PERKEMBANGAN ISLAM DI negara negara EROPA



SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI RUSIA
Oleh Arisatul Azizah
Di Rusia dan di tanah Siberia, sebuah wilayah yang mempertemukan dua senja, tidak mengenal siang juga tidak dilewati malam, Allah mengetuk hati-hati penduduknya untuk menerima risalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Daratan Siberia Rusia ini, adalah sebuah daratan dingin yang suhu tertingginya di musim panas saja hanya minus 50C.
Walaupun cahaya matahari tidak menembus wilayah ini, namun cahaya Islam mampu menembus negeri beruang merah tersebut. Risalah ini melewati stepa, hutan, dan pegunungan Rusia sejak 1400 tahun yang lalu. Abdul Karim as-Samak menceritakan, pada tahun 2010 kunjungannya ke Moscow, ia melihat Masjid Besar Moscow penuh sesak dengan jamaah yang shalat Jumat di sana. Masjid yang memiliki enam lantai  tersebut tidak mampu menampung jamaah yang shalat, akhirnya banyak sekali jamaah yang harus shalat di luar masjid berhadapan dengan tamparan cuaca dingin.
Kabar ini jarang sekali kita dengar, kita lebih tahu Rusia adalah bekas negara Uni Soviet yang mayoritas masyarakatnya menganut paham komunis. Banyaknya jumlah masyarakat Islam di Rusia tentu saja menggembirakan kita, terlebih dengan terbangunnya hubungan diplomatik Rusia dan Kerajaan Arab Saudi tentu saja berdampak positif terhadap umat Islam di sana.
Dalam keadaan yang masih minoritas umat Islam tetap berani menunjukkan eksistensi mereka di Rusia, pada tahun 1996, Mufti Rusia, Syaikh Rawi Ainuddin, meminta kepada Presiden Boris Yeltsin agar mengizinkan umat Islam mengadakan perayaan peringatan lebih dari 1000 tahun masuknya agama tauhid ini ke negeri tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Yeltsin, barulah pada masa Vladimir Puthin umat Islam diizinkan mengadakan perayaan tersebut dan eksistensi Islam pun kian kentara.
Sejarah Masuknya Islam ke Rusia
1.      Masa Umar bin Khattab
Masuknya cahaya Islam di Rusia dimulai pada masa Umar bin Khattab dengan perantara sahabat yang mulia Hudzaifah bin al-Yaman. Hudzaifah yang ditugaskan berdakwah di Azerbaijan dan Armenia, terus berjuang menyebarkan Islam hingga mencapai wilayah Dailam, Tibristan, dan Afganistan.
Penyebaran ini terus melebar hingga terjadi kontak dengan orang-orang Kaspia. Pada tahun 115 H, salah seorang dai di wilayah tersebut yang bernama Rabi’ bin Maslamah radhiallahu ‘anhu berhasil membangun masjid di daerah tersebut. Tentu saja pembangunan masjid adalah strategi yang jitu untuk mempertahankan Islam di wilayah baru ini.
2.      Masa Daulah Umayyah
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, sahabat al-Hakam bin Amr al-Ghifari radhiallahu ‘anhu melintasi Sungai Jaihun dan masuk menguasai Uzbekistan pada tahun 50 H/67 M. Kemudian di masa berikutnya ada Said bin Utsman yang menginjakkan kakinya di Samarkan, lalu Musa bin Abdullah bin Khozim menaklukkan negeri Imam Tirmidzi, negeri Tirmidz pada tahun 70 H/689 M, kemudian Qutaibah bin Muslim menembus negeri-negeri Timur hingga sampai di Cina, Turkistan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Kyrgistan. Dengan kedatangan umat Islam ini, orang-orang pun berbondong-bondong memeluk Islam tanpa paksaan dan tekanan sedikit pun.
Dari tanah Arab, Islam pun diterima oleh semua pihak, diterima semua suku dan entik, dan diterima oleh mereka yang miskin maupun kaya.
3.      Masa Daulah Abasiyah
Era baru masuknya Islam di Rusia dipelopori oleh seseorang yang bernama Ahmad bin Fadhlan, salah seorang utusan Daulah Abasiyah. Faktor terbesar yang membuat Islam rata menyebar dari wilayah Cina hingga Laut Kaspia di masa ini adalah faktor penduduk lokal yang telah memeluk Islam. Anak-anak pribumi (wilayah Asia Teengah) mendakwahi saudara-saudara mereka yang masih menyembah patung dengan perantara perdagangan. Dari sinilah muncul kisah tentang Ahmad bin Fadhlan.
4.      Negara-negara di sekitar Laut Kaspia
Saat Islam mulai tersebar di kalangan penduduk Asia Timur dan wilayah Balkan, orang-orang Balkan pun mengirim utusan kepada Khalifah Abasiyah, Muqtadir Billah. Mereka mengajukan permintaan pengiriman seorang dai karena keterbatasan sumber daya penduduk lokal yang mengetahui tentang syariat Islam. Abasiyah pun mengirim Ahmad bin Fadhlan.
Ahmad bin Fadhlan terus giat mendakwahkan dan mengajarkan Islam di wilayah tersebut. Ia mendatangi para penguasa Balkan, dan mengenalkan Islam kepada mereka. Di antara buah dakwahnya yang paling signifikan adalah masuknya Islam ke wilayah Kazan. Ahmad bin Fadhlan juga tidak lupa mencatat perjalan dakwahnya ke negeri-negeri Rusia ini, dan tulisannya dijadikan rujukan utama para sejarawan untuk mempelajari masa-masa tersebut.
Penduduk Rusia Beralih Memilih Nasrani
Farid Syah Asadullah mengisahkan sebuah kontroversi yang cukup unik mengapa sebagian masyarakat Rusia yang telah menerima Islam beralih memilih Nasrani. Tersebutlah nama pemimpin Rusia kala itu, Vladimir, ia menolak Islam lantaran Islam mengharamkan khamr, padahal khamr merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Rusia. Kata mereka, Rusia sudah terbiasa dengan khamr, tidak ada kehidupan tanpa khamr. Agama Kristen atau Nasrani yang membolehkan khamr dipandang lebih realistis oleh Vladimir dan diikuti oleh rakyatnya.
Kejadian serupa juga pernah dialami oleh orang-orang Arab yang sangat mencintai khamr. Kalau manusia biasa hidup dengan meminum air putih (air mineral), maka di Arab ada ungkapan “Kami tumbuh besar karena khamr (bukan air mineral pen.)” Adagium ini menunjukkan betapa tidak bisa dipisahkannya masyarakat Arab kala itu dengan khamr dan pada akhirnya mereka menerima bahwa khamr adalah sesuatu yang banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.
Rusia di Bawah Kekuasaan Tatar Mongol
Mongol adalah salah satu bangsa yang memiliki rekam jejak yang kelam dalam sejarah Islam. Namun pada fase pasca Jenghis Khan, keadaan tersebut berubah terutama pada era Barkah bin Jochi bin Jenghis Khan. Ia adalah salah seorang Khan penguasa Mongol. Berbeda dengan leluhurnya Jenghis Khan yang sangat keras permusuhannya terhadap Islam, Barkah malah memeluk dan mendakwahkan Islam yang dimusuhi oleh sang kakek.
Di antara jasa besar Barkah Khan adalah mengalahkan sepupunya, Hulagu Khan, yang telah menghancurkan Daulah Abasiyah dan membunuh khalifah terakhirnya. Termasuk jasanya juga adalah mengembalikan cahaya Islam di negeri Rusia. Kekuasaan Mongol yang begitu luas –sampai ada yang menyatakan menyentuh wilayah Jerman-, yang mencakup wilayah Rusia menjadi angin segar dalam perkembangan penyebaran agama Islam. Kewibawaan Islam kembali muncul, sampai-sampai wilayah Moskow dan Kiev yang Kristen tunduk dan membayar pajak kepada umat Islam.
Namun pada tahun 885 H/1480 M, Moscow di bawah kekuasaan Ivan III melepaskan diri dari kekuasaan umat Islam bahkan membantai umat Islam. Moscow bergabung dengan Pasukan Salib untuk memerangi umat Islam.
Komunis Membantai Umat Islam 
Umat Islam menghadapi permasalah serius tatkala Tsar Romanov berkuasa. Sebagian dari mereka terusir dan yang lainnya tewas di tangan kebengisan anak buah Tsar Romanov. Keadaan demikian terus berlanjut di masa Vladimir Lenin. Pada tahun 1917, pemimpin revolusi komunis, Vladimir Lenin, menghianati umat Islam. Lenin yang semula menjanjikan perubahan apabila ia berkuasa, menjadikan perubahan tersebut fatamorgana bagi muslim Rusia. Penyiksaan, penindasan, dan kezaliman terus dirasakan umat Islam di masa-masa pemerintahan komunis ini.
Setidaknya ada empat periodesasi Islam di Rusia:
  1. Usaha umat Islam untuk merevolusi pemerintah mereka.
  2. Masa-masa represi dan pembantaian umat Islam antara tahun 1925 – 1945.
  3. Pernga Duni II membawa era baru bagi umat Islam Rusia, Stalin mengirimkan 17 orang muslim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.
  4. Penyiksaan terhadap umat Islam terjadi lagi pada tahun 1950 sampai pemerintahan Gorbacev berakhir dan hancurnya Uni Soviet. Pada saat negara ini berganti nama menjadi Rusia barulah umat Islam mendapatkan hak keagamaan dan kewarganeraan.
Umat Islam di Rusia Hari Ini
Komunitas umat Islam di Rusia, cukup besar. Jumlah mereka tidak kurang dari 20 juta jiwa. Umat Islam juga memiliki 7 buah masjid di Moscow, hal ini jauh lebih baik dibanding di Teheran, Iran, umat Islam tidak memiliki satu pun masjid di sana. Masjid terbesar di Moscow adalah masjidnya komunitas suku Tatar yang dibandung pada tahun 1801. Awalnya daya tamping masjid hanya sekitara 250 orang, lalu pada tahun 1904 seorang Tsar Tatar yaitu Tsar Shadiq Yazrin, memperbaiki masjid tersebut.
Setelah Rusia menjalin hubungan diplomatik dengaan Arab Saudi, pembangunan masjid ini terus dikembangkan. Saat ini masjid tersebut sudah mampu menampung kurang lebih 20.000 jamaah dan memiliki 6 lantai.

Masjid Jami’ Moscow
Saat ini, agama Islam merupakan agama terbesar di Rusia setelah agama Kristen. Keadaan umat Islam kian membaik di masa Presiden Vladimir Putin. Hal itu dikarenakan umat Islam memiliki peranan penting dalam membawa perbaikan masyarakat di Rusia. Umat Islam diperbolehkan membangun sekolah-sekolah yang berbasis agama bahkan membangun sebuah universitas Islam yang semuanya menggunakan bahasa Arab.
Demikianlah sekilah sejarah Islam di Rusia. Islam memiliki sejarah yang panjang di Rusia, mengalami pasang surut keadaan, mulai dari memegang kekuasaan hingga menjadi orang-orang marjinal yang terpinggirkan. Saat ini, kebangkitan Islam mulai tampak lagi di negeri beruang merah, sekolah-sekolah, masjid, dan Islamic center dibangun di beberapa tempat di negeri tersebut. Semoga Allah menjaga Islam dan kaum muslimin di negeri ini, amin..
Disarikan dari tulisan Abdul Kari as-Samak










SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI SWISS
Oleh Arisatul Azizah
          Swiss atau Switzerland adalah negara Republik Federasi yang berada di Eropa Tengah. Luasnya relatif kecil hanya 421.285 kilometer persegi dan berpenduduk 7,5 juta jiwa. Negara beribukota Bern itu terdiri dari 26 negara bagian yang disebut “Canton”. Secara geografis Swiss dibatasi oleh Jerman, Perancis, Austria dan Lienchtenstein.
            Tak heran jika negara itu memiliki empat bahasa resmi, yakni Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh. Sebanyak 75% penduduk Swiss berbahasa Jerman, 20% berbicara bahasa Perancis, 4% berbahasa Italia, dan sisanya berbicara dalam berbagai bahasa.
            Swiss dikenal sebagai negara yang netral, karena tidak pernah terlibat perang dengan pemerintah sejak tahun 1815. Maka tak heran Swiss menjadi basis atau tuan rumah berbagai organisasi besar di dunia. Seperti Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), serta kantor-kantor organisasi sayap Perserikatan Bangsa-Bangsa, meski markas besarnya berada di Newyork, Amerika Serikat.
            Swiss adalah negeri yang sangat cantik. Bahkan Ramadhan KH, pujangga besar itu pernah menulis, “Tuhan pasti tersenyum ketika Ia menciptakan Swiss.” Sebagian besar wilayah Swiss terdiri dari pegunungan Alpen. Gunung paling terkenal adalah Matterhorn (4,478 m) termasuk dalam pegunungan Alpen Valais dan Pennine di perbatasan Italia. Sedangkan puncak yang tertinggi adalah Dufourspitze (tingginya 4,634 m), di daerah ini ditemukan banyak lembah, air terjun dan glasier. Dan bagian dari Alpen Bernese di atas glasier Lauterbrunnen yang terdiri dari 72 air terjun dikenal dengan Jungfrau (4158 m).
            Sementara di bagian utara lebih banyak ditemukan lanskap terbuka dengan bukit-bukit, setengah hutan, dan sebagian berpadang rumput terbuka. Biasanya dipenuhi dengan  ternak atau ditanami sayuran dan buah-buahan. Meskipun begitu tetap disebut pegunungan. Beberapa danau besar dan kota-kota terbesar Swiss ada di wilayah ini. Pada tahun 2006 dan 2007, Zurich - kota terbesar di Swiss dinobatkan sebagai kota yang memiliki kualitas hidup terbaik di dunia.
Islam Masuk ke Swiss
            Masuknya Islam ke Swiss dimulai saat para pelaut Muslim dari Andalusia (Spanyol) membangun sebuah negeri di Perancis Selatan. Kemudian para pelaut Muslim itu menaklukkan negeri-negeri di sana menuju ke arah utara, sehingga pada tahun 939 M/321 H sampailah merekan ke wilayah St. Gallen di Swiss. Lalu, mereka memindahkan armadanya ke sana dengan tujuan untuk mengamankan Andalusia. Salah satu caranya dengan membangun berbagai menara pengintai dibeberapa tempat di pegunungan Alpen. Bahkan sebagian wilayah pegunungan Alpen ini akhirnya dikuasai oleh pasukan Islam, sehingga memudahkan mereka untuk masuk ke wilayah itu dari arah laut.
            Raja Teutons yang menguasai Jerman saat itu pernah mengirimkan utusannya kepada raja Abdurrahman An-nasir pemimpin kerajaaan Islam Andalusia untuk membicarakan keberadaan tentara Islam di wilayah St. Gallen. Setelah dinasti Islam di Andalusia runtuh, sebagian umat Islam di sana kembali berhijrah untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan tentara Kristen, mereka memasuki wilayah Swiss selatan dan memutuskan untuk menetap di sana. Mereka bergabung dan menyatu dengan penduduk setempat.
            Di pertengahan abad ke-14 Hijriah, Swiss kembali menjadi tempat hijrahnya umat Islam. Sebagian kecil umat Islam mengungsi ke sana setelah Perang Dunia II         berkecamuk.
Berkat kebaikan akhlak dalam menyebarkan nilai-nilai Islam, beberapa penduduk asli Swiss memeluk agama Islam.
            Seorang yang termasuk dalam golongan pertama masuk Islam adalah penyair Swiss Frithjof Schuon, sebelumnya ia menganut sebuah agama di Perancis yang beraliran kependetaan. Karena minatnya yang besar kepada Islam ia memutuskan untuk pindah ke Aljazair dan mengucapkan syahadat di sana.
            Setelah mempelajari Islam ia kembali ke Swiss sambil terus mendakwahkan agama barunya itu. Setelah masuk Islam ia dikenal dengan nama as-Shaykh `Isa Nur al-Din Ahmad al-Shadhili al Darquwi al-Alawi al-Maryami. Dari tangan dinginnya ada beberapa warga Swiss yang menyatakan memeluk Islam.
            Umat Islam di Swiss terus bertambah jumlahnya disebabkan masuknya imigran-imigran Muslim dari negara lain dan banyak penduduk asli Swiss yang memeluk Islam. Sensus tahun 1951 umat Islam di Swiss hanya berjumlah sekitar 2,000 orang, berkembang menjadi 30 ribu orang diakhir tahun 70-an.
            Menurut hasil sensus pada 2009, umat Islam di Swiss mencapai 400 ribu atau 4,26 persen dari total penduduk Swiss. Sementara perempuan di Swiss yang masuk Islam sampai tahun 2009,  menurut Monica Nur Sammour-Wust, tokoh Muslimah di sana, jumlahnya sekitar 30 ribu orang.
            Kota Basel menjadi kota dengan jumlah umat Islam terbanyak di Swiss. Kaum Muslimin di Swiss sebagian besar adalah imigran dari Arab, Kosovo, Turki, dan Afrika. Sebagian lainnya yaitu para diplomat, pekerja profesional, pegawai di PBB dan pelajar yang sedang menempuh studi. Umat Islam di Swiss membentuk komunitas sendiri-sendiri sesuai etnis dan kewarganeraannya, termasuk warga Indonesia yang menetap di sana.
            Ketika Islam mulai berkembang di Swiss, kaum Muslim mendirikan sebuah Islamic Center yang pertama di kota Jenewa. Aktivitas Islamic Center itu sangat sederhana, hanya untuk tempat shalat berjamaah dan menerbitkan majalah Islam berbahasa Arab dan Perancis. Akan tetapi, semua kegiatan itu tidak berjalan lama, pada akhirnya Islamic Center ini ditutup. Baru pada tahun 1972 berdirilah persatuan Islam yang pertama yang bertujuan untuk mendirikan masjid pertama di Swiss. Perkumpulan itu menetapkan tujuh orang pimpinan sebagai pelaksananya, ketujuh orang tersebut mewakili negara-negara Islam yang berkantor di Jenewa dan sekaligus berperan sebagai          penasehat.
            Mereka menetapkan peraturan-peraturan dan mendaftarkan organisasi ini secara resmi. Berkat kesungguhan para pimpinannya usaha tersebut berhasil, pemerintah Swiss memberikan izin untuk mendirikan masjid dan Islamic Center-nya. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1973, Raja Faisal—raja Saudi Arabia saat itu—berkunjung ke Swiss dan meletakkan batu pertama untuk mendirikan King Faisal Center yang lokasinya tidak jauh dari kantor PBB.
            King Faisal Center mencakup sebuah mesjid yang cukup besar, perpustakaan dan sekolah gratis untuk anak-anak muslim. Kini, telah berdiri berbagai organisasi Islam modern yang tersebar diberbagai kota di Swiss. Salah satunya adalah Gemeinschaft Islamischer Organisationen der Schweiz (GIOS) yang didirikan di Zurich pada tahun 1989.













SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI BELANDA
Oleh Azzidni Sabrina Pangesti
Pada dasarnya, komunitas – komunitas Muslim yang sekarang hidup di Eropa dapat dibagi menjadi dua kategori : komunitas Muslim yang bertahan hidup setelah kejatuhan atau keruntuhan Imperium Usmani, yang mana komunitas ini terkonsentrasi di titik daerah Eropa Timur. Dan yang satu lagi, komunitas-komunitas Muslim yang melakukan imigrasi karena dibawa oleh tentara Kolonial Eropa pada masa kolonisasi di daerah-daerah atau negeri-negeri Muslim, seperti komunitas orang Jawa yang dibawa oleh tentara Belanda ke negeri Suriname dan kini ikut andil dalam syiar Islam di Belanda itu. Adapun komunitas kedua ini terkonsentrasi pada di Eropa            Barat.
Pengalaman kolonisasi bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia, memang memberikan bekas luka yang sangat mendalam. Selama kurang lebih dari 350 tahun lamanya, rakyat Indonesia yang pada waktu itu sudah banyak yang memeluk Islam telah sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi menurut catatan sejarah kehidupannya. Kolonisasi Belanda ternyata mempunyai titik trend positif dalam pengenalan mereka akan entitas agama Islam. Hal ini mungkin saja tidak tercatat dalam sejarah bahwa adanya kemungkinan orang Belanda atau kompeni Belanda masuk Islam ketika itu. Kita bisa melihat pada zaman VOC, terdapat orang keturunan Belanda asli pertama kali yang masuk agama Islam (Konversi) yaitu Ivan de  Veenboer.
Meskipun demikian, secara tidak langsung mereka datang membawa ajaran agama lain. Mayoritas orang Muslim Eropa Barat dapat ditelusurinya ke periode kolonisasi. Memang, ekspansi penjajahan Eropa di abad sembilan belas dan dua puluhan berakhir dengan penggabungan dunia Muslim. Penjajahan mengubah budaya dan ekonomi negeri-negeri Muslim, secara kultural menghubungkan masing-masing bekas jajahannya dengan kekuatan penjajah dan mengubah ekonominya ke dalam ekonomi konsumsi produk-produk ekspor. Penjajah tidak hanya dengan mengimpor bahan baku dari bekas daerah jajahannya. Tetapi juga membawa tenaga kerja ketika tenaga kerja setempat untuk perluasan ekomomi pada tahun 1960-an.
Imporisasi bahan baku atau rempah-rempah dan tenaga kerja dari bekas negeri jajahannya. Setidaknya membawa angin segar bagi tenaga kerja Muslim Indonesia yang kebanyakan turut diboyong ke Belanda disamping untuk dapat mengembangkan laju roda perekonomian bagi dirinya secara pribadi, juga dapat menyiarkan agama Islam di Belanda dengan tentunya mendirikan Musholla atau Mesjid yang tidak dapat dicegah dan dicekal lagi oleh pemerintah Belanda semenjak munculnya asas Hak Asasi Manusia (Humans Rights).
Dalam catatan sejarah kolonisasi Belanda, setidaknya ribuan orang-orang Jawa Muslim diangkut dan diboyong untuk ditempatkan di negeri yang terletak di Amerika Latin, Suriname. Negeri ini merupakan tanah jajahan Belanda yang kekurangan penduduk untuk dapat dijadikan tenaga kerja dalam bercocok tanam, penggalian barang tambang, atau sekedar menjadi buruh kasar. Setelah kejadian perang Dunia II, Suriname yang mayoritas penduduk asli Jawa mendapatkan legitimasi sebagai negara persemakmuran dibawah otoritas negara Kerajaan Belanda yang dikepalai oleh seorang ratu yang bernama ratu Beatrix[7]. Masyarakat Suriname yang rata-rata Muslim tersebut dalam urusan kenegaraan pastilah sering keluar masuk Belanda, sehingga atmosfer pengaruh keislamannya turut mewarnai jalannya kenegaraan di Belanda secara umumnya dan pengaruh lingkungan terhadap rakyat Belanda itu sendiri secara khususnya.
Dalam catatan sejarah juga, tepatnya pada tahun 1951-1952. Sekitar 12 ribu anggota KNIL (Koninklijk Nederlandse Indische Leger ) yang sebagian besar berasal dari Maluku, sebanyak 200 di antaranya beragama Islam datang ke Belanda. Mereka yang semula ditempatkan dalam satu kamp dengan non-Muslim, lalu memisahkan diri dan bergabung dengan sesama Muslim di kampung Wijldemaerk, Desa Balk, Provinsi Friesland. Dan di sinilah mereka membangun salah satu masjid pertama di Belanda, Masjid An-Nur yang dipimpin oleh Haji Ahmad Tan.
Namun, menurut fakta sejarah bahwa orang islam pertama yang datang ke Belanda adalah Abdus Samad, Duta Besar Kesultanan Aceh untuk Belanda, pada tahun 1602. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hisyam dalam buku Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa karya Harry A Poeze, In het Land van de Overheerser. Akan tetapi kedatangan Abdus Samad ini tidak bertujuan untuk dakwah Islam, ia hanyalah melakukan kunjungan singkat saja sebagai Duta dari kerajaan Aceh Darussalam.
Hingga pada tahun 1960-an, menjadi kunci awal (starting point) akan pertumbuhan dan perkembangan umat Muslim di Belanda, disaat pemerintah Belanda kekurangan tenaga kerja dalam negeri sehingga mengharuskannya untuk mendatangkan tenaga kerja asing, yang mayoritas kebanyakan dari kawasan mediteranian. Imigran Turki dan Maroko yang kemudian menjadi pensiar Agama Islam di Belanda dengan menentukan hari libur jumat sebagai hari libur mereka, disamping itu juga mendirikan Masjid tertua yaitu Enre Yunus Masjid di Almelo.
Di Belanda yang sistem pemerintahannya mengikuti paham Monarki Konstitusional ini, memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak untuk negara yang berkembang di Benua Eropa. Sekitar 15.341.553 jiwa penduduk negara Belanda untuk saat ini. Pada tahun 1950-an Islam dibawa ke Negeri Kincir Angin tersebut oleh para tenaga kerja asing (imigran) Muslim pertama yang datang antara dua negara perang dunia dari bekas jajahanya, yaitu Indonesia dan Suriname. Jumlah mereka sangat terbatas, hanya mencapai 5.000 orang saja. Dalam sisi yang lain, yaitu pada tahun 1947, Islam juga masuk ke Belanda dibawa oleh sekelompok missionaris Muslim dari gerakan Ahmadiyah dan Qadian dari Pakistan. Mereka ada sebagian yang menuntut ilmu sains di Belanda dan sebagian lain ada pula yang menjadi buruh kerja sehingga peningkatan angka umat Muslim di Belanda semakin meningkat dan meninggi. Terlebih lagi, setelah kedatangan Imigran dari kawasan Mediteranian, Maroko dan Turki pada tahun 1960-an.
Ketika pemerintah Belanda menerapkan sistem politik etis di Belanda, maka hal ini tidak disia-siakan oleh komunitas Muslim di Belanda, mereka mendirikan perkumpulan organisasi Muslim pertama yang berusaha menghimpun semua Muslim yang berdasarkan negaranya masing-masing yang hidup di Belanda. Organisasi Muslim Indonesia pertama didirikan oleh seorang Belanda yang bernama Van Beetem pada tahun 1930-an yang kemudian berganti nama menjadi Mohammad Ali. Dengan kegigihannya memperjuangkan organisasi Muslim pertama ini akhirnya membuahkan hasil dengan di akuinya dan dilegitimasi oleh pemerintahan Belanda. Pada tahun 1974 , organisasi-organisasi semacam itu diintegralkan menjadi satu perkumpulan yang kemudian membentuk persatuan Organisasi-Organisasi Islam (Islamic Organisation Union) di Belanda.
Pada tahun 1960-an ini, orang-orang Belanda merasakan atmosfer keislaman yang mendalam sehingga tepatnya pada tahun 1963, setidaknya terdapat 300 orang Belanda asli yang memeluk agama Islam (Konversi). Pada tahun 1971, sekitar satu persen penduduk negeri Belanda atau sekitar 132.000 adalah Muslim. Pada tahun 1982, angka ini naik menjadi sekitar 400.000 (2.8% dari jumlah penduduk), jumlah Muslim ini terdiri dari 220.000 orang Turki, 100.000 orang Afrika Utara, 40.000 orang Melayu (Indonesia dan Melayu) dan 40.000 Muslim warga negara Belanda dengan rincian 2.000 penduduk asli Belanda dan sisanya dari berbagai negara yang telah menjadi warga negara
Belanda (proses Naturalisasi).
Berdasarkan data statistik Central Bureau de Statistiek 1994, jumlah umat islam dari 15.341.553 jumlah penduduk Belanda saat itu, menempati posisi ketiga (3,7 persen), setelah agama Katolik Roma (32 Persen), dan agama Kristen Protestan (22 persen). Sebanyak 40 persen warga Belanda mengaku tidak beragama, dan sekitar 0,5 persen pemeluk agama Hindu. Pada tahun 1993 pertumbuhan jumlah umat Muslim di Belanda meningkat dengan pesat menjadi 560.300 jiwa. Kenaikan rata-rata 0,6 persen setahun. Umat islam itu berasal dari Turki (46 persen), Maroko (38,8 persen), Suriname (6,2 persen), Pakistan (2,2 persen), Mesir (0,7 persen), Tunisia (0,9 persen), Indonesia (1,6 persen) dan negara lainnya sebanyak (3,9 persen).
Pada akhir tahun 2004, perkiraan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda meningkat menjadisekitar 944.000 Muslim, dan 6.000 diantaranya adalah warga asli Belanda. Hingga pada awal tahun 2010, umat Islam murni dari Bangsa Belanda sendiri sudah mencapai angka kurang lebih 12.000 dari jumlah penduduknya yang ada sekitar 15 jutaan lebih.



















SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INGGRIS
Oleh Azzidni Sabrina Pangesti
Islam mulai tersentuh di Inggris sekitar abad 16 namun mulai berkembang sekitar abad 18. Awal masuknya islam ke Inggris berawal dari imigran dari Yaman, Gujarrat, dan negara timur tengah lainnya. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan Liverpool. Lama kelamaan umat muslim yang berada di inggris membuat masjid untuk beribadah mereka, walaupun hanya beberapa masjid yang baru di bangun. Umat muslim yang berada di inggris juga banyak melakukan kegiatan sosial dan partisipasinya di dalam universitas yang ada di inggris.
Organisasi-organisasi islam juga mereka ciptakan di negri inggris, diantaranya organisasi jamaat al-islam, The Muslim Brotherhood, The Union of Muslim Organization, The Federation of Student Islamic Societis (FOSIS) dan masih banyak lagi.
Sejarah Masuk islam abad 16 – 17 di Inggris
Pada abad XVI-XVII kekuatan armada laut Muslim sangat mendominasi laut Mediterranean. Ekspansi Muslim telah mencapai Istanbul sebagai pusat imperium Turki Usmani, Aleppo sebagai jalur penting yang dilalui silk roat, Beirut  sebagai pelabuhan besar yang disinggahi kapal-kapal Eropa, Jerusalem sebagai kota yang banyak diminati para peziarah; Cairo sebagai kota pusat perdagangan; dan Fez sebagai kota yang sangat maju dan terkenal pada saat itu. Ketika armada Spanyol dipandang sebagau ancaman yang menghantui Inggris, Ratu Elizabeth pada pertengahan tahun 1580 tidak ragu-ragu untuk meminta Sultan Murad (penguasa Turki Usmani) membantu armada laut Inggris melawan orang-orang Spanyol. Ketimbang dengan negara-negara Eropa, Inggris lebih menyukai menjalin hubungan perdagangan secara luas dengan negeri-negeri Muslim.
Orang Inggris yang pertama kali memeluk Islam yang namanya tetap bertahan dalam catatan sumber-sumber literatur Inggris seperti The Voyage Made to Tripoli (1583) adalah John Nelson. Ia adalah putera perwira rendah anggota pasukan pengawal Ratu Inggris.
Pada tahun 1636 telah dibuka jurusan bahasa Arab pada Universitas Oxford. Dan diketahui bahwa Raja Inggris Charles I telah mengoleksi manuskrip-manuskrip yang berbahasa Arab dan Persia. Perpustakaan Bodleian di Oxford memiliki manuskrip surat al-Walid (Sultan Maroko) yang ditujukan kepada Raja Charles I.
Kekacauan perang sipil mungkin menjadi pendorong beberapa orang Inggris untuk memutus hubungan tradisi yang baik, sehingga sebuah catatan yang dibuat tahun 1641 dengan mengacu kepada sebutan “sebuah sekte penganut Muhammad” (a sect of Mahomatens) dinyatakan “telah ditemukan di sini, di London”. Pada sekitar tahun 1646 Raja Charles diasingkan ke Oxford setelah dikepung oleng angkatan bersenjata pimpinan Cromwell. Pertempuran terburuk pecah dan berakhir pada kekalahan pasukan yang setia kepada raja. Pada bulan Desember 1648, Dewan Mechanics dari New Commonwealth menyuarakan sebuah toleransi bagi berbagai kelompok agama termasuk Muslim. Setahun kemudian, 1649, terjadi even penting dalam perjalanan sejarah Muslim di Inggris di mana  Al-Quran untuk pertama kalinya diterjemahkan di Inggris oleh Alexander Ross dan kemudian dicetak. Pencetakan itu sampai menghasilkan edisi kedua. Fakta ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran mengalami jangkauan sirkulasi yang luas di kalangan masyarakat Inggris.
Ketika Cromwell menjadi penguasa tunggal Inggris di tahun 1649, acuan kepada Islam dan kaum Muslim menjadi bagian dari diskusi yang menggejala pada saat itu. Musuh-musuh Cromwell menyerang kaum revolusioner karena mereka tidak menaruh respek kepada para pendeta dan menolak ajaran dan pendapat resmi petinggi Gereja Anglikan. Musuh-musuh Cromwell mencemooh dengan mengatakan, “Sungguh, jika pengikut-pengikut Kristiani mau bahkan rajin membaca dan mengamati hukum dan sejarah Muhammad, mereka boleh jadi merasa malu ketika melihat betapa tekun dan bersemangat para pengikut Muhammad dalam mengerjakan ketaatan kewajiban, kesalehan dan amal ibadah; betapa tulus ikhlas, suci dan takzimnya di dalam masjid, begitu taat kepada para ulama mereka. Bahkan orang Turki terhormat sekalipun tidak akan mencoba melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan muftinya.” Kaum revolusioner dikritik karena mereka hanya mengikuti otoritas-otoritas keagamaan  yang dideklarasikan oleh mereka sendiri. Sementara, sultan sekalipun sangat memperhatikan nasihat-nasihat mufti dalam persoalan keagamaan. Penulis-penulis lain yang tidak menaruh simpati kepada revolusi Cromwell membandingkan para profesor agama orang-orang Turki dengan kaum puritan Cromwell. Dan layak diketahui bahwa di kalangan orang dekat Cromwell terdapat orang-orang hebat seperti Henry Stubbe, sarjana ahli bahasa Latin, Yunani, dan Hebrew, dan terdapat pula sahabat Cromwell yang lain, Pocock, seorang profesor yang ahli bahasa Arab di Oxford.
Cromwell dan sekretarisnya, John Milton, menunjukkan keakrabannya kepada al-Quran. Hal itu tergambar dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada penguasa Muslim Al-Jazair di bulan Juni 1656. Dalam suratnya Cromwell menyatakan: “Cromwell mengharapkan pihak yang dikirimi surat  agar mematuhi persetujuan dagang antara kedua negara karena tabaiat agama Islam adalah ‘kami sekarang, pada saat ini, merasa perlu untuk menyukai Anda yang telah memaklumkan diri Anda sendiri sampai saat ini dalam segala hal untuk menjadi orang yang mencintai kebenaran, membenci kebatilan, mematuhi amanah dalam perjanjian.’ Kata-kata terakhir menegaskan deskripsi yang tepat mengenai Islam sebagai sebuah agama yang mengajak kepada kebenaran dan menanggalkan perbuatan batil.” Cromwell banyak mengutip teks-teks al-Quran dalam berkomunikasi melalui surat. Tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim di seberang lautan, tetapi juga orang-orang Kristen yang tinggal di England dan kepulauan Inggris selebihnya.
Ilmuwan dari Universitas Cambridge, Isaac Newton, tercatat sebagai orang sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim Arab. Pada tahun 1674, dengan penuh resiko dan keberanian menolak untuk berpegang pada ajaran suci trinitas. Michael White, penulis biografi Newton menyatakan, Newton secara fanatik menentang konsep trinitas.
Pada abad XVII teks-teks berbahasa Arab dalam bidang matematika, astronomi, kimia dan kedokteran merupakan tema sentral bagi program pendidikan yang lebih tinggi di Inggris. Untuk memperoleh akses kepada pengetahuan lebih lanjut pada saat itu, bukan hanya penerjemahan yang dimulai di Oxford dan Cambridge, tetapi juga persiapan untuk melatih sebuah generasi sarjana yang ahli berbahasa Arab. Seorang pengunjung di Westminster School mencatat dalam buku hariannya, “Saya mendengar dan melihat sejenis latihan pada pemilihan para sarjana di Westminster School untuk dikirim ke Universitas, baik yang berbahasa Latin, Yunani, Hebrew maupun Arab.
Kemampuan linguistik sangat penting karena menurut Isaac Borrow, profesor matematika Cambridge, penguasaan bahasa Arab perlu untuk penguasaan lebih lanjut pengetahuan-pengetahuan tersebut. Para tokoh intelektual Muslim yang kenamaan dikenal dengan nama-nama mereka yang sudah “berbau” Inggris: Alfarabi, Algazel, Abensina, Abenrusd, Abulfeda, Abdiphaker, Almanzor, Alhazen. Water Salmon termasuk di antara mereka yang menyusun ilmu fisika praktis (1692) dari ‘Geber Arab’, atau ahli kimia, Jabir bin Hayyan. Robert Boyle  (ahli kimia yang dikenal oleh setiap siswa sekolah) mempelajari sains dari literatur berbahasa Arab dengan tujuan agar mampu menghadapi tantangan dari konsepsi tradisional dalam pengetahuan kontemporer. Newton mewariskan lebih dari sejuta kata dalam subyek kimia dengan kata-kata asli berbahasa Arab.
Sejarah Peradaban Islam Mulai Abad 18
Imigrasi muslim ke Inggris mulai berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 melalui pendaratan para pelaut yang direkrut oleh East India Company (Perusahaan India Timur) dari Yaman, dan  Gujarrat. 
Saat awal imigran muslim India dan Pakistan menetap di Inggris,pengaruh warisan kultural kerajaan dan struktur politik Negara setempat yang saling mendukung memperkuat dorongan Negara komunalisme. Selama hampir satu abad, umat islam harus belajar hidup dengan status minoritas dan jauh dari kekuasan politik di anak benua India, masyarakat inggris pasca perang memberi ruang  bagi identitas kebangsaan yang paralel.
Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan Liverpool. Komunitas muslim di negara itu memiliki akar budaya yang berbeda satu sama lain. M. Ali Kettani, dalam bukunya "Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini" mengatakan imigran pertama ke Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardif dan di situ membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada tahun 1870. Sebelum pergantian abad, datang kelompok muslim lain dari India dan menetap di dekat London, di sana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking.
Sekitar abad ke-19, sejumlah pengusaha muslim juga  telah berniaga ke kerajaan Inggris. Salah satunya adalah perusahaan terkenal "Mohamed’s Baths” yang didirikan oleh Sake Deen Muhamed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini terlihat tatkala pada periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa Islami dengan nama "The Cresent", mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini adalah seorang muslim keturunan bangsawan Inggris yang bernama William Henry Quilliam, yang ditengah komunitas muslim dikenal sebagai Syekh Abdullah Quilliam, yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada tahun 1887 setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko. william Henry Quilliam (Syekh Abdullah Quilliam) bahkan memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif dan menjadi pusat dakwah di wilayah Inggris.
Di samping itu, pada tahun 1930-an, gagasan rencana pembangunan masjid pusat di London juga muncul sebagai respons atas pembangunan masjid di Paris pada tahun 1926 yangjuga mendapat perhatian dara Raja Goerge IV pada tahun 1944. Namun, berbagai kendala seperti terjadinya Perang Dunia II dan masalah yang dihadapi pemerintah lnggris akibat kemerdekaan India dan Pakistan, menyebabkan pembangunan masjid tertunda hingga tahun 1970-an. Baru pada tahun 1977, Masjid Pusat London dengan Islamic Cultural Center (Pusat Kebudayaan Islam)-nya akhirnya diresmikan  dan dewasa ini menjadi terkenal. Pertambahan jumlah masjid dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya di Inggris sesungguhnya mencerminkan peningkatan jumlah komunitas muslim di Inggris. Peningkatan itu berhubungan erat dengan tahapan sejarah imigrasi kaum muslim secara besar-besaran dari berbagai negeri muslim ke Inggris tahun 1950-an, dan sebagai akibat penyatuan kembali keluarga imigran yang diterapkan awal tahun 1960-an, terutama dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Selain itu, sehubungan dengan terbitnya "Commonwealth Immigration Act" (Undang-undang Imigrasi Persemakmuran), tahun 1962, yang semakin memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris bagi warga negara bekas jajahan Inggris, juga turut mendorong laju migrasi ini.
Pola distribusi pemukiman muslim tidak merata, baik secara geografis maupun etnis. Kendati demikian, ada konsentrasi tertentu, misalnya penduduk muslim India di West Midlands, Arab dan Iran di Cardif Liverpool, dan Birmingham. Turki-Cyiprus di wilayah Timur London, serta Pakistan dan Bangladesh di Bradford. Begitu signifikannya komunitas muslim Pakistan dan Bangladesh itu di Bradford, sampai orang menyebutnya kota ini sebagai Islamabad-nya Inggris. Dari perspektif mazhab, muslim di Inggris mayoritas bermazhab Hanafi, sisanya Syaf i,  Ja'fari atau Ismaili.







SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI PORTUGAL
Oleh Muhammad Bagus Riyanto
Islam Pernah 'Menguasai' Portugal Bila ditarik lebih ke belakang, Islam dan Portugal sebenarnya memiliki sejarah yang panjang. Dan, sejarah itu berkaitan erat dengan penguasaan kaum Muslimin di Andalusia antara abad 7 dan 8 M. Situs wikipedia menyebutkan, tentara Islam pernah menaklukkan Portugal di bawah pimpinan panglima Musa bin Nashir. Kaum Muslim kemudian menyebut wilayah itu al Garb al Andalus (Andalusia Barat).

Penguasaan ini diteruskan oleh Abdul Aziz, putra Musa bin Nashir. Di bawah kendalinya, tentara Islam secara bertahap menaklukkan kawasan yang lebih luas sehingga Portugal takluk. Menurut situs historymedren, wilayah itu lantas dibagi dua oleh tentara Islam, yakni yang berada di sepanjang Sungai Duoro dan Sungai Tagus. Kawasan di Sungai Duoro beriklim dingin serta sulit membuka lahan perkebunan, dan ini tidak disukai kaum Muslim. Ini berbeda dengan wilayah Sungai Targus yang suhunya lebih hangat serta tanahnya subur.

Kaum Muslim kemudian mengonsentrasikan keberadaan mereka di sini dan selanjutnya 'menghidupkan' kota-kota yang ada. Sebagian penduduk setempat pun beralih ke agama Islam. Dan, oleh pemerintah kekhalifahan, beberapa tokoh masyarakat (yang menjadi mualaf) diangkat menduduki jabatan di tingkat lokal. Meski demikian, kaum Muslimin tetap memberikan kebebasan bagi penduduk yang beragama non-Muslim. Orang-orang Yahudi tidak diusik, bahkan diberikan peranan penting pada sektor perdagangan dan ekonomi.

Berangsur, wilayah al Garb al Andalus tumbuh dengan pesat di berbagai bidang. Sekolah-sekolah yang mempelajari ilmu pengetahuan umum dan agama banyak didirikan, ladang pertanian memberikan panen memuaskan, irigasi dibangun di banyak tempat dan sebagainya. Pendek kata, kemakmuran tercipta. Tak hanya itu, umat Islam juga mengenalkan seni arsitektur dan kaligrafi yang bernilai tinggi, dan hal tersebut diterapkan pada sejumlah bangunan.

Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik di kota maupun di desa. Sejarawan termuka, Al Idrisi, mengisahkan, ketika itu penduduk Kota Selpa yang non-Muslim sekalipun, berbicara dengan bahasa Arab. ''Pengaruh itu masih bisa dirasakan hingga kini, di mana terdapat sekitar 600 kosakata Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Portugis,'' urai situs historymedren .
Selama 250 tahun situasi kondusif berlangsung. Sampai memasuki paruh abad ke-11, para penguasa lokal yang merasa sejahtera, tidak lagi setia kepada kekhalifahan. Mereka membentuk raja-raja kecil, seperti di Badajoz, Merida, Lisbon, dan Evora. Perpecahan terjadi. Situasi tersebut membuka peluang bagi kaum Visigoth Kristen yang selama ini hidup di kawasan pegunungan untuk berkonsolidasi. Mereka lantas melakukan ofensif dan berlanjut hingga lepasnya kekuasaan Islam di Andalusia.

Masuknya Kembali Islam ke Portugal

Portugal atau Portugis dikenal secara luas di buku buku sejarah Nasional Indonesia sebagai salah satu negara kolonial yang pernah menguasai sebagian dari wilayah Nusantara di masa lalu. Selain wilayah Nusantara, Portugal juga pernah menjajah beberapa negara di bagian bumi yang lain. Ketika masa kolonialisme berahir, Portugal memiliki kedekatan dengan negara-negara bekas jajahannya. Banyak penduduk negara jajahan yang bermigrasi ke Portugal, dengan membawa serta tradisi, identitas, maupun agama yang mereka anut. Portugal pun menjelma menjadi negara multietnis dan multiagama. Terdapat komunitas warga Afrika, Amerika Latin, hingga Asia di sana. Pun halnya dengan agama, ada pemeluk Hindu, Buddha, Sikh, Yahudi, serta Islam. 

Jumlah umat Muslim diperkirakan mencapai 30 ribu jiwa. Mereka berasal dari berbagai etnis, terutama dari Mozambik, Kenya, Makao, Pulau Goa di India, bagian timur Indonesia, dan keturunan orang-orang Muslim India. Tak ketinggalan kaum Muslimin yang datang dari Afrika Barat dan Timur Tengah, seperti Mesir, Maroko, dan Aljazair. Ada pula para mualaf Portugal walaupun jumlahnya tidak terlampau banyak. Kedatangan imigran Muslim ke Portugal mulai berlangsung selepas Perang Dunia II.

Portugal merupakan negara sekuler. Seperti halnya di banyak negara Eropa, mereka memisahkan secara tegas aspek keagamaan dengan pemerintahan. Meski begitu, negara tetap memberikan perhatian terhadap kehidupan agama dan hubungan antarumat beragama. Ada dua aturan pokok yang berlaku: Pertama, perjanjian khusus ( concordata ) tahun 1940 dengan Keuskupan Roma. Hal itu terkait mayoritas penduduk (84,5 persen) menganut agama Katolik Roma. Kedua, undang-undang kebebasan beragama. Diterbitkan sejak 2001, peraturan itu bertujuan memberikan pengakuan serta hak-hak umat agama lain yang selama ini tinggal di Portugal.

Periode tahun 80 sampai 90-an bisa dikatakan menjadi masa-masa penuh harmoni dalam kehidupan masyarakat di Portugal. Umat Islam dan umat agama lain bisa melaksanakan peribadatan dengan leluasa. Masjid, mushala, dan sekolah Islam pun banyak didirikan.

Portugal lantas memiliki dua masjid jami dan 17 mushala, sebagian besar terletak di Lisabon, Coimbra, Filado, Evoradi, dan Porto. Sekolah Dar al-Ulum al-Islamiyyah melengkapi sarana pendidikan di Lisabon. Sekolah ini setingkat dengan sekolah menengah pertama dan menengah atas. Di samping itu, sejumlah masjid dan mushala turut membuka kelas halaqah tahfiz Alquran al-Karim, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam. Kaum Muslim juga menerbitkan sejumlah jurnal berbahasa Portugal dan berbahasa Arab seperti majalah Islam.

Kondisi Muslim Portugal Paska 9/11

Pada milenium baru, kondisinya berubah 180 derajat. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), berimbas terhadap umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Portugal. Harmonisasi terusik. Hal itu bukan disebabkan pembatasan-pembatasan dari pemerintah, melainkan dari sikap sebagian warga setempat yang mengaitkan Islam dengan kekerasan.

Sebuah kolom dalam surat kabar The Public agaknya bisa mewakili suasana Islamofobia yang sedang melanda. Tulisan Dr Miguel Sousa Tavares, cendekiawan setempat, misalnya, memuat judul yang dinilai provokatif; Islam, Terror and Lies. Islam yang sebenarnya Tokoh lainnya tak jarang mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada intoleransi.

Awal tahun 2009, seorang pemimpin agama di Lisabon sempat memicu kontroversi baru atas komentarnya terkait perkawinan antara Muslim dan non-Muslim. Dia menyarankan agar wanita non-Muslim berpikir dua kali sebelum menikah dengan pria Muslim. ''Anda hanya dapat berdialog dengan orang yang bersedia berdialog. Dengan umat Muslim, dialog sulit dilakukan,'' kata pemimpin agama ini.

Sejumlah kelompok hak asasi manusia memberikan kecaman. Mereka menilai pernyataan itu tidak sejalan dengan semangat toleransi antarumat beragama yang sedang terus dibina. Demikian halnya, umat Islam mengaku terkejut dengan komentar itu. Namun, umat tidak lantas bereaksi berlebihan. Mereka justru memilih menanggapi tudingan, stigma, dan kekhawatiran seperti itu tanpa emosi.

Menggiatkan dialog lebih diutamakan. Forum intelektualitas tersebut akan sangat berperan dalam upaya memberikan penjelasan tentang nilai-nilai maupun ajaran Islam yang sebenarnya. Salah satunya seperti dilakukan majalah Al Furqan. Lewat tulisan Mohammed Youssuf Adamqy, pimpinan Al Furqan, misalnya, mereka menjadikannya surat terbuka untuk menjawab artikel The Public tadi.

Menurut Mohammed Youssuf, peristiwa pengeboman yang terjadi, haruslah dilihat secara orang per orang, dan jangan langsung digeneralisasi bahwa Islam adalah agama teror. Sebaliknya, dia mengungkapkan bahwa inti ajaran Islam justru menekankan cinta kasih. Dan, Muslim Portugal kini terus berjuang guna menepis citra negatif Islam. Pesan-pesan penuh kedamaian serta yang menjauhkan agama dari tindakan teror, bisa ditemui di masjid-masjid dan Islamic Center di Portugal.















SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI SPANYOL
Oleh Muhammad Bagus Riyanto
Sejarah Islam di Spanyol
Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete (711), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya daerah Galicia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732). Daerah yang dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan Perancis selatan sekarang.Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun 740an, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Keamiran dan Kekhalifahan Kordoba
Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis. Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor dari Timur Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba dan kota-kota lainnya di Al-Andalus, dengan sektor ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini memiliki populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam hal jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa. Dalam dunia Islam, Kordoba merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul Qasim dan Ibnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan intelektual di Eropa zaman pertengahan.
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling terkenal adalah Michael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting dalam berawalnya Renaisans di Eropa.
Periode Taifa pertama
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, yang disebut taifa. Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklukan, sehingga taifa-taifa di Al-Andalus meminta bantuan dari dinasti Al-Murabitun (Almoravid) yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-orang Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.
Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Muhammad XII dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Pada 1086, pemimipin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang oleh para bangsawan Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja Kastilia dan León. Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen dengan telak dalam pertempuran Zallāqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari semua penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah mereka, kecuali Zaragoza. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen. Pada 1147, kekuasaan kaum Murabitun digantikan oleh kaum Muwahidun (Almohad), yang juga berasal dari suku Berber. Penguasa Muwahidun memindahkan ibukota Al-Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso VIII dalam Pertempuran Alarcos (1195). Namun pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon, dan Portugal mengalahkan kaum Muwahidun pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam taifa-taifa yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Granada pimpinan Banu Nasri-lah negara Islam yang tersisa, namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur perdagangan di gurun Sahara.
Pada abad ke-14, dinasti Islam Banu Marin (Marinid) di Maroko mengalami kemajuan dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga kedatangan Tentara Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso XI, dibantu Afonso IV dari Portugal dan Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Algeciras (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam pada tahun 1350. Penggantinya, Pedro dari Kastilia (Peter si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan kerajaan-kerajaan Kristen yang lain. Peristiwa ini menandai dimulainya 150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan keberadaan Granada.
Keamiran Granada
Setelah perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150 tahun berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama, dan dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan membayar upeti tidak lebih dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara hati-hati dan didanai dengan baik. Ferdinand dan Isabella kemudian meyakinkan Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya pengepungan tersebut berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.
Masyarakat
Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab.
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.
Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan terhadap non-Muslim Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah. Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab. Bahasa mereka, Bahasa Muzarab, merupakan bahasa Roman yang dipengaruhi oleh bahasa Arab dan dituliskan dalam abjad Arab.Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus". Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerima toleransi.Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya." Lewis menolak bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"
Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147, lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur, atau ke daerah Kristen di Utara. Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.
Kebudayaan
C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam masa terpuruknya negara-negara Taifa, sebagai orang-orang paling beradab di Barat."
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat. Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah. Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku. Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi. Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.


SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI DENMARK
Oleh Wakhidatun Nisa
Di negara Denmark yang terletak di ujung utara Eropa, Islam memang bukan agama mayoritas. Sebab, negara yang berpenduduk sekitar 5 juta jiwa ini, Islam adalah agama kedua setelah Kristen Protestan. Kendati demikian, “nyala api” perkembangan Islam yang dibawa oleh para Imigran dari berbagai negara semakin berkobar seperti nyala lilin yang menerangi ruangan di tengah malam. Kendatipun perkembangan itu telah menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang diakui kerajaan dan dijamin adanya “kebebasan menjalankan ajaran agama” seperti yang ditetapkan UU Denmark, toh tetap ada diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang diterima umat Islam Denmark. Akibatnya, itu jadi riak-riak kecil yang menuntut umat Islam Denmark harus teguh memegang agama dan menjadikan tantangan tersendiri untuk terus mengibarkan bendera Islam di negara yang besarnya kurang lebi 1/3 pulau Jawa.

Dibawa oleh Kaum   Imigran
Kapan persisnya Islam masuk Denmark, tak ada satu kepastian jelas untuk dijadikan “rujukan”. Tapi perkembangan dan masuknya Islam ke Denmark, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Denmark. Sebab, sekitar 1536 Denmark menetapkan UUD yang memberi kebebasan bagi warganya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Dari kemunculan UU itu lalu berimbas terjadinya perpindahan penganut Katolik-Roma ke Protestan Lutheran. Lambat-laun perpindahan itu ternyata mencapai titik kulminasi dan bahkan tahun 1849, Protestan telah menjadi agama resmi di negara  Denmark.
Sejarah selanjutnya mencatat, Denmark yang terletak di ujung Utara Eropa didatangi para tamu sebagai imigran. Sebenarnya, waktu itu tak cuma Denmark yang menjadi tempat datangnya para imigran karena di semua dataran Eropa, juga mendapatkan tamu yang sama.
Uniknya, lama-kelamaan jumlah kaum imigran itu kian banyak dan bersamaan itu agama-agama minoritas mulai tumbuh, seperti Islam, Katolik, Yahudi, Hindu dan Budha. Di antara agama kaum monoritas itu, Islam menduduki peringkat ke-2 setelah Katolik. Saat itu, diperkiraan jumlah pemeluk Islam 100 ribu jiwa, sementara Katolik sekitar 350 ribu.
Jika mau ditelisik lebih jauh, awal mula kedatangan kaum muslim ke Denmark terjadi pada 1967 hingga November 1970. Waktu itu pemerintah Denmark memang mengizinkan import tenaga kerja asing yang dibutuhkan sebagai pekerja kasar dan mayoritas berasal dari Turki, negara-negara eks-Yugoslavia, Maroko dan Pakistan. Jumlah dari imigran itu makin bertambah setelah anggota keluarga yang lain menyusul untuk berimigrasi.
Setelah melihat adanya gelombang imigran yang kian banyak, sekitar tahun 1970-an pemerintah Denmark mulai bersikap lain. Jika pada awal mulanya bersikap lunak, kemudian berubah menjadi keras. Rupanya, hal itu berdampak besar kepada kaum pekerja. Banyak pekerja asing pun harus menelan ludah, kehilangan       pekerjaaan.
Selain itu, dihembuskan sikap takut pada agama Islam. Apalagi fakta menunjukkan bahwa hampir semua kaum muslim di sana hidup miskin dan tidak punya mata pencaharian. Rupanya, hasutan itu berhasil. Akibatnya, warga setempat menganggap kaum muslim sebagai penyebab dari timbulnya huru-hara dan masalah            sosial.
Selanjutnya, pada tahun 80-an gelombang kedua imigran muslim menjejakkan kaki ke Denmark. Imigran kedua itu sebagian besar berasal dari Palestina, Iran, Irak, Bosnia, Somalia serta Afganistan. Jadi, muslim Denmark berasal dari beragam etnis. Juga, berbeda dengan gelombang pertama yang dipicu untuk mencari kerja, gelombang kedua lebih disebabkan karena alasan mencari selamat dari kecamuk perang yang terjadi di negara-negara mereka.
Berdasarkan UU negara tahun 1536, sudah seharusnya negara menjamin kebebasan beragama dan menghormati pelaksanaan ibadah berdasarkan dengan keyakinan yang mereka anut. Tapi kenyataan di lapangan tak seperti yang tertulis di atas kertas. Jadi, sebagai agama resmi negara, Lutherian Evangelis memperoleh banyak kemudahan dibanding agama lain.
Tantangan yang dihadapi
Fakta menunjukkan jumlah umat Islam Denmark kian meningkat. Tapi keberadaan Islam sebagai agama kedua, ternyata tak diimbangi jaminan kehidupan beragama. Akibatnya, Denmark tak selamanya menjadi tempat kondusif bagi kehidupan kaum           muslimin.
Pada November 2000, misalnya , PM Paul Nyrup Rasmunssen mengkritik muslim setempat yang meminta hak istirahat selama waktu shalat. Kritik ini ternyata langsung menuai kecaman dari banyak pihak, termasuk Partai Sosialis Demokrat. Sebab, sebagian besar warga setempat tahu bahwa waktu istirahat untuk melaksanakan shalat lima waktu itu tidak menjadi masalah mendasar di tempat kerja. Artinya, tidak mengganggu aktivitas kerja. Akhirnya pada 19 Desember 2002 Rasmussen meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya tersebut.
Belum lagi, peraturan keimigrasian Denmark untuk membatasi kehadiran imigran ke Denmark, terutama para tokoh, ilmuwan dan pemuka Islam. Tak dapat disangkal, peraturan itu dimaksudkan untuk menghadang ilmuwan muslim tinggal di Denmark dan memulangkan mereka yang sudah lebih dahulu berada di negara kecil itu. "Teorinya, peraturan ini berlaku bagi semua tokoh agama apapun. Namun prakteknya, target utamanya adalah imam muslim," ungkap juru bicara Danish People Party (DPP), Peter Skaarup.
Terkait dengan hal tersebut, sejumlah cendekiawan Muslim juga mengakui, tak hanya di Denmark, para imam di negara Eropa juga mengalami masalah serupa. Dari kebijakan yang seharusnya memperlakukan setiap agama mendapat perlakuan sama, ternyata berbeda bagi mereka (para imam). Seperti yang dialami para imam di Belanda.
Persoalan lain yang dihadapi kaum muslim di Denmark adalah masih kuatnya citra Islam yang dipandang dengan sebelah mata. Untuk itu, pemerintah kerajaan Denmark akan mulai menerapkan rencana yang sudah dibuat untuk membatasi aktifitas para pemuka Islam yang dianggap 'radikal'. Kebijakan ini, tentu saja ditujukan kepada para imam atau para da'i. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan para pemuka Islam untuk memiliki standar hidup yang berkecukupan, mampu berbahasa Denmark dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat barat. Jika para pemuka agama Islam tidak bisa memenuhi persyaratan itu, maka mereka akan dikatagorikan sebagai 'orang yang tidak disukai'.
Pernyataan dan kebijakan negara yang perannya kurang menonjol di Eropa ini atas kaum muslim jelas menimbulkan kekhawatiran. Sebab, di Denmark sudah ada sekitar 200 ribu warga muslim. Karena itu, mereka khawatir kalau-kalau pemerintah kerajaan Denmark akan memberlakukan peraturan yang lebih ketat lagi di masa mendatang, meski agama Islam di Denmark menjadi agama kedua terbesar setelah agama Kristen Protestan Lutheran.
Mengharap Setitik    Cahaya
Rupanya, tak selamanya kebijakan yang diterapkan bagi kaum muslim semuanya bisa dikata bersifat negatif. Sebab, ada juga sebuah keputusan penting dibuat otoritas pendidikan Denmark yang ternyata menyetujui program pemberian pelajaran agama Islam, khususnya al-Quran, pada tahun ajaran 2004/2005 di sekolah-sekolah menengah pertama yang ada di negara itu.
Keputusan pemerintah Denmark untuk memasukkan mata pelajaran Al-Quran dan bahasa Arab di sekolah-sekolah, mengikuti langkah yang sudah dijalankan oleh negara-negara Skandinavia. Swedia misalnya, sudah memasukkan mata pelajaran agama Islam di sekolah selama bertahun-tahun. Begitu juga halnya dengan Norwegia dan Finlandia, kaum orientalis di kedua negara itu ditugaskan untuk memberikan penjelasan tentang Islam dan budaya Arab.
Dengan diterapkannya aturan itu, Denmark akan menjadi negara kedua di kawasan Skandinavia, setelah Swedia yang memberikan pelajaran al-Quran di sekolah. Adapun di Norwegia dan Finlandia, para siswa yang berminat juga diperbolehkan untuk mengikuti kelas sejarah dan peradaban Islam-Arab. Ketika mengumumkan kebijakan tersebut tanggal 19 September 2004, Ulla Toernaes, juru bicara Departemen Pendidikan, mengharapkan agar pelajaran al-Quran nantinya dapat membantu masyarakat Denmark lebih mengenal Islam. ''Apalagi semakin banyak kalangan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang agama ini,'' ujarnya.
Islam kini merupakan agama kedua terbesar di Denmark. Jumlah umat muslim diperkirakan mencapai 200 ribu jiwa dari total populasi sebesar 5,3 juta jiwa. Komunitas muslim yang berada di Eropa Barat segera “menyambut baik” inisiatif dari pemerintahan Denmark itu. ''Hal ini akan menjadi langkah penting dalam menuju tatanan masyarakat yang multi-etnis dan saling menghargai satu sama lainnya,'' demikian advetorial sebuah koran lokal Denmark.
Sebetulnya, 'angin' ke arah sana sudah terbaca sejak awal tahun 2004. Akhir tahun lalu, pemerintah Denmark menggulirkan rencana untuk memberikan program pendidikan tambahan berupa pelajaran bahasa Arab dan agama Islam di sekolah-sekolah negeri. Tetapi benarkah semuanya setuju dengan kebijakan ini? Ternyata ada ganjalan juga. Untuk ukuran negara-negara Eropa, keputusan pemerintah Denmark memang lumayan 'berani'. Begitu palu keputusan diketok, mereka langsung berhadapan dengan kelompok sayap kanan yang didominasi Partai Kaum Sosialis (Socialist People's Party atau Socialistisk Folkeparti), sebuah partai yang anti-muslim. Mereka mengecam habis kebijakan pemerintah itu.
Warga muslim di negara-negara Eropa Barat menyambut baik kebijakan pemerintah Denmark, yang dinilai sebagai langkah yang tepat dalam komunitas yang multi etnis. Satu-satunya yang menentang kebijakan pemerintah Denmark adalah kelompok sayap kanan partai sosialis yang dikenal anti Islam.
Ketika 'gelagat' bakal disahkannya keputusan pengajaran Islam di sekolah mulai terbaca, koran-koran anti-Islam sudah mulai membuat tulisan miring. Belum lama ini, dua orang politisi Denmark mengaku terganggu dengan sebuah tulisan yang menyoroti masalah seputar proses integrasi umat muslim yang tengah berlangsung di negara mereka.
Fakta di lapangan menunjukkan, jumlah umat Islam di Denmark makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa makin banyak orang Swedia yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam. Pemberian pengajaran al-Quran di sekolah, sekaligus sebagai niat baik dari pemerintah Denmark untuk mengakomodasi komunitas muslim di negara itu.
Saat ini, ada sekitar 200.000 warga Muslim di Denmark dan agama Islam, menjadi agama kedua terbesar setelah agama kristen protestan. Mereka kini sedang menghadapi persoalan untuk menyediakan pemakaman khusus bagi warga muslim. Komunitas muslim di Swedia harus punya dana sebesar 3,2 juta Krone untuk membeli lahan yang akan digunakan sebagai pemakaman muslim. Pemerintah Denmark sendiri masih membicarakan persoalan ini.
Selain itu, ada lagi persoalan penting yang dihadapi umat Islam di Denmark. Sebab, dengan meningkatnya jumlah penduduk muslim Denmark, ternyata tidak diimbangi dengan jumlah masjid yang ada. Jadinya, kini kaum muslim Denmark benar-benar membutuhkan masjid, karena tempat ibadah masjid haruslah diakui sebagai nafas umat Islam. Tanpa masjid, bagaimana denyut Islam bisa leluasa didengungkan?













SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI PERANCIS
Oleh Wakhidatun Nisa
Awal Masuk Islam ke Perancis
Sejak abad 8 M, Islam masuk ke kota-kota selatan Perancis melalui Spanyol ke Toulouse, Narbonne dan sekitarnya hingga Bourgogne di tengah-tengah Perancis.  Namun baru pada abad 12 hingga abad 15 orang-orang Islam mulai menempati kota-kota selatan Perancis yang terdapat di provinsi Roussillon, Languedoc, Provence, Pay Basque Perancis termasuk Bearn. Hal ini berlangsung secara bertahap dan puncaknya adalah ketika terjadi pengusiran besar-besaran terhadap muslim Spanyol pada peristiwa Reconquista di bawah Raja Ferdinand II dan istrinya Ratu Isabelle pada  tahun 1492 M. Namun baru pada pada abad ke-20, Islam berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholik ini mulai menerima kehadiran Islam. Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satu agama yang mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa.
Di Perancis Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Sebelum Islam masuk ke Perancis yang berada di benua Eropa yang terkenal sebagai benua tempat umat pemeluk agama Kristen terbesar di dunia. Perancis masih di bawah pimpinan raja-raja yang beragama Kristen. Dan pada saat itu pemerintah melarang umat Islam masuk ke Perancis. Hal ini disebabkan kekhawatiran pemerintah Perancis terhadap umat Islam akan melakukan pemberontakan dan merebut salah satu wilayah Eropa terbesar.
Akan tetapi pada masa kejayaan Bani Abbasiyah, pinggiran-pingiran benua Eropa yang telah di rebut oleh kerajaan Yunani dari masa pemerintahan Bani Umayyah di pukul mundur, hingga ekpansi tentara Islam pada saat itu kembali menguasai bagian pinggiran Eropa. Kemudian gerakan pasukan muslim pada saat itu yang berada di daratan Turki mampu merebut kawasan Spanyol dan Perancis. Dan disinilah awal mula masa keemasan umat Islam di kawasan Eropa. Umat Islam yang berada di kawasan Eropa pada saat itu tidak khawatir lagi atas keberadaan tempat tinggalnya di Eropa.
Dan pada masa keemasan ini para ilmuwan-ilmuwan Arab bebas masuk ke bagian Spanyol, Cordova, Sisilia, Perancis dan negara-negara di bagian Eropa barat. Dan pada saat itu pengetahuan umat Islam di Eropa khusunya di wilayah Perancis sangat berkembang pesat, baik itu di bidang politik, ekonomi, filsafat, kedokteran dan lain sebagainya.
Adapun ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu di wilayah Eropa terutama di daerah Perancis pada saat itu adalah sebagai berikut :
1.      Bidang politik
Terjadi balance of power karena di bagian barat terjadi permusuhan antara Bani Umayyah II di Andalusia dengan kekaisaran Karoling di Perancis. Sedangkan di bagian timur terjadi perseteruan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Byzantium Timur di semenanjung Balkan. Bani Abbasyah juga bermusuhan dengan Bani Umayyah II dalam perebutan kekuasaan pada tahun 750 M. Kekaisaran Karoling bermusuhan dengan kekaisaran Byzanium Timur dalam memperebutkan Italia. Oleh karena itu terjadilah persekutuan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Karoling, sedangkan Bani Umayyah II bersekutu dengan Byzantium Timur. Persekutuan baru berakhir setelah terjadi Perang Salib (1096-1291)
2.      Bidang Sosial Ekonomi
Islam telah menguasai Andalusia pada tahun 711 M dan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Keadaan ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan Eropa. Islam berarti telah menguasai daerah Timur Tengah yang ketika itu menjadi jalur dagang dari Asia ke Eropa. Saat itu perdagangan ditentukan oleh negara-negara Islam. Hal ini menyebabkan mereka menemukan Asia dan Amerika.
3.      Bidang Kebudayaan
Melalui bangsa Arab (Islam), Eropa dapat memahami ilmu pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh tokoh yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain :
a.       Al Farabi (780-863M)
Al Farabi mendapat gelar guru kedua (Aristoteles digelari guru pertama). Al Farabi mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku karya Aristoteles.
b.      Ibnu Rusyd (1120-1198)
Ibnu Rusyd memiliki peran yang sangat besar sekali pengaruhnya di Eropa sehingga menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu Rusyd di panggil Averoes) yang menuntut kebebasan berfikir. Berawal dari Averoisme inilah lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan Ibnu Rusyd kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c.       Ibnu Sina (980-1060 M)
Di Eropa, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicena. Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan Persia, penulis buku-buku kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau juga seorang filsuf yang terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau wahdatul wujud. Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya yang terkenal dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang menjadi suatu rujukan ilmu kedokteran.
4.      Bidang Pendidikan
Banyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafat.
Dan di jelaskan mulai dari masa keemasan Islam di Eropa hinga tahun 912-961 M. Ibukota Cordova di kenal sebagai pusat ilmiah dan kebudayaan yang gemilang, menandingi kedudukan Baghdad dan kawasan Islam bagian timur, dan di berbagai belahan bumi lainnya. Terutama masyarakat Perancis berbondong-bondong menuntut ilmu di ibukota Cordova.
Awal Kemunduran Islam di Prancis
Akan tetapi, pada saat keemasan umat Islam di Eropa inilah umat Kristen Spanyol dan Perancis yang membuat suatu kelompok sadar dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam pada saat itu. Terjadilah puncak pemberontakan dan kekacauan yang sangat besar di Spanyol dan Perancis.
Umat Islam pada saat itu di pimpin oleh As-Samh dalam melawan pemberontakan yang sedang bergolak pada saat itu. Dan akhirnya As-Samh tewas dalam pertempuran Toulouse. Kemudian Abdurrahman dipilih untuk menggantikan kedudukannya oleh tentara disana tetapi jabatan itu tidak lama. Abdurrahman hanya menjabat selama beberapa bulan saja. Kemudian umat Islam pada saat itu di pimpin oleh Anbasah yang menggantikan kedudukan Abdurrahman sebagai gubernur Spanyol pada tahun 721 M sampai batas tertentu ia mampu memulihkan kedaan disana.  Hingga akhirnya Anbasah melintasi Pegunungan Pyrenee dan bertujuan untuk merebut kembali Perancis dari umat Kristen.
Dan Anbasah pun mampu merebut kembali Perancis dan pemerintahan di ambil alih oleh pemerintah Islam. Tak berapa lama dari keberhasilan ini, sisa-sisa umat Kristen yang berada di Perancis kembali melakukan aksi pemberontakan, dan pada saat itu tepatnya tahun 725 M Anbasah terbunuh dan kedudukannya di ambil alih kembali oleh Abdurrahman pada tahun 731 M. Akan tetapi beralihnya kekuasaan ke angan Abdurrahman tidak meredam pemberontakan pada saat itu. Pemberontakan tetap terjadi hingga salah satu gubernur Islam Perancis yang berada di Provinsi Pyrenee bersama Duke of Aquitaine yang berkhianat melakukan pemberontakan dan meminta bantuan kepada raja Perancis, Charles Martel, agar membantunya.
Charles mengabulkan permohonannya dan dengan suatu kekuatan yang besar menuju ke arah selatan Perancis meskipun kalah dalam jumlah oleh orang-orang Kristen. Pada saat itu umat Islam bertempur dengan keberanian dan semangat yang bergejolak dan berkali-kali menembus benteng pasukan Kristen yang berlapis baja.
Pertempuran yang sengit itu berlangsung selama tiga hari. Pada hari ketiga Abdurrahman tertembus anak panah. Gugurnya jendral itu menyebabkan seluruh komando pasukan kacau dan orang-orang Kristen pun langsung memanfaatkan kesempatan dan membuat kerusakan yang hebat pada tentara Islam saat itu.
Setelah merebut Perancis, pasukan Kristen bergerak maju ke bagian Eropa lainnya hingga mereka melakukan ekspansi ke Turki dan berhasil merebut wilayah Turki dan dendam umat Kristen pun terbalas. Hal ini bertepatan pada saat terjadinya krisis politik di Baghdad yang mana pada saat itu dinasti-dinasti kecil yang dibawah pimpinan Daulah Abbasiyah memberontak dan juga disebabkan kekalahan umat Islam pada Perang Salib yang bergejolak pada saat itu.
Dan hal ini di jelaskan oleh buku yang terbit pada 1786, pengarang Perancis Volney muncul dengan karangannya berjudul “Pandangan -Pandangan Tentang Perang Melawan Turki”. Dikatakannya bahwa Turki melebarkan sayap kekuasaannya hampir 400 tahun dan selama masa itu mereka telah memperbaiki pembukaan kota-kota dunia yang paling indah dan paling besar. Tetapi di waktu hampir 100 tahun terakhir, muncul suatu kerajaan yang tadinya tidak terkenal sama sekali tetapi dengan begitu cepat mengagumkan ia tampil dan mempunyai hari depan, yaitu Kerajaan Rusia. Baik dalam alam benda maupun dalam alam kebudayaan, kalau barangnya sudah tumbuh ia akan bergerak terus menerus sesuai dengan kebesaran tubuhnya.
Dan keadaan di Turki semakin di perburuk oleh bergabungnya antara Inggris dan Perancis dalam Perjanjian Sevres yang mengutus orang-orang Constantinopel untuk menghancurkan Turki. Dan kemudian perjanjian ini menghasilkan kesepakatan wilayah Turki di bagi menjadi dua wilayah kekuasaan. Sebagian oleh Inggris dan sebagian oleh Perancis.
Akan tetapi Inggris mengubah haluan, yaitu dengan berpihak kepada pemerintahan Prusia (Jerman) dan membuat perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1788 akan kerjasamanya tentang negara-negara timur. Semenjak itu politik Inggris membela tetap adanya Turki untuk menghambat pertumbuhan kemajuan Rusia. Dengan demikian Turki dapat menarik nafas lega karena dapat menjalankan pemerintahan meskipun masih dalam jajahan Inggris.
Masa Setelah Perang Dunia I dan II
Tahap berikutnya adalah setelah pecahnya Perang Dunia I dan II. Sebagian Muslim yang masuk ke Perancis adalah para korban perang ( Palestina, Turki, Tunisia dll ). Sementara sebagian besar lagi datang dari Aljazair sekitar tahun 1960-an karena Perancis membutuhkan sejumlah besar tenaga dalam rangka membangun negaranya yang hancur karena perang. Perlu dicatat, Aljazair adalah satu dari negara bekas jajahan Perancis.
Negara-negara Islam seperti Irak dan Afganistan menjadi sasaran serangan membabi buta. Dan seperti biasa rakyat yang menjadi korban dan yang paling menderita. Mereka   ini kemudian berimigrasi ke Perancis untuk mencari perlindungan. Ini masih ditambah lagi dengan orang-orang Iran yang lari dari negaranya ketika Revolusi Iran tahun 1979, korban perang negara-negara bekas jajahan Uni Sovyet seperti Chenya serta perang saudara di Yugoslavia. Dengan demikian masuklah  Islam ke Eropa termasuk Perancis.
Selain itu hal yang memengaruhi perkembangan Islam di Perancis. Salah satunya adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan munculnya krisis identitas di kalangan anak muda muslim di Perancis. Kondisi ini mendorong mereka lebih rajin datang ke masjid. Gerakan Intifada di Palestina juga mendorong makin banyaknya muslim Perancis yang beribadah ke masjid.
Islam Setelah Perang Dunia I dan II
Dan inilah yang menjadi awal penyebaran Islam di Perancis di era teknologi. Islam berkembang melalui pengungsi meskipun awalnya pergerakan aktivitas orang-orang Islam di Perancis sangat terkekang mulai dari dilarangnya memakai jilbab seorang karyawan wanita muslim, dilarangnya berkumandang azan dan dilarang membangun bangunan mesjid setinggi 30 m.
Menurut survei yang dilakukan kelompok muslim Perancis sampai tahun 2003 jumlah masjid di seantero Perancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Pada tahun 1970-an, imigran muslim kembali mendatangi negara pencetus Trias Politica itu. Kali ini para pelajar muslim yang datang ke Perancis untuk menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor penting yang mengambil peran besar dan penting dalam mendorong penyebaran Islam dan berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Karena justru sejak tahun 2004 itu  makin banyak saja perempuan berjilbab di kota-kota Perancis. Menurut laporan banyak perempuan Perancis tertarik kepada ajaran Islam karena Islam ternyata sangat melindungi hak-hak perempuan. Jilbab yang dituduh merupakan cermin ketidakbebasan perempuan sekaligus lambang superioritas laki-laki ternyata malah berfungsi melindungi perempuan.
Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terdapat penjualan daging halal, setelah tujuh tahun dari pengungsian tersebut banyak berdiri toko-toko yang menyediakan daging halal dan pelayanan secara Islami. Dan di tambah kabar seorang Mentri Keimigrasian Eric Besson yang melempar isu debat nasional. Sejumlah tabloid melaporkan bahwa saat ini duda berusia sekitar 45 tahun  ini sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis Tunisia muslim cucu mantan presiden Tunisia dan akan segera masuk agama Islam.
Dan perkembangan Islam semakin berjalan mulus dan hal ini dengan di tahun 1985 diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Perancis.
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara Perancis jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.
Menurut survei yang dilakukan kelompok muslim Perancis, sampai tahun 2003 jumlah masjid di seantero Perancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Perkembangan Islam dan masjid di Perancis juga ditulis oleh seorang wartawan Perancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Perancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Perancis sebanyak 73 masjid.
Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid akan makin bertambah di Perancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes, misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.
Awalnya, masjid-masjid yang ada di Perancis didirikan oleh orang-orang muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris, Perancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang mereka menggunakan ruangan di asramanya sebagai sarana ibadah sehingga hal itu terus berkembang dan menyebar.
Tak hanya masjid yang berkembang pesat pada saat ini lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang sejumlah sekolah Islam berdiri di Perancis. Sampai kini sedikitnya ada empat sekolah muslim swasta.
Awalnya sebuah sekolah didirikan di Vitrerie, pinggiran selatan Paris. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional Perancis namun ada tambahan pelajaran khusus muatan lokal tentang keislaman, seperti bahasa Arab dan agama Islam.
Education et Savior adalah sekolah kedua yang dibuka di Paris setelah sekolah Reussite di pinggiran Aubervilliers, utara Paris, dan yang keempat di Perancis. Dua sekolah swasta Islam lainnya adalah Ibn Rushd di Kota Lille, utara Perancis, dan Al-Kindi di Kota Lyon.
Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret 2007.
Menurut para pemimpin muslim Perancis insiden di Al-Kindi justru mendorong masyarakat muslim untuk membuka sekolah serupa. ”Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas muslim untuk memiliki sekolah lebih banyak,” ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam di Perancis, UOIF. Dan hingga saat ini Islam di Perancis berkembang pesat di setiap kalangan penduduk negara Napoleon Bona Parte.
Bahkan kini Islam di negara ini telah menyebar di setiap komunitas masyarakatnya mulai dari karyawan kantor, wiraswasta, bahkan olahragawan.



SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI ITALIA
Oleh Wima Nastiti
Sejarah Islam di Italia bermula pada abad ke-9, ketika Sisilia dan beberapa wilayah di Semenanjung Italia menjadi bagian kekuasaan Ummah Muslim antara tahun 828 (Penaklukan Muslim Sisilia) dan pada tahun 1300 (kehancuran benteng pertahanan Islam terakhir di Lucera, Puglia), Islam hampir tidak ada lagi di Italia sejak zaman penggabungan negara pada tahun 1861 hingga tahun 1970-an, saat gelombang pertama imigran dari Afrika Utara mulai tiba. Bangsa tersebut, umumnya berasal dari bangsa Berber dan Arab, yang kebanyakan datang dari Maroko. Sebagian juga datang dari Albania, dan beberapa tahun kemudian, mereka juga diikuti oleh orang-orang Mesir, Tunisia, Senegal, Somalia, Pakistan dan lain-lain.
Saat ini, terdapat 60.000 orang berkebangsaan Italia yang beragama Islam. Mereka merupakan orang asing yang menjadi warga negara Italia dan penduduk asli Italia yang memeluk Islam.
Islam tidak secara formal diperkenalkan oleh negara di Italia di samping menjadi kepercayaan terbesar kedua setelah Katolik. Kepercayaan lain termasuk Yahudi dan grup yang lebih kecil seperti Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah dan Gereja Advent Hari Ketujuh, telah disetujui oleh pemerintah Italia. Pengenalan resmi telah memberikan kepercayaan tersebut sebuah kesempatan menguntungkan dari "pajak agama" nasional yang dikenal sebagai Delapan per seribu.

Sejarah

Sejak awal abad ke-7 dan ke-8, sebagian bangsa Lombard, salah satu dari bangsa Jerman yang menguasai sebagian Italia, memilih meninggalkan kepercayaan Arianisme dan memeluk Islam di samping Katolik, sedangkan al-Ankubarti umumnya berjuang sebagai tentara sewaan dalam pasukan Arab di pantai Mediterrania Afrika, khususnya Ifriqiyah-Tunisia, dan juga Saqaliba oleh masyarakat Muslim Arab. Di Palermo Tengah, sebuah distrik diberi nama Saqaliba. Orang Sisilia-Saqaliba terkenal dari abad ke-10 adalah Gawhar Al-Siqilli, seorang pemimpin militer Fatimiyyah dan yang mendirikan Cairo. Orang Sisilia-Saqaliba lain, adalah dari bangsa Slavia Sabir al-Fata, yang menaklukkan Taranto dan Otranto pada tahun 927.
Serangan Arab pertama terhadap Sisilia-Bizantium pada tahun 652, 667, dan 720 mengalami kegagalan; Syracuse dapat ditaklukkan untuk pertama kalinya untuk sementara waktu pada tahun 708, namun sebuah invasi yang direncanakan pada tahun 740 gagal dilaksanakan karena pemberontakan Berber dari Maghreb yang berlangsung hingga tahun 771 dan perang sipil di Ifriqiyah berlangsung hingga tahun 799. Sardinia bagaimanapun berhasil dikuasai Islam dalam beberapa tahapan pendudukan yang berlangsung pada tahun 711, 720, dan 760 secara berturut-turut. Pulau Italia Pantelleria dapat ditaklukkan oleh bangsa Arab pada tahun 700.
Muslim di Sisilia
Untuk mengakhiri pemberontakan pasukannya, hakim Aghlabiyyah dari Ifriqiyah mengirimkan para perjuang Arab, Berber, dan Andalusia untuk menaklukkan Sisilia pada tahun 827, 830, dan 875, dengan dipimpin oleh Asad bin al-Furat. Pada tahun 902, hakim Ifriqiyah menjadikan dirinya sendiri untuk memimpin pasukan perang untuk bertempur di pulau tersebut. Hakim dari Sisilia, yang memberontak melawan Konstantinopel, dijuluki oleh kaum Muslim (disebut Saraken oleh orang Eropa) sebagai penolong. Pada tahun 831 Palermo jatuh ke tangan mereka, kemudian pada tahun 843 diikuti Messina, pada tahun 878 Syracuse, pada tahun 902 Taormina, pada tahun 918 Reggio Calabria di daratan utama, dan pada tahun 964 Rometta, dan yang benteng Bizantium terakhir yang tersisa di Sisilia.
Keberhasilan pertanian Sisilia di bawah kekuasaan Arab menjadikan pertanian tersebut terkenal di bidang ekspor. Seni dan kerajinan tangan menjadi berkembang pesat di kota itu. Palermo, ibu kota Arab di pulau itu, memiliki 300.000 penduduk saat itu, lebih banyak dari hasil penggabungan seluruh kota di Jerman. Pada awal abad ke-11, umat Muslim menjadi setengah populasi Sisilia, dengan bangsa Arab mendominasi utara pulau di sekitar Palermo dan bangsa Berber di area sekitar Agrigento di wilayah selatan.
Emirat di Apulia
Dari Sisilia, bangsa Muslim mulai pindah ke daratan utama dan menguasai Calabria. Pada tahun 835 dan kemudian tahun 837, Adipati Naples berjuang melawan Adipati Benevento yang diminta oleh bangsa Muslim untuk membantu. Pada tahun 840, kota Taranto dan Bari jatuh ke tangan bangsa Muslim, dan pada tahun 841, Brindisi juga mengalami kejatuhan. Capua dapat ditaklukkan, Benevento, yang saat itu di bawah kekuasaan bangsa Frank, dapat dikuasai pada tahun 840-847 dan tahun 851-52. Serangan bangsa Arab terhadap Kota Roma pada tahun 843, 846 dan 849 berhasil digagalkan. Pada tahun 847, Kota Taranto, Bari, dan Brindisi menyatakan menjadi emirat independen dari Aghlabiyyah. Selama beberapa dekade, bangsa Muslim memerintah Mediterrania dan menyerang kota-kota pesisir Italia. Pada tahun 868-870, Kota Ragusa di Sisilia masih dalam kekuasaan bangsa Arab.
Hanya setelah kejatuhan Malta tahun 870, Kristen dunia barat berhasil dalam memperbaiki angkatan perang melawan Muslim. Kaisar Franko-Romawi Louis II menaklukkan Brindisi dan menumpas bangsa Arab di Bari tahun 871, namun kemudian jatuh tertawan Aghlabids. Sebagai gantinya, Byzantium menaklukkan Taranto tahun 880. Sejumlah kecil benteng Arab di selatan bertahan hingga tahun 885, contohnya Santa Severina Crotone di Calabria. Tahun 882, bangsa Muslim dijumpai di mulut Sungai Garigliano antara Naples dan Roma basis baru jauh di utara, yang bersatu dengan Gaeta, dan menyerbu Campania seperti Sabinia di Lazio. Seratus tahun kemudian, Byzantium disebut bangsa Arab Sicilia sebagai pendukung melawan kempanye Kaisar Jerman Otto II. Mereka mengalahkan Otto di Taranto tahun 982 dalam pertempuran di Crotone dan dalam 200 tahun berikutnya sebagian besar digantikan dalam mencegah penggantinya sejak memasuki Italia selatan.
Tahun 1002, Bari dikuasai lagi oleh bangsa Arab, namun kemudian dikuasai lagi oleh Byzantium. Melus (Melo), Emir Bari 1009-1019, melawan Byzantium dan dijuluki oleh orang Normandia sebagai penyelamat. Melus, berasal dari Lombard-Arabi, digambarkan sebagai Ismail dalam sulaman emas "Sternenmantel", yang diberikan kaisar Jerman Henry II.
Setelah Aghlabids dikalahkan di Ifriqiya, Sicily jatuh pada abad ke-10 kepada pengganti Bani Fatimiyah mereka, namun mengklaim kemerdekaan setelah pertempuran antara Islam Sunni dan Islam Syi'ah dibawah Kalbids.
Invasi di Piedmont
Setelah mereka menguasai kekaisaran Visigoth di Spanyol, bangsa Arab dan Barbar 729-765 dari Septimania dan Narbonne melakukan pengepungan di Italia utara, dan tahun 793 menyerbu lagi Perancis selatan (Nice 813, 859 dan 880). Tahun 888 Muslim Andalusia mengubah pasukan baru di Fraxinet dekat Frejus di Provinsi Perancis, dari mana mereka mengawali pengepungan sepanjang pesisir dan di dalam Perancis.
Tahun 915, setelah Pertempuran Garigliano, bangsa Muslim kehilangan pasukan mereka di selatan Lazio. Tahun 926 Raja Hugh dari Italia memerintah bangsa Arab untuk bertempur mempertahankan Italia utara yang direbut miliknya. Tahun 934 dan 935 Genua dan La Spezia diserang, diikuti oleh Nice pada tahun 942. Di Piedmont, bangsa Muslim menempuh sejauh Asti dan Novi, yang bergerak ke utara sepanjang lembah Rhône dan bagian barat Alps. Setelah kekalahan Pasukan Burgundy, Tahun 942-964 mereka menguasai Savoy dan menduduki sebagian Switzerland (952-960). Kota Swiss seperti Saratz tetap menggunakan lambang keberadaan Arab di wilayah itu. Untuk melawan bangsa Arab, Kaisar Berengar I, sainggan Hugh, memerintah bangsa Hungaria, di mana dalam pergerakannya, mereka menghancurkan utara Italia. Di bawah tekanan Raja Jerman, Fraxinet harus menyerah pada tahun 972, namun tiga puluh tahun kemudian, pada tahun 1002, Genoa diserbu, dan pada tahun 1004 Pisa.
Pisa dan Genoa bergabung untuk mengakhiri aturan Muslim hingga Corsica (Islam 810/850-930/1020) dan Sardinia. Sejak 1015 Sardinia dilindungi oleh armada Emir Andalusia Dénia di Spanyol, yang dikalahkan oleh persatuan bangsa Italia tahun 1016 dan kemudian setelah invasinya tahun 1022. Hanya pada tahun 1027 bangsa Italia berhasil dalam mengalahkan Muslim Sardinia; pergolakan Muslim terakhir berakhir tahun 1050.
Serangan abad ke-16
Hal ini menjadi perdebatan jika Otranto bermaksud untuk menjadikan pasukan dalam pertempuran berikutnya. Sultan Ottoman tidak pernah menyerahkan ambisi mereka untuk mengakhiri Kristen di Roma dan menerapkan kedaulatan Islam.
Setelah pendudukan Ragusa (Dubrovnik) dan Hungaria tahun 1526 dan kekalahan pasukan Turki di Vienna tahun 1529, pasukan Turki menyerang kembali Italia selatan. Tahun 1512/1526 Ottoman menduduki Reggio dan tahun 1537 bagian Calabria dan pada tahun 1538 mengalahkan Pasukan Venesia. Tahun 1539 Nice dikepung oleh bangsa Barbaria (Pengepungan Nice), namun percobaan penguasaan Turki di Sisilia gagal, seperti percobaan pendudukan Pantelleria tahun 1553 dan pengepungan Malta tahun 1565.
Spanyol, penyumbang terbesar untuk kejayaan Kristen „Persaingan Suci“ dalam pertempuran Lepanto tahun 1571 dibuat oleh Republik Venice, antara 1423 (dan khususnya sejak 1463) dan 1718 memerangi delapan perang pantai terhadap Kekaisaran Ottoman.
Situasi saat ini
Menurut statistik resmi Italia terakhir, Muslim mencapai sekitar 34% dari 2.400.000 penduduk asing yang tinggal di Italia pada 1 Januari 2005. Dari 820.000 penduduk asing tersebut merupakan sejumlah Muslim yang secara resmi bertempat tinggal di Italia, 100.000-150.000 lainnya seharusnya ditambahkan, sebagai keberadaan Muslim, menurut perkiraan tahunan yang disetujui secara luas asosiasi Italia Caritas, sekitar 40% imigran resmi Italia.
Di samping imigran legal menunjukkan minoritas keberadaan Muslim di Italia, isu Islam di Italia saat ini berhubungan dengan beberapa partai politik (khususnya 'Luga Utara' atau 'Lega Lombarda') dengan imigrasi, dan imigrasi ilegal yang lebih spesifik. Imigrasi telah menjadi isu politik yang terbuka, ketika, khususnya di musim panas, laporan muatan kapal imigran ilegal atau program berita dominasi clandestini.
Kepolisian tidak memiliki keberhasilan besar dalam meninterupsi banyaknya ribuan clandestini yang menepi di pantai Italia, terutama karena panjangnya garis pantai Italia semata: total sekitar 8.000 km . Namun, banyak clandestini yang berlabuh di Italia hanya menggunakan Italia sebagai jembatan menuju negara UE lain, karena fakta bahwa Italia tidak memiliki banyaknya peluang ekonomi untuk mereka seperti Jerman atau Perancis, dan kurang lebih iklim yang tidak bersahabat untuk keberadaan mereka, juga dengan ketaatan beragama umat Katolik Italia.
Jumlah Muslim asing yang telah berkedudukan warganegara Italia diperkirakan antara 30.000 hingga 50.000, jika Muslim Italia (dari marga Italia yang sebelumnya termasuk penganut Katolik atau tidak memiliki agama lalu masuk Islam) diperkirakan kurang dari 10.000.
Karena itu, pada tahun 2005 jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan menjadi antara 960.000 hingga 1.030.000, dengan perkiraan rata-rata mendekati angka jutaan di mana media Italia sudah mulai mengadopsi yang merujuk pada populasi Muslim di Italia.
Keberadaan Muslim saat ini 1.4% dari populasi Italia, persentase rendah dari negara UE besar lain, dan masih turun dari yang tercatat di Italia antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-13, sebelum perpindahan pasukan Muslim terakhir di Puglia tahun 1300.
Saat zaman Pertengahan, populasi Muslim bertotal hampir berpusat di Insular (Sisilia, Sardinia) dan (Calabria, Puglia) Italia Selatan, saat ini lebih rata penyebarannya, yang hampir 55% Muslim mendiami Utara Italy, 25% di Pusat, dan hanya 20% di Selatan.
Harus dikatakan bahwa di samping 'Invasi Muslim' tiruan, Muslim membentuk proporsi rendah imigran kemudian pada tahun selanjutnya, ketika laporan statistik terakhir Menteri Italia Interior dan Caritas menunjukkan bahwa bagian Muslim antar imigran baru merosot dari lebih 50% awalnya pada tahun 1990-an (umumnya Albanian dan Moroccan) menjadi kurang dari 25% di dekade selanjutnya, dengan Negara non-Muslim seperti Rumania, Moldavia, dan Ukraina yang mempelopori "gelombang" imigrasi terakhir.
Ukuran kecil relatif komunitas Muslim lokal berarti bahwa Islam telah membuat dampak penting pada kehidupan publik, namun terdapat tanda bahwa perubahan. Titik saat ini pergolakan antara orang Italia asli dan populasi imigran Muslim meliputi keberadaan salib di rusang kelas sekolah dan kamar rumah sakit Italia. Adel Smith talah menarik media pertimbangan dengan menuntut bahwa salib di tempat publik (sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintah) dipindahkan. Konsili Negara Italia, dengan jumlah kalimat 556, 13 Februari 2006 , mengkonfirmasi pajangan salib dalam dukungan pemerintah ditempatkan.
Jika non-Kristen mungkin tidak melihat ini sebagai alasan untuk menjadikan salib wajib dalam institusi negara, banyak Muslim juga telah menyatakan oposisi mereka untuk memindahkan salib karena mereka tidak menemukan mereka mengganggu. Mereka mengutip fakta bahwa banyak negara dengan Muslim mayoritas, hal ini umum dijumpai anak panah dalam ruang hotel yang menandakan arah Mekah, dan bahwa ini tidak dibuat bahan perdebatan oleh non-Muslim.














SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI JERMAN
Oleh Wima Nastiti
Pembicaraan mengenai Islam dan komunitas Muslim di negara-negara Barat kini menjadi salah satu topik menarik. Hal ini tidak hanya karena perkembangnya yang cukup signifikan tapi juga karena memberi dampak terhadap kehidupan sosial politik negara-negara tersebut. Di sebagian besar negara-negara Eropa, Islam kini telah menjadi agama terbesar kedua dan keberadaanya saat ini mulai diperhitungkan sebagai agama yang “diakui” pemerintah. Salah satu negara Eropa yang memiliki penduduk Muslim yang besar adalah Jerman, dengan jumlah berkisar 3.7 juta jiwa.
Komunitas Muslim di Jerman
Keberadaaan orang-orang Islam pertama sekali di negeri Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa Turki ke wilayah tersebut di akhir abad ke 17 yang merupakan respons perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Mereka menetap dan berketurunan di wilayah tersebut. Ketika bangkitnya industri-industri di Eropa, banyak warga Muslim dari Turki dan Timur Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961, 1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki, Maroko, dan Tunisia direkrut sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara pemerintah Jerman dengan negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim dari Libanon, Palestina, Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga datang ke Jerman mengungsi karena negara mereka dilanda perang. Karena merupakan negara maju, Jerman juga menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak para profesional, pebisnis, pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan, dan Asia Tenggara datang dan sebagian menetap di sana.
Jumlah penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7 juta jiwa. Mayoritas adalah keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta orang. Menurut statistik tahun 1999, komposisi kaum Muslim di negeri ini adalah sbb: Turki 2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan 71.955, Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055, Aljazair 17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528,  Indonesia 9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia 3.084, Senegal, 2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan 1.399, Guinea 1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083. Tidak jelas berapa jumlah Muslim yang berasal dari Jerman sendiri. Satu laporan dari Lembaga Statistik Khusus umat Islam di Jerman menyebutkan sedikitnya 18.000-an orang, namun ada dugaan menyebutkan sekitar 40.000 orang.
Konversi Agama ke Islam
Satu fenomena yang menarik belakangan bahwa tingkat konversi orang-orang Jerman ke Islam cukup tinggi. Majalah ternama Jerman Der Spiegel pernah menyebutkan bahwa antara Juli 2004 dan Juni 2005 saja terdapat sekitar 4000 orang di Jerman masuk Islam, fenomena ini terjadi justru disaat media-media Barat gencar mengaitkan Islam dengan terorisme.
Apa motivasi masuknya orang-orang Jerman ke Islam? Kai Luhr adalah seorang dokter praktek di Jerman. Ia beralih memeluk Islam bersama istrinya dua setengah tahun lalu. Sejak itu ia mengganti nama menjadi Kai Ali Rashid, sementara sang istri berganti menjadi Katrin Aisha Luhr.Kedua pasangan itu sempat tampil dalam sebuah wawancara di televisi swasta 3sat. Dalam wawancara Katrin Luhr mengatakan sebelum mendapat kehormatan berupa hidayah memeluk Islam, ia merasa jiwanya kosong. Ia mengaku pergi ke gereja dari waktu ke waktu namun gagal menemukan jawaban yang ia cari. Kini ia menyatakan tak pernah menemukan kegembiraan seperti ini sebelumnya, juga jawaban terhadap pertanyaan di benaknya. Ia juga menikmati setiap perubahan bermanfaat yang ia rasakan setelah memeluk Islam. “Saya menyesal tidak dari dulu mengenal Islam. Kalau saja orang Jerman mendapat informasi yang benar tentang Islam, mereka akan mudah masuk Islam,” kata Kai Lühr dalam pernyataannya di televisi. Mereka memutuskan masuk Islam setelah mempelajari al-Qur’an terjemahan dalam bahasa Jerman. Kini, keluarga Lühr telah menjadi Muslim yang taat.
            Di kalangan masyarakat Jerman, kelompok yang berprofesi dokter seperti keluarga Lühr merupakan simbol kelas menengah. Mereka saat ini sedang menjadi sorotan publik. Bukan soal kekayaan atau tekanan politik mereka terhadap pemerintah. Tapi karena mereka sedang berbondong-bondong masuk Islam. Perkembangan Islam di Jerman saat ini boleh dibilang sedang memasuki sebuah babak baru. Keluarga Lühr adalah salah satu dari ribuan orang Jerman yang tiap tahun masuk Islam pada lima tahun terakhir ini.
            Sebut saja beberapa orang misalnya Nils von Bergner, pengacara muda 36 tahun yang tinggal di kota Hamburg, telah menetapkan pilihannya untuk masuk Islam. Kini, Bergner tidak pernah absen menjalankan shalat lima waktu meskipun harus dengan menggelar sajadah di kantornya. Ada juga dari kalangan akademisi seperti Nina Mühe, ahli Etnologi dari Universitas Berlin. Juga Silvia Horch dosen Jurusan Sastra Jerman- Arab. Dan masih banyak lagi. Mereka semua telah berketetapan hati untuk masuk Islam.
Realitas sosial semakin banyaknya yang menjadi mualaf  itu rupanya menarik perhatian kantor Menteri Dalam Negeri Pemerintah Federal Jerman. Akhirnya, kementerian meminta lembaga ‘Das Islam Archiv’ untuk melakukan penelitian terkait dengan fenomena ini. Hasilnya memang cukup mencengangkan. Menurut penelitian yang sempat dipublikasikan Harian Hamburger Abendblatt edisi 29 Januari 2007. Selama satu tahun saja, terhitung Juli 2005 sampai Juni 2006 misalnya, orang Jerman yang masuk Islam sekitar 4.000 orang. Angka ini semakin meningkat pada tahun berikutnya. Tidak lagi 4.000 tiap tahun, tapi menjadi sekitar 6.000 orang per tahun.
Monika Wohlrab-Sahr dari Institut für Kulturwissenschaften Universitas Leipzig dalam studinya menyatakan “viele auf der Suche nach dem “Andersartigen” (banyak yang sedang mencari “bentuk lain”). Dalam banyak kasus, katanya. “..die Konvertiten meist aus einer vorangegangenen Lebenskrise heraus den Islam entdeckten und nicht, wie oft im Nachhinein geschildert werde, ein tatsächlicher Vergleich mit anderen Religionen stattgefunden habe. (Banyak pelaku konversi tersebut mengalami problematika kehidupan dan menemukan solusi dalam Islam, bukan karena membanding-bandingkannya dengan agama lain, sebagaimana yang kerap digambarkan). Monika menyebutkan bahwa penekanan terhadap kedisiplinan dan kepatuhan dalam Islam lebih kuat. Salah seorang muallaf menyebutkan tertarik pada Islam karena ajaran ini paling jelas merinci tuntunan hidup bagi umatnya. Ada juga yang mengakui meski Islam saat mundur dari peradaban Barat, namun ajarannya tetap relevan hingga saat ini.
Kebebasan Beragama
Di Jerman, kebebasan beragama dijamin oleh Undang-Undang. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar Jerman (Grundgesetz) menyebutkan Die Freiheit des Glaubens, des Gewissens und die Freiheit des religiösen und weltanschaulichen Bekenntnisses sind unverletzlich. (Kebebasan beragama dan memiliki pandangan filosofis hidup tidak boleh diganggu). Memang belakangan terdapat beberapa kasus dimana warga Muslim mendapat diskriminasi di Jerman misalnya dalam masalah jilbab. Namun hal ini bukanlah kasus yang fenomenal dan tidak merubah kebijakan pemerintah Jerman terhadap umat Islam. Secara umum, masyarakat Jerman sangat menghargai kebebasan beragama. Sebuah survey yang pernah dilakukan Stiftung Konrad Adenauer menunjukkan bahwa dua pertiga peserta polling percaya bahwa umat Islam harus diberikan kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama mereka.
Organisasi-organisasi Islam di Jerman umumnya berafilisasi kepada kelompok-kelompok kultural seperti tersebut diatas. Namun belakangan ada upaya-upaya penyatuan dengan membuat lembaga yang berfungsi sebagai mediator dan pemersatu berbagai organisasi yang ada.
Dan saat ini Kaum Muslim di Jerman bernaung di salah satu lembaga Islam terbesar bernama Zentralrat Muslim Deutschlands (ZMD) atau Dewan Pusat Muslim Jerman. Selain memberikan layanan pembelajaran tentang Islam, ZMD juga rajin memberikan advokasi atas kejadian-kejadian yang dihadapi oleh Muslim di Jerman.
Pendidikan Islam Formal
Berbeda dengan kebanyakan negara-negara lain di Eropa, Jerman dalam perkembangan terakhir, mulai memperbolehkan pelajaran agama Islam bagi para pelajar Muslim di sekolah-sekolah umum. Biasanya pelajaran agama dilakukan orang-orang Islam secara non-formal di masjid-masjid atau kelompok-kelompok masyarakat. Kebijakan baru yang merupakan hasil dari penggodokan bersama antara pemerintah Jerman dan komunitas Muslim di Jerman ini adalah salah satu upaya mendukung proses integrasi sosial Muslim di Jerman. Menurut Wolfgang Schrauber, Menteri Dalam Negeri Jerman, kebijakan tersebut dapat menjembatani perbedaan yang kerap timbul.
Tidak hanya di level sekolah, pendidikan Islam juga mulai diperkenalkan pada tingkat akademik dengan membuka Jurusan Teologi Islam di perguruan tinggi di Jerman. Pendidikan pada tingkat akademik ini dianggap dapat memberi solusi terhadap masalah kehidupan Muslim dalam keragaman dan juga dapat mengangkat isu partisipasi mereka dalam diskursus politik di negara tersebut.
Masjid Sebagai Pusat Pembinaan
Karena tidak adanya infrastruktur keagamaan formal, masjid-masjid di Jerman memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan komunitas Muslim. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat pendidikan/pengajaran, pertemuan sosial keagamaan, acara perkawinan, dan pusat bisnis. Karenanya tidak sedikit masjid yang memiliki toko, restoran, perpustakaan, dan ruang pertemuan. Saat ini jumlah masjid di Jerman berkisar 2000, namun sebagian besar tidak dalam bentuknya yang umum, melainkan ruko-ruko yang berada dekat pusat bisnis dan perumahan kaum Muslim. Tuntutan kaum Muslimin untuk membangun masjid dalam bentuknya yang umum selalu kandas di tingkat parlemen setempat. Namun sejak tahun 1990-an, banyak masjid yang utuh dan megah di bangun. Satu laporan menyebut sekitar 200 telah terbangun dan lebih dari 30 dalam proses pembangunan.
Sebagai catatan akhir, dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam dan komunitas Muslim di Jerman tampak memberi dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat Jerman. Penerimaan Islam oleh masyarakat Jerman sendiri menunjukkan agama ini memberikan alternatif bagi pemecahan masalah kehidupan mereka. Islam tidak lagi diidentikkan sebagai agama para imigran melainkan agama yang terintegral dari kehidupan mereka sendiri. Integrasi Islam dan kultur mereka inilah yang akan membangun apa yang dikenal sebagai “Euro Islam”.

Artikel Terkait