(ESSAY) Fiksi Berisi, atau Fakta Asal Kena (?)

membuat Esai bahasa indonesia
Fiksi Berisi, atau Fakta Asal Kena (?)
Azzidni Sabrina Pangesti

Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, dibalai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya, di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika berjalan sepanjang rak-rak panjang, di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya
di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keingin-tahuan puterinya, kemudian katanya,
“tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu”,
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.
(Kupu-Kupu di dalam Buku, Taufik Isamail, 1996)

Membaca. Tentunya kita tak asing lagi dengan ungkapan ini. Aktivitas mengeja deretan abjad. Di negara kita, membaca dianggap sebagai suatu pekerjaan dan keahlian yang penting, karenanya belajar membaca telah diajarkan pada anak-anak di usia yang cukup dini. Sayang, untuk lebih lanjutnya, kebiasaan dan kesadaran baca di masyarakat umum masih cukup minim jika dibandingkan dengan negara lain. Sehingga, Indonesia sendiri bisa dikatakan negara ‘remaja’ yang masih harus berkembang dalam hal pendidikan khususnya di bidang baca tulis.
Istilah ini tentunya juga tidak terlepas dari benda bernama buku. Ya, kumpulan lembaran kertas ini memang menjadi media paling umum untuk mempublikasikan suatu karya sastra, sekaligus sebagai media menuntaskan hobi bagi para pecinta baca. Tapi, sebenarnya seperti apa sih, yang dapat disebut buku atau bacaan yang berkualitas? Buku yang seperti apa sih yang sesuai dengan dengan mental bangsa kita yang masih harus banyak belajar tentang sastra? Buku semacam apa yang sesuai dengan cara berpikir bangsa yang masih ‘remaja’ ini? Hingga saat ini, banyak konsumen buku dan pembaca yang masih belum dapat membedakan antara bacaan yang benar bermutu atau yang sekedar rentetan huruf yang disusun panjang-lebar. Padahal penting untuk diketahui khususnya bagi para pembaca di Indonesia tentang cara menilai kualitas isi buku bacaan sehingga pembaca dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari aktivitas membacanya.
“Don’t judge a book from its cover.” Jangan menilai buku dari sampulnya. Peribahasa ini memanglah menjadi ungkapan paling tepat untuk mendasari bahasan saya tentang kualitas sebuah buku. Menilai kualitas buku tentunya bukan ditentukan oleh sampulnya, benar?
            Dewasa ini, banyak sekali ragam bacaan yang dapat kita pilih. Mulai dari fiksi atau non-fiksi, karya sastra dalam negeri atau karya sastra global, hingga berita asli dan berita ‘kosongan’. Hal ini disebabkan karena begitu mudahnya bagi penulis untuk mempublikasikan karyanya. Dimulai dari menulis di blog milik pribadi, hingga mencetak buku pun kini bagai tanpa seleksi atau proses editing yang mantap. Kebebasan berpendapat tentu menjadi tersangkanya. Mengapa?
            Dari kacamata saya, kebebasan publik dalam berpendapat terkadang menjadikan penulis lupa batas. Bahkan, di golongan pers pun, terkadang etika penulisan dengan mudah diabaikan. Sebagai contoh adalah suatu berita atau tulisan yang menampilkan profil seorang tokoh. Terkadang dalam penulisannya penulis akan menyisipkan sedikit tanggapan terhadap profil tokoh tersebut. Namun, hal yang perlu kita prihatinkan kini adalah ada dan banyaknya pencampuradukan fakta dan opini dengan takaran yang tidak seharusnya di dalam buku-buku berlabel profil atau biografi.
Michael Jackson nampak begitu terobsesi dengan Elvis Presley. Dia membeli sebagian hak cipta lagu-lagu Elvis, dan kemudian menikahi putrinya, Lisa Marie Presley. (The ‘King of Pop’ Michael Jackson, Gozzie Pranaja, 2009)
Inilah yang akhirnya menjadikan tulisan itu berubah haluan. Dari konsep memuat fakta, hasil akhirnya malah berupa opini penulis yang kerap kali merugikan pihak lain. Memang tidak salah bagi penulis untuk mengungkapkan opininya melalui tulisan, namun yang perlu dicermati adalah media yang digunakan, cara yang ditempuh, serta manfaat yang nantinya dapat dipetik pembaca dari tulisan tersebut. Salah sasaran, justru tulisan semacam itu memicu perubahan mindset pembaca ke arah yang negatif.
Perlu diingat, masyarakat kita di Indonesia, tidak semua mempunyai jalan pikiran yang sama. Sebagian mungkin dapat melogika atau mencari info yang lebih terpercaya lagi. Namun sebagian, bukan tidak mungkin dengan mudah percaya, dan menerima mentah-mentah tanpa diolah kembali. Layaknya seorang remaja, bangsa kita masih mencari jati diri, sehingga masyarakat pembacanya pun masih mudah diombang-ambingkan isu.
Kini, pada ruang lingkup yang sama, banyak sekali dan sangat mudah ditemui buku-buku yang berjudulkan nama seorang tokoh, namun bukan berisi biografi tokoh dalam judul, melainkan gunjingan terhadap aksi atau pribadi tokoh tersebut. Tidak sedikit, penulis yang melebih-lebihkan opininya untuk maksud-maksud tertentu seperti kepentingan politik atau kepentingan pribadi di teras peradilan. Bahkan sering juga ditemukan ‘fakta-fakta baru hasil karangan’ si penulis sendiri. Kebanyakan dari buku semacam ini hanya mengungkapkan satu sisi dari seorang tokoh yang berupa sisi positif atau sisi negatif dengan maksud menyudutkan pihak-pihak tertentu. Hal yang demikian inilah, yang pada akhirnya menjadikan konflik dalam masyarakat sekaligus meramaikan pengadilan, karena banyaknya tuntutan dengan tuduhan ‘pencemaran nama baik’.
            Menurut saya selanjutnya, sekarang ini banyak sekali tulisan yang masuk ke ranah percetakan tanpa filter yang benar. Terbukti dengan banyaknya buku yang berisikan hal-hal negatif atau yang dapat merugikan pihak lain, yang beredar di masyarakat. Sebagai contoh, secara lebih spesifik adalah buku-buku yang mengajarkan cara instan menghipnotis orang lain. Mungkin, buku semacam ini berguna bagi tenaga medis, militer, atau aparat dan penegak hukum untuk mempermudah pekerjaan. Namun apabila buku semacam itu diproduksi secara masal dan dipublikasikan ke masyarakat luas, alih-alih memberi manfaat yang besar, yang ada justru meningkatkan kriminalitas karena adanya pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Belum lagi, apabila ternyata isi buku tersebut hanyalah ungkapan berlabel fakta berdasar konon katanya. Dengan kata lain, Anda hanya membuang uang untuk buku yang tidak jelas gunanya bagi Anda apabila membelinya.
            Ya, sebenarnya tidak semua buku berlabel fakta atau non-fiksi mengandung unsur semacam itu. Masih banyak buku fakta atau non-fiksi lainnya yang menganut sistem dan manfaat yang seharusnya. Namun, sudah seharusnya bagi kita, para konsumen dan pembaca untuk bersikap jeli dalam memilih bacaan. Utamanya bacaan berupa ungkapan fakta atau berita.
            Di sisi lain, masih terdapat buku fiksi yang berisi karangan atau cerita khayalan dari penulis. Banyak orang yang berkata kalau buku fiksi itu tidaklah logis, atau buku fiksi itu hanya untuk anak-anak. Benarkah demikian?
            Tak selamanya buku fiksi atau cerita khayal diperutukkan bagi anak-anak saja. Justru sebenarnya, buku yang demikian ini lebih diperuntukkan bagi pembaca yang sudah bernalar sempurna, sehingga dapat mengambil hikmah dan manfaat dari cerita yang dibaca. Jangan salah, tidak sedikit karya fiksi yang mengandung gizi moral lebih bermanfaat bagi perkembangan karakter yang berbudi pekerti luhur. Buktinya, banyak karya-karya fiksi yang lebih mendunia dibanding karya sastra non-fiksi.
            Benar adanya bila hikmah sesungguhnya dari karya fiksi penjabarannya tidak semudah karya sastra lain. Perlu kejelian lebih serta pengahayatan dalam membaca karena begitu luasnya bahasan yang dapat diungkapkan. Selain itu, cerita fiksi juga tidak mempunyai batasan tertentu dalam penulisannya karena semua berasal dari satu sumber, inspirasi penulis. Dari inspirasi, saya menyimpulkan bahwa fiksi mengajak Anda, para pembaca untuk belajar dan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari sebuah karya, tanpa memandang batas tertentu, karena ilmu pun tak terbatas adanya.
            Dari sisi pembaca, saya menilai, bahwa sebagian besar dari kita sering kali mengabaikan hal-hal kecil dalam sebuah karya fiksi karena keberadaannya dinilai hanya sebagai penghibur. Padahal, dalam hal kecil itulah terkadang makna besar yang kita cari bersembunyi.
            Si pengacara memasukkan dokumen tersebut ke saku. “Saya tidak akan mengatakan apa pun soal surat yang ini. Apabila majikanmu telah melarikan diri atau sudah meninggal, kita mungkin masih bsa menyelamatkan nama baiknya. Sekarang pukul sepuluh. Saya harus pulang dan membaca dokumen-dokumen ini dengn tenang. Tapi saya akan embali sebelum tengah malam, dan setelah itu baru kita memanggil polisi.” (The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde, Robert Louis Stevenson, 1908)
            Dari cuplikan novel fenomenal tersebut, kita mungkin akan mengabaikan paragraf tersebut apabila membacanya. Namun sebenarnya, besar makna yang terkandung di dalamnya seperti berpikir sebelum bertindak, bijak dalam menghadapi masalah, profesionalitas sebagi pengacara, hingga kesetiakawanan. Inilah keuntungan dan manfaat dari fiksi, karena semakin terhanyut pembaca dalam mengikuti alur cerita, maka semakin banyak manfaat yang dapat dipanen.
            Menurut saya, memilih fiksi sebagai bacaan tentunya lebih menguntungkan. Utamanya bagi pembaca yang belum lama belajar menyukai buku dan karya sastra. Selain pembaca tak perlu repot mengidentifikasi kebenaran isi, kita tak perlu berpikir terlalu jeli untuk memutuskan membacanya atau tidak. Namun walau begitu, fakta pun perlu kita baca sesekali untuk penyeimbang ilmu dan pola pikir. Tetap waspada, jangan sampai Anda, pembaca budiman, ikut terbawa suasana dari alur berita yang (katanya) berisi fakta, faktual, namun sumbernya entah (karangan) dari mana.
            Jadi, untuk Indonesia menuju dewasa, buku mana yang Anda pilih? Fiksi, asalnya dari imajinasi, nilai dan manfaat tersebar dalam isi, atau berita dan fakta, dasarnya benar hal yang nyata, asal Anda mau memilah, agar tak terjebak yang asal kena. Untuk Indonesia cinta membaca.





 biografi pembuat essay

Azzidni Sabrina Pangesti. Gadis yang merupakan putri tunggal ini lahir di Kulon Progo pada tanggal 04 April 1998. Mempunyai pengalaman nomaden hingga kini berakhir di Desa Pringgowijayan, Kutoarjo. Bertekad kuat belajar manajemen setelah lulus SMA nanti dan bercita-cita mulia untuk tidak bekerja kantoran, melainkan menciptakan lapangan kerja multi bidang. Seorang penggila dan pemburu buku fiksi sekaligus pecinta masak dan kuliner. Sederhana, banyak bicara, dan menyimpan segudang rencana yang kadang tak terduga. Baginya, belajar itu tak hanya dari lembaran kertas, karena ilmu tak terbatas. Uang itu hanya penentu model usaha, dan keterampilan modal utama.

Artikel Terkait