Sebelum Sri Baduga Maharaja lahir, di Kerajaan Sunda sudah
ada penganut agama Islam. Tokoh tersebut adalah Bratalegawa, putera Mangkubumi
Bunisora Suradipati. Bratalegawa adalah adik Giridewata alias Ki Gedeng
Kasmaya, raja Cirebon Girang. Bratalegawa lahir tahun 1350 M, dua tahun lebih
muda dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (kakeknya Sri Baduga
Maharaja).
Sebagai saudagar besar yang memiliki banyak kapal layar,
Bratalegawa tidak menjadi raja daerah (Ki Gedeng), ia sibuk oleh kegiatan niaga
lautnya. Bratalegawa, menikah dengan wanita muslim dari Gujarat, bernama
Farhana binti Muhammad. Kemudian dari Gujarat, bersama isterinya, Bratalegawa
menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan mendapat nama baru menjadi Haji Baharuddin
al Jawi.
Setelah kembali ke Kerajaan Galuh, ia lebih dikenal sebagai
Haji Purwa Galuh (haji pertama di Galuh). Walaupun berbeda agama, ia tetap
hidup rukun dengan saudara saudaranya. Kelak, cucunya yang bernarna Hadijah,
menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama mazhab Safi'i, yang memimpin
pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon, merupakan pesantren tertua kedua di
Kerajaan Sunda.
Sedangkan pesantren tertua pertama di Kerajaan Sunda,
didirikan oleh Syekh Hasanudin, seorang ulama mazhab Hanafi, di Pura Dalem
Karawang, dalam tahun 1416 M. Syekh Hasanudin dikenal dengan sebutan Syekh
Quro, karena pondoknya menjadi tempat orang belajar mahir mengaji Qur'an.
Puteri Subanglarang, isteri kedua Sri Baduga Maharaja,
adalah alumnus pesantren Quro tersebut. Ketiga anaknya, yaitu Pangeran
Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, diijinkan memeluk agama Islam
yang dianut ibunya. Dalam beberapa Naskah Pangeran Wangsakerta, menggambarkan
sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan kalimat: rasika dharmika ring
pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama
Islam).
Sesungguhnya, yang dikhawatirkan oleh Sri Baduga Maharaja
perihal Cirebon, bukan "Islamnya". Akan tetapi, hubungan politis yang
terlalu akrab, antara Cirebon dengan Demak. Tidak kurang dari 4 orang
putera-puteri Syarif Hidayat (Cirebon), dijodohkan dengan putera puteri Raden
Patah (Demak).
Karena perkawinan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, maka
angkatan laut Demak yang dipimpin oleh Sabrang Lor, sebagian ditempatkan di
Cirebon. Situasi itulah yang mendorong Sri Baduga Maharaja mengutus Putera
Mahkota (Prabu Anom) Ratu Sanghyang Surawisesa, sebagai duta resmi negara,
untuk mengadakan hubungan bilateral dengan Alfonso d'Albuquerque (dalam naskah
Pangeran Wangsakerta, disebut Laksamana Bungker), raja muda Portugis di Malaka
tahun 1512 M.
Misi tersebut diulang tahun 1521 Masehi. Akan tetapi, pada
tahun itu, Sri Baduga Maharaja sudah wafat, Kesepakatan perjanjian Kerajaan
Sunda (Pajajaran) - Portugis, akhirnya ditanda tangani di Pakuan, pada tanggal
21 Agustus 1522 M. Duta Portugis dipimpin Hendrique de Leme (Endrik Bule).
Kunjungannya ke Pakuan, sekaligus untuk menghadiri upacara penobatan Prabu
Sanghyang Surawisesa, sebagai penguasa Kerajaan Sunda (Pajajaran) pengganti Sri
Baduga Maharaja.
Adapun terjemahan dari sertifikat Perjanjian Kerajaan Sunda
Portugis tersebut, antara lain sebagai berikut:
“Tanggal 21 Agustus 1522 ses. M. hadir di pelabuhan Sunda
ini: Amrrique Leme, kapten perjalanan ini, utusan Jorge d'Alboquerque, Kapten
Malaka, dengan tugas untuk mengadakan perjanjian dan persetujuan perdamaian
serta persahabatan dengan Raja Sunda. Raja Sunda tersebut menyetujui perutusan
dan perjanjian persahabatan yang diadakan dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme)
menganggap baik dan mengerti, bahwa ia diberi izin untuk mendirikan sebuah
benteng di atas tanahnya untuk Raja Portugis, Tuan Kami. Untuk maksud ini, ia
(Raja Sunda) mengutus pejabat tingkat atas, yang disebut Paduka Tumenggung
(mamdarim Padam Tumungo) dan bersama dengannya dua pejabat terhormat (diutus
pula), jelasnya yang satu bernama Sang Adipati (Samgydepaty) yang lain
Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar dari tempat pabean. Selain itu
banyak orang baik. Pejabat-pejabat tersebut diberi kuasa penuh untuk mengambil
keputusan, menentukan dan menunjuk tempat, yang dianggap cocok oleh Amrrique
Lerne tersebut untuk (membangun) benteng bagi Raja Portugis. Paduka Tumenggung
bersama pejabat pejabat lain dan orang-orang baik yang disebut di alas, bersama
dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal itu pada tempat benteng akan
dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara
sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ
batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan
sebuah inskripsi.
Maka, Raja Sunda tersebut menyetujui persetujuan dan kontrak
yang diadakannya dengan Amrrique Leme, yakni supaya dengan bebas dan rela
setiap tahun pada tanggal pembangunan benteng tersebut dimulai, menghadiahkan
kepada Raja, Tuan kami, seribu karung lada sebagai tanda perdamaian dan
persahabatan. Karung karung seperti dipakai lazim di negeri itu, sehingga
setiap karung beratnya 10.600 caxas Java. Maka, beratnya seribu karung itu
kurang lebih seratus enam puluh bahar.
Tentang seluruhnya itu, Amrrique Leme tersebut di atas itu
menyuruh saya, Balthasar Memdes, penulis dari kapal San Sebastian, selaku
perwira Raja, Tuan kami, membuat dokumen ini. Dengan demikian, saya memberi
kesaksian, bahwa isinya menguralkan apa yang berlangsung dan disetujui.
Untuk buktinya, saya, penulis, mengadakan sertifikat ini dan
(kemudian) menyalinnya ke dalam buku saya, yang ditandatangani dengan tandatangan
saya yang biasa. Saksi saksi adalah Fernco de Almeida, kapten sebuah jung serta
pedagang pedagang pangkat atas Raja. Tuan kami, pada perjalanan ini, dan
Franscisco Annes, penulis dan Manuel Mendes dan Sebastian Diaz do Rego dan
Francisco Diaz dan Joham Coutinho dan Joham Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome
Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham Rodriguez dan Joham Fernandez dan Joham da
Costa dan Pedro Eannes dan Manuel Fernandez dan Diogo Fernandez, semuanya
tentara, dan Diogo Diaz, Afonso Fernandez tentara juga dan Nicolas da Sylva,
juru tinggi kapal tersebut dan George de Oliveira, juru mudi dan banyak (orang)
lagi.
Dibuat pada hari, bulan dan tahun seperti tercatat pada
kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang orang) (Heuken, 1999: 54).
Hubungan internasional bilateral inilah, yang dicurigai para
akhli sejarah, bahwa "Pajajaran adalah kerajaan yang memulai mengundang
kaum penjajah" ke tanah air Indonesia. Padahal, pedagang Portugis pada
waktu itu, masih sebagai pelaut murni. Berbeda dengan pelaut Belanda, yang
selalu berambisi, menguasai wilayah perdagangan (kolonialis) yang
disinggahinya.
Persaingan dagang memperebutkan jalur pelayaran Selat
Malaka, di antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Demak, sangat wajar
terjadi, karena Pajajaran dengan Demak mempunyai strategi politik dagang masing
masing. Sangat disayangkan, telaah ke arah itu baru di permukaannya saja,
sehingga "sentimen agarna Islam" lah yang sering dimunculkan.
Sri Baduga Maharaja itu, tidak saja mengalami masa
perkembangan Islam, tetapi mengalami juga masa hubungan Internasional yang
sifatnya bilateral dengan bangsa Eropa, yang diwakili oleh pedagang Portugis.
Sudut pandang inilah yang belum dipahami secara seksama.
Sri Baduga Maharaja adalah raja besar (Maharaja) terakhir di
Kerajaan Sunda. Raja raja penerusnya, tidak sanggup mempertahankan kebesaran
Kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan cenderung kualitasnya semakin merosot.
Kebesaran jiwanya dan toleransinya terhadap agama Islam, telah menjadikan Sri
Baduga Maharaja tetap dihormati sebagal karuhun oleh masyarakat Sunda.
Cukup banyak Babad yang ditulis, dengan tujuan utama,
merangkaikan secara paksa silsilah Bupati setempat dengan Sri Baduga Maharaja
(Prabu Siliwangi). Banyak kerabat Bupati masa silam di Tatar Sunda, yang
sesungguhnya keturunan Galuh, Cirebon, Sumedang, dan Talaga, tetapi dalam
menuliskan Babad setempat, selalu diupayakan ada kaitan darah dengan tokoh Sri
Baduga Maharaja.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan darah ini diubah dengan
hubungan historis yang lebih umum sifatnya. Lahirnya pemeo seuweusiwi
Siliwangi, sebagai ungkapan kesadaran terhadap sejarah dan warisan nilai
budaya. Akhirnya jadilah Siliwangi itu suatu identitas Urang (Etnis) Sunda.
Terbukti, keharuman nama Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja), tidak pernah
luntur sejak masa ia hidup sampai sekarang.
Sampai saat kini, umum masih beranggapan, bahwa agama Sri
Baduga Maharaja itu, kalau tidak Hindu tentunya Budha. Akan tetapi, kalau
ditanyakan, dimanakah bekas candi candinya, di manakah patung dewa-dewa yang
dipujanya? Kecuali temuan peninggalan Salakanagara dan Tarumanagara, secara
arkeologis, belum dapat membuktikan secara pasti, bahwa agama Kerajaan Sunda
Pajajaran itu Hindu atau Budha.
Dalam cerita Pantun sekalipun, mengenai tokoh Prabu
Siliwangi, Juru Pantun tidak pernah menyebut nyebut tokoh dewa-dewa Hindu
ataupun Budha. Adapun tokoh spiritual yang sering ditampilkan dalam cerita
Pantun, adalah tokoh Sunan Ambu, Para Pohaci dan Para Bujangga.
Dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, Jayadewata atau
Sri Baduga Maharaja, dijuluki Sang Mwakta ring Rancamaya, atau "Yang Moksa
Di Rancamaya".
Mwakta atau Moksa, pinjaman kata dari idiom ajaran agama
Budha. Dalam naskah Sunda kuna lainnya, digunakan kata lumah (pusara), sehingga
menjadi sebutan Sang Lumahing, yang artinya dipusarakan. Sebutan Sang Mwakta
atau Sang Lumahing, sama sama mempunyai arti "sukmanya telah
disempurnakan".
Penyempurnaan sukma tersebut, dimaksudkan sebagui upaya agar
"sukma" yang sudah meninggal itu, dapat kembali kepada Asal nya. Dzat
Asal dalam religi Sunda, disebut Hiyang Batara Twiggal (Tuhan Yang Esa). Oleh
karena itu, pada perkembangan bahasa Sunda yang selanjutnya, istilah itu
berubah menjadi "nga-Hiyang".
Dalam Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, cita-cita
urang Sunda yang saleh, tidak ingin manjing surga (masuk Surga). Melainkan
rnanggihkeun hyang tanpa balik dewa (bertemu dengan Hyang, bukan dengan Dewa).
Kembali kepada Hiyang Batara Tunggal, karena Dia lah si
tuhun lawan pretyaksa (Dialah Yang Hak dan Yang Wujud). Itulah arti
sesungguhnya dari "ngahiyang". Sejalan dengan cita cita muslim yang
saleh: kembali ke Khadirat Ilahi Rabbi.
Sebutan lain untuk Hiyang, di-Sanskerta kan menjadi Seda
Niskala. Seda, artinya Sempurna; Niskala, artinya Gaib. Hiyang Seda Niskala,
dapat diartikan sebagai Yang Maha Gaib.
Hal yang menarik lainnya dari religi Sunda, terungkap dalam
Kropak 406 Carita Parahiyangan, di antaranya sebagai berikut:
Sumbelehan niat inya bresih snci wasah. Disunat ka
tukangnya, jati Sunda teka.
Terjemahan:
Disunat agar terjaga dari kotoran, bersih suci bila dibasuh.
Disunat kepada akhlinya, kebiasaan adat Sunda yang sesungguhnya.
Beberapa kesamaan keyakinan religi Sunda dengan religi
Islam, bagi orang Sunda., sesungguhnya tidak jadi masalah. Kedatangan Islam,
merupakan penyempurna religi yang telah lama dianutnya.