essay bahasa indonesia
Mengapa
Masih Menjadi Orang Indonesia?
Ilham
Maulana Ash Shiddieq
Satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa kita
Tanah air pasti
jaya untuk s’lama-lamanya
Indonesia
pusaka, Indonesia tercinta
Nusa, bangsa, dan bahasa
kita bela
bersama
Lagu yang pertama kali digubah oleh ___ pada tahun tersebut
menggambarkan betapa sebuah bangsa yang luhur pasti selalu memelihara
kebangsaannya. Bangsa Indonesia dengan berpegang teguh pada Empat Pilar
Kebangsaan-nya – Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang
Dasar 1945, dan BhinnekaTunggal Ika – (sebenarnya) dapat menjaga seluruh
kedaulatan atas tanah air, bangsa, dan bahasa. Namun sayang, pengamalan “nusa, bangsa, dan bahasa kita bela bersama”
tersebut ternyata hanya angan-angan semu yang sangat sulit untuk bisa
diwujudkan di masa yang kita menyebutnya sebagai reformasi ini. Betapa bahasa
Indonesia menjadi bahasa kebangsaan yang disia-siakan.
“Aunt
Nina, I want to cut my hair, tapi mom bisa very very angry cause she likes my hair panjang”.
Terselipnya kata-kata bahasa Inggris di dalam
percakapan bahasa Indonesia di kalangan anak muda masa kini bisa kita dengar di
mana-mana.
Hal ini bisa dipahami karena jumlah sekolah
internasional di Indonesia – terutama di Jakarta – kini semakin banyak. Sekolah-sekolah
tersebut menggunakan kurikulum dari luar negeri dan bahasa pengantar
sehari-hari yang dipakai adalah bahasa asing. Ironisnya, sekolah-sekolah
tersebut kini bukan lagi monopoli orang asing. Artinya, sekolah-sekolah
berbahasa pengantar bahasa asing tersebut kini dapat didirikan sendiri oleh
orang Indonesia. Orang tua pun kini merasa bangga jika anak-anak mereka sudah
mulai menyelipkan kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapannya sejak dini.
Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam percakapan
bahasa Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak-anak. Kalau kita
menonton acara wawancara resmi, dialog, ataupun perdebatan politik dan ekonomi
di televise, jarang sekali kita temukan satu wawancara atau dialog di mana baik
yang melakukan wawancara maupun yang diwawancarai menggunakan seratus persen
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mereka tampak kewalahan untuk berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia sepenuhnya. Selalu saja ada kata-kata, istilah-istilah, dan
ungkapan-ungkapan asing yang diselipkan di sela-sela bahasa Indonesia. Demikian
juga jika kita membaca laporan wawancara di koran atau majalah. Selalu ada
kata-kata yang ditulis miring dalam kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa
kata yang diucapkan tersebut merupakan ungkapan asing.
Apakah masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat
dwibahasawan? Akankah masyarakat kita menjadi kebanyakan masyarakat seperti di
Belgia yang menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara,
Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia, atau di Montreal, Kanada, di mana
bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya? Rasanya
tidak tepat menyimpulkan demikian karena yang terjadi saat ini adalah situasi
di mana banyak masyarakat yang berbahasa Inggris tidak, berbahasa Indonesia pun
tidak.
Fenomena lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa
para lulusan luar negeri umumnya lebih fasih berbahasa asing dibandingkan
dengan bahasa Indonesia. Kini, timbul gejala di masyarakat di mana mereka
merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (bahasa Inggris) tetapi tidak
pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia. Banyak
yang merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai
bahasa asing dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang
sempurna. Tidak sedikit yang menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan
baik atau menganggap bahasa Indonesia tidak penting.
Bahasa Indonesia memang bukan bahasa ibu karena kita
semua baru mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk
sekolah. Bahasa ibu kita adalah bahasa daerah tempat kita dibesarkan. Dalam
komunikasi sehari-hari, masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia
formal tetapi bahasa ibu, bahasa informal yang tidak memiliki aturan yang baku.
Setiap orang bebas mencampuradukkan istilah. Dalam bahasa informal, hal ini
sah-sah saja.
Sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang diglosik, yaitu suatu keadaan di mana masyarakat menguasai dua bahasa atau
lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai
peranannya masing-masing. Terdapat perbedaan yang sangat tajam di masyarakat
antara bahasa formal dengan bahasa informal. Kedua jenis bahasa tersebut
digunakan pada situasi dan konteks yang juga berbeda.
Menurut peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, saat ini
Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Sebuah
kekayaaan yang tidak ternilai. Namun, kekayaan bahasa yang kita miliki ini juga
berpotensi menjadi sebuah kelemahan yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk
memecah belah bangsa.
Pada awal abad ke-20, para pejuang kemerdekaan
Indonesia sudah menyadari pentingnya kebutuhan satu bahasa nasional yang mampu
menyatukan seluruh rakyat Indonesia jika negeri ini ingin merdeka dari
penjajahan Belanda. Dengan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928,
sekelompok pemuda tersebut bersumpah bahwa mereka hanya mengakui satu tumpah
darah, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sebagai bahasa yang dipilih menjadi bahasa nasional,
bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang lahir karena suatu keputusan dan
perencanaan. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia pun resmi menjadi bahasa nasional dalam arti
yang sesungguhnya.
Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa
pemerintahan dan administrasi yang digunakan pidato, penulisan, serta bahasa di
media massa resmi seperti televisi, radio, koran, dan majalah, serta buku-buku.
Bahasa formal juga bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di
sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta acara-acara resmi lainnya.
Teks proklamasi kemerdekaan adalah dokumen resmi pemerintah pertama yang
ditulis dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia
mencapai puncak penghargaannya ketika dijadikan sebagai bahasa negara yang
secara implisit tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 36. Setelah itu,
berkembanglah penjabaran Bahasa Indonesia dalam segala sektor kehidupan
nasional yang kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada Bab III dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tersebut secara tersurat disebutkan bahwa
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam (1) peraturan perundang-undangan; (2)
dokumen resmi negara; (3) pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat
negara lain yang disampaikan di dalam negeri atau di luar negeri; (4)
pendidikan nasional (sebagai bahasa pengantar); (5) pelayanan administrasi
publik di instansi pemerintahan; (6) nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia; (7) forum yang
bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia; (8)
komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta; (9) laporan setiap
lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan; (10) penulisan karya
ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia; (11) nama geografi di
Indonesia; (12) informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri
atau luar negeri yang beredar di Indonesia; (13) rambu umum, penunjuk jalan,
fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum;
serta (14) informasi melalui media massa. (Badan Bahasa, 2010:23-27)[1]
Dalam proses perkembangannya, bahasa Indonesia
berkembang menjadi tombak kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Sebuah
proses yang menakjubkan dan dikagumi oleh banyak ahli bahasa di seluruh dunia.
Bayangkan, rakyat suatu negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh-puluh suku
dengan bahasanya yang berbeda-beda berhasil digiring untuk menerima satu bahasa
di luar bahasa daerah mereka sebagai bahasa persatuan bangsa dan bahasa
nasional tanpa konflik dan perdebatan.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan bahasa persatuan Indonesia telah dilakukan. Mulai dari
perubahan ejaan, pengembangan peristilahan, penyusunan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hingga perumusan tata bahasa agar dicapai suatu bahasa yang standar
yang dapat menjadi patokan seluruh komponen masyarakat. Penelitian bahasa dan
seminar serta kampanye penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat
pers, media televisi, dan sekolah-sekolah terus dilakukan.
Semua pihak, setiap bidang, dan setiap profesi bahu-membahu
memelihara bahasa Indonesia. Simak saja lagu anak-anak ‘Naik Delman’ yang
diciptakan oleh Pak Kasur sebelum pembukaan Ganefo tahun 1962.
Pada hari Minggu
kuturut ayah ke kota.
Naik delman
istimewa kududuk di muka.
Duduk di samping
pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda
supaya baik jalannya.
Tuk tik tak tik
tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik
tuk tik tak … suara sepatu kuda.
Bagi generasi yang lahir pada tahun 1950-an hingga 1970-an,
lagu ciptaan Pak Kasur di atas adalah lagu yang sangat kental dengan masa kanak-kanak.
Hingga kini, di mana sebagian besar sudah memasuki masa pensiun, lagu tersebut tidak
pernah luntur dari ingatan. Perhatikanlah struktur dan tata bahasa serta kosa
kata yang digunakan dalam syair lagu tersebut. Tanpa disadari, sejak kecil
generasi ini sudah diajarkan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar lewat
lagu.
Dalam pidato Peringatan Kemerdekaan Republik
Indonesia di Istana Negara pada tahun 1972, Almarhum Presiden Soeharto bahkan
dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan bahasa Indonesia adalah tanggung
jawab nasional karena bahasa yang baik berkaitan erat dengan pembangunan
bangsa. Himbauan ini diulang setiap tahun dalam setiap pidato peringatan
kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara. Pemerintahan di era Soeharto
memang sangat gencar mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Media massa seperti televisi, radio, majalah, dan koran diwajibkan
menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Gedung-gedung dan perkantoran di
Jakarta yang masih memakai nama yang berbau asing akan mendapat surat edaran
keras dari Pemerintah DKI Jakarta agar segera membuang istilah yang “tidak
Indonesia” itu. Bahkah, dulu setiap seminggu sekali selalu ada acara Pembinaan
Bahasa Indonesia di televisi. (Soerjoatmodjo, 2011)[2]
Kini, keadaannya sudah berbeda. Jika mengitari pusat
perbelanjaan atau deretan pertokoan, kita bisa lupa bahwa kita ada di Indonesia
karena hampir tidak ada lagi gedung-gedung, toko-toko, atau restoran-restoran
yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama badan usahanya. Media cetak
maupun eletronik semakin banyak yang berusaha meng-Inggris-kan
rubrik-rubriknya.
Tak kalah saing, semakin banyak pula perusahaan yang
mulai beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak
tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat, atau barang
menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Era reformasi dan
demokrasi seperti membebaskan semuanya. Tidak ada lagi anjuran penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan terjadinya pergeseran
ranah penggunaan bahasa Indonesia oleh bahasa Inggris, bahasa informal pun
mulai mendominasi media cetak dan eletronik. Pengguna bahasa Indonesia yang
baik dan benar menjadi semakin langka.
Jadi, apakah yang sebenarnya terjadi dengan bahasa
nasional kita? Ke mana perginya bahasa Indonesia? Sudah begitu asingkah bahasa
Indonesia di negeri sendiri? Betulkah bahwa bahasa Indonesia itu miskin kosa
kata sehingga lebih mudah mengungkap sesuatu dalam bahasa Inggris dibandingkan
dengan bahasa Indonesia? Padahal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Revisi ke-4 yang
diluncurkan pada tahun 2008, bertepatan dengan Kongres Bahasa Indonesia ke-9
pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu memuat sekitar 100.000 lema (entry) atau bertambah 22.000 lema hasil
serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. (Pusat Bahasa, 2008)[3]
Belum ada yang melakukan penelitian mengenai berapa
persen rakyat Indonesia yang kini mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Namun, seorang sanak yang mengajar di Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang pernah menyatakan keprihatiannya ketika
dia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membetulkan bahasa tulisan
mahasiswa si pembuat skripsi daripada isi tulisan itu sendiri.
Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat,
dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Pentingnya
mempersatukan Nusantara membuat Gajah
Mada pernah bersumpah lewat Sumpah Palapa: “Jika telah mengalahkan Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru
akan) melepaskan puasa”. (Rahardjo, 2011)[4]
Sudah tidak ada lagikah kebanggaan kita pada bahasa
Indonesia yang telah menyatukan kita semua? Sadarkah kita bahwa bahasa
Indonesia juga merupakan jati diri bangsa? Sudah lupakah kita pada Sumpah
Palapa dan Sumpah Pemuda?
Kalau kita mau merenung sejenak, bahasa Indonesia
itu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu melampaui kekuatan militer. Dengan
bahasa Indonesia yang mahir, Bung Tomo mampu membakar semangat para pejuang
nasionalisme pada tanggal 10 November 1945. Bung Karno, yang menguasai
sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik, mampu menyuarakan seruan hatinya
dengan bahasa Indonesia lewat pidato-pidatonya yang lantang membahana dan
memukau. Amunisi kata-katanya begitu kaya dan dalam. Kemampuannya membangun
struktur kalimat dalam setiap pidatonya mampu membuat siapapun yang
mendengarnya akan merasakan tumbuhnya suatu tunas semangat baru dalam hidupnya.
Pada era pembangunan, kita semua pun telah menjadi
saksi bahwa bahasa mampu meredam gejolak ekonomi, mampu mengurangi sensitivitas
sosial dan politik, bahkan membalikkan sesuatu yang berkesan negatif menjadi
positif. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populer dapat kita hindari
dengan menghaluskan ungkapan. Tentu kita semua masih ingat istilah “kenaikan
harga” yang dihaluskan menjadi “penyesuaian harga” atau “gelandangan” yang memberi
konotasi merendahkan menjadi “tunawisma”. Padahal, kita semua tahu bahwa harga
barang tetap naik walaupun namanya diganti menjadi “penyesuaian harga” dan
seorang gelandangan tidak menjadi lebih kaya walaupun istilahnya diganti
menjadi “tunawisma”. Mengapa pemerintah kini malah mengeluarkan kebijakan dalam
bahasa Inggris seperti ‘sunset policy’?
Lihat saja Amerika Serikat! Dengan kemampuan
berbahasanya, Negara Adikuasa tersebut mampu mengarahkan kepentingan
politiknya. Suatu kejahatan perang disebut dengan “war crimes”. Namun, kata tersebut pantang diucapkan kalau Israel
yang melakukannya sehingga istilahnya diubah mejadi “violation of humanitarian law”. Pembunuhan warga sipil oleh
tentara Amerika Serikat disebut “collateral
damage”, bukan “civil casualties”,
meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Kesalahan tentara
Amerika Serikat yang menembak kawannya sendiri disebut “friendly fire”, walaupun yang sebenarnya terjadi adalah “negligent discharge”. (Budiardjo, 2006)[5]
Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang mampu
menjembatani jurang komunikasi antarsuku yang memiliki bahasa daerah yang
berbeda-beda, sarana utama yang mampu mewujudkan dan memelihara Bhinneka
Tunggal Ika. Pemerintah tidak perlu menerjemahkan setiap kebijakan menjadi
bahasa daerah yang berlainan. Para peneliti, wisatawan, politisi, pengusaha,
dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya tidak perlu mempelajari bahasa
daerah jika mereka mengunjungi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Goenawan Mohamad pernah menulis, “Jika kita
bepergian ke pelbagai pelosok Indonesia, satu hal menolong kita: bahasa
Indonesia. Ini saya alami baru-baru ini. Seandainya saya di India, saya harus
memakai sejumlah bahasa lokal. Seandainya saya di Amerika Serikat, saya harus
mengerti bahasa Spanyol selain bahasa Inggris.” (Danardana, 1997)[6]
Jika kita tidak ingin bahasa Indonesia menjadi
bahasa asing di negeri kita sendiri maka keberadaannya senantiasa harus kita
pelihara dan perkembangannya harus kita cermati. Pengubahsuaian (penyesuaian) kosa
kata dan struktur bahasa asing yang terserap ke dalam penggunaan sehari-hari
harus terus dilakukan. Namun, Pusat Bahasa, para ahli bahasa, dan para pencinta
bahasa tidak bisa bergerak sendiri dan tidak akan mampu berjuang sendiri.
Memelihara bahasa nasional memerlukan keterlibatan dan tanggung jawab
pemerintah dan para pemimpin daerah.
Bahasa Indonesia adalah anugerah Tuhan yang pantang
kita sia-siakan. Bahasa persatuan yang dirumuskan dengan teliti lewat
perjuangan darah, keringat, dan nyawa delapan puluh tujuh tahun yang lalu
adalah sebuah keajaiban yang mampu menyatukan bangsa tanpa kekuatan politik dan
militer yang tidak mampu dilakukan oleh negara manapun. Tengok saja negara
tetangga kita, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Melayu dan Tagalog tidak mampu
mencapai status sebagai bahasa nasional seperti bahasa Indonesia di Indonesia
karena kuatnya pengaruh bahasa Inggris. Bahkan dalam suatu sensus pada tahun
2001, Pemerintah India harus mencetak formulir ke dalam 17 bahasa lokal.
Layakkah jika sosok-sosok yang duduk di pemerintahan
tidak mampu berbahasa Indonesia? Relakah kita jika kedudukan bahasa Indonesia
tergeser oleh bahasa asing seperti yang terjadi di negara tetangga? Haruskah
kita menunggu sampai UNESCO
memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang terancam punah?
Pantaskah kita tersinggung, jika suatu hari negara tetangga kita mengakui
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mereka jika kita sendiri tidak
memeliharanya?
Mari kita kembalikan lagi semangat Sumpah Pemuda di
antara kita sebelum anak cucu kita berkata dengan lafal dan aksen asing hingga
terceletuk kalimat yang sangat mengenaskan, ”Maaf, saya agak sulit bicara
bahasa Indonesia.“
Jika memang sulit berbicara bahasa Indonesia, lantas
mengapa masih menjadi orang Indonesia?
[1]) Badan
Bahasa. 2010. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Badan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
[2]) Soerjoatmodjo, Gita Widya Laksmini. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia dan LSPP.
[3]) Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
[4]) Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno sampai
Majapahit Akhir. Depok: Komunitas Bambu.
[5]) Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik (cetakan keduapuluh sembilan). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
contoh essay bahasa indonesia
cara membuat essay