia luar,
seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan
"kampungan" dari area menhir itu (Guillot, 1996:100).
Dengan demikian Banten Girang yang ditelusuri oleh Claude
Guilot, semakin samar untuk ditemukan. Kehadiran Salakanagara, Tarumanagara,
Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Sunda Pajajaran di atas pentas sejarah, tidak ia
hiraukan.