PENGANTAR SEJARAH EROPA

Tags


Resensi Buku


Disusun oleh :
Nama : Mijil Sunoto
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial
Prodi : Ilmu Sejarah
NIM : 15407144002
Dosen Pengampu : Bapak Djumarwan

Universitas Negeri Yogyakarta



Refleksi Atas Revolusi di Eropa

Identitas Buku

Judul Buku                  : Refleksi Atas Revolusi di Eropa
Pengarang                    : Ralf Dahrendorf
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : 1992
Cetakan                         : Pertama
Dimensi Buku : 21 X 18 ( cm ) 
Tebal Buku                  : 151 halaman
Harga Buku     : Rp 20.000,00

Buku yang berjudul Refleksi Atas Revolusi di Eropa secara umum mengisahkan tentang gerakan revolusi sistem Kapitalisme dan Komunisme yang ada di Eropa seperti runtuhnya tembok Berlin, serta runtuhnya Komunisme di Uni Soviet. Buku ini juga mengisahkan Mr J pada awal bulan Maret saat musim dingin di Eropa. Dalam buku ini dikisahkan bagaimana Mr J bingung dengan apa yang saat ini sedang terjadi di Polandia dan Eropa sesudah revolusi tahun 1989. Apakah kita sedang menyaksikan proses penghancuran, tanpa sesuatupun yang menggantikan struktur lama. Partai-partai politik baru bermunculan, serta demokrasi sosial yang berada dalam ambang kehancuran. Apa yang akan dilakukan oleh ekonomi pasar terhadap susunan sosial tersebut? Apakah hal itu tidak akan membuat beberapa orang menjadi kaya, sementara banyak oranglain menjadi miskin daripada sebelumnya.
Ingatkah Anda dengan peristiwa yang terjadi di Eropa tahun 1989? Sungguh, suatu peristiwa bersejarah dan penuh gairah. Tentu saja, ada air mata, air mata pedih atas pembantaian di Tiananmen yang secara brutal mengakhiri "gerakan demokrasi" para mahasiswa dan perkerja. Tetapi, sebagian besar air mata 1989 adalah air mata bahagia. Apa yang dapat menghapus dari ingatan kita akan perayaan penjebolan Tembok Berlin pada tanggal 9 november 1989, dengan segala peluk cium mereka yang selama duapuluh delapan tahun telah terpisah satu sama lain. Tak perlulah Anda diingatkan akan rentetan peristiwa pada tahun yang pantas dikagumi, 1989 itu. Timothy Garton Ash, dalam bukunya, We The People, ia rekam hidup-hidup revolusi 1989 sebagaimana ia saksikan sendiri di Warsawa, Budapest, Berlin, dan Praha. Apakah rentetan peristiwa itu sungguh revolusi? Pertanyaan itu boleh jadi terasa akademis, yang lebih diminati mahasiswa daripada mereka yang terlibat. Jelas, perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa 1989 itu begitu cepat dan amat radikal. Pada akhirnya berbagai perubahan itu bermuara pada delegitimasi seluruh kelas penguasa dan penggantian sebagian besar anggota inti kelas tersebut, maupun transformasi konstitusional dengan berbagai akibat yang luas jangkaunya. Jelaslah bahwa kegembiraa tahun 1989 akan merilis jalan bagi perasaan yang lebih tenang pada tahun 1990. Penerobosan maupun penggempuran tembok, dan menjual atau menukarkan keping-keping reruntuhanya dengan mata uang keras, tentu merupakan pengalaman yang mengagumkan, dan bahkan juga menguntungkan. Tetapi, membangun kota baru memerlukan waktu dan korban perasaan yang berat, energi, dan berbagai sumber daya.
Kita telah memasuki zaman perubahan. Tembok yang mengerikan telah roboh, dan bahkan sedang dalam proses untuk disingkirkan sama sekali. Bagaimana hal ini terjadi? Mengapa terjadi revolusi? Dan mengapa ia muncul pada tahun 1989? Banyak alasan yang dapat diajukan, beberapa alasan dekat, beberapa alasan yang lain jauh. Orang-orang yang lebih tua telah menjadi takut karena berbagai pengalaman tahun 1956 dan 1968, dan berbagai pemberontakan lain yang lebih kecil. Sementara, kaum muda terus maju karena mereka tidak tahu bahwa tak mungkin menyingkirkan berbagai rezim, dan dengan itu mereka lantas justru menyingkirkan rezim tersebut. Setiap negara di Eropa Tengah bagian timur memiliki sejarah dan struktur politiknya sendiri. Salah satu kegembiraan tahun 1989 adalah ditemukanya kembali berbagai perbedaaan tersebut.
Sejauh menyangkut Eropa Tengah bagian timur, tidak lepas dari Uni Soviet. Pada tanggal 25 Oktober 1989, ketika ditanya apakah Uni Soviet masih akan mengikuti Doktrin Brezhnev yang mengancam sekutu yang keras kepala dengan intervensi militer, Gorbachev menjawab. Yang pertama adalah bahwa angkatan bersenjata Soviet tidak akan lagi mengintervensi, lalu biarlah sekutu mengambil jalan mereka sendiri. Yang kedua bahwa partai Soviet tidak akan menuntut monopoli partai-partai Komunis di negara tersebut. Pada kenyataanya, itu berarti pembebasan negara-negara satelitnya.
Gorbachev adalah pemimpin yang paling pragmatis dalam sejarah Soviet, tetapi itu tidak berarti bahwa dia adalah orang yang tidak punya prinsip. Uni Soviet ini dengan segala persoalanya merupakan masyarakat yang jauh lebih terbuka daripada negara yang kepemimpinanya ia warisi itu. Dan hal itu sekurang-kurangya merupakan cara yang ia kehendaki agar negeri itu berkembang. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Gorbachev terutama adalah seorang pembuka pintu yang sampai saat itu tertutup. Ia berharap mereka yang menerobos pintu-pintu itu akan sampai pada suatu titik yang ia harapkan menjadi tujuan mereka, mungkin dengan semacam Sosialisme Demokrasi, tetapi pada awalnya ia ingin membuka pintu kearah masa depan yang lebih terbuka. Tetapi, pada akhirnya hal itu tidak akan berhasil. Penindasan mengalahkan tujuanya sendiri. Pemerintah totaliter berada dalam bahaya untuk ditumbangkan secara keji, sejauh mereka mengandalkan penindasan sebagai sarana untuk menangani konflik.
Apa yang dibuat oleh revolusi itu? Mungkin Anda mengandaikan telah mengetahui jawabanya. Tetapi, tentunya ada sesuatu yang lebih pada revolusi itu, karena beribu-ribu orang bergerak di jalanan. Hal itu jelas mengubah cara pandang kita terhadap dunia, dan barangkali perimbangan kekuatanya didalam proses. Untuk beberapa dasawarsa kita bicara mengenai Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga. Kita mengandaikan bahwa Dunia Pertama dan Dunia Kedua bersaing untuk mendapatkan Duni Ketiga, atau sekurang-kurangnya untuk mendaptkan suara Dunia Ketiga didalam PBB, karena baik negara Kapitalis maupun Komunis tidak cukup berbuat banyak bagi mereka yang tertinggal oleh perkembangan ekonomi. Konsep Dunia Ketiga itu sendiri mengandaikan kedua dunia yang lain. Salah satu darinya kini sama sekali tenggelam dalam panggung dunia. Hanya tinggal satu yang tersisa dengan klaim seriusnya terhadap perkembangan dan hegemoni. Dunia Pertama dan Kedua sedang dipersatukan dalam sesuatu yang kini belum punya nama, atau bahkan juga belum punya nomor. Mungkin namanya hanya dunia, begitu saja.
Banyak orang melihat empat puluh tahun terakhir ini sebagai perang besar diantara berbagai sistem. Perang itu bahkan merentang lebih jauh lagi kebelakang, sampai Revolusi Rusia 1917. Perang itu merupakan pertempuran antara Kapitalisme dan Komunisme, antara persemakmuran sosialis dan demokrasi liberal. Bagaimanapun keadaan itu tidak bertahan lam. Berbagai proses revolusioner tejadi. Salah satu dari kedua sistem itu tampak semakin goyah, sampai akhirnya mulai ambruk dan pada akhirnya lenyap pada tahun 1989. Sesudah itu hanya satu pilihan yang tersedia, yaitu pilihan Kapitalis dari Demokrasi Liberal.
Pada kenyataanya, Sosialisme benar-benar telah mati. Dan bahwa tak satupun dari varianya dapat dihidupkan kembali bagi suatu dunia yang menjadi sadar akan dua mimpi buruk yang telah dialami, yaitu Stalinisme dan Brezhnenevisme. Dalam hal ini, sulitlah menepis anggapan bahwa Liberalisme dengan Sosialisme, atau entah bagaimanapun dengan Demokrasi Sosial yang telah mati, atau bahkan masih didukung sampai tahun 1970-an oleh perencanaan ekonomi, suatu mayoritas dalam parlemen, kepercayaan akan pelayanan sosial, dan ilusi, hingga rekayasa dunia. Tetapi, apakah hal itu tidak berarti menggabungkan dua hal yang berbeda? Ada Sosialisme dalam versi Komunisme yang secara dramatis lenyap pada tahun 1989 ketika negara demi negara menghapuskan kata itu dari deskripsi resmi.
Dengan demikian, cukup jelas apa yang ingin dihindari oleh penduduk dalam demokrasi-demokrasi baru, dan cukup jelas pula kemana mereka hendak masuk. Tetapi, bagaimana orang-orang bisa mendapatkan jalan keluarnya dari Sosialisme menuju masyarakat terbuka masih merupakan pertanyaan yang terbuka lebar. Telah banyak orang berkomentar mengenai kurangnya jawaban yang mengejutkan terhadapnya. Telah ada banyak usaha untuk menjelaskan munculnya Kapitalisme sejak abad keenambelas dan industrialisme sejak abad kedelapanbelas, maupun beberapa penjelasan mengenai munculnya demokrasi di Amerika dan Inggris. Tetapi, semua penjelasan itu hanya memiliki relevansi yang terbatas bagi negara-neggara yang punya waktu jauh lebih sedikit, dan bagaimapun beroperasi dibawah kondisi yang amat berbeda, apalagi karena negara lain telah pergi jauh mendahului mereka. Mungkin hal ini merupakan suatu aspek besar. Para intelektual telah menjelaskan berbagai kejadian yang tidak pernah terjadi, dan menjauhkan diri dari kejadian-kejadian yang berada dibalik revolusi 1989 di Eropa.
Pokok persoalanya adalah bagaimana menetapkan konstitusi kebebasan dan menambatkanya kuat-kuat. Inti persoalanya terletak pada ketidaksesuaian skala waktu  pembaruan-pembaruan ekonomi, politik, dan sosial yang diperlukan demi mencapai tujuan tersebut. Kendati demikian, revolusi tidak pernah membantu terhadap kemajuan atau perkembangan ekonomi. Ekonomi memerlukan kepercayaan atau keyakinan yang didasarkan atas harapan-harapan yang stabil, padahal stabilitas semacam itu justru merupakan korban pertama dari berbagai pergolakan yang bersifat revolusioner. Pada matra kehidupan individual, pergolakan-pergolakan tersebut merusak rutinitas pengalaman keseharian, dan melibtakan orang dalam kegemparan sejarah yang begitu langka dan mahal biayanya, dengan berdemonstrasi di lapangan Wenceslas, merayap ke lobang-lobang tembok Berlin, dan menyaksikan diktaktor yang begitu dibenci kehilangan seri wajahnya. Semua itu terjadi pada hari-hari biasa, ketika kebanyakan orang mestinya berada di pabrik-pabrik, kantor, atau bahkan di ruang-ruang kuliah. Semua prioritas normal dikesampingkan. Bahkan tanpa sadar, penduduk menjadi marah, dan mereka pun puas dengan tidur yang lebih singkat dari yang dapat mereka bayangkan. Begitu kegemparan itu telah berlalu, mereka merasa kesulitan untuk duduk kembali dengan rutinitas mereka yang lama, dan tentu saja kegemparan itu jelas sama sekali tidak meningkatkan produktivitas ataupun produksi.
 Setelah runtuhnya komunisme dan jebolnya tembok Berlin, Jerman mulai menata kembali bangsanya. Inti persoalanya adalah bahwa kaum intelektual Jerman belum sampai pada kata sepakat mengenai konsep bangsa. Memang sulit untuk mencapai hal itu. Tetapi, adakah kebutuhan untuk menambahkan ketidaktepatan intelektual terhadap ketidaktertentuan yang sifatnya geografis? Greiner mengutip Max Weber, yang sama-sama mengalami persoalan Jerman mengenai kebangsaan. Bagi Weber, bangsa berarti " terutama dan jelas dan tak dapat diragukan: bahwa kelompok-kelompok orang tertentu dapat diharapkan untuk menunjukan cita rasa solidaritas yang khas terhadap orang-orang lain, dan dengan demikian hal itu termasuk didalam lingkup nilai-nilai. Apakah sesungguhnya demikian itu? Dan apakah memang tidak dapat diragukan? Persoalan kaum intelektual Jerman adalah bahwa kebanyakan dari mereka selalu berusaha untuk mendukung dan juga menentang bangsa itu, entah dengan konkretan (ekonomi) yang salah letak, atau kekaburan (budaya) yang juga salah letak, dan didalam suatu proses, kekuatan kebangsaan yang nyata terlepas dari genggaman jari-jari mereka.
Dengan demikian, di Eropa dewasa ini, negara kebangsaan praktis masih merupakan gudang atau hak-hak dasar kewarganegaraan, dan Eropa Barat harus bangga terhadap fakta bahwa mereka mampu memperluas berbagai manfaat dari status ini kapada enambelas juta warga Jerman Timur. Paham mengenai Eropa yang dianut Jerman pada kenyataanya adalah begitu kabur. Disinilah alasan utama terhadap keprihatinan atas berbagai perkembangan Jerman.Tak menjadi persoalan sama sekali untuk bicara mengenai suatu Eropa yang menggabungkan otonomi regional dengan institusi-institusi supranasional, tetapi, dimanakah tanda-tanda dari keduanya itu? Dan masih buruk lagi, banyak orang Jerman menggunakan ungkapan "penyatuan Jerman harus tetap kuat terutama dalam proses integrasi Eropa, tetapi apakah mereka tahu tentag apa yang mereka katakan?, Dan apakah mereka bertindak seolah-olah meyakini apa yang mereka katakan itu?
 Pokok persoalan dari permasalahan ini sederhana saja. Hidup didalam rumah yang  kokoh merupakan suatu prospek yang menggembirakan. Suatu kampung yang terjaga dengan baik, yang yakin akan pertahananya, memberikan kepada para penghuninya suatu rasa aman dan kesempatan untuk melakukan kegiatan atau kesibukan mereka. Tetapi kampung itu merupakan bagian dari kawasan hunian manusia yang lebih luas. Apa yang terjadi pada salah satu wilayah hunian manusia itu akan mempengaruhi apa yang bakal terjadi disemua bagian lainnya. Khususnya, mereka yang berada didalam rumah yang kokoh memiliki dampak terhadap semua orang, apapun yang mereka lakukan ataupun yang tidak mereka lakukan. Hal ini lebih berlaku bagi mereka bagi mereka yang berada didalam pencakar langit yang melintasi lautan. Pada akhirnya kita tidak akan aman dan bebas, kecuali kalau semua orang didalam semua kampung dan kota dunia merupakan warga negara.
Kelebihan buku ini adalah isinya yang lengkap dan detail mengenai runtuhnya Komunisme dan jebolnya tembok Berlin. Selain itu, penulisan buku ini juga sudah menggunakan kaidah EYD, sehingga tidak terdapat tipo dalam buku ini. Dari segi halaman, buku ini sangat cocok sebagai bahan bacaan karena hanya terdapat 151 halaman. Disamping kelebihanya, buku ini juga memiliki kekurangan, diantaranya, isi dari bacaan ini yang sedikit membingungkan atau dengan kata lain sulit untuk memahami bacaan dan makna yang terkandung didalamnya. Selain itu, sampul buku biasa saja ataupun tidak terlalu menarik, serta tidak adanya gambar-gambar tentang sketsa kejadianya. Disamping kelebihan dan kelemahan tersebut, buku ini sangat cocok bagi para mahasiswa, dosen, dan pengajar (guru), serta sejarawan yang ingin memperdalam wawasan dan pengetahuanya tentang seluk beluk revolusi yang terjadi di Eropa.
Kesimpulanya adalah Rafl Dahrendorf merefleksikan Revolusi Eropa yang baru, lalu ia renungkan runtuhnya komunisme, rintangan menuju kebebasan, dan harapan maupun keprihatinan atas Jerman Bersatu. Tidak ada keniscayaan finalitas. Dan, refleksi ini bukan renungan mengenai peristiwa yang selesai, melainkan suatu contoh pandangan yang tidak mempercayai teori politik, pemerintah, dan arah perubahan.    
















Artikel Terkait