MAKALAH 4 HAM MENURUT UUD 1945

Tags





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih buram, karena banyak program dan peraturan yang dibuat pemerintah belum memihak rakyat miskin terutama perempuan.HAM merupakan pemenuhan hak dasar manusia termasuk bebas dari rasa lapar maupun kemiskinan. Namun, program penanggulangan kemiskinan masih sering bersifat karitatif.

Dalam kurun 13 tahun terakhir, penegakan HAM tak kunjung menunjukkan perbaikan.
"Hampir semua kasus berat, dari 27 Juli dan Mei 98, sampai sekarang tidak berani disentuh pemerintah. Pemerintah justru terkesan ragu melakukan pengusutan kasus-kasus dalam ranah HAM. Upaya mengulur waktu dan kasus ini tidak pernah diselesaikan di pengadilan. Ada keraguan pemerintah sekarang ini, boleh kita katakan tidak ada prestasi dalam penegakan HAM, baik di pengadilan maupun d luar pengadilan..

Perjuangan HAM di Indonesia masih memerlukan kurikulum pendidikan HAM di semua sekolah dan perguruan tinggi, serta adanya pusat studi yang mendokumentasi dan meneliti HAM.HAM masih menjadi isu nasional dan internasional tetapi isu tersebut masih kalah dengan isu anti korupsi, good governance (tata kelola yang baik) dan demokratisasi.

Indonesia saat ini cenderung cukup puas karena HAM di UUD 1945 sudah meratifikasi instrumen penting HAM. Indonesia juga sudah memiliki Komnas HAM, Komnas Perumpuan dan Anak, juga Direktorat Jenderal HAM di Kementerian Hukum dan HAM. Singkat kata negara ini tak bisa disalahkan karena pranata HAM sudah tersedia. Pemerintah dengan gampang akan mengatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi kesalahan oknum tentara atau polisi, atau tindakan brutal kelompok masyarakat radikal, ekstrimis dan fundamental. Dengan begini Negara serta merta lepas tangan dalam penanganan dan penegakan HAM.
Melalui makalah ini, kami mencoba untuk memberikan beberapa Solusi dari masalah yang meresahkan masyarakat yaitu kekecewaan dalam penegakan HAM diIndonesia sehingga masyarakat bisa mendapat kan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan .

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Problem Penegakan HAM Di Indonesia
2. Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
3. Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

C. Tujuan Penulisan
Tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui Problem Penegakan HAM Di Indonesia
2. mengetahui upaya penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
3. mengetahui upaya pencegahan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

D. SISTEMATIKA PENULISAN


BAB II
KAJIAN TEORI

1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak itu meliputi :
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak mengembangkan diri.
4. Hak memperoleh keadilan.
5. Hak atas kebebasan pribadi.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita.
10. Hak anak.

Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen .
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.
2. Kewajiban Dasar Manusia
Sangat tidak proporsional apabila membahas HAM tanpa membahas pula Kewajiban Dasar Manusia, sebab diantara keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.. Hak itu timbul dari pelaksanaan kewajiban. Dalam Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia PBB tidak dicantumkan Kewajiban Dasar Manusia. Kewajiaban Dasar ini lahir dari UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia BAB IV pasal 67-70.
Yang dimaksud dengan Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Kewajiban Dasar itu meliputi :
a. Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di Indonesia.
b. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
c. Menghormati HAM. Setiap orang wajib menghormati HAM, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral dan etika adalah suatu konsepsi tentang baik dan buruknya tingkah laku manusia didalam masyarakat. Sedangkan tertib kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum, moral/etika, adat, dan agama/kepercayaan.

d. Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Untuk itu tugas pemerintah dalam hal ini adalah menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
e. Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
3. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
1) Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
2) Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
3) Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya secara keseluruhan telah dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.

Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
a) . Amandemen UUD 45.
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan.
Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen II UUD 45.
:) Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya.
Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD 45.

c) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d) Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya
e) Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
i. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.

ii. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
iii. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
iv. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

`

BAB III
PEMBAHASAN

1. Problem Penegakan HAM Di Indonesia

Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa.
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).
1) Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
2) Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
3) Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur system hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law).

Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang sedang berlangsung.
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum sekalipun?
Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang The Basic Need Hierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :
a. Kebutuhan pokok fisiologis
b. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari bahaya luar
c. Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan seksual
d. Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara adil
e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi).
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta penghayatannya yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat dicapai.
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony).Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi.

2. Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.

Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut,. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.

Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).

Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.

Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.

Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.

Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.

Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.

3. Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.

Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.

Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.

Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia.

Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
b. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
c. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
d. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.


BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Tuntutan untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.

SARAN
Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. 2003. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta : PSHTN FH UI.
Clack, George . 1998. Hak Asasi Manusia , Sebuah Pengantar. Jakarta : Pustaka sinar harapan
J. Semler, Vicki. 2001. Hak-Hak Asasi Perempuan. Jakarta : Yayasan jurnal perempuan.
Majda, El-Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta : Kencana
Muzaffar ,Chandra . 1993. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru. Bandung : Mizan pustaka.
Prasetyohadi, Wisnuwardhani, Savitri. 2008. Penegakan HAM Dalam 10 Tahun Reformasi. Jakarta : Komnas HAM :
Sayuti, Wahdi dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi,HAM & Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Press
Sayuti, Wahdi dkk. 2000. Demokrasi,HAM & Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN.

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&...
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/7964-pe...
http://Jalan-Panjang-Penegakan-HAM-di-Indonesi...
http://upaya-penegakan-hak-asasi-manusia-diind...
http://problem-penegakan–hak-asasi-manusia«A.Malthuf.Siraj
http://upaya-penegakan-hak-asasi-manusia-dis.h...

Sumber: http://id.netlog.com/nahlamalika/blog/blogid=121408


Artikel Terkait