Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2,
Jayadewata mula mulanya gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra
tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.
Peristiwa penobatannya itu di Pakuan, sekaligus menjadikan
Jayadewata jadi seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi
Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi
prasasti Batutulis Kota Bogor, yang memberitakan:
// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja
ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala
waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala
gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya
siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //
Terjemahannya adalah:
Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan
dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana.
Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak
Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan
(berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat
samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat
semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 (Danasasmita, 1981: 25).
Prasasti Batutuhs yang ada di Kota Bogor, dibuat oleh Prabu Sanghiyang
Surawisesa, pada tahun 1533 Masehi. Pembuatan prasasti tersebut, dilakukan saat dalam upacara penyempurnaan sukma, untuk mengenang jasa-jasa dan kebesaran
ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Upacara semacam itu, hanya dilakukan untuk raja
raja tertentu saja. Jika seorang raja wafat, kemudian setelah 12 tahun masyarakat
masih menceritakan jasa-jasa dan kebesarannya itu, maka raja tersebut digali dari
kuburnya, kemudian kerangkanya diperabukan. Maksudnya, agar sukma raja
tersebut, dapat kembali kepada zat asalnya: Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang
Esa).
Isi prasasti Batutulis Kota Bogor, tidak bertentangan dengan
naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, yang terjemahan
langsungnya, antara lain adalah sebagai berikut:
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu: membuat telaga
besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan
dan ke hutan larangan. la memperteguh pertahanan yang ada di ibukota, memberikan desa
(perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan
agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
kebinihajian (kaputren), kesatrian
(asrama prajurit), pagelaran (macam
macam formasi tempur), pamingtonan
(tempat pertunjukan kesenian), memperkuat para angkatan perang, mengatur
pungutan pajak dari raja raja bawahan dan menyusun undang undang untuk kerajaan.
Memberi hadiah desa perdikan untuk tempat tinggal para
Pendita, tertulis pula dalam prasasti (piagam) tembaga, yang ditemukan di Desa
Kabantenan, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari prasasti yang
berjumlah 5 lembar itu, isinya dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja
mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah kawikuan di Sunda Sembawa,
Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan itu, ialah berupa penegasan batas batas
wilayah dan pembebasan dari pajak, serta ancaman hukum mati, bagi siapapun yang
melanggar keputusannya.
Tanah suci Lemah Dewasasana atau Lurah Kawikuan, dibebaskan
dari 4 macam pajak yaitu yang disebut: dasa, calagara, kapas timbang (upeti) dan
pare-dongdang(panggeres reuma).
Dasa, merupakan pajak tenaga perseorangan, yaitu kewajiban
bekerja beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja atau
keluarganya. Kata dasa, diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti pelayanan
(service).
Calagara (di Majapahit: walagara), adalah pajak tenaga
kolektif. Para petani tergabung dalam pasukan pekerja, yang dipimpin oleh wado
(seorang prajurit yang ditugaskan memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan
bagi kepentingan raja dan negara.
Kapas timbang atau upeti kapas, harus diserahkan tiap tahun,
sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.
Pare dongdang atau panggeres reuma, adalah pare turiang,
yaitu padi yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah
berpindah ladang (huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus
diserahkan kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.
Upacara dalam penyempurnaan sukma Sri Baduga Maharaja telah
dilakukan. tetapi masyarakat Kerajaan Sunda masih tetap mengenang dan
menceritakan jasa-jasa dan kebesaran dari Sri Baduga Maharaja. Keharuman Sri Baduga
Maharaja, sebanding dengan keharuman nama uyutnya (buyutnya), Prabu Maharaja
Linggabuana (Prabu Wangi), gugur di Palagan Bubat. Juga sebanding dengan
keharuman nama kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (Prabu
Wangisutah), yang telah mengangkat Kerajaan Sunda mencapai kejayaannya. Oleh karena
itulah, Juru Pantun ataupun Penulis Babad, mengenang Sri Baduga Maharaja
sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya adalah pengganti. Wangi artinya harum.Silih
Wangi, artinya pengganti raja raja tertnashur sebelumnya.
Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya
berasal dari penamaan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yang
bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota
Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan yang selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan
Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan
sumber sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan
Kerajaan Sunda.
Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan
Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4), pada
tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota
Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan
penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah
naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah
Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk
23.121 jiwa.
Tome Pires (k.l. 1468-1539 Masehi), seorang apoteker yang
pernah berkarya pada seorang pangeran di Lisbon (Heuken, 1999: 41), dan akan
menjadi duta raja Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59), pada tahun 1513 Masehi
singgah di pelabuhan pelabuhan Sunda. Tome Pires memberitakan, bahwa
perdagangan Sunda lewat pelabuhan-pelabuhannya sudah sangat maju. Omset perdagangan
kuda, dapat mencapai 4.000 ekor tiap tahun.
Dayo (dayeuh=ibukota) tempat tinggal raja, disebutkannya,
terletak sekitar dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa, berada di pedalaman. Istana
raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar tong anggur dan tingginya 5 pathom
(depa = kira kira 9 meter), serta pada puncaknya berukir indah. Dalam angkatan
perang kerajaan, terdapat 40 ekor gajah.
Tentang Sri Baduga Maharaja, Tome Pires mencatatnya sebagai
Rev he gramde cacador (Raja Sunda adalah seorang raja perkasa dan pemburu).
Tetapi yang lebih penting, Tome Pires mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga
Maharaja, antara lain: Regno De cumda Regido em Justiea (kerajaan Sunda
diperintah secara adil).
Untuk kepentingan perdagangan Portugis, Tome Pires mencatat
pelabuhan pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, adalah sebagai berikut:
// Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua gramde cidade de dayo
a pouoacam he terms I porto De bamtam o Porto De pomdam/ o porto de chegujdee o
Porto De tamgaram o Porto de calapa o Porto de chemano ysto hee cumda por q ho
Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos//
Terjemahannya:
Pertama, raja Sunda (Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota
dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar
Cheguide, Tangerang (Tamgaram), Kalapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Inilah
Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di antara kedua kerajaan (Heuken,
1999: 37).