Isu mengenai emansipasi memang selalu hangat dan tidak habis
dibicarakan. Sebelumnya perlu diketahui apa makna dari emansipasi itu sendiri.
Istilah emansipasi secara luas digunakan
untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan
derajat atau hak-hak politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi
hak secara spesifik atau secara kebih umum dibahas dalam hal-hal yang berkaitan
dengan masalah persamaan derajad. Namaun dari waktu ke waktu emansipasi lebih
sering dikaitkan dengan persamaan hak, derajat, dan kebebasan antara wanita dan
laki-laki.
“Di
dunia barat dan negara-negara sekuler emansipasi lebih akrab dipanggil dengan
sebutan feminism (feminisme) yang
memiliki arti sebuah upaya atau gerakan yang bertujuan untuk memperoleh, dan
mempertahankan persamaan hak politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan memiliki
kesempatan yang sama bagi wanita. Pasalnya belum ada kesepakatan dan
kesepahaman secara regional maupun internasional megenai konsep emansipasi
tersebut.” (Agus Saputera, Mengupas Emansipasi Wanita)
Sejak dipeloporinya emansipasi wanita di Indonesia oleh R.A.
Kartini, lambat laun memunculkan ide gerakan-gerakan emansipasi di berbagai
bidang seperti politik, ekonomi, sosial, juga pendidikan. Namun dari semua itu
tentunya yang memiliki pengaruh besar adalah dalam bidang pendidikan.
Pembangunan suatu bangsa yang abadi adalah pendidikan. Pendidikan merupakan
pondasi utama dalam suatu perubahan. Oleh karena itu pendidikan merupakan hal
yang vital dan syarat wajib untuk memberi bekal dan mendukung lahirnya emansipasi
dalam bidang yang lain.
Di era globalisasi ini pendidikan memegang peranan penting
untuk keberlangsungan pembangunan sustu bangsa. Wanita maupun laki-laki
khususnya di Indonesia diwajibkan mengenyam pendidikan dasar 9 tahun. Tidak ada
aturan khusus bagi wanita maupun laki-laki untuk menempuh pendidikan tersebut,
keduanya diwajibkan menempuh pendidikan dasar selama 9 tahun dan selanjutnya
merupakan kebebasan mereka untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau tidak.
Sejak zaman dahulu Jepang telah menerapkan sistem bahwa
seorang wanita harus menempuh pendidikdn yang tinggi walaupun nanti tidak
berpartisipasi langsung dalam pekerjaan publik. Hal tersebut memiliki tujuan
yang jelaas dan juga masuk akal karena seorang wanita nantinya akan menjadi ibu
bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah orang pertama yang akan bersosialisasi
dengan anak dan merupakan prmbentuk kepribadian anak. Seorang ibu pula yang nantinya
akan memberikan pendidikan dasar perkembangan karakter dan kepribadian anak sebelum anak bisa berpartisipasi penuh
di dunia luar, atau dengan kata lain seorang ibu memberikan bekal dasar
kepribadian bagi anak. Jika seorang ibu terdidik maka secara otomatis ia akan
memberikan pendidikan yang baik bagi anaknya.
Bila kita belajar dari bangsa Jepang, akan kita dapatkan
bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan bagi wanita tentu akan
berkontribusi positif terhadap percepatan pembangunan bangsa. Wanita mempunyai
peran besar dalam menyiapkan generasi-generasi bangsa yang unggul, bermoral,
beriman dan bertakwa serta berakhlak. Semua komponen tersebut dapat
terwujud dalam sebuah panduan peran yang
tidak hanya digariskan pada seorang laki-laki semata, tetapi juga wanita.
Pendidikan hadir dan menjadi bekal dan kebutuhan setiap manusia alam membangun
regenerasi demi perkembangan dan kemajuan negara. Tanpa pendidikan semua
manusia akan hidup dalam ketidaktahuan atau kebodohan sepanjang masa yang berdampak
pada hancurnya sebuah negara.