contoh kasus nyata malpraktik bidan

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.


Artikel Terkait