(essay) Pemimpinku Salah (pen)Didikan ?

Pemimpinku  Salah (pen)Didikan ?

Pemimpin sangat lekat dengan makna terdepan, lekat pula dengan makna kepala, hal ihwal yang dijuluki sebagai penentu. Pemimpin, adalah sebuah kata agung yang memiliki hakikat menuju ke arah kebaikan dan (mungkin) perbaikan, karena pemimpin mengandung kata ‘mimpi’ yang bertujuan untuk merealisasikan mimpi itu sendiri. Mimpi-mimpi besar untuk sebuah eksistensi suatu hal.
Pemimpin memegang peran penting dalam lini kehidupan. Sebagai contoh bermain sepak bola, butuh pemimpin atau yang disebut kapten untuk membawa tim nya sukses dalam pertandingan. Tentunya yang terbaiklah yang menjadi pemimpin. Ini bukan tanpa alasan, mengingat tugas dan tanggungjawab yang dipikulnya, bertanggungjawab terhadap nasib kolektif. Sama halnya dengan sebuah bangsa, pastilah butuh pemimpin untuk membawa bangsanya maju dan berkembang menjadi bangsa yang beradab, menuju kehidupan yang lebih baik untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Kembali lagi, pemimpin hakikatnya adalah kebaikan dan perbaikan.
Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi. Sebuah bangsa dari Sabang hingga Merauke yang bersatu dibawah cengkraman garuda bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini telah melahirkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta pemimpin sejak dijajah hingga merdeka, dari yang terkenal hingga tak dikenal, yang berasal bangsawan hingga jelata, yang muda hingga ke tua. Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 hanyalah setitik air dari luasnya samudra jerih payah pemimpin kita yang bermandikan keringat sampai darah demi tegaknya NKRI. Mengagumkan bukan? Tak hanya harta benda, bahkan nyawa mereka berikan untuk pertiwi. Begitu mulia para pemimpin kita, menyerahkan segalanya tanpa melirik secuil imbalan. Ironis dengan realisasi sekarang, apalagi pasca reformasi yang digadang-gadang akan membuat perubahan besar, semakin kesini malah melahirkan pemimpin dengan ‘nyawa pemimpin’ yang jungkir balik tak karuan.
“Mungkin pemimpinku salah pendidikan”, adalah sebuah cuplikan dari sederet pernyataan dari orang-orang yang prihatin terhadap eksistensi pemimpin sekarang. Seperti yang dikatakan oleh Mantan Wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009 dan 2009-2014, Dr. H. Laode Ida (2012) bahwa “Pada dasarnya pendidikan tidak bermaksud untuk merusak moralitas bangsa, melainkan berupaya mewariskan nilai-nilai yang dianggap baik oleh para pendahulu kepada generasi baru. Pendidikan berusaha melanggengkan nilai-nilai luhur yang baik itu dengan cara mewariskan aset bangsa tersebut dari generasi ke generasi. Selain itu, lembaga pendidikan juga berupaya mengarahkan peserta didik atau seluruh warga negara agar tak tersesat di ‘jalan yang bengkok’. Atau, kalaupun ada (sejumlah) anak didik atau warga yang telah berada di lorong ke gelapan, maka lembaga dan nilai-nilai pendidikan dengan orang-orang bijak di dalamnya yang berkewajiban menyalakan lilin seraya membimbing mereka bisa kembali masuk pada koridor jalan yang lurus dan terang”.
Para guru, mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas, dan dilanjutkan para dosen, memperoleh amanah untuk menjalankan peran dan tanggungjawab mulia itu. Para orang tua memberikan fondasi awal kepada generasi mulai dari dalam lingkungan rumah tangga. Sementara para alim ulama, para tokoh agama, memainkan peranan di wilayah yang lebih luas, yakni di masyarakat. Ketiganya itu merupakan pilar-pilar utama penyangga agar moralitas luhur dari sebuah bangsa terus bertahan. Atau, ketiganya juga menjadi lembaga-lembaga dengan aktor-aktornya yang kreatif untuk melahirkan sistem nilai yang bisa dijadikan acuan kolektif bagi masyarakat.
Tetapi, benarkah ketiga lembaga itu masih berada pada tataran tipe ideal? Kalau mau jujur diakui, ketiga lembaga itu hari-hari ini hanya menjadi simbol yang enak didengar sebagai cerita dongeng pengantar tidur bagi anak-anak, tidak lagi berpengaruh sebagai acuan kolektif bagi setiap warga. Dan, pada tingkat tertentu, boleh dikatakan bahwa khususnya lembaga pendidikan dan (para tokoh) agama dijadikan sebagai instrumen legitimasi dari kekuatan dominan dan kekuasaan yang merusak tatanan sosial dan moralitas bangsa ini. Sementara lembaga keluarga larut di dalamnya, tak bisa berdaya menghadapi jaringan perusak nilai-nilai pendidikan yang berkembang sangat cepat dan kian canggih. Bahkan, pengaruh luar itulah yang kemudian menjadi acuan untuk semua, tak ada lagi warisan budaya yang dianggap layak dipertahankan.
Pendidikan kini tidak lagi memegang kendali terhadap  arah dan moralitas bangsa, sekali lagi, bukan pendidikan. Ada dua hal yang menjadi kendali utama. Pertama, kekuatan materi. Semua orang pada akhirnya mengejar perolehan materi, tanpa peduli apakah diperoleh melalui jalan yang benar atau salah, halal atau haram. Mereka yang lemah secara materi, pasti akan tergilas, tak kuat menghadapi kehidupan. Kedua, kekuasaan. Para penguasa di negeri ini di semua lini, mengarahkan masyarakat untuk tunduk kepada apa yang menjadi agenda mereka. Walaupun konsep demokrasi sudah terpampang dan diajarkan, realitasnya ketika suara rakyat dilimpahkan kepada para penguasa, maka hilanglah sudah hak rakyat untuk mengendalikan kekuasaan secara langsung. Bagaikan tradisi upeti dari raja-raja di masa lalu, ketika rakyat memberikan hadiah kepada pemimpnnya, maka hilanglah sudah hak rakyat untuk mengontrol penggunaan upeti itu oleh raja. Ini tentu bukan salah demokrasi, melainkan arogansi penguasa yang akhirnya berdampak pada hakikat demokrasi itu sendiri.
“Mungkin pemimpinku salah didikan”, adalah alternatif jawaban dari kondisi negara ini yang mengalami kemerosotan kualitas pada pemimpinnya, lebih-lebih pasca reformasi hingga sekarang, dimana tersandung kasus korupsi sudah dianggap sebagai hal wajar untuk disandang para pemimpin kita yang duduk di singgasana. Didikan tentu berbeda dengan pendidikan, didikan adalah hasil dari pendidikan yang diaplikasikan. Didikan identik dengan penerapan, didikan berbentuk sistem, budaya, kebiasaan dan sejenisnya yang dilakukan oleh orang-orang yang berpengalaman, orang-orang yang sudah tahu medan.
Nampaknya bangsa ini sudah benar mengambil tindakan, orang-orang yang ditempatkan di tampuk kepemimpinan adalah mereka yang bergelar, dari lulusan dalam negeri bahkan hingga luar negeri dengan latar belakang pendidikan yang notabene sangat memadai dengan ekspetasi akan mensejahterajakan rakyat. Realitasnya yang kaya memang semakin sejahtera, tapi yang miskin semakin merana.
…………
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yana diajarkan disini
Akan menjadi alat pembebasan,
Ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
…………
Sajak Pertemuan Mahasiswa : W. S. Rendra

Dalam sajak tersebut, pemimpin kita digambarkan dengan mahasiswa, tersirat kenyataan bahwa ada kebingungan pada pemimpin dan calon pemimpin kita. Pendidikan yang diperoleh banyak tidak (bisa) disinkronkan dengan didikan-didikan yang diperoleh ketika mereka terjun dalam dunia kerja. Didikan-didikan banyak yang salah, menyimpang dari lintasannya. Sebagai contoh kasus Ade Daud Nasution, mantan anggota DPR RI, di awal masa jabatannya, Ia pernah dipukul oleh tiga orang laki-laki usai melakukan fit and proper test terhadap Marsekal Joko Suyanto sebagai calon Panglima TNI. Para security yang bertugas di ruang sidang seolah-olah tak berarti apa-apa ketika para preman itu  beraksi mencederai sang wakil rakyat, padahal Nasution menjalankan tugas yang sangat penting, yakni bersidang untuk proses penentuan pimpinan TNI. Berdasarkan peristiwa tersebut jelaslah bahwa betapa rawan posisi pemimpin kita yang duduk dalam anggota parlemen, khususnya anggota-anggota baru ketika berbicara secara kritis untuk menciptakan perbaikan terhadap kondisi yang sudah rusak. Selidik punya selidik, itu adalah ulah kelompok yang mapan dan menikmati keuntungan dalam praktik penyelenggaraan negara, mereka merasa khawatir, untuk itu kalangan pro-kemapanan merasa perlu melakukan serangan dari berbagai arah pada para kritikus. Jika begitu, aktor-aktor perubahan pastilah akan tidak nyaman, karena terancam intimidasi psikologis bahkan kekerasan fisik seperti yang dialami Nasution. Akhir cerita, cita-cita untuk untuk mengadakan perubahan bagi kemajuan bangsa ini hanya terkubur di palung benak paling dalam.
Fakta lain, birokrasi pemerintahan sebagian (besar) aparatnya masih kader masa lalu. Keberadaan mereka itulah yang menjadi pelindung berbagai konspirasi diantara para pejabat di level atas, apalagi mereka merasa takut untuk membongkar rahasia atasannya, meskipun diketahui bahwa perbuatan bos itu merupakan bagian dari penyalahgunaan kekuasaan. Barangkali para pemimpin kita yang duduk di singgasana itu terdiri dari orang-orang yang salah posisi. Bukan karena tidak pintar, tapi karena motif mereka untuk kaya dengan memanfaatkan jabatan, kedudukan atau kekuasaan. Pemimpin kini sudah menjadi pejabat, pejabat menjadi penjahat, dan penjahat masuk menjadi pejabat. Atau mungkin para pemimpin kita terlalu bijaksana, permisif, dan sekaligus peragu dalam mengambil sikap tegas untuk menindak siapapun yang terindikasi melakukan penyalahgunaan jabatan. Didikan-didikan seperti inilah yang melahirkan pemimpin-pemimpin bobrok. Padahal kepada siapa lagi rakyat berharap? Pemimpin adalah kepala ular, rakyat adalah ekornya. Walau bagaimanapun ekor tidak akan bisa menjadi kepala ular, begitupun sebaliknya.







 biografi pembuat essay


Desi Wulansari, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara kelahiran Purworejo, . Ia memulai pendidikan di TK Siwi Peni Mranti, SD Negeri Tirodranan, SMP Negeri 2 Purworejo dan sekarang sedang berjuang di bangku kelas XII SMA Negeri 1 Purworejo. Gadis yang ramah, humble dan senang berorganisasi ini ingin menempuh studi S-1 di Universitas Diponegoro, Semarang. Selain ingin memberangkatkan kedua orangtua nya ke tanah suci, impian terbesarnya adalah melanjutkan S-2 nya di Universitas Al-Azhar, Kairo.


kata kunci: essay bahasa indonesia

Artikel Terkait