essay bahasa indonesia
Rakyat
Kecil Menangis , Jenderal Besar Meringis (?)
Femilia Meiriska Putri
Karena kami makan akar dan
terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel dan kamu
gemerlapan
Karena kami sumpek dan kamu
mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan dan
kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran dan
kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam dan
kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam dan kamu
memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK
kepadamu
Karena kami tidak boleh
memilih dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal dan
kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan dan
kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali dan
kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
(Sajak Orang Kepanasan, W.S. Rendra)
Bobrok! Itulah satu kata yang mewakili
pemerintahan di Indonesia pada abad ke-21 ini. Sejujurnya, rakyat pasti tidak menginginkan
pemerintahan yang seperti ini. Mereka mengharapkan pemerintahan yang berdaulat,
adil, dan makmur. Bobroknya pemerintahan Indonesia saat ini disebabkan oleh
banyak hal, di antaranya: ketidakpedulian, ketidakmampuan, kerakusan, praktik pembodohan,
dan gerakan penghancuran.
Petinggi publik dari sebuah negara merupakan
jantung bagi kehidupan rakyatnya. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
agama, dan ras tak ubahnya seperti analogi tikus yang ada di kandang macan.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan menuju Indonesia maju
malah menjadi camilan sehari-hari para pejabat. Pancasila yang merupakan
ideologi Indonesia terkhianati dan ternodai kesuciannya oleh
perlakuan-perlakuan mereka yang tidak bertanggung jawab.
Karena kami makan akar dan terigu menumpuk di gudangmu
Kami para rakyat yang tidak punya uang banyak,
mungkin hanya bisa makan sehari sekali sedangkan para petinggi dalam hal
makanan ataupun kebutuhan sehari-hari tidak pernah khawatir kekurangan, bahkan
sampai 7 turunan pun akan memenuhi kebutuhan sehari-hari para petinggi. Ironis
sekali dengan rakyat. Satu hari makan saja alhamdulillah,
apalagi untuk 7 turunan!
Indonesia (katanya) merupakan negara agraris, negara yang pangannya
bisa mencukupi seluruh lapisan rakyatnya. Katanya,”kail dan jala cukup menghidupimu”, akan tetapi para nelayan
sekarang merugi tangkapan karena banyak kapal-kapal besar yang mencuri
ikan-ikan Indonesia. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan pukat harimau hingga
ikan-ikan kecil pun ikut mati terperangkap. Lama kelamaan, ikan-ikan yang
dicari para nelayan lokal habis, mereka pun kehilangan sumber penghasilan. Petani-petani
kecil pun mulai tergusur lahannya karena pembangunan industri. Katanya, “di Indonesia tanah surga”. Surga mungkin
hanya untuk para jenderal-jenderal yang serakah dan menjadi neraka untuk
rakyat. Katanya, “di Indonesia tongkat
kayu dan batu jadi tanaman”. Nyatanya?
Kayu-kayu di Indonesia bukannya menjadi tanaman, melainkan pohon-pohon
di hutan dibakar habis-habisan untuk kepeluan industri yang menguntungkan pihak
petinggi. Indonesia juga telah dibodohi oleh bangsa asing. Sebagai contoh, PT Freeport.
Apabila Indonesia bisa mengolah minyak di daerah penambangan Freeport tanpa ada
bantuan dari luar maka negeri ini tentu akan memperoleh hasil yang tinggi. Hasil
kerja sama dengan pihak asing itu hanya membuat Indonesia mampu memperoleh 7%
keuntungan dari Freeport.
Uraian tersebut merupakan bentuk kerakusan dari
para petinggi. Mereka belajar tinggi-tinggi hanya untuk mencurangi rakyatnya.
Asal mereka senang apapun mereka lakukan. Uraian tersebut juga merupakan bentuk
dari ketidakmampuan penguasa untuk mengolah sumber daya alam. Walaupun masih
banyak SDM Indonesia yang kurang memenuhi syarat, pasti ada jalan keluar, semisal
mengadakan pelatihan-pelatihan dan beasiswa untuk rakyat-rakyat pintar yang
tidak mampu menyekolahkan anaknya. Generasi muda saat ini diharapkan untuk siap
menerima tongkat estafet kepemimpinan yang nantinya akan mengolah Indonesia
menjadi negara yang maju, bukan negara yang semakin bobrok.
Karena kami kebanjiran dan kamu berpesta di kapal pesiar maka kami
tidak menyukaimu
Banyak sekali rakyat yang hidupnya sengsara
menjadi semakin runyam. Akan tetapi, realitas mengatakan bahwa para pejabat
besar tetap saja menggembor-gemborkan sejahterakan rakyat. Seperti kutipan
puisi di atas, “kami” yang dimaksud tentunya
ditujukan kepada rakyat. Rakyat diibaratkan kebanjiran. Kebanjiran di sini
bukanlah kebanjiran dalam arti air yang meluap, tetapi konotasi dari air mata
rakyat yang menderita. Dan kata “kamu” ditujukan
untuk pemerintah yang mana malah bersenang-senang saat para rakyat diterka
masalah hebat. Rakyat menganggap pemerintah hanya berpangku tangan dan
bertopang dagu sehingga rakyat menjadi kesal akan semua ini. Mereka memilih
seorang pemimpin dengan harapan besar bahwa mereka bisa hidup sejahtera di
bawah kepemimpinannya. Tetapi lagi-lagi rakyat hanya mendapatkan harapan
kosong. Sebaris puisi di atas juga merupakan bentuk sindiran pemerintah karena
ketidakpeduliannya yang dengan jelas digambarkan bahwa pemerintah belum ada
rasa peka terhadap rakyat-rakyat kecil, padahal rakyat sangat membutuhkan
uluran tangan. Bukanlah belas kasih yang diinginkan rakyat, rakyat hanya ingin
program-program yang sudah dicanangkan agar bias dijalankan sebagaimana
mestinya. Kondisi geografis Indonesia juga disarankan bukan menjadi alasan kurang
perhatiannya pemerintah karena di zaman yang serba modern ini, pastinya
pemerintah lebih mudah untuk mengakses wilayah-wilayah yang terisolasi.
Karena kami dibungkam dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan maka kami bilang
: TIDAK kepadamu
Kami, rakyat Indonesia, yang notabene merupakan orang bodoh hanya
bisa menganggukkan kepala saja, omongan kami tidak ada artinya bagi kamu. Rakyat bicara 1 kata, petinggi
bisa menjawab dengan rangkaian khotbah omong kosong yang sebenarnya rakyat
sudah muak untuk mendengarnya. Apalah daya kami sebagai rakyat yang tidak mampu
berbuat apa-apa. Kami hanya punya dua tangan, sedangkan kamu bahkan punya tangan kanan yang siap melindungi kebusukan.
Rakyat semakin hari semakin tertekan. Mereka berpikir, asal mereka bisa hidup,
mereka tidak peduli dengan siapa pemimpin mereka. Mereka seakan merasa “inikah
Indonesiaku?” jika rakyat saja sudah tidak peduli lalu bagaimana nasib
Indonesia? Padahal syarat adanya suatu negara adalah mempunyai rakyat dan
pemerintah yang berdaulat.
Dalam masalah hukum, untuk hal yang sepele saja
rakyat bisa dipenjara, berbeda dengan petinggi yang melakukan korupsi besar hingga
bisa melenggang pergi ke luar negeri. Masalah bisa terselesaikan dengan
pundi-pundi rupiah. Ini merupakan praktik pembodohan yang dilakukan oleh petinggi.
Pembodohan yang menjerumuskan negara ke dalam lubang kemerosotan moral bangsa.
Di manakah letak kearifan bangsa Indonesia
sekarang? Otak sudah tidak di kepala lagi, sudah berpindah ke lutut!
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air akan
mengikis batu
Karena rakyat diibaratkan sebagai arus, yang
hanya mampu berjalan mengikuti apa yang diperintah oleh petinggi. Mereka tidak
bisa berbuat apa-apa demi masa depan negara karena memang tidak mempunyai
kekuasaan yang legal. Hati para petinggi diibaratkan sebuah batu, yang artinya
keras, hitam, dan penuh keburukan. Hanya air yang bisa memecahkan batu
tersebut. Namun, tidak sebentar waktu yang digunakan air untuk memecah batu
tersebut, hingga bisa dibilang susah sekali.
Bumi pertiwi membutuhkan sosok-sosok jenderal
yang berdaya pikir tajam dan kritis, bukan yang meringis melihat para rakyat
menangis. Memang, menyalahkan petinggi-petinggi tidak akan ada habisnya.
Sebagai generasi muda yang akan mengabdikan diri kepada pertiwi, sudah saatnya
untuk kita mengobarkan semangat demi perubahan ke arah yang lebih baik. Pemuda
yang mempunyai kepekaan tinggi adalah aset berharga yang dimiliki Indonesia.
Para petinggi pun seharusnya tidak hanya berdiam diri. Sudah banyak sajak
sindiran bahkan sampai sarkasme yang ditujukan padanya. Apa tidak malu? Tidak inginkah
berbenah diri? Berbenah diri bisa dilakukan dari hal kecil seperti mengubah moral
jelek secara perlahan menjadi moral baik. Seorang petinggi publik haruslah merupakan
orang yang betul-betul bisa dijadikan suri teladan untuk para rakyatnya.
Moralitas tersebut bisa diturunkan kepada perilaku yang etis, nasionalis, dan
bervisi pada rakyat. Memang, di tidak ada sosok yang sempurna karena
kesempurnaan hanya milik Tuhan. Akan tetapi, sekurang-kurangnya kita bisa
menjadi sosok yang mendekati dan memenuhi syarat tersebut. Tiada rotan, akar
pun jadi. Jika memang tak ada yang sempurna, carilah yang terbaik dari yang
baik, ataupun yang terbaik dari yang buruk.
Rakyat, khususnya saya, amat merindukan sosok
bersahaja yang bisa mengolah negeri ini. Kami berharap bias memiliki
pejabat-pejabat publik yang mempunyai kejujuran, orientasi masa depan, kompetensi,
dan kemampuan untuk membangkitkan semangat. Berdasarkan uraian di atas, memang
pejabat publik berada di sisi yang sulit. Akan tetapi, kita sebagai manusia
biasa juga harus berkaca pada diri sendiri, apakah kita sebagai generasi muda
penerus sudah mempunyai karakter yang dibutuhkan bangsa. Oleh karena itu,
dengan kesadaran yang nyata, kita sendiri akan membuat karakter-karakter hebat
dan bisa menjadi generasi penerus yang membanggakan.
Salam Indonesia Berkarakter!
biografi penulis
Femilia Meiriska Putri ,
lahir di Purworejo pada 28 Mei 1997.Alumnus dari TK Siwi Peni Mranti, SDN 2
Mranti , SMPN 2 Purworejo , dan sebentar lagi lulus dari SMAN 1 Purworejo. Bercita-cita
sebagai psikolog anak yang juga ingin membangun sebuah yayasan rumah singgah
untuk anak-anak yang kurang beruntung. Pribadi penulis yang ceria menyebabkan
menyukai berbaur dengan sosial terutama dengan perkembangan anak-anak. Penulis
juga suka bercanda dan perlu anda ketahui bahwa penulis tidak bisa marah.