PAHLAWAN KEPRAJURITAN NASIONAL

Tags





Rijcklof Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman, yang berambisi ingin menghancurkan Kesultanan Surasowan Banten, namun selalu terhalang oleh kehati hatian Maetsuycker, kini bebas merencanakan dan melaksanakan maksudnya. Sebagai langkah awal, Kompeni Belanda menggali terusan antara Kali Angke dengan Cisadane, guna kelancaran angkutan pasukan dan perbekalan ke daerah perbatasan. Terusan ini dapat diselesaikan oleh Kompeni Belanda, pada tahun 1680.
Menurut perjanjian Belanda Pakungwati Cirebon pada tahun 1677, daerah jajahan Mataram di Priangan diserahkan kepada Kompeni Belanda, sebagal pembayar hutang biaya perang. Hal ini menimbulkan gejolak politik yang baru di Tatar Sunda. Sumedang melihat kesempatan untuk bangkit, karena Rangga Gempol III, Bupati Sumedang, mendambakan kekuasaan seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Geusan Ulun.
Selanjutnya, pada bulan September tahun 1678, ketika Kompeni Belanda sibuk menghadapi Trunojoyo di Jawa Timur, Rangga Gempol menggempur Sukapura, Parakanmuncung dan Bandung, sehingga para bupati dari ketiga daerah itu menyingkir ke Kesultanan Banten, memohon perlindungan kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Rangga Gempol adalah Bupati Priangan pertama, yang mengadakan hubungan dagang dengan Kompeni. la mengakui kedaulatan Kompeni Belanda, sehingga memperoleh bantuan meriam, senapan, peluru dan mesiu. Rangga Gempol juga menyapu daerah Ciasem, menyingkirkan para kepala daerah setempat, yang merupakan wilayah bawahan Banten.
Kekosongan kekuasaan di Mataram itu, dimanfaatkan pula oleh Pakungwati Cirebon, dengan mengerahkan 300 orang Talaga, di bawah pimpinan Wiratanu, untuk mengisi kawasan bagian utara Cianjur. Akhir tahun 1678, Wiratanu mendirikan pos baru di Cianjur dan Cimapag, untuk menguasai lalu-lintas perdagangan yang biasa ditempuh para pedagang Sumedang. Hubungan dagang Sumedang - Kompeni, sudah mulai dirintis mulai tahun 1656. Wiratanu yang berstatus resmi berada di bawah Cirebon, mengadakan hubungan langsung dengan Kompeni, melalui Kapten Hartsinck, penanggung jawab keamanan Kompeni untuk daerah pedalaman Batavia dan Karawang. Situasi baru ini, telah memecah konsentrasi Kesultanan Banten, dalam upaya menghadapi Kompeni secara langsung. Sultan Ageng Tirtayasa harus memulihkan kekuasaan Banten di kawasan Ciasem, dan membantu ketiga orang Bupati Priangan yang meminta perlindungan, setelah mereka tersingkir oleh Rangga Gempol. Cakrayuda, salah seorang Bupati Banten di kawasan Ciasem, adalah menantu Bupati Bandung.
Sultan Ageng Tirtayasa memprioritaskan untuk mengatasi Sumedang. Pasukan gerak cepat Kesultanan Banten, yang berkedudukan di Pamanukan, di bawah pimpinan Cili Widara seorang bangsawan Buton, segera diperintahkan untuk menyerang Sumedang. Akhirnya, Sumedang berhasil dikalahkan dan diduduki, sehingga Rangga Gempol harus mengungsi ke daerah Indramayu. Akan tetapi, di daerah Indramayu, pasukan Banten yang mengejar Raga Gempol, dikalahkan oleh bala bantuan Kompeni Belanda.
Pendudukan Banten atas Sumedang, hanya berlangsung kurang dari dua tahun. Rangga Gempol kembali berkuasa, tetapi ia telah kehilangan kekuasannya atas Ciasem dan daerah Priangan Selatan. Secara politis, peristiwa itu telah menghilangkan sisa sisa pengaruh kekuasaan Mataram di Tatar Sunda.
Sultan Ageng Tirtayasa, mampu menghadapi tantangan tantangan yang timbul di kawasan Priangan, sebagai akibat kekosongan kekuasaan setelah perjanjian Japara 1677. Sebab, Kompeni sendiri tidak dapat segera menguasai wilayah yang diterima nya dari Mataram. Kabupaten Cianjur, yang langsung menjadi sekutu Kompeni, justeru muncul dalam kesempatan tersebut. Potensinya masih kecil, sehingga bukan merupakan ancaman berarti, bagi kelancaran jalur hubungan pasukan dan perbekalan Banten di daerah pedalaman.
Sementara itu, di balik keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, ia lebih dipusingkan oleh keadaan intern Istana Kesultanan Sorasowan Banten sendiri, karena ulah putera mahkota yaitu Pangeran Gusti (Sultan Haji).
Sultan Haji, mempunyai tabiat yang berbeda sekali dengan ayahnya. la labil dalam sikap, mudah terpengaruh bujukan orang, tanpa kajian yang mendalam. la senang meniru perilaku orang Belanda, tetapi rakyat Banten dianjurkannya mengenakan pakaian Arab, yang menyebabkan ia dibenci oleh ulama dan rakyat. Tetapi yang paling membahayakan negara, adalah ambisinya terhadap kekuasaan terlalu besar. la tidak puas dengan kedudukannya sebagai Sultan Anom.
Inilah celah yang dunanfaatkan secara maksimal oleh perwakilan Kompeni Belmda di Surasowan Banten. Sultan Haji bergaul akrab dengan W. Caeff, pimpinan kantor perwailan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, serta orang orang Belanda lainnya. Ambisi Sultan Haji yang amat besar, untuk berkuasa penuh dalam waktu secepat mungkin, hanya akan dapat diwujudkan dengan dukungan Kompeni Belanda.
Kompeni Belanda sudah merasa kesal, karena kekuasaan tertinggi Kesultanan Banten, masih tetap dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Rijcklof Volckertsz van Goens, yang berambisi menghancurkan Kesultanan Banten, terpaksa menahan diri. la tidak berani, menghadapi "musuh besar Kompeni Belanda" itu, tanpa persiapan yang benar benar matang. Keamanan kawasan di sekitar Batavia, tetap rawan, karena gangguan gerilya Banten. la sangat memahami, dalam pertempuran di laut, Kompeni Belanda akan mampu menghadapi Banten. Akan tetapi di darat, pasukan Banten masih terlalu tangguh. Akhirnya, van Goens sama sekali tidak sempat mewujudkan impiannya, karena ia meninggal pada bulan November 1681. Dendamnya terhadap Sultan Ageng Tirtayasa, terbawa mati.
Pengganti van Goens adalah "si Jagoan Tempur" Cornelis Speelinan, ia orang Kompeni Tulen. Ketika diangkat menjadi Gubernur jenderal, Speelman telah 34 tahun mengabdikan dirinya kepada Kompeni. Berkat pengalamannya sebagai pedagang, perunding dan panglima perang. Belanda kelahiran Rotterdam itu, telah akrab dengan iklim tropic, dan mengetahui banyak bahasa bahasa daerh dan adat istiadat masyarakat Nusantara. Dialah yang mendiktekan Perjanjian Bongaya untuk Makasar, dan Perjanjian Japara untuk Mataram.
Dalam sehari, Cornelis Speelman tahan bekerja selama 16 jam. la cerdas dan cerdik, tubuhnya kekar, namun lincah dan tak senang diam. Untuk kepentingan Kompeni, ia berani mempertaruhkan nyawanya, bahkan ia pun tidak pernah ragu ragu mengorbankan nyawa orang lain. Wajar bila Vlekke dalam bukunya, menyebut: "pedang yang mengubah Kompeni dari penguasa niaga, menjadi penguasa wilayah".
Dari "tiga serangkai Kompeni", selama 30 tahun menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa, Cornelis Speelman adalah orang terakhir yang masih hidup. Watak dan keuletan Speehnan, terlihat dalam laporannya mengenai Perang Makasar. Pada saat saat perang sedang berlangsung, ia menyusun catatan pertempuran, lengkap dengan keadaan politik, dan tatanan masyarakat Sulawesi Selatan. Banten, menghadapi ancaman lawan yang tangguh dan licin.
Speelman mengetahui, bahwa perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, semakin meruncing. Oleh karena itu, untuk menghadapi Kesultanan Surasowan Banten, Speelman mematangkan situasi. Sikap licin seorang pedagang ulung, Speelman berpura pura tidak percaya dan menolak desakan Sultan Haji, yang ingin memperbaharui perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda. Oleh karena Sultan Haji ingin segera memegang kekuasaan penuh, terpaksa ia harus menjanjikan konsesi konsesi yang lebih besar kepada Kompeni Belanda.
Hasrat menggebu yang dimiliki oleh Sultan Haji itu, terlihat dalam tindakannya pada bulan Mei 1680, yang mengirimkan utusan ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Sultan Haji menawarkan perdamaian, sambil menegaskan bahwa dialah yang berkuasa di Kesultanan Surasowan Banten. Padahal, saat itu jabatan Sultan Haji hanyalah sebagai Sultan Anom, yang menempati Istana Surasowan.
Selanjutnya, Speelman mengutus Jacob van Dijck, sebagai perunding pihak Kompeni untuk membicarakan "pembaharuan perjanjian" dengan pihak Kesultanan Surasowan Banten. Padahal Jacob van Dijck mengetahui benar, bahwa Sultan Ageng Tirtayasa akan menolak "pembaharuan perjanjian" itu. Akan tetapi, sebagai perunding ulung, van Dijck tidak akan segan melaksanakan tugas tersebut, dengan sikap "tetap manis dan penuh harap". Jacob van Dijck adalah orang Kompeni yang telah berhasil menarik Cirebon ke dalam perjanjian persahabatan, pada tanggal 8 Januari 1681.
Tugas van Dijck yang sesungguhnya, ialah menghasut Sultan Haji, agar lebih berani mengadapi ayahnya, dengan janji dukungan dari Kompeni Belanda. Kepada Sultan Ageng Tirtayasa, Kompeni Belanda menunjukkan sikap ingin "tetap damai", padahal di benteng "Batavia", komandan-komandan tempur yang paling berpengalaman telah bersiap. Mereka adalah: Kapten Hartsinck, Kapten Tack, Van Happel, Sloot, dan Saint Martin. Pertahanan daerah Angke Tangerang, disiapkan di bawah pimpinan Anthony Hurdt, anggota Dewan Hindia Belanda penakluk Trunojoyo.
Dengan dalih, Kompeni datang bukan "sebagai penyerang", melainkan sebagai "penolong", Speelman ingin menciptakan "perang saudara" di Kesultanan Surasowan Banten. Sistem politik adu domba, oleh Jacob van Dijck dan Caeff, ditambah dengan sikap Sultan Haji yang ambisius atas kekuasaan, berjalan mulus. Sehingga, pada malam 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan pasukannya menyerang Istana Keraton Surasowan, yang ditempati oleh Sultan Haji. Ibukota Surasowan diserang dari segala penjuru, dan perkampungan pinggiran daerah kota habis dibakar. Namun dengan bantuan Kompeni Belanda, komplek keraton Surasowan tidak berhasil direbut.
Selanjutnya pada tanggal 6 Maret 1682, pasukan bantuan Kompeni Belanda, di bawah komando Saint Martin, tiba di Pelabuhan Banten. Disusul kemudian oleh pasukan lainnya, di bawah komando Kapten Tack. Pertahanan keraton Surasowan makin kokoh.
Sementara itu, pada tanggal 16 Maret 1682, Kapten Hartsinck dibantu oleh Van Happel, membawa pasukan campuran sebanyak 680 orang, dengan dukungan tenaga logistik sebanyak 400 orang, mulai bergerak menuju perbatasan Angke Tangerang.
Tangguhnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa di front Angke Tangerang, memaksa Kompeni Belanda untuk tidak melakukan serangan, sehingga terjadi stagnasi. Hingga bulan Agustus 1682, hanya terjadi serangan kecil-kecilan dari kedua belah pihak. Pasukan gerilya Banten, berupaya keras mengganggu garis logistik Kompeni Belanda.
Akhirnya, anggota Dewan Hindia Belanda Anthony Hurdt, turun tangan memimpin pasukannya di garis depan. Pada bulan Oktober 1682, Kompeni Belanda telah selesai membangun perbentengan di sebelah timur Cisadane. Ketika persiapan Kompeni Belanda telah rampung, pada bulan November 1682, mereka mulai melakukan gempuran terhadap pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Tepat pada tanggal 2 Desember 1682, pusat pertahanan pasukan Banten di Kademangan, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa bersama pasukannya, mundur menuju Tanara.
Di Tanara, pasukan darat dan laut Banten, mencoba mempertahankan daerah tersebut. Akan tetapi, melalui pertempuran sengit pada tanggal 16 Desember 1682, Tanara pun jatuh ke tangan pasukan Hartsinck. Selanjutnya, pasukan Banten mundur menuju daerah pertahanan terakhir di Tirtayasa.
Sedangkan di Tanara, Hartsinck mempersiapkan serangan baru. Pada tanggal 28 Desember 1682, armada darat dan laut Kompeni Belanda, bergerak menuju Tirtayasa.
Serbuan pasukan Hartsinck ini, diikuti oleh Kapten Saint Martin dan Tack, yang berada di Keraton Surasowan. Dari ibukota Surasowan, mereka bersama lama dengan pasukan Sultan Haji, bergerak menuju ke Tirtayasa. Pasukan gabungan ini, berhasil merebut Pontang. Saat itu, meriam tempur Hartsinck, mulai menembus keraton Tirtayasa.
Semakin mendesaknya pasukan Kompeni Belanda menuju benteng Tirtayasa, dengan perhitungan yang matang, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk membumihanguskan keraton Tirtayasa. Bersama dengan para pembesar dan pengikutnya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa menyingkir menuju kawasan hutan Keranggan, di sebelah selatan Tirtayasa. Pada awal Maret 1683, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berada di Sajira, daerah perbatasan Tangerang Bogor. Di tempat itulah, ia menerima sepucuk surat dari Sultan Haji, yang berisi bujukan dan permohonan, agar Sultan Ageng Tirtayasa bersedia kembali ke Istana Surasowan. Setelah dirundingkan dengan para pembesar dan pembantunya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk kembali ke ibukota Surasowan.
Sementara yang lain menunggu di Sajira, pada tanggal 14 Maret 1683 malam hari, Sultan Ageng Tirtayasa bersama para pengawalnya, memasuki keraton Surasowan. Kedatangan Sultan Ageng Tirtayasa, disambut baik dengan penuh rasa hormat, oleh Sultan Haji. Beberapa hari kemudian, utusan Kompeni Belanda tiba di Keraton Surasowan. Pada saat itulah, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Kompeni Belanda dan dibawa ke Batavia.
Kemungkinan besar, bukan maksud Sultan Haji menjebak ayahnya. Karena terbukti, dikemudian hari Sultan Haji tetap menghormatinya. Penangkapan itu, lebih didasari karena Kompeni Belanda khawatir, jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan tetap berada dekat puteranya di Surasowan, dapat mempengaruhi dan mengubah sikap Sultan Haji. Akan tetapi, Sultan Haji tidak berdaya. Ambisinya terhadap tahta Kesultanan Banten, terlalu besar untuk dikorbankan bagi kebebasan dan keselamatan ayahnya Bahkan demi kehormatannya sendiri. Karena dialah yang mengundang dan menjamin keamanan ayahnya di Surasowan.
Mungkin saja, Sultan Haji hanya sanggup meminta kepada Kompeni Belanda, agar ayahnya tidak dibunuh atau dibuang. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di dalam benteng Kompeni belanda dengan "terhormat", di bawah pengawasan dan penjagaan yang ketat. Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam penjara pada tahun 1692. Jenasahnya diminta dan dikebumikan di sebelah utara Masjid Agung Banten. Sebutan Sultan Agung atau Sultan Ageng, yang diberikan rakyat Banten kepadanya, menunjukkan kebesaran Sultan Abulfath Abdulfatah.
Sultan Ageng Tirtayasa, ialah musuh besar Kompeni Belanda. Akan tetapi, sumber sumber resmi yang ditulis oleh pihak Belanda sendiri, tidak satupun yang mencela watak atau perilaku pribadinya. la dihormati dan disegani oleh lawannya. Walaupun Rijcklof Volckertsz van Goens membencinya, ia tidak pernah mencela sifat sifat Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, Vlekke menyebutnya: de sluwe Abdoelfatah (Abdulfatah yang cerdik).
Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai masa kejayaan. Tanpa ragu ragu, Vlekke (1947: 193) mengutarakan pujiannya kepada Sultan Ageng Tirtayasa, sebagai "yang terbesar di antara para Sultan Banten". Menurut pengamatannya, dalam berbagai sumber, ia menyebutkan, bahwa "Abdulfatah dengan penuh vitalitas, mencoba memodernkan negaranya, serta menjadikannya pusat gerakan Islam di Nusantara".
Selanjutnya dalam catatan Vlekke, dikemukakan pula:

Prestasinya yang terbesar, adalah keberhasilannya membangun dan mengembangkan perdagangan laut. Seperti juga raja Makasar, Sultan Banten, telah berhasil memikat para pedagang Inggris, Denmark, dan Perancis. Sehingga, mereka merasa senang, menjalin hubungan niaga dengan Pelabuhan Banten.
Atas bantuan orang orang Eropa, mulailah ia membangun kapal kapal sendiri. Dalam tahap permulaan, dipimpin oleh para nakhoda Eropa, melakukan pelayaran ke Philipina, Macao, Benggala dan Persia. Disertai salah satu kapal milik Banten, putera mahkota (Sultan Haji), pergi berlayar ke Mekah melakukan ibadah haji.

Para pedangan India, Cina dan Arab, mengalihkan usaha niaga mereka secara besar besaran ke Banten, setelah terdesak dari Malaka dan Makasar. Harga barang niaga yang dijual di pasar Batavia, melonjak naik, akibat persaingan dari Pelabuhan Banten, disebabkan tindakan keniagaan Sultan Abdulfatah. la pun menuntut hak, atas perniagaan pala di Ambon dan perniagaan timah di Semenanjung Malaka, yang ditolak secara congkak oleh pimpinan Kompeni Belanda di Batavia.
Orang berkata, "Tidak pernah terjadi sebelumnya”. Juga dalam zaman puncak kebesaran pelayaran Nusantara, sebelum kedatangan orang Portugis, ada kegiatan perdagangan yang demikian besar dan melimpah di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, seperti yang dapat disaksikan di Pelabuhan Banten dalam tahun tahun pemerintahan Sultan Abdulfatah. Hal itu justeru tetjadi, dalam saat saat kekuatan Komperli Hindia Timur, berada pada titik puncaknya.
               Sultan Ageng Tirtayasa, adalah penguasa terakhir Kesultanan Surasowan Banten yang merdeka. la menolak berbagai saham kekuasaan dengan orang luar, dari manapun asalnya. Kesadaran politik inilah, yang tidak dimiliki oleh Sultan Abdulkahar (Sultan Haji). Sultan Haji mengira, Gubernur Jenderal Kompeni Belanda sebagai "bangsawan keraton" bermoral kesatria, bukan sebagai "bangsawan niaga", yang sopan santunnya ditetapkan oleh norma norma perdagangan.
Tentang tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, terdapat kesimpang-siuran, dari sumber-sumber yang ada. Muhammad Ismail, dalam buku Petunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten (1983), penerbit Saudara, Serang, sebagaimana yang dikutip oleh Halwany Michrob, menyebut angka tahun 1651 sampai dengan 1672, untuk tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Padahal, pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa masih melakukan penobatan (wisuda) para Pangeran Cirebon, dengan kapasitasnya sebagai Sultan Banten. Mungkin penunjukkan tahun 1672, berdasarkan pelantikan Sultan Haji sebagai Sultan Anom pada tahun 1671, dan penyerahan kekuasaan dalam negeri kepadanya. Oleh sebab itu, kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, berakhir pada tahun 1683, ketika terjadi penangkapan terhadap dirinya, oleh pasukan Kompeni Belanda di Istana Surasowan.
Akibat peristiwa penangkapan tersebut, para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, melanjutkan perjuangannya secara gerilya. Satu tahun lamanya, Kompeni Belanda direpotkan oleh pasukan tempur gerilya di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Adik Sultan Haji, yaitu Pangeran Sake, juga berpihak kepada Pangeran Purbaya.
Perjuangan terus dilakukan oleh generasi selanjutnya. Salah satunya, yang sempat memusingkan Kompeni Belanda pada abad ke 18, ialah cucu Sultan Ageng Tirtayasa, putera Pangeran Sake, yaitu Tubagus Mustafa, atau lebih dikenal umum dengan sebutan Ki Tapa.


Artikel Terkait