Sangat
miris melihat pemandangan di atas. Tujuh orang anak tampak sedang duduk di
bawah gubug yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu serta seng-seng berkarat,
beratapkan anyaman daun kelapa kering: blarak
(Jawa,-red) dan beberapa lembar terpal bekas, berlantaikan tanah. Sungguh
tidak layak disebut rumah.
Terlihat pula seorang bayi kurang
gizi yang sedang dipangku oleh kakak perempuannya. Anak-anak itu juga tidak
memakai alas kaki. Sang ibu yang sedang berada di samping sawah, sepertinya
sedang mencuci sesuatu dengan menggunakan air di sawah itu. Keadaan mereka
terlihat sangat memprihatinkan.
Menurut saya, hal ini berkaitan
dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Faktor pendidikan menjadi sebab
utama. Pendidikan yang rendah bisa menjadikan orang tua tidak mempedulikan
kesehatan—tidak melakukan program KB (Keluarga Berencana) sehingga akan
memiliki banyak anak. Apabila semakin banyak orang tua berpendidikan rendah, semakin
banyak pula anak-anak yang lahir di dunia ini (baby boom), maka peluang untuk mendapat pekerjaan semakin sedikit.
Jumlah pekerjaan tetap, tetapi jumlah pekerja terus bertambah dari waktu ke
waktu. Kesempatan kerja sangat terbatas, sedangkan setiap pekerjaan menuntut
pekerjanya memiliki kualitas yang bagus. Persaingan kerja semakin ketat.
Ibaratnya seperti seleksi alam, siapa yang mampu bertahan dalam arti kualitas
kerja individu tersebut bagus, maka ia yang akan mendapat pekerjaan. Yang
kualitasnya tidak bagus akan tersingkir. Dengan pendidikan yang rendah mana
mungkin bisa bersaing di dunia pekerjaan, sehingga jumlah pengangguran kian
hari kian bertambah.
Pengangguran yang memiliki banyak
anak, yang disebabkan karena faktor pendidikan, akan kesulitan menghidupi
anak-anaknya. Pepatah mengatakan, banyak anak banyak rejeki. Namun sekali lagi,
itu dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Dapat dilihat seperti gambar di
atas, pengangguran dengan banyak anak bisa membentuk keluarga miskin.
Maka dari itu, pemerintah—khususnya
pemerintah negara-negara berkembang yang pertumbuhan penduduknya tinggi, wajib
mempertegas program KB (Keluarga Berencana) atau Family Planning, mempertegas hukum UU hubungan seksual pranikah
sehingga tidak banyak bayi lahir. Namun, itu semua tetap sulit untuk dijalankan
jika pola pikir atau pendidikan masyarakat kita masih rendah. Maka, kunci
solusinya adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan masyarakatnya menjadi
lebih baik.