contoh essay "Daya Tampung Pelaku Korupsi (Belum) Mencapai Ambang Batas"



Daya Tampung Pelaku Korupsi (Belum) Mencapai Ambang Batas
Nugraheni Bhakti Prajaningtyas

Aku gak butuh uangmu
Aku gak butuh hartamu
Yang kubutuh hanya cintamu
Setulus cintaku padamu
Aku gak mau warisanmu
Aku gak mau kekayaanmu
Yang kumau rasa sayangmu
Sesayang aku padamu
Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
            Indonesia adalah negara yang makmur. Indonesia merupakan kepulauan agraris yang terbentang di sepanjang katulistiwa dan dengan rendah hati memberi penghidupan kepada seluruh rakyatnya. Namun, sayangnya, kemiskinan masih menjadi momok mengerikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Situasi perekonomian dan pemerintahan yang tidak stabil menjadi penyebab umum rendahnya tingkat kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu peristiwa di balik ketidakstabilan perekonomian dan pemerintahan di Indonesia adalah korupsi yang semakin mengakar di setiap sendi kehidupan negeri. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun negeri justru disalahgunakan oleh pemimpin sendiri. Sebait lagu karya grup musik Slank yang berjudul Seperti Para Koruptor di atas adalah salah satu sindiran keras bagi para pemimpin bangsa yang sedang terserang ‘penyakit menular’. Bait tersebut menjelaskan betapa sia-sianya kehidupan yang dijalani tanpa adanya cinta dan hanya berdasar pada keserakahan materi. Seperti kehidupan para koruptor, indah di luar tapi merana di dalam.
            Korupsi merupakan suatu tindakan yang dianggap melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Juniadi Suwartojo (1997) bahwa “Korupsi adalah suatu tingkah laku atau tindakan seseorang yang berlebihan dan melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan atau menyalahgunakan suatu kekuasaan serta kesempatan yang ada melalui proses penggandaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas beserta jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang atau kekayaan”. Penerimaan dan penyalahgunaan yang di maksud adalah penyimpanan uang atau jasa lainnya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi atau golongannya yang secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan kepentingan atau keuangan negara dan masyarakat.
Sejak Masa Orde Baru, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) telah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan pemerintahan. Pemerintahan yang bersih sangat sulit ditemui sejak masa pemerintahan Soeharto tersebut. Dalam pemerintahan, korupsi adalah sebuah ‘pembiasaan’ karena pelakunya selalu mencari celah dan kesempatan untuk melakukan tindakan tercela tersebut. Korupsi sudah mewabahi Indonesia di hampir seluruh instansi publik di pusat maupun daerah. Wakil rakyat yang ditetapkan berdasarkan hasil Pemililihan Umum atau Pemilu yang berasaskan luber-jurdil sudah selayaknya menjadi tumpuan bagi aspirasi masyarakat dari kalangan tingkat atas hingga tingkat bawah. Dari ratusan ribu warga Indonesia yang mendaftarkan diri untuk periode 2014-2019 hanya 560 orang yang berhak mendapatkan jabatan di pemerintahan legislatif tingkat pusat atau DPR RI. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta penduduk Indonesia menanamkan kepercayaannya kepada 560 orang wakil yang telah dipilihnya. Memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan, namun hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi yang harus diterima atas keputusannya untuk mengabdi kepada negeri.  Dengan setiap perjuangan yang dicurahkan untuk menggapai kursi kepemimpinan tersebut tidak sepantasnya mereka menodai perjuangan itu dengan perilaku tidak bermoral seperti korupsi. Kewibawaan dan kebijaksanaan para wakil rakyat sudah terlalu sering tercoreng karena perilaku korupsi yang mereka ciptakan. Tidak heran jika kekuasaan tinggi, kekayaan melimpah, wanita cantik di kiri-kanan menjadi gambaran umum yang muncul di benak setiap masyarakat saat mendengar kata ‘koruptor’.
Jika menilik kasus korupsi di Indonesia akan muncul serangkaian daftar panjang nama-nama pelaku korupsi, mulai dari koruptor kelas teri hingga kelas kakap. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme telah tumbuh dan berkembang seiring dengan proses pembangunan yang sedang berlangsung saat ini. Berbagai bentuk korupsi dapat ditemukan dengan mudah pada setiap bidang pembangunan. Hingga saat ini sudah tidak terhitung jumlah praktek korupsi yang terjadi di Indonesia, mulai dari kasus proyek Hambalang, kasus penyimpanan penyaluran dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus penggunaan dana YPPI oleh Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur Bank Indonesia) serta kasus-kasus korupsi lain yang saat ini sudah berjumlah ribuan. Bahkan wajah Indonesia semakin di buat malu oleh tindakan korupsi yang dilakukan para hakim, jaksa, dan anggota kepolisian. Hal yang semakin memperkeruh daftar kasus korupsi yang terjadi di Indonesia adalah masuknya pihak swasta atau non pemerintah yang mulai senang bermain tangan, kongkalikong, jika sudah berhadapan dengan instansi atau pegawai pemerintahan. Hal ini akan menambah daftar panjang kasus korupsi dan semakin mempersulit para penegak hukum untuk menghapuskan kata ‘korupsi’ dari pemerintahan Indonesia.
Saat ini, korupsi telah menjadi topik basi. Tidak hanya pejabat pemerintahan, semua kalangan masyarakat mulai dari rakyat miskin, orang ndeso, bahkan anak kecil sudah mengerti arti dan bentuk dari sebuah korupsi. Korupsi bagaikan budaya baru yang meracuni jiwa para pemimpin negeri dan perlahan-lahan menghancurkan kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal apa yang melatarbelakangi suatu tindakan korupsi?
Sebagian besar tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia di dukung oleh beberapa hal seperti: munculnya rezim-rezim yang bukan demokratik, tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintahan, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah banyak, mahalnya biaya kampanye, jaringan ‘teman lama’, serta lemahnya ketertiban dan profesi hukum.
B. Soedarsono menyatakan bahwa “pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat...” namun beliau juga sadar bahwa ‘gaji kecil’ bukanlah faktor mutlak yang mempengaruhi tindakan korupsi karena banyak pula orang berkecukupan yang melakukan tindakan korupsi. Kita dapat mengamati bahwa hampir seluruh pelaku korupsi adalah orang-orang berdasi yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan. Menyandang jabatan sebagai lurah, camat, bupati, gubernur, bahkan menteri tidak dapat diragukan jika upah yang mereka terima cukup tinggi jika dibandingkan dengan mayoritas masyarakat di Indonesia. Selain itu, keserakahan dan rasa tidak puas terhadap sesuatu yang telah dimiliki merupakan faktor pendukung terjadinya tindakan korupsi yang merajalela di Indonesia. Seberapa pun kecilnya gaji yang diterima oleh pegawai pemerintahan di Indonesia, jika mereka dapat mensyukurinya maka tidak akan ada rasa tidak puas yang menghantui jiwa mereka.
Lalu apa hukuman yang tepat bagi para pelaku korupsi?
UU RI Nomor 31 Tahun 1999 pasal 2 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara akan di pidana penjara selama empat sampai dua puluh tahun serta denda maksimal satu milyar rupiah. Artinya, penegakan hukum bagi para pelaku korupsi di Indonesia sudah sangat diperhatikan. Pemberian hukuman kurungan dan denda sudah di atur sedemikian rupa menurut besar-kecilnya tindakan korupsi yang dilakukan. Bahkan dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 pasal 2 ayat 2  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas disebutkan bahwa pidana mati dapat dilaksanakan jika tindakan korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Namun hingga saat ini belum pernah ada pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Kandungan dalam pasal 2 ayat 2 tersebut seakan tidak terangkat ke permukaan dan hanya menjadi angan-angan semata bagi masyarakat yang menginginkan adanya hukuman mati bagi para pelaku korupsi tingkat berat. Hal tersebut dapat dilaksanakan jika saja ‘penyakit menular’ ini tidak menyebar hingga ke ranah peradilan. Para penegak hukum yang seharusnya mengadili para pelaku korupsi justru terjerumus ke dalam ‘lingkaran hitam’ dan menerima berbagai macam suap dari para pelaku korupsi.
Saat ini, korupsi di Indonesia bagaikan “cendawan di musim penghujan”. Bertebaran di setiap sisi negeri dan meraup kewibawaan para pemimpin bangsa. Jika kita tidak segera memberantasnya maka cendawan tersebut akan beracun dan menjadi mematikan. Kemiskinan, konflik sosial, serta ketidakstabilan ekonomi menjadi akibat yang kita terima karena tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa. Saat penegak hukum yang kita percayai justru berpaling menjadi penjahat, kepada siapa lagi kita harus menaruh harapan ini kalau bukan pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik kita diwajibkan untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi. Mencegah dan mengurangi tindakan korupsi dapat di mulai dari hal-hal yang kecil, misalnya dengan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang menjurus ke arah tindakan korupsi dengan berlaku jujur dan amanah serta mensyukuri setiap nikmat yang kita terima dari Tuhan. Dengan demikian, kelak Indonesia dapat sembuh dari ‘penyakit menular’ ini dan bertransformasi menjadi negara yang adil, makmur, dan sejahtera tanpa adanya dekadensi moral para pemimpin bangsa serta masyarakat. Indonesia hebat, Indonesia tanpa korupsi. Sejahtera Indonesiaku!














tag
contoh essay bahasa indonesia 
kumpulan essay 
contoh essay bahasa indonesia 



                  


Artikel Terkait