Menemukan Unsur Intrinsik dan
Ekstrinsik Novel
Anda akan menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia atau novel terjemahan.
Novel merupakan salah satu wujud karya kreatif di bidang
prosa fiksi. Novel menjadi cerita utuh karena dibentuk oleh unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur pembangun cerita dari dalam disebut intrinsik, sedangkan
unsur pembangun cerita dari luar disebut ekstrinsik.
Anda sudah mempelajari dua unsur ini pada Pelajaran II
(tentang hikayat). Coba, pahami kembali! Pada pelajaran kali ini Anda akan
menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia dan novel
terjemahan. Sebagai analisis dasar, bacalah kutipan novel berikut dengan
saksama!
Kutipan novel
Indonesia
Tekad Kaum Brahmana
Ia takkan
lupakan upacara pemberian nama itu, yang ditutup dengan:
”Dengan namamu yang baru, Arok,
Sang
Pembangun, kau adalah garuda
harapan kaum brahmana.”
Arok masih
tetap berlutut. Malam semakin sunyi diselingi gelepar kalong menyerbui tajuk
pepohonan buah.
”Garuda
harapan kaum brahmana,” Ia mengulangi pelan.
”Para dewa
tidak tunjukkan padamu untuk jadi talapuan.”
”Para dewa
tiada tunjukkan pada sahaya untuk jadi talapuan,” ulangnya lagi.
”Kau akan
kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa.”
”Kembalikan
cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa.”
”Kembalikan
keseimbangan Jagad Pramudita.”
”Kembalikan
keseimbangan Jagad Pramudita.”
”Hari sudah
larut, Arok. Kembali kau. Bersamadi kau sampaikan terimakasih. Jangan
tinggalkan rumah. Besok akan kujemput kau dan akan kubawa,” dan dengan itu ia
usap ubun-ubun Arok yang tiada berdestar, dengan dua belah tangan memegangi
bahu bidang pemuda itu dan menariknya berdiri, kemudian ia sendiri
tertatih-tatih pergi . . . .
Sore ini
mereka berdua masih juga dalam perjalanan. Guru itu di depan. Ia di belakangnya
dengan tongkat tangkai tombak pada pundak memikul bungkusan barang keperluan
gurunya dalam kain biru. Hanya kadang ia perhatikan kaki tua gurunya yang
berterompah tapas itu telah jadi kuning coklat karena lebu jalanan. Ia heran
mengapa kaki tua itu belum juga lelah. Dan baru sekali ini ia saksikan guru itu
menempuh perjalanan sejauh itu.
Perhatiannya
lebih tertarik pada kelilingnya gunung-gemunung yang serasa tiada kan
habishabisnya, berlarih-lapis menyintuh langit. Jalanan negeri sudah lama
ditinggalkan. Juga jalanan desa. Sekarang memasuki yang kurang terawat, yang
juga menarik perhatiannya. Ia simak dan pelajari selintas bekas-bekas manusia
dan binatang, menaksir kapan kiranya mereka melalui terakhir kali. Juga
rantingranting di atasnya, apakah patah karena terinjak atau karena jatuh dari
dahan, atau memang karena sudah terlalu lama terkapar di udara terbuka. Juga
tapak kaki yang tertinggal pada botakan jalanan ia taksir berat yang
meninggalkannya. Juga suara angin dan suara tambahan di dalamnya. Juga warna-warni
di hutan sekelilingnya.
Parang pada
pinggang tak pernah dirasakannya. Alat itu telah menjadi bagian dari tubuhnya
sendiri. Parang pilihan, pemberian pemuda-pemuda Pangkur padanya, sebagai tanda
pengakuan untuk pimpinan tertinggi. Ia tahu betul siapa pemilik terdahulu dari
parang langsing itu, dan ia tak mau mengenangkannya. Kalau ia teringat pada
pemuda-pemuda itu dengan sendirinya tangannya menggagapi pundipundi yang
tersembunyi di balik ikat pinggang. Di dalamnya tersimpan sekeping mata uang emas
dengan gambar seorang lelaki berhidung sangat mancung, tanpa badan, hanya
sampai dasar leher. Bila seorang diri kadang ia memandanginya dan mengherani
mengapa ia tak dapat membaca tulisan tertera di bawahnya.
Dang Hyang
Lohgawe belum juga mengatakan hendak ke mana.
Ia tahu jalan
yang ditempuhnya ini menuju ke Gunung Kawi.
Sampai di
bawah pohon asam hutan orang tua itu baru berhenti. Buru-buru Arok menghampiri,
mengambil bungkusan pada ujung tongkat tombak dan membukanya di hadapan
gurunya. Dari suatu jarak ia perhatikan Lohgawe makan sekepal ketan dengan
daging serbuk, kemudian minum tiga-empat teguk air enau dari kalabasa yang
terbuat dari buah labu bungkik. Ia tahu apa hendak diperbuat selanjutnya:
menyorong sisa makan dan menyuruhnya menghabiskannya.
Dan Arok
menghabiskan sisa gurunya.
”Matari telah
tenggelam,” katanya.
”Ya, Bapa.”
”Kita akan
sampai tepat pada waktunya.” ”Barangkah lebih cepat, Bapa.”
”Lebih baik.
Mungkin agak terlambat sedikit. Rasa-rasanya semakin pendek dan pelan juga
langkahku.”
”Cukup
panjang dan cepat, Bapa.”
Mereka duduk
diam-diam. Burung-burung ramai berkicau di seluruh hutan. Guru itu
mengamat-amati tongkat penolak-ularnya yang berlebu, kemudian menyekanya dengan
selembar luruhan daun kering.
”Hari ini
kaubawa pergi. Tahu ke mana?”
”Tidak, ya,
Bapa. Mungkinkan ke Kawi?”
”Ya, ke Kawi.
Tahu untuk apa?”
”Tidak, ya,
Bapa. Barangtentu untuk keperluan sangat penting, ya, Bapa.”
”Setidak-tidaknya
juga untuk kepentinganmu sendiri sebagai garuda kaum brahmana. Ada kau dengar
karunia yang dijanjikan oleh Tunggul
Ametung?”
”Dengar,
Bapa.”
”Siapa mampu
menangkap kau?” ia mendesis. ”Karunia apa itu. emas lima puluh saga dan perak
seratus lima
puluh catak! Dibandingkan dengan karunia yang pernah diberikan oleh Sri Erlangga,
uh, itu bukan karunia, sama dengan tulang dilemparkan pada anjing kelaparan.
Sri Erlangga memang pemurah, pengasih dan penyayang. Semua keturunannya
hampir-hampir tak ada yang seperti ia.
Apalagi
Sri Kretajaya. Biarpun begitu . . . .” Arok hafal betul akan sambungannya:
”Dia bukan
guru terbaik untukmu. Kaum brahmana dari Mataram telah mengangkatnya jadi
raja. Tahun berapa itu, Arok?”
”Sembilah
ratus tiga puluh dua, ya, Bapa.”
”Ya, duaratus
sepuluh tahun yang lalu. Dialah justru orang pertama-tama yang mengkhianati
kita, mengkhianati bapa mertua sendiri, Sri Teguh Dharmawangsa. Memang dia yang
membangunkan kembali Mendang, menjadilah Kahuripan. Tetapi dialah yang
memungguni Mahadewa Syiwa, merusak tata jagad Pramudita. Keturunannya tak ada
yang lebih baik, kataku. Sri Baginda Kretajaya setia pada pengkhianatan itu.
Apa katamu, garudaku?”
”Tata Jagad
Pramudita harus dipulihkan, ya, Bapa.”
”Ya, kau
ingin menjoloknya. Ah, murid yang tahu kehendak para dewa, tidak percuma kau
berguru padaku. Tidak percuma kubenarkan kau meningkatkan diri dari sudra jadi
satria. Juga kau bisa jadi brahmana mulia. Ada sepenuh syarat padamu
sudra-satria-brahmana ada dalam dirimu. Kaulah kesatuan indah, takkan terjadi
sekali dalam seratus tahun.”
Ia tak bicara
lagi, berdiri dan mulai meneruskan perjalanan, langsung menuju ke Gunung Kawi.
Jalan itu
turun naik, gelap oleh payungan pepohonan.
Arok berpikir keras tentang maksud gurunya. Dang Hyang
Lohgawe berhenti, memberi Bukan tanpa maksud ia mengajaknya bicara. Ia
kesempatan pada arok untuk menyalakan obor damar. menduga-duga, barangkali ia
hendak diajak Kini mereka berjalan berjajar. Arok di kiri dengan obor
bersamadhi bersama di sesuatu tempat suci. Seorang di tangan kiri. brahmana,
telah tua pula. tak mungkin meninggalkan Berjalan lambat-lambat begini ia
jajarkan kembali pedepokan, menempuh jarak begitu jauh, tanpa pengetahuannya
yang sedikit tentang mahagurunya . terpanggil oleh sesuatu yang terlalu
penting. . . . .
Makin gelap
dan makin gelap. Sumber: Arok Dedes, Pramoedya
Ananta Toer,
”Belumkah Bapa memerlukan
penerangan?” Hasta Mitra, Yogyakarta, 1999
A. Kerjakan
soal-soal berikut ini!
1.
Analisislah unsur
intrinsik dari kutipan novel Arok Dedes
tersebut! Ingatlah bahwa unsur intrinsik novel meliputi tema, latar, tokoh dan
penokohan, alur, amanat, dan sudut pandang.
2.
Analisislah unsur
ekstrinsik dari kutipan novel Arok
Dedes tersebut! Ingatlah bahwa unsur ekstrinsik novel meliputi latar
belakang pengarang (biografi atau autobiografi), aspek sosial budaya
(adatistiadat), nilai etika, nilai moral, nilai religi, nilai edukasi,
ataupun nilai
|
historis.
Kutipan novel
terjemahan
. . . .
Paman saya
tidak muda lagi. Ia jauh lebih tua dari saya. Ia sering bepergian ke Kairo
seorang diri, belajar di El Azhar, dan kuliah di saat saya masih seorang bocah
kecil yang belum pandai membaca atau menulis. Paman akan menyuruh saya memegang
sebuah kapur tulis dan menyuruh saya menulis di atas sebuah batu tulis: Alif, Ba, Jim, Dal, . . . . Kadangkadang
ia menyuruh saya mengulang untuk menirukannya: ”Alif tak punya tanda apa-apa di atasnya. Ba diberi titik di bawahnya, Jim
diberi titik di tengahnya, Dal sama
sekali tak punya apa-apa.” Ia akan menganggukkan kepalanya ketika membaca sajak
dari seribu sajak karya Ibn Malik, seakan-akan ia sedang membaca Alquran, dan
saya akan mengulang menyebutkan setiap huruf menirukannya, dan menganggukkan
kepala saya juga.
Waktu musim
liburan telah usai, paman akan menunggang keledai, dan berangkatlah ia menuju
Stasiun Kereta Api Delta. Saya mengikutinya di belakang sambil membawa
keranjang yang besar, penuh dengan telur, keju dan bermacam-macam roti, ditutup
oleh buku-buku dan pakaiannya. Sepanjang perjalanan, sampai tiba di stasiun
kereta api, paman tidak hentihentinya menceritakan kepada saya tentang bilik
tempat tinggalnya di ujung jalan Muhammad Ali di dekat Benteng, tentang El
Azhar, Lapangan Ataba, trem; orang-orang yang tinggal di Kairo. Pada saat-saat
tertentu ia akan menyanyi dengan suara yang merdu, badannya berlenggak-lenggok
mengikuti gerakan keledai yang ditungganginya.
”Kubuang dikau bukan di laut
lepas.
Tapi di tanah
kering yang kau tinggalkan padaku. Kutukar dikau bukan dengan emas gemerlapan.
Tapi dengan jerami tak berharga kau jual padaku.
Ah,
malam-malamku yang panjang.
Ah, mataku,
Ah.”
Ketika paman
naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis dan
merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi paman bertanya,
”Apakah yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?”
Lalu saya
menjawab: ”Saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti Paman.”
Kemudian ia
tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis,
dan memegang tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia
menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tibatiba sehingga saya jatuh
tertelungkup.
Maka saya
kembali pulang dengan kepala tertunduk, merenungi bentuk jari kaki saya, sambil
di jalan desa, merenungi diri sendiri, sementara bermacammacam pertanyaan
berkecamuk di dalam benak saya. Siapakah saya? Siapakah ayah saya? Apakah saya
akan menghabiskan hidup saya dengan mengumpulkan kotoran ternak, menjunjung
pupuk di atas kepala, membuat adonan tepung, dan memanggang roti?
Kembali di
rumah ayah, saya memandang dengan hampa pada tembok-tembok dari tanah liat,
bagaikan orang asing yang belum pernah masuk ke tempat ini. Saya melihat
sekeliling hampir-hampir keheranan, seakan-akan saya tidak lahir di situ,
tetapi tiba-tiba terjatuh dari langit, atau muncul entah dari mana dari dalam
perut bumi, menemukan diri saya di suatu tempat di mana saya tidak termasuk di
rumah yang bukan milik saya, lahir dari seorang ayah yang bukan ayah saya, dan
dari seorang ibu yang bukan ibu saya. Apakah itu karena cerita paman tentang
kota Kairo, tentang rakyat penghuni kota itu yang telah mengubah saya? Apakah
saya benar-benar anak perempuan ibu saya, apakah ibu saya seorang yang lain
pula? Apakah saya dilahirkan sebagai anak ibu saya dan berubah menjadi seorang
yang lain? Ataukah ibu saya telah mengubah dirinya menjadi seorang perempuan
lain yang sangat mirip dengannya, sehingga saya tidak dapat melihat
perbedaannya?
Saya berusaha
untuk mengingat kembali bagaimana rupa ibu saya ketika pertama kali saya
melihatnya. Saya dapat mengingat dua mata. Khususnya saya dapat mengingat
matanya. Saya tidak dapat melukiskan warna atau bentuk matanya. Itu adalah mata
yang saya pandang. Itu adalah mata yang sedang mengamati saya. Sekalipun saya
menghilang dari pandangannya, mata itu dapat melihat saya, dan membuntuti saya
ke mana pun saya pergi, sehingga bila saya tertatih-tatih ketika belajar jalan,
mata itu akan menahan saya.
Setiap kali
saya berusaha untuk jalan, saya terjatuh. Suatu kekuatan seakan-akan mendorong
saya dari belakang, sehingga jatuh ke depan, atau suatu beban dari depan
seakan-akan bersandar pada tubuh saya sehingga saya jatuh ke belakang. Sesuatu
seperti tekanan udara yang ingin meremukkan saya; sesuatu seperti daya tarik
bumi yang berusaha untuk menelan saya masuk ke dalamnya. Dan di
tengah-tengahnya, di situlah saya berada, berjuang, menegangkan lengan dan kaki
saya dalam usaha untuk berdiri tegak. Tetapi saya tetap jatuh, terpukul oleh
kekuatan yang saling bertentangan, yang tetap mendorong saya ke jurusan yang
berbeda-beda, . . . . (hlm. 21–24)
Sumber: Perempuan di Titik Nol, Nawal
el-Saadawi, Yayasan
Obor
Indonesia, 2002
B.
Kerjakan soal-soal berikut ini!
1.
Analisislah unsur
intrinsik dari kutipan novel terjemahan Perempuan
di Titik Nol tersebut!
2.
Analisislah juga
unsur ekstrinsiknya!
C.
Bandingkan hasil analisis novel Indonesia tersebut dengan
analisis novel terjemahan!
Anda dapat mencari fokus
persamaan dan perbedaannya, cara atau teknik penceritaan, proses tokoh
berpikir, ataupun gaya bahasa.