bahasa sebagai penanam pendidikan berkarakter

Tags

Sastra, Wahana Pendidikan Karakter  untuk  Masa Depan

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan,  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Gambaran ini tampaknya sejalan dengan pandangan Nugroho Suksmanto  dalam puisinya yang berjudul “ di China dan di Kita” berikut ini.

Di China
Bebas tak beragama
Orang-orangnya santun
Saat menentang Agama

Di Kita
Agama sedikitnya lima
Orang-orangnya beringas
Saat membela agama

Di China
Pemimpinnya keji
Saat memberantas korupsi
Tak segan menembak mati

Di Kita
Para pemimpin baik hati
Berderma dari hasil korupsi
Pergi haji berkali-kali

Gambaran lain yang lebih mengerikan perihal karakter sebagian anak bangsa ini akan dengan mudah kita lihat di televisi atau kita baca di koran-koran. Setiap hari kita mendengar kabar tentang perilaku-perilaku tidak terpuji dari sebagian anak bangsa ini, bahkan termasuk anak bangsa yang berposisi sebagai pengambil kebijakan. Kondisi semacam itulah yang membuat pemerintah mengambil kebijakan perlunya pendidikan karakter di sekolah. Melalui pendidikan karakter di sekolah diharapkan nantinya peserta didik akan mengenal nilai secara kognitif, menghayati nilai secara afektif, dan akhirnya mengamalkan nilai secara nyata. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter tidak saja merupakan tuntutan undang-undang dan peraturan pemerintah, tetapi juga oleh agama. Setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak pada pemeluknya. Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajarannya yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya, yaitu aqidah dan syariah. Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Akhlak karimah merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui Al Quran dan hadist.
Sifat-sifat khusus (akhlak) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw maupun para nabi dan rasul yang lain adalah: (1) Shiddiq, yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu jujur dalam perkataan dan perilakunya; (2) Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam kata dan perbuatannya; (3) Tabligh, yang berarti menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia; (4) Fathanah, yang berarti cerdas atau pandai, sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya; (5) Ma’shum, yang berarti tidak pernah berbuat dosa atau maksiat kepada Allah. Sebagai manusia bisa saja nabi berbuat salah dan lupa, namun lupa dan kesalahannya selalu mendapat teguran dari Allah sehingga akhirnya dapat berjalan sesuai dengan kehendak Allah.
Agama Hindu juga memandang penanaman karakter kepada anak sangat penting. Kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan, dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Regveda I.160.3).  
Ajaran suci Veda dan susastra Hindu  lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam  hal ini, umat Hindu meyakini bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa”. Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak dikaitkan pula dengan karakter anak sesuai hari Daúavara-nya.
Agama Kristen dan Katholik memandang penting karakter seseorang. Seperti terlihat pada 2 Tesalonika 3 : 6 – 12. Alkitab memberi contoh berbagai macam profesi seperti: Abraham sebagai pengusaha, Yusuf sebagai kepala pelayanan & perdana menteri, Samuel sebagai hakim, Daud sebagai gembala & raja, Petrus sebagai nelayan, Lidia sebagai pedagang, Paulus dan Akhila sebagai tukang tenda, Lukas sebagai dokter, Yesus sebagai tukang kayu.
Ketika seorang bekerja berarti dia membentuk tanggungjawab atas dirinya sendiri. Rasul Paulus bekerja sebagai seorang tukang tenda untuk memenuhi tanggungjawabnya terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan jemaat. Jika malas bekerja kita harus belajar dari semut yang bertanggungjawab kepada koloninya. Kita juga bisa belajar dari seekor burung yang sepanjang hari mencari nafkah untuk anak-anaknya di sarang (Amsal 6 : 6).
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.
Agama Buddha juga sangat menekankan pentingnya karakter. Seseorang hendaknya tidak berbuat jahat, menambah kebaikan-kebaikan, menyucikan hati dan pikiran  (Dhammapada: 183). Kebencian tak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Kebencian berakhir jika dibalas dengan cinta kasih (Dhammapada: 183). Sopan santun wajib diterapkan kepada orang tua, guru, keluarga, sahabat dan kawan-kawan, atasan atau majikan, dan pelayan/pekerja (Sutta Pitaka, Digha Nikaya 31). Terdapat dua dharma sebagai pelindung dunia (lokapala-dhamma), yakni Hiri dan Ottappa. Hiri adalah malu berbuat jahat dan Ottappa adalah takut akibat berbuat jahat. Jika setiap manusia di dunia ini dapat mengamalkan dua ajaran ini, maka dunia akan damai (Anguttara Nikaya I:51). Empat sifat luhur, yakni cinta kasih (metta), belas kasih (karuna), simpati (mudita), dan batin seimbang (upekkha). Digha Nikaya II (196), III (220). Dhammasangani (262), Visudhimagga (320).

Hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000) menunjukkan bahwa, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill  lebih  mengarah  kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang. 
Pengajaran sastra secara teoretis memiliki peranan penting dalam menerapkan pendidikan karakter. Tujuan pengajaran sastra seperti yang tertuang dalam kurikulum (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006:318) adalah siswa mampu (1) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa  dan (2) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Klausa “memperhalus budi pekerti” sesungguhnya merupakan pengejawantahan pendidikan karakter itu sendiri.
Hakikat pengajaran sastra sesungguhnya tidak jauh dari pendidikan karakter ini. Pengajaran sastra pada akhirnya diharapkan mampu membuat anak menjadi berbudi melalui proses apresiasi dan ekspresi; karena pengajaran sastra sesungguhnya terbagi menjadi dua aspek tersebut, yaitu aspek apresiasi sastra dan aspek ekspresi sastra. Aspek apresiasi sastra mencakupi aktivitas pengenalan, penikmatan, pemahaman, sampai pada penghargaan terhadap karya sastra. Dalam KTSP kita bisa melihat bahwa aspek apresiasi sastra tersebut telah terjabarkan menjadi beberapa kompetensi, mulai dari memahami puisi, prosa, dan drama, sampai pada penerapan nilai-nilai yang kita dapatkan dari hasil membaca tersebut. Aspek ekspresi sastra mencakupi dua subaspek, yaitu subaspek ekspresi lisan dan subaspek ekspresi tulis. Ekspresi lisan bisa berbentuk membaca puisi, bercerita, dan semacamnya; sedangkan ekspresi tulis dapat berbentuk menulis puisi, prosa, dan drama. Selain itu, dalam aspek ekspresi sastra kita juga bisa memasukkan aktivitas mereproduksi karya sastra, seperti pembuatan sinopsis, pembuatan parafrasa, resensi, dan semacamnya.
Apresiasi sastra yang berintikan pada aspek pemahaman diarahkan untuk membentuk anak yang mampu menghargai karya sastra. Wujud penghargaan terhadap karya sastra antara lain menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra sebagai roh perilaku sehari-hari atau dalam bahasa kurikulum disebut merefleksi isi karya sastra dalam kehidupan sehari-hari. Ekspresi sastra mengarahkan agar anak mampu mengungkapkan perasaan atau emosi secara tepat dan berterima. Di sinilah sesungguhnya letak persamaan antara pengajaran sastra dan pendidikan karakter. Pengajaran sastra sesungguhnya bertujuan akhir untuk membentuk anak menjadi manusia berkarakter mulia dalam pengertian segala perilakunya didasari oleh nilai-nilai yang baik.
Secara terperinci Suharianto (2005) menyebutkan berbagai manfaat yang dapat diperoleh melalui pengajaran sastra kaitannya dengan pendidikan karakter. Apresiasi sastra, menurutnya, akan mampu mengembangkan rasa haru dan memperpeka perasaan anak. Apresiasi sastra akan menumbuhkan sikap keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa secara wajar.  Masalah keimanan dan ketakwaan ini berkaitan erat dengan soal perilaku atau budi pekerti. Adapun ekspresi sastra, terutama, akan mampu menumbuhkan sikap kreatif.

Pramudya Ananta Toer, sastrawan ternama Indonesia juga mengatakan bahwa orang yang tak suka sastra dikatakan bukanlah manusia yang paripurna. Karena dengan sastra, kita dapat memperhalus jiwa  dan  perasaan kita, mengasah soft skill kita sekaligus memperluas wawasan dan cakrawala pandang kita. Dari situlah kita belajar tentang kebijaksanaan dan kearifan untuk hidup ke depan lebih baik. Nuansa tahun baru dengan merefleksi diri untuk melakukan hal yang lebih baik di masa depan. Marilah menjadi insan-insan teladan,  satunya kata satunya perbuatan. Berlomba-lombalah menjadi lebih baik untuk masa depan. 

Artikel Terkait