SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI RUSIA
Oleh Arisatul Azizah
Di Rusia dan di tanah Siberia,
sebuah wilayah yang mempertemukan dua senja, tidak mengenal siang juga tidak
dilewati malam, Allah mengetuk hati-hati penduduknya untuk menerima risalah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Daratan Siberia Rusia ini,
adalah sebuah daratan dingin yang suhu tertingginya di musim panas saja hanya
minus 50C.
Walaupun cahaya matahari tidak
menembus wilayah ini, namun cahaya Islam mampu menembus negeri beruang merah tersebut.
Risalah ini melewati stepa, hutan, dan pegunungan Rusia sejak 1400 tahun yang
lalu. Abdul Karim as-Samak menceritakan, pada tahun 2010 kunjungannya ke
Moscow, ia melihat Masjid Besar Moscow penuh sesak dengan jamaah yang shalat
Jumat di sana. Masjid yang memiliki enam lantai tersebut tidak mampu
menampung jamaah yang shalat, akhirnya banyak sekali jamaah yang harus shalat
di luar masjid berhadapan dengan tamparan cuaca dingin.
Kabar ini jarang sekali kita dengar,
kita lebih tahu Rusia adalah bekas negara Uni Soviet yang mayoritas
masyarakatnya menganut paham komunis. Banyaknya jumlah masyarakat Islam di
Rusia tentu saja menggembirakan kita, terlebih dengan terbangunnya hubungan
diplomatik Rusia dan Kerajaan Arab Saudi tentu saja berdampak positif terhadap
umat Islam di sana.
Dalam keadaan yang masih minoritas
umat Islam tetap berani menunjukkan eksistensi mereka di Rusia, pada tahun
1996, Mufti Rusia, Syaikh Rawi Ainuddin, meminta kepada Presiden Boris Yeltsin
agar mengizinkan umat Islam mengadakan perayaan peringatan lebih dari 1000
tahun masuknya agama tauhid ini ke negeri tersebut. Namun permintaan tersebut
ditolak oleh Yeltsin, barulah pada masa Vladimir Puthin umat Islam diizinkan
mengadakan perayaan tersebut dan eksistensi Islam pun kian kentara.
Sejarah Masuknya Islam ke Rusia
1. Masa Umar
bin Khattab
Masuknya cahaya Islam di Rusia
dimulai pada masa Umar bin Khattab dengan perantara sahabat yang mulia
Hudzaifah bin al-Yaman. Hudzaifah yang ditugaskan berdakwah di Azerbaijan dan
Armenia, terus berjuang menyebarkan Islam hingga mencapai wilayah Dailam,
Tibristan, dan Afganistan.
Penyebaran ini terus melebar hingga
terjadi kontak dengan orang-orang Kaspia. Pada tahun 115 H, salah seorang dai
di wilayah tersebut yang bernama Rabi’ bin Maslamah radhiallahu ‘anhu
berhasil membangun masjid di daerah tersebut. Tentu saja pembangunan masjid
adalah strategi yang jitu untuk mempertahankan Islam di wilayah baru ini.
2. Masa Daulah
Umayyah
Pada masa pemerintahan Amirul
Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, sahabat al-Hakam bin
Amr al-Ghifari radhiallahu ‘anhu melintasi Sungai Jaihun dan masuk
menguasai Uzbekistan pada tahun 50 H/67 M. Kemudian di masa berikutnya ada Said
bin Utsman yang menginjakkan kakinya di Samarkan, lalu Musa bin Abdullah bin Khozim
menaklukkan negeri Imam Tirmidzi, negeri Tirmidz pada tahun 70 H/689 M,
kemudian Qutaibah bin Muslim menembus
negeri-negeri Timur hingga sampai di Cina, Turkistan, Turkmenistan, Tajikistan,
dan Kyrgistan. Dengan kedatangan umat Islam ini, orang-orang pun
berbondong-bondong memeluk Islam tanpa paksaan dan tekanan sedikit pun.
Dari tanah Arab, Islam pun diterima
oleh semua pihak, diterima semua suku dan entik, dan diterima oleh mereka yang
miskin maupun kaya.
3. Masa Daulah
Abasiyah
Era baru masuknya Islam di Rusia
dipelopori oleh seseorang yang bernama Ahmad bin Fadhlan, salah seorang utusan
Daulah Abasiyah. Faktor terbesar yang membuat Islam rata menyebar dari wilayah
Cina hingga Laut Kaspia di masa ini adalah faktor penduduk lokal yang telah
memeluk Islam. Anak-anak pribumi (wilayah Asia Teengah) mendakwahi
saudara-saudara mereka yang masih menyembah patung dengan perantara
perdagangan. Dari sinilah muncul kisah tentang Ahmad bin Fadhlan.
4. Negara-negara
di sekitar Laut Kaspia
Saat Islam mulai tersebar di
kalangan penduduk Asia Timur dan wilayah Balkan, orang-orang Balkan pun
mengirim utusan kepada Khalifah Abasiyah, Muqtadir Billah. Mereka mengajukan
permintaan pengiriman seorang dai karena keterbatasan sumber daya penduduk
lokal yang mengetahui tentang syariat Islam. Abasiyah pun mengirim Ahmad bin
Fadhlan.
Ahmad bin Fadhlan terus giat
mendakwahkan dan mengajarkan Islam di wilayah tersebut. Ia mendatangi para
penguasa Balkan, dan mengenalkan Islam kepada mereka. Di antara buah dakwahnya
yang paling signifikan adalah masuknya Islam ke wilayah Kazan. Ahmad bin
Fadhlan juga tidak lupa mencatat perjalan dakwahnya ke negeri-negeri Rusia ini,
dan tulisannya dijadikan rujukan utama para sejarawan untuk mempelajari
masa-masa tersebut.
Penduduk Rusia Beralih Memilih
Nasrani
Farid Syah Asadullah mengisahkan
sebuah kontroversi yang cukup unik mengapa sebagian masyarakat Rusia yang telah
menerima Islam beralih memilih Nasrani. Tersebutlah nama pemimpin Rusia kala
itu, Vladimir, ia menolak Islam lantaran Islam mengharamkan khamr, padahal
khamr merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Rusia. Kata mereka, Rusia
sudah terbiasa dengan khamr, tidak ada kehidupan tanpa khamr. Agama Kristen
atau Nasrani yang membolehkan khamr dipandang lebih realistis oleh Vladimir dan
diikuti oleh rakyatnya.
Kejadian serupa juga pernah dialami
oleh orang-orang Arab yang sangat mencintai khamr. Kalau manusia biasa hidup
dengan meminum air putih (air mineral), maka di Arab ada ungkapan “Kami tumbuh
besar karena khamr (bukan air mineral pen.)” Adagium ini menunjukkan
betapa tidak bisa dipisahkannya masyarakat Arab kala itu dengan khamr dan pada
akhirnya mereka menerima bahwa khamr adalah sesuatu yang banyak mudharatnya
dibanding manfaatnya.
Rusia di Bawah Kekuasaan Tatar
Mongol
Mongol adalah salah satu bangsa yang
memiliki rekam jejak yang kelam dalam sejarah Islam. Namun pada fase pasca
Jenghis Khan, keadaan tersebut berubah terutama pada era Barkah bin Jochi bin
Jenghis Khan. Ia adalah salah seorang Khan penguasa Mongol. Berbeda dengan
leluhurnya Jenghis Khan yang sangat keras permusuhannya terhadap Islam, Barkah
malah memeluk dan mendakwahkan Islam yang dimusuhi oleh sang kakek.
Di antara jasa besar Barkah Khan
adalah mengalahkan sepupunya, Hulagu Khan, yang telah menghancurkan Daulah
Abasiyah dan membunuh khalifah terakhirnya. Termasuk jasanya juga adalah
mengembalikan cahaya Islam di negeri Rusia. Kekuasaan Mongol yang begitu luas
–sampai ada yang menyatakan menyentuh wilayah Jerman-, yang mencakup wilayah
Rusia menjadi angin segar dalam perkembangan penyebaran agama Islam. Kewibawaan
Islam kembali muncul, sampai-sampai wilayah Moskow dan Kiev yang Kristen tunduk
dan membayar pajak kepada umat Islam.
Namun pada tahun 885 H/1480 M,
Moscow di bawah kekuasaan Ivan III melepaskan diri dari kekuasaan umat Islam
bahkan membantai umat Islam. Moscow bergabung dengan Pasukan Salib untuk
memerangi umat Islam.
Komunis Membantai Umat Islam
Umat Islam menghadapi permasalah
serius tatkala Tsar Romanov berkuasa. Sebagian dari mereka terusir dan yang
lainnya tewas di tangan kebengisan anak buah Tsar Romanov. Keadaan demikian
terus berlanjut di masa Vladimir Lenin. Pada tahun 1917, pemimpin revolusi
komunis, Vladimir Lenin, menghianati umat Islam. Lenin yang semula menjanjikan
perubahan apabila ia berkuasa, menjadikan perubahan tersebut fatamorgana bagi
muslim Rusia. Penyiksaan, penindasan, dan kezaliman terus dirasakan umat Islam
di masa-masa pemerintahan komunis ini.
Setidaknya ada empat periodesasi Islam di Rusia:
- Usaha umat Islam untuk merevolusi pemerintah mereka.
- Masa-masa represi dan pembantaian umat Islam antara tahun 1925 – 1945.
- Pernga Duni II membawa era baru bagi umat Islam Rusia, Stalin mengirimkan 17 orang muslim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.
- Penyiksaan terhadap umat Islam terjadi lagi pada tahun 1950 sampai pemerintahan Gorbacev berakhir dan hancurnya Uni Soviet. Pada saat negara ini berganti nama menjadi Rusia barulah umat Islam mendapatkan hak keagamaan dan kewarganeraan.
Umat Islam di Rusia Hari Ini
Komunitas umat Islam di Rusia, cukup
besar. Jumlah mereka tidak kurang dari 20 juta jiwa. Umat Islam juga memiliki 7
buah masjid di Moscow, hal ini jauh lebih baik dibanding di Teheran, Iran, umat
Islam tidak memiliki satu pun masjid di sana. Masjid terbesar di Moscow adalah
masjidnya komunitas suku Tatar yang dibandung pada tahun 1801. Awalnya daya
tamping masjid hanya sekitara 250 orang, lalu pada tahun 1904 seorang Tsar
Tatar yaitu Tsar Shadiq Yazrin, memperbaiki masjid tersebut.
Setelah Rusia menjalin hubungan
diplomatik dengaan Arab Saudi, pembangunan masjid ini terus dikembangkan. Saat
ini masjid tersebut sudah mampu menampung kurang lebih 20.000 jamaah dan
memiliki 6 lantai.
Masjid Jami’
Moscow
Saat ini, agama Islam merupakan
agama terbesar di Rusia setelah agama Kristen. Keadaan umat Islam kian membaik
di masa Presiden Vladimir Putin. Hal itu dikarenakan umat Islam memiliki
peranan penting dalam membawa perbaikan masyarakat di Rusia. Umat Islam
diperbolehkan membangun sekolah-sekolah yang berbasis agama bahkan membangun
sebuah universitas Islam yang semuanya menggunakan bahasa Arab.
Demikianlah sekilah sejarah Islam di
Rusia. Islam memiliki sejarah yang panjang di Rusia, mengalami pasang surut
keadaan, mulai dari memegang kekuasaan hingga menjadi orang-orang marjinal yang
terpinggirkan. Saat ini, kebangkitan Islam mulai tampak lagi di negeri beruang
merah, sekolah-sekolah, masjid, dan Islamic center dibangun di beberapa tempat
di negeri tersebut. Semoga Allah menjaga Islam dan kaum muslimin di negeri ini,
amin..
Disarikan dari tulisan Abdul Kari as-Samak
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI SWISS
Oleh Arisatul Azizah
Swiss
atau Switzerland adalah negara Republik Federasi yang berada di Eropa Tengah.
Luasnya relatif kecil hanya 421.285 kilometer persegi dan berpenduduk 7,5 juta
jiwa. Negara beribukota Bern itu terdiri dari 26 negara bagian yang disebut
“Canton”. Secara geografis Swiss dibatasi oleh Jerman, Perancis, Austria dan
Lienchtenstein.
Tak heran jika negara itu memiliki
empat bahasa resmi, yakni Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh. Sebanyak 75%
penduduk Swiss berbahasa Jerman, 20% berbicara bahasa Perancis, 4% berbahasa
Italia, dan sisanya berbicara dalam berbagai bahasa.
Swiss dikenal sebagai negara yang
netral, karena tidak pernah terlibat perang dengan pemerintah sejak tahun 1815.
Maka tak heran Swiss menjadi basis atau tuan rumah berbagai organisasi besar di
dunia. Seperti Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), serta kantor-kantor organisasi
sayap Perserikatan Bangsa-Bangsa, meski markas besarnya berada di Newyork,
Amerika Serikat.
Swiss adalah negeri yang sangat
cantik. Bahkan Ramadhan KH, pujangga besar itu pernah menulis, “Tuhan pasti
tersenyum ketika Ia menciptakan Swiss.” Sebagian besar wilayah Swiss terdiri
dari pegunungan Alpen. Gunung paling terkenal adalah Matterhorn (4,478 m)
termasuk dalam pegunungan Alpen Valais dan Pennine di perbatasan Italia.
Sedangkan puncak yang tertinggi adalah Dufourspitze (tingginya 4,634 m), di
daerah ini ditemukan banyak lembah, air terjun dan glasier. Dan bagian dari
Alpen Bernese di atas glasier Lauterbrunnen yang terdiri dari 72 air terjun
dikenal dengan Jungfrau (4158 m).
Sementara di bagian utara lebih
banyak ditemukan lanskap terbuka dengan bukit-bukit, setengah hutan, dan
sebagian berpadang rumput terbuka. Biasanya dipenuhi dengan ternak atau
ditanami sayuran dan buah-buahan. Meskipun begitu tetap disebut pegunungan.
Beberapa danau besar dan kota-kota terbesar Swiss ada di wilayah ini. Pada
tahun 2006 dan 2007, Zurich - kota terbesar di Swiss dinobatkan sebagai kota
yang memiliki kualitas hidup terbaik di dunia.
Islam Masuk ke Swiss
Masuknya
Islam ke Swiss dimulai saat para pelaut Muslim dari Andalusia (Spanyol)
membangun sebuah negeri di Perancis Selatan. Kemudian para pelaut Muslim itu
menaklukkan negeri-negeri di sana menuju ke arah utara, sehingga pada tahun 939
M/321 H sampailah merekan ke wilayah St. Gallen di Swiss. Lalu, mereka
memindahkan armadanya ke sana dengan tujuan untuk mengamankan Andalusia. Salah
satu caranya dengan membangun berbagai menara pengintai dibeberapa tempat di
pegunungan Alpen. Bahkan sebagian wilayah pegunungan Alpen ini akhirnya
dikuasai oleh pasukan Islam, sehingga memudahkan mereka untuk masuk ke wilayah
itu dari arah laut.
Raja Teutons yang menguasai Jerman
saat itu pernah mengirimkan utusannya kepada raja Abdurrahman An-nasir pemimpin
kerajaaan Islam Andalusia untuk membicarakan keberadaan tentara Islam di
wilayah St. Gallen. Setelah dinasti Islam di Andalusia runtuh, sebagian
umat Islam di sana kembali berhijrah untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan
tentara Kristen, mereka memasuki wilayah Swiss selatan dan memutuskan untuk
menetap di sana. Mereka bergabung dan menyatu dengan penduduk setempat.
Di pertengahan abad ke-14 Hijriah,
Swiss kembali menjadi tempat hijrahnya umat Islam. Sebagian kecil umat Islam
mengungsi ke sana setelah Perang Dunia II berkecamuk.
Berkat kebaikan akhlak dalam menyebarkan nilai-nilai Islam, beberapa penduduk asli Swiss memeluk agama Islam.
Berkat kebaikan akhlak dalam menyebarkan nilai-nilai Islam, beberapa penduduk asli Swiss memeluk agama Islam.
Seorang yang termasuk dalam golongan
pertama masuk Islam adalah penyair Swiss Frithjof Schuon, sebelumnya ia
menganut sebuah agama di Perancis yang beraliran kependetaan. Karena minatnya
yang besar kepada Islam ia memutuskan untuk pindah ke Aljazair dan mengucapkan
syahadat di sana.
Setelah mempelajari Islam ia kembali
ke Swiss sambil terus mendakwahkan agama barunya itu. Setelah masuk Islam ia
dikenal dengan nama as-Shaykh `Isa Nur al-Din Ahmad al-Shadhili al Darquwi
al-Alawi al-Maryami. Dari tangan dinginnya ada beberapa warga Swiss yang
menyatakan memeluk Islam.
Umat Islam di Swiss terus bertambah
jumlahnya disebabkan masuknya imigran-imigran Muslim dari negara lain dan
banyak penduduk asli Swiss yang memeluk Islam. Sensus tahun 1951 umat Islam di
Swiss hanya berjumlah sekitar 2,000 orang, berkembang menjadi 30 ribu orang
diakhir tahun 70-an.
Menurut hasil sensus pada 2009, umat
Islam di Swiss mencapai 400 ribu atau 4,26 persen dari total penduduk Swiss.
Sementara perempuan di Swiss yang masuk Islam sampai tahun 2009, menurut
Monica Nur Sammour-Wust, tokoh Muslimah di sana, jumlahnya sekitar 30 ribu
orang.
Kota Basel menjadi kota dengan
jumlah umat Islam terbanyak di Swiss. Kaum Muslimin di Swiss sebagian besar
adalah imigran dari Arab, Kosovo, Turki, dan Afrika. Sebagian lainnya yaitu
para diplomat, pekerja profesional, pegawai di PBB dan pelajar yang sedang
menempuh studi. Umat Islam di Swiss membentuk komunitas sendiri-sendiri sesuai
etnis dan kewarganeraannya, termasuk warga Indonesia yang menetap di sana.
Ketika Islam mulai berkembang di
Swiss, kaum Muslim mendirikan sebuah Islamic Center yang pertama di kota
Jenewa. Aktivitas Islamic Center itu sangat sederhana, hanya untuk tempat
shalat berjamaah dan menerbitkan majalah Islam berbahasa Arab dan Perancis.
Akan tetapi, semua kegiatan itu tidak berjalan lama, pada akhirnya Islamic
Center ini ditutup. Baru pada tahun 1972 berdirilah persatuan Islam yang
pertama yang bertujuan untuk mendirikan masjid pertama di Swiss. Perkumpulan
itu menetapkan tujuh orang pimpinan sebagai pelaksananya, ketujuh orang
tersebut mewakili negara-negara Islam yang berkantor di Jenewa dan sekaligus
berperan sebagai penasehat.
Mereka menetapkan peraturan-peraturan dan mendaftarkan organisasi ini secara resmi. Berkat kesungguhan para pimpinannya usaha tersebut berhasil, pemerintah Swiss memberikan izin untuk mendirikan masjid dan Islamic Center-nya. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1973, Raja Faisal—raja Saudi Arabia saat itu—berkunjung ke Swiss dan meletakkan batu pertama untuk mendirikan King Faisal Center yang lokasinya tidak jauh dari kantor PBB.
Mereka menetapkan peraturan-peraturan dan mendaftarkan organisasi ini secara resmi. Berkat kesungguhan para pimpinannya usaha tersebut berhasil, pemerintah Swiss memberikan izin untuk mendirikan masjid dan Islamic Center-nya. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1973, Raja Faisal—raja Saudi Arabia saat itu—berkunjung ke Swiss dan meletakkan batu pertama untuk mendirikan King Faisal Center yang lokasinya tidak jauh dari kantor PBB.
King Faisal Center mencakup sebuah
mesjid yang cukup besar, perpustakaan dan sekolah gratis untuk anak-anak
muslim. Kini, telah berdiri berbagai organisasi Islam modern yang tersebar
diberbagai kota di Swiss. Salah satunya adalah Gemeinschaft Islamischer
Organisationen der Schweiz (GIOS) yang didirikan di Zurich pada tahun 1989.
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI
BELANDA
Oleh Azzidni Sabrina Pangesti
Pada dasarnya, komunitas – komunitas
Muslim yang sekarang hidup di Eropa dapat dibagi menjadi dua kategori :
komunitas Muslim yang bertahan hidup setelah kejatuhan atau keruntuhan Imperium
Usmani, yang mana komunitas ini terkonsentrasi di titik daerah Eropa Timur. Dan
yang satu lagi, komunitas-komunitas Muslim yang melakukan imigrasi karena
dibawa oleh tentara Kolonial Eropa pada masa kolonisasi di daerah-daerah atau
negeri-negeri Muslim, seperti komunitas orang Jawa yang dibawa oleh tentara
Belanda ke negeri Suriname dan kini ikut andil dalam syiar
Islam di Belanda itu. Adapun komunitas kedua ini terkonsentrasi pada di Eropa Barat.
Pengalaman kolonisasi bangsa Belanda
terhadap bangsa Indonesia, memang memberikan bekas luka yang sangat mendalam.
Selama kurang lebih dari 350 tahun lamanya, rakyat Indonesia yang pada waktu
itu sudah banyak yang memeluk Islam telah sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi
menurut catatan sejarah kehidupannya. Kolonisasi Belanda ternyata mempunyai
titik trend positif dalam pengenalan mereka akan entitas agama Islam. Hal ini
mungkin saja tidak tercatat dalam sejarah bahwa adanya kemungkinan orang
Belanda atau kompeni Belanda masuk Islam ketika itu. Kita bisa melihat pada
zaman VOC, terdapat orang keturunan Belanda asli pertama kali yang masuk agama Islam (Konversi) yaitu Ivan de Veenboer.
Meskipun demikian, secara tidak langsung
mereka datang membawa ajaran agama lain. Mayoritas orang Muslim Eropa Barat
dapat ditelusurinya ke periode kolonisasi.
Memang, ekspansi penjajahan Eropa di abad sembilan belas dan dua puluhan
berakhir dengan penggabungan dunia Muslim. Penjajahan mengubah budaya dan
ekonomi negeri-negeri Muslim, secara kultural menghubungkan masing-masing bekas
jajahannya dengan kekuatan penjajah dan mengubah ekonominya ke dalam ekonomi
konsumsi produk-produk ekspor. Penjajah tidak
hanya dengan mengimpor bahan baku dari bekas daerah jajahannya. Tetapi juga
membawa tenaga kerja ketika tenaga kerja setempat untuk perluasan ekomomi pada
tahun 1960-an.
Imporisasi bahan baku atau rempah-rempah
dan tenaga kerja dari bekas negeri jajahannya. Setidaknya membawa angin segar
bagi tenaga kerja Muslim Indonesia yang kebanyakan turut diboyong ke Belanda
disamping untuk dapat mengembangkan laju roda perekonomian bagi dirinya
secara pribadi, juga dapat menyiarkan
agama Islam di Belanda
dengan tentunya mendirikan Musholla atau Mesjid yang tidak dapat dicegah dan
dicekal lagi oleh pemerintah Belanda semenjak munculnya asas Hak Asasi Manusia
(Humans Rights).
Dalam catatan sejarah kolonisasi
Belanda, setidaknya ribuan orang-orang Jawa Muslim diangkut dan diboyong untuk
ditempatkan di negeri yang terletak di Amerika Latin, Suriname. Negeri ini
merupakan tanah jajahan Belanda yang kekurangan penduduk untuk dapat dijadikan
tenaga kerja dalam bercocok tanam, penggalian barang tambang, atau sekedar
menjadi buruh kasar. Setelah kejadian perang Dunia II, Suriname yang mayoritas
penduduk asli Jawa mendapatkan legitimasi sebagai negara persemakmuran dibawah
otoritas negara Kerajaan Belanda yang dikepalai oleh seorang ratu yang bernama
ratu Beatrix[7]. Masyarakat Suriname yang rata-rata Muslim tersebut dalam
urusan kenegaraan pastilah sering keluar masuk Belanda, sehingga atmosfer
pengaruh keislamannya turut mewarnai jalannya kenegaraan di Belanda secara
umumnya dan pengaruh lingkungan terhadap rakyat Belanda itu sendiri secara
khususnya.
Dalam catatan sejarah juga, tepatnya
pada tahun 1951-1952. Sekitar 12 ribu anggota KNIL (Koninklijk Nederlandse
Indische Leger ) yang sebagian besar berasal dari Maluku, sebanyak 200 di
antaranya beragama Islam datang ke Belanda. Mereka yang semula ditempatkan
dalam satu kamp dengan non-Muslim, lalu memisahkan diri dan bergabung dengan
sesama Muslim di kampung Wijldemaerk,
Desa Balk, Provinsi Friesland. Dan di sinilah mereka membangun salah satu
masjid pertama di Belanda, Masjid An-Nur
yang dipimpin oleh Haji Ahmad Tan.
Namun, menurut fakta sejarah bahwa orang
islam pertama yang datang ke Belanda adalah Abdus Samad, Duta Besar Kesultanan
Aceh untuk Belanda, pada tahun 1602. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hisyam
dalam buku Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa karya Harry A Poeze, In het Land
van de Overheerser. Akan tetapi kedatangan Abdus Samad ini tidak bertujuan
untuk dakwah Islam, ia hanyalah melakukan kunjungan singkat saja sebagai Duta
dari kerajaan Aceh Darussalam.
Hingga pada tahun 1960-an, menjadi kunci
awal (starting point) akan pertumbuhan dan perkembangan umat Muslim di Belanda,
disaat pemerintah Belanda kekurangan tenaga kerja dalam negeri sehingga
mengharuskannya untuk mendatangkan tenaga kerja asing, yang mayoritas
kebanyakan dari kawasan mediteranian. Imigran Turki dan Maroko yang kemudian
menjadi pensiar Agama Islam di Belanda dengan menentukan hari libur jumat
sebagai hari libur mereka, disamping itu juga mendirikan Masjid tertua yaitu
Enre Yunus Masjid di Almelo.
Di Belanda yang sistem pemerintahannya
mengikuti paham Monarki Konstitusional ini, memiliki jumlah penduduk yang cukup
banyak untuk negara yang berkembang di Benua Eropa. Sekitar 15.341.553 jiwa
penduduk negara Belanda untuk saat ini. Pada tahun 1950-an Islam dibawa ke
Negeri Kincir Angin tersebut oleh para tenaga kerja asing (imigran) Muslim
pertama yang datang antara dua negara perang dunia dari bekas jajahanya, yaitu
Indonesia dan Suriname. Jumlah mereka sangat terbatas, hanya mencapai 5.000
orang saja. Dalam sisi yang lain, yaitu pada tahun 1947, Islam juga masuk ke
Belanda dibawa oleh sekelompok missionaris Muslim dari gerakan Ahmadiyah dan
Qadian dari Pakistan. Mereka ada sebagian yang menuntut ilmu sains di Belanda
dan sebagian lain ada pula yang menjadi buruh kerja sehingga peningkatan angka
umat Muslim di Belanda semakin meningkat dan meninggi. Terlebih lagi, setelah
kedatangan Imigran dari kawasan Mediteranian, Maroko dan Turki pada tahun
1960-an.
Ketika pemerintah Belanda menerapkan
sistem politik etis di Belanda, maka hal ini tidak disia-siakan oleh komunitas
Muslim di Belanda, mereka mendirikan perkumpulan organisasi Muslim pertama yang
berusaha menghimpun semua Muslim yang berdasarkan negaranya masing-masing yang
hidup di Belanda. Organisasi Muslim Indonesia pertama didirikan oleh seorang
Belanda yang bernama Van Beetem pada tahun 1930-an yang kemudian berganti nama
menjadi Mohammad Ali. Dengan kegigihannya memperjuangkan organisasi Muslim
pertama ini akhirnya membuahkan hasil dengan di akuinya dan dilegitimasi oleh
pemerintahan Belanda. Pada tahun 1974 , organisasi-organisasi semacam itu
diintegralkan menjadi satu perkumpulan yang kemudian membentuk persatuan
Organisasi-Organisasi Islam (Islamic Organisation Union) di Belanda.
Pada tahun 1960-an ini, orang-orang Belanda merasakan atmosfer keislaman yang mendalam sehingga tepatnya pada tahun 1963, setidaknya terdapat 300 orang Belanda asli yang memeluk agama Islam (Konversi). Pada tahun 1971, sekitar satu persen penduduk negeri Belanda atau sekitar 132.000 adalah Muslim. Pada tahun 1982, angka ini naik menjadi sekitar 400.000 (2.8% dari jumlah penduduk), jumlah Muslim ini terdiri dari 220.000 orang Turki, 100.000 orang Afrika Utara, 40.000 orang Melayu (Indonesia dan Melayu) dan 40.000 Muslim warga negara Belanda dengan rincian 2.000 penduduk asli Belanda dan sisanya dari berbagai negara yang telah menjadi warga negara Belanda (proses Naturalisasi).
Pada tahun 1960-an ini, orang-orang Belanda merasakan atmosfer keislaman yang mendalam sehingga tepatnya pada tahun 1963, setidaknya terdapat 300 orang Belanda asli yang memeluk agama Islam (Konversi). Pada tahun 1971, sekitar satu persen penduduk negeri Belanda atau sekitar 132.000 adalah Muslim. Pada tahun 1982, angka ini naik menjadi sekitar 400.000 (2.8% dari jumlah penduduk), jumlah Muslim ini terdiri dari 220.000 orang Turki, 100.000 orang Afrika Utara, 40.000 orang Melayu (Indonesia dan Melayu) dan 40.000 Muslim warga negara Belanda dengan rincian 2.000 penduduk asli Belanda dan sisanya dari berbagai negara yang telah menjadi warga negara Belanda (proses Naturalisasi).
Berdasarkan data statistik Central
Bureau de Statistiek 1994, jumlah umat islam dari 15.341.553 jumlah penduduk
Belanda saat itu, menempati posisi ketiga (3,7 persen), setelah agama Katolik
Roma (32 Persen), dan agama Kristen
Protestan (22 persen). Sebanyak 40 persen warga Belanda mengaku tidak beragama,
dan sekitar 0,5 persen pemeluk agama Hindu. Pada tahun 1993 pertumbuhan jumlah
umat Muslim di Belanda meningkat dengan pesat
menjadi 560.300 jiwa. Kenaikan rata-rata 0,6 persen setahun. Umat islam itu
berasal dari Turki (46 persen), Maroko (38,8 persen), Suriname (6,2 persen),
Pakistan (2,2 persen), Mesir (0,7 persen), Tunisia (0,9 persen), Indonesia (1,6
persen) dan negara lainnya
sebanyak
(3,9 persen).
Pada akhir tahun 2004, perkiraan jumlah pemeluk agama Islam
di Belanda meningkat menjadisekitar
944.000 Muslim, dan 6.000 diantaranya adalah warga asli Belanda. Hingga pada
awal tahun 2010, umat Islam murni dari Bangsa Belanda sendiri sudah mencapai
angka kurang lebih 12.000 dari jumlah penduduknya yang ada sekitar 15 jutaan
lebih.
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI
INGGRIS
Oleh Azzidni Sabrina Pangesti
Islam mulai tersentuh di Inggris
sekitar abad 16 namun mulai berkembang sekitar abad 18. Awal masuknya islam ke
Inggris berawal dari imigran dari Yaman, Gujarrat, dan negara timur
tengah lainnya. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan
dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin
lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota
pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan
Liverpool. Lama kelamaan umat muslim yang berada di inggris membuat masjid
untuk beribadah mereka, walaupun hanya beberapa masjid yang baru di bangun.
Umat muslim yang berada di inggris juga banyak melakukan kegiatan sosial dan
partisipasinya di dalam universitas yang ada di inggris.
Organisasi-organisasi islam juga
mereka ciptakan di negri inggris, diantaranya organisasi jamaat al-islam,
The Muslim Brotherhood, The Union of Muslim Organization, The Federation of
Student Islamic Societis (FOSIS) dan masih banyak lagi.
Sejarah Masuk islam abad 16 – 17 di Inggris
Pada abad XVI-XVII kekuatan armada
laut Muslim sangat mendominasi laut Mediterranean. Ekspansi Muslim telah
mencapai Istanbul sebagai pusat imperium Turki Usmani, Aleppo sebagai
jalur penting yang dilalui silk roat, Beirut sebagai pelabuhan
besar yang disinggahi kapal-kapal Eropa, Jerusalem sebagai kota yang banyak
diminati para peziarah; Cairo sebagai kota pusat perdagangan; dan Fez sebagai
kota yang sangat maju dan terkenal pada saat itu. Ketika armada Spanyol dipandang
sebagau ancaman yang menghantui Inggris, Ratu Elizabeth pada pertengahan tahun
1580 tidak ragu-ragu untuk meminta Sultan Murad (penguasa Turki Usmani)
membantu armada laut Inggris melawan orang-orang Spanyol. Ketimbang dengan
negara-negara Eropa, Inggris lebih menyukai menjalin hubungan perdagangan
secara luas dengan negeri-negeri Muslim.
Orang Inggris yang pertama kali
memeluk Islam yang namanya tetap bertahan dalam catatan sumber-sumber literatur
Inggris seperti The Voyage Made to Tripoli (1583) adalah John Nelson. Ia
adalah putera perwira rendah anggota pasukan pengawal Ratu Inggris.
Pada tahun 1636 telah dibuka jurusan
bahasa Arab pada Universitas Oxford. Dan diketahui bahwa Raja Inggris Charles I
telah mengoleksi manuskrip-manuskrip yang berbahasa Arab dan Persia.
Perpustakaan Bodleian di Oxford memiliki manuskrip surat al-Walid (Sultan
Maroko) yang ditujukan kepada Raja Charles I.
Kekacauan perang sipil mungkin
menjadi pendorong beberapa orang Inggris untuk memutus hubungan tradisi yang
baik, sehingga sebuah catatan yang dibuat tahun 1641 dengan mengacu kepada
sebutan “sebuah sekte penganut Muhammad” (a sect of Mahomatens) dinyatakan
“telah ditemukan di sini, di London”. Pada sekitar tahun 1646 Raja Charles
diasingkan ke Oxford setelah dikepung oleng angkatan bersenjata pimpinan
Cromwell. Pertempuran terburuk pecah dan berakhir pada kekalahan pasukan yang
setia kepada raja. Pada bulan Desember 1648, Dewan Mechanics dari New
Commonwealth menyuarakan sebuah toleransi bagi berbagai kelompok agama termasuk
Muslim. Setahun kemudian, 1649, terjadi even penting dalam perjalanan sejarah
Muslim di Inggris di mana Al-Quran untuk pertama kalinya diterjemahkan di
Inggris oleh Alexander Ross dan kemudian dicetak. Pencetakan itu sampai menghasilkan
edisi kedua. Fakta ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran mengalami
jangkauan sirkulasi yang luas di kalangan masyarakat Inggris.
Ketika Cromwell menjadi penguasa
tunggal Inggris di tahun 1649, acuan kepada Islam dan kaum Muslim menjadi
bagian dari diskusi yang menggejala pada saat itu. Musuh-musuh Cromwell
menyerang kaum revolusioner karena mereka tidak menaruh respek kepada para
pendeta dan menolak ajaran dan pendapat resmi petinggi Gereja Anglikan.
Musuh-musuh Cromwell mencemooh dengan mengatakan, “Sungguh, jika
pengikut-pengikut Kristiani mau bahkan rajin membaca dan mengamati hukum dan
sejarah Muhammad, mereka boleh jadi merasa malu ketika melihat betapa tekun dan
bersemangat para pengikut Muhammad dalam mengerjakan ketaatan kewajiban,
kesalehan dan amal ibadah; betapa tulus ikhlas, suci dan takzimnya di dalam
masjid, begitu taat kepada para ulama mereka. Bahkan orang Turki terhormat
sekalipun tidak akan mencoba melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan
muftinya.” Kaum revolusioner dikritik karena mereka hanya mengikuti
otoritas-otoritas keagamaan yang dideklarasikan oleh mereka sendiri.
Sementara, sultan sekalipun sangat memperhatikan nasihat-nasihat mufti dalam
persoalan keagamaan. Penulis-penulis lain yang tidak menaruh simpati kepada revolusi
Cromwell membandingkan para profesor agama orang-orang Turki dengan kaum
puritan Cromwell. Dan layak diketahui bahwa di kalangan orang dekat Cromwell
terdapat orang-orang hebat seperti Henry Stubbe, sarjana ahli bahasa Latin,
Yunani, dan Hebrew, dan terdapat pula sahabat Cromwell yang lain, Pocock,
seorang profesor yang ahli bahasa Arab di Oxford.
Cromwell dan sekretarisnya, John
Milton, menunjukkan keakrabannya kepada al-Quran. Hal itu tergambar dalam
sebuah surat yang dikirimkan kepada penguasa Muslim Al-Jazair di bulan Juni
1656. Dalam suratnya Cromwell menyatakan: “Cromwell mengharapkan pihak yang
dikirimi surat agar mematuhi persetujuan dagang antara kedua negara
karena tabaiat agama Islam adalah ‘kami sekarang, pada saat ini, merasa perlu
untuk menyukai Anda yang telah memaklumkan diri Anda sendiri sampai saat ini
dalam segala hal untuk menjadi orang yang mencintai kebenaran, membenci
kebatilan, mematuhi amanah dalam perjanjian.’ Kata-kata terakhir menegaskan
deskripsi yang tepat mengenai Islam sebagai sebuah agama yang mengajak kepada
kebenaran dan menanggalkan perbuatan batil.” Cromwell banyak mengutip teks-teks
al-Quran dalam berkomunikasi melalui surat. Tidak hanya ditujukan kepada kaum
Muslim di seberang lautan, tetapi juga orang-orang Kristen yang tinggal di
England dan kepulauan Inggris selebihnya.
Ilmuwan dari Universitas Cambridge,
Isaac Newton, tercatat sebagai orang sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana
Muslim Arab. Pada tahun 1674, dengan penuh resiko dan keberanian menolak untuk
berpegang pada ajaran suci trinitas. Michael White, penulis biografi Newton
menyatakan, Newton secara fanatik menentang konsep trinitas.
Pada abad XVII teks-teks berbahasa
Arab dalam bidang matematika, astronomi, kimia dan kedokteran merupakan tema
sentral bagi program pendidikan yang lebih tinggi di Inggris. Untuk
memperoleh akses kepada pengetahuan lebih lanjut pada saat itu, bukan hanya
penerjemahan yang dimulai di Oxford dan Cambridge, tetapi juga persiapan untuk
melatih sebuah generasi sarjana yang ahli berbahasa Arab. Seorang pengunjung di
Westminster School mencatat dalam buku hariannya, “Saya mendengar dan melihat
sejenis latihan pada pemilihan para sarjana di Westminster School untuk dikirim
ke Universitas, baik yang berbahasa Latin, Yunani, Hebrew maupun Arab.
Kemampuan linguistik sangat penting
karena menurut Isaac Borrow, profesor matematika Cambridge, penguasaan bahasa
Arab perlu untuk penguasaan lebih lanjut pengetahuan-pengetahuan tersebut. Para
tokoh intelektual Muslim yang kenamaan dikenal dengan nama-nama mereka yang
sudah “berbau” Inggris: Alfarabi, Algazel, Abensina, Abenrusd, Abulfeda,
Abdiphaker, Almanzor, Alhazen. Water Salmon termasuk di antara mereka yang
menyusun ilmu fisika praktis (1692) dari ‘Geber Arab’, atau ahli kimia, Jabir
bin Hayyan. Robert Boyle (ahli kimia yang dikenal oleh setiap siswa
sekolah) mempelajari sains dari literatur berbahasa Arab dengan tujuan agar
mampu menghadapi tantangan dari konsepsi tradisional dalam pengetahuan
kontemporer. Newton mewariskan lebih dari sejuta kata dalam subyek kimia dengan
kata-kata asli berbahasa Arab.
Sejarah Peradaban Islam Mulai Abad 18
Imigrasi muslim ke Inggris mulai
berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 melalui pendaratan para
pelaut yang direkrut oleh East India Company (Perusahaan India Timur) dari
Yaman, dan Gujarrat.
Saat awal imigran muslim India dan Pakistan menetap di
Inggris,pengaruh warisan kultural kerajaan dan struktur politik Negara setempat
yang saling mendukung memperkuat dorongan Negara komunalisme. Selama hampir
satu abad, umat islam harus belajar hidup dengan status minoritas dan jauh dari
kekuasan politik di anak benua India, masyarakat inggris pasca perang memberi
ruang bagi identitas kebangsaan yang paralel.
Setelah dibukanya terusan Suez pada
tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para
pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk
pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat
Newcastle), London, dan Liverpool. Komunitas muslim di negara itu memiliki akar
budaya yang berbeda satu sama lain. M. Ali Kettani, dalam bukunya
"Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini" mengatakan imigran pertama ke
Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardif dan
di situ membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada tahun 1870.
Sebelum pergantian abad, datang kelompok muslim lain dari India dan
menetap di dekat London, di sana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking.
Sekitar abad ke-19, sejumlah
pengusaha muslim juga telah berniaga ke kerajaan Inggris. Salah satunya
adalah perusahaan terkenal "Mohamed’s Baths” yang didirikan oleh Sake Deen
Muhamed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai
masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini terlihat tatkala pada
periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa Islami dengan
nama "The Cresent", mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini
adalah seorang muslim keturunan bangsawan Inggris yang bernama William Henry
Quilliam, yang ditengah komunitas muslim dikenal sebagai Syekh Abdullah Quilliam,
yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada tahun 1887 setelah lama
bermukim di Aljazair dan Maroko. william Henry Quilliam (Syekh Abdullah
Quilliam) bahkan memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif dan
menjadi pusat dakwah di wilayah Inggris.
Di samping itu, pada tahun 1930-an,
gagasan rencana pembangunan masjid pusat di London juga muncul sebagai respons
atas pembangunan masjid di Paris pada tahun 1926 yangjuga mendapat perhatian
dara Raja Goerge IV pada tahun 1944. Namun, berbagai kendala seperti
terjadinya Perang Dunia II dan masalah yang dihadapi pemerintah lnggris akibat
kemerdekaan India dan Pakistan,
menyebabkan pembangunan masjid tertunda hingga tahun 1970-an. Baru pada tahun
1977, Masjid Pusat London dengan Islamic Cultural Center (Pusat Kebudayaan
Islam)-nya akhirnya diresmikan dan dewasa ini menjadi
terkenal. Pertambahan jumlah masjid dalam perkembangan-perkembangan
selanjutnya di Inggris sesungguhnya mencerminkan peningkatan jumlah komunitas
muslim di Inggris. Peningkatan itu berhubungan erat dengan tahapan sejarah
imigrasi kaum muslim secara besar-besaran dari berbagai negeri muslim ke
Inggris tahun 1950-an, dan sebagai akibat penyatuan kembali keluarga imigran
yang diterapkan awal tahun 1960-an, terutama dari India, Pakistan,
dan Bangladesh. Selain itu, sehubungan dengan terbitnya "Commonwealth
Immigration Act" (Undang-undang Imigrasi Persemakmuran), tahun 1962, yang
semakin memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris bagi warga
negara bekas jajahan Inggris, juga turut mendorong laju migrasi ini.
Pola distribusi pemukiman muslim
tidak merata, baik secara geografis maupun etnis. Kendati demikian, ada
konsentrasi tertentu, misalnya penduduk muslim India di West
Midlands, Arab dan Iran di Cardif Liverpool, dan Birmingham. Turki-Cyiprus di
wilayah Timur London, serta Pakistan dan
Bangladesh di Bradford. Begitu signifikannya komunitas muslim Pakistan dan
Bangladesh itu di Bradford, sampai orang menyebutnya kota ini sebagai
Islamabad-nya Inggris. Dari perspektif mazhab, muslim di Inggris mayoritas
bermazhab Hanafi, sisanya Syaf i, Ja'fari atau Ismaili.
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI
PORTUGAL
Oleh Muhammad Bagus Riyanto
Islam Pernah 'Menguasai' Portugal
Bila ditarik lebih ke belakang, Islam dan Portugal sebenarnya memiliki sejarah
yang panjang. Dan, sejarah itu berkaitan erat dengan penguasaan kaum Muslimin
di Andalusia antara abad 7 dan 8 M. Situs wikipedia menyebutkan, tentara Islam
pernah menaklukkan Portugal di bawah pimpinan panglima Musa bin Nashir. Kaum
Muslim kemudian menyebut wilayah itu al Garb al Andalus (Andalusia Barat).
Penguasaan ini diteruskan oleh Abdul
Aziz, putra Musa bin Nashir. Di bawah kendalinya, tentara Islam secara bertahap
menaklukkan kawasan yang lebih luas sehingga Portugal takluk. Menurut situs
historymedren, wilayah itu lantas dibagi dua oleh tentara Islam, yakni yang
berada di sepanjang Sungai Duoro dan Sungai Tagus. Kawasan di Sungai Duoro
beriklim dingin serta sulit membuka lahan perkebunan, dan ini tidak disukai
kaum Muslim. Ini berbeda dengan wilayah Sungai Targus yang suhunya lebih hangat
serta tanahnya subur.
Kaum Muslim kemudian
mengonsentrasikan keberadaan mereka di sini dan selanjutnya 'menghidupkan'
kota-kota yang ada. Sebagian penduduk setempat pun beralih ke agama Islam. Dan,
oleh pemerintah kekhalifahan, beberapa tokoh masyarakat (yang menjadi mualaf)
diangkat menduduki jabatan di tingkat lokal. Meski demikian, kaum Muslimin
tetap memberikan kebebasan bagi penduduk yang beragama non-Muslim. Orang-orang
Yahudi tidak diusik, bahkan diberikan peranan penting pada sektor perdagangan
dan ekonomi.
Berangsur, wilayah al Garb al
Andalus tumbuh dengan pesat di berbagai bidang. Sekolah-sekolah yang
mempelajari ilmu pengetahuan umum dan agama banyak didirikan, ladang pertanian
memberikan panen memuaskan, irigasi dibangun di banyak tempat dan sebagainya.
Pendek kata, kemakmuran tercipta. Tak hanya itu, umat Islam juga mengenalkan
seni arsitektur dan kaligrafi yang bernilai tinggi, dan hal tersebut diterapkan
pada sejumlah bangunan.
Bahasa Arab digunakan dalam
komunikasi sehari-hari, baik di kota maupun di desa. Sejarawan termuka, Al
Idrisi, mengisahkan, ketika itu penduduk Kota Selpa yang non-Muslim sekalipun,
berbicara dengan bahasa Arab. ''Pengaruh itu masih bisa dirasakan hingga kini,
di mana terdapat sekitar 600 kosakata Arab yang diadopsi ke dalam bahasa
Portugis,'' urai situs historymedren .
Selama 250 tahun situasi kondusif
berlangsung. Sampai memasuki paruh abad ke-11, para penguasa lokal yang merasa
sejahtera, tidak lagi setia kepada kekhalifahan. Mereka membentuk raja-raja
kecil, seperti di Badajoz, Merida, Lisbon, dan Evora. Perpecahan terjadi.
Situasi tersebut membuka peluang bagi kaum Visigoth Kristen yang selama ini
hidup di kawasan pegunungan untuk berkonsolidasi. Mereka lantas melakukan
ofensif dan berlanjut hingga lepasnya kekuasaan Islam di Andalusia.
Masuknya Kembali Islam ke Portugal
Portugal atau Portugis dikenal
secara luas di buku buku sejarah Nasional Indonesia sebagai salah satu negara
kolonial yang pernah menguasai sebagian dari wilayah Nusantara di masa lalu.
Selain wilayah Nusantara, Portugal juga pernah menjajah beberapa negara di
bagian bumi yang lain. Ketika masa kolonialisme berahir, Portugal memiliki
kedekatan dengan negara-negara bekas jajahannya. Banyak penduduk negara jajahan
yang bermigrasi ke Portugal, dengan membawa serta tradisi, identitas, maupun
agama yang mereka anut. Portugal pun menjelma menjadi negara multietnis dan
multiagama. Terdapat komunitas warga Afrika, Amerika Latin, hingga Asia di
sana. Pun halnya dengan agama, ada pemeluk Hindu, Buddha, Sikh, Yahudi, serta
Islam.
Jumlah umat Muslim diperkirakan mencapai
30 ribu jiwa. Mereka berasal dari berbagai etnis, terutama dari Mozambik,
Kenya, Makao, Pulau Goa di India, bagian timur Indonesia, dan keturunan
orang-orang Muslim India. Tak ketinggalan kaum Muslimin yang datang dari Afrika
Barat dan Timur Tengah, seperti Mesir, Maroko, dan Aljazair. Ada pula para
mualaf Portugal walaupun jumlahnya tidak terlampau banyak. Kedatangan imigran
Muslim ke Portugal mulai berlangsung selepas Perang Dunia II.
Portugal merupakan negara sekuler.
Seperti halnya di banyak negara Eropa, mereka memisahkan secara tegas aspek
keagamaan dengan pemerintahan. Meski begitu, negara tetap memberikan perhatian
terhadap kehidupan agama dan hubungan antarumat beragama. Ada dua aturan pokok
yang berlaku: Pertama, perjanjian khusus ( concordata ) tahun 1940 dengan
Keuskupan Roma. Hal itu terkait mayoritas penduduk (84,5 persen) menganut agama
Katolik Roma. Kedua, undang-undang kebebasan beragama. Diterbitkan sejak 2001,
peraturan itu bertujuan memberikan pengakuan serta hak-hak umat agama lain yang
selama ini tinggal di Portugal.
Periode tahun 80 sampai 90-an bisa
dikatakan menjadi masa-masa penuh harmoni dalam kehidupan masyarakat di
Portugal. Umat Islam dan umat agama lain bisa melaksanakan peribadatan dengan
leluasa. Masjid, mushala, dan sekolah Islam pun banyak didirikan.
Portugal lantas memiliki dua masjid
jami dan 17 mushala, sebagian besar terletak di Lisabon, Coimbra, Filado,
Evoradi, dan Porto. Sekolah Dar al-Ulum al-Islamiyyah melengkapi sarana
pendidikan di Lisabon. Sekolah ini setingkat dengan sekolah menengah pertama
dan menengah atas. Di samping itu, sejumlah masjid dan mushala turut membuka
kelas halaqah tahfiz Alquran al-Karim, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam. Kaum
Muslim juga menerbitkan sejumlah jurnal berbahasa Portugal dan berbahasa Arab
seperti majalah Islam.
Kondisi Muslim Portugal Paska 9/11
Pada milenium baru, kondisinya
berubah 180 derajat. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS),
berimbas terhadap umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Portugal. Harmonisasi
terusik. Hal itu bukan disebabkan pembatasan-pembatasan dari pemerintah,
melainkan dari sikap sebagian warga setempat yang mengaitkan Islam dengan
kekerasan.
Sebuah kolom dalam surat kabar The
Public agaknya bisa mewakili suasana Islamofobia yang sedang melanda. Tulisan
Dr Miguel Sousa Tavares, cendekiawan setempat, misalnya, memuat judul yang
dinilai provokatif; Islam, Terror and Lies. Islam yang sebenarnya Tokoh lainnya
tak jarang mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada intoleransi.
Awal tahun 2009, seorang pemimpin
agama di Lisabon sempat memicu kontroversi baru atas komentarnya terkait
perkawinan antara Muslim dan non-Muslim. Dia menyarankan agar wanita non-Muslim
berpikir dua kali sebelum menikah dengan pria Muslim. ''Anda hanya dapat berdialog
dengan orang yang bersedia berdialog. Dengan umat Muslim, dialog sulit
dilakukan,'' kata pemimpin agama ini.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia
memberikan kecaman. Mereka menilai pernyataan itu tidak sejalan dengan semangat
toleransi antarumat beragama yang sedang terus dibina. Demikian halnya, umat
Islam mengaku terkejut dengan komentar itu. Namun, umat tidak lantas bereaksi
berlebihan. Mereka justru memilih menanggapi tudingan, stigma, dan kekhawatiran
seperti itu tanpa emosi.
Menggiatkan dialog lebih diutamakan.
Forum intelektualitas tersebut akan sangat berperan dalam upaya memberikan
penjelasan tentang nilai-nilai maupun ajaran Islam yang sebenarnya. Salah
satunya seperti dilakukan majalah Al Furqan. Lewat tulisan Mohammed Youssuf
Adamqy, pimpinan Al Furqan, misalnya, mereka menjadikannya surat terbuka untuk
menjawab artikel The Public tadi.
Menurut Mohammed Youssuf, peristiwa
pengeboman yang terjadi, haruslah dilihat secara orang per orang, dan jangan
langsung digeneralisasi bahwa Islam adalah agama teror. Sebaliknya, dia
mengungkapkan bahwa inti ajaran Islam justru menekankan cinta kasih. Dan,
Muslim Portugal kini terus berjuang guna menepis citra negatif Islam.
Pesan-pesan penuh kedamaian serta yang menjauhkan agama dari tindakan teror,
bisa ditemui di masjid-masjid dan Islamic Center di Portugal.
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI
SPANYOL
Oleh Muhammad Bagus Riyanto
Sejarah Islam di Spanyol
Sebelum
kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan
dibawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan
terus menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete (711), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya daerah Galicia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan Islam
menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732).
Daerah yang dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri
dari Spanyol, Portugal dan Perancis selatan sekarang.Pada awalnya, Al-Andalus
dikuasai oleh seorang wali
(gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan
masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun 740an, terjadi perang saudara
yang menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak
terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Keamiran dan Kekhalifahan
Kordoba
Pada 750, bani Abbasiyah
menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan atas
daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di pengasingan Abdurrahman
I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba
dengan gelar Amir Kordoba.
Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru
terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya.
Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di
Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun
khalifah Abbasiyah.
Selama
satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir
Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan
kadang-kadang meliputi Afrika
Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir
Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering
mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa.
Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.Cucu Abdullah, Abdurrahman
III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan
bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis. Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa
keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor dari Timur
Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba dan kota-kota
lainnya di Al-Andalus, dengan sektor ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini memiliki populasi sekitar 500.000,
mengalahkan Konstantinopel sebagai
kota terbesar dalam hal jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa. Dalam dunia
Islam, Kordoba merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul
Qasim dan Ibnu
Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan
intelektual di Eropa zaman
pertengahan.
Orang-orang Muslim dan
non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal
di Al-Andalus. Yang paling terkenal adalah Michael
Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu
Rusyd, Ibnu
Sina, dan Al-Bitruji dan
membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting dalam berawalnya Renaisans di Eropa.
Periode Taifa pertama
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, yang disebut taifa. Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat
mempertahankan diri menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklukan, sehingga
taifa-taifa di Al-Andalus meminta bantuan dari dinasti Al-Murabitun (Almoravid) yang
berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-orang Murabitun mengalahkan
raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan
akhirnya menguasai Al-Andalus.
Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Muhammad
XII dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Pada 1086, pemimipin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang
oleh para bangsawan Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso
VI, raja Kastilia dan León. Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat
Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen dengan telak dalam pertempuran Zallāqah.
Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari semua penguasa-penguasa
kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah mereka, kecuali Zaragoza. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen. Pada 1147, kekuasaan kaum Murabitun digantikan oleh kaum Muwahidun (Almohad), yang juga berasal dari suku Berber. Penguasa Muwahidun memindahkan ibukota Al-Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso VIII dalam Pertempuran Alarcos (1195).
Namun pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon, dan Portugal mengalahkan kaum Muwahidun pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia
kembali terpecah dalam taifa-taifa yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan
oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Granada pimpinan Banu Nasri-lah
negara Islam yang tersisa, namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar
upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang bernama Mali dan Burkina Faso, yang
dibawa melalui jalur perdagangan di gurun Sahara.
Pada abad
ke-14, dinasti Islam Banu
Marin (Marinid) di Maroko mengalami kemajuan
dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian
mengambil alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga kedatangan Tentara
Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso
XI, dibantu Afonso IV dari Portugal dan Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Algeciras (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian
Hitam pada tahun 1350. Penggantinya, Pedro dari Kastilia (Peter
si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan
kerajaan-kerajaan Kristen yang lain. Peristiwa ini menandai dimulainya 150
tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan
keberadaan Granada.
Keamiran Granada
Setelah perjanjian
perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150 tahun
berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama, dan
dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan
membayar upeti tidak lebih dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu
Nasri.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara
hati-hati dan didanai dengan baik. Ferdinand dan Isabella kemudian meyakinkan Paus
Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang
suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya
pengepungan tersebut berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di
Iberia.
Masyarakat
Masyarakat Al-Andalus
terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang
berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang
terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah
Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan
yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup
dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan
kata-kata dari bahasa Arab, namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen
mereka dan bahasa turunan Latin yang
mereka miliki, disebut Bahasa
Muzarab.
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada
akhir abad ke-15 terdapat
sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.
Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan
terhadap non-Muslim Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan
diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka
yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia
modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan
dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk
Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah. Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di
Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di
daerah Eropa Barat yang
dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi,
saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat
kunci peradaban Yahudi pada Abad
Pertengahan, dan menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi
di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil
dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol
yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab. Bahasa mereka, Bahasa
Muzarab, merupakan bahasa
Roman yang dipengaruhi oleh bahasa
Arab dan dituliskan dalam abjad
Arab.Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas
Yale, berpendapat bahwa "toleransi merupakan aspek melekat pada
masyarakat Andalus". Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas
daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang
dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap
terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerima toleransi.Bernard Lewis memiliki
pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang
sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk
Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya." Lewis menolak
bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga
mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan
orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara
teologi maupun logika"
Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang
waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman
III dan Al-Hakam II, ketika
Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani
Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi
kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.Orang-orang Kristen di
Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus
kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba
melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka
sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai
Martir Kordoba. Beberapa
orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya
tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.
Setelah kematian Al-Hakam
pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun
berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan
ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan
setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.Penganiayaan terhadap Yahudi juga
terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang
jelas mengenai hal ini.
Saat terjadi kekerasan
terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan
daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen.
Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung
dengan pasukan Murabitun
menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang
mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147, lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan
keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang
pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur, atau ke daerah
Kristen di Utara. Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang
lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan
tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu
Tufail, Ibnu
Araby, dan Ibnu
Rusyd.
Kebudayaan
C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History,
menulis
“
|
”
|
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan
masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku
jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat. Sejarah
intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam
dan Yahudi.
Kemajuan intelektual
Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani
Abbasiyah yang berkuasa di Timur
Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk
mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua
kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan
bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke
waktu.
Pada abad ke-10, kota
Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan
salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah. Sebagai
perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak
lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad
ke-14 Universitas
Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku. Perpustakaan,
penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh
Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi. Sebagai perbandingan, Spanyol
modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya,
menurut UNESCO.
SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM DI DENMARK
Oleh Wakhidatun Nisa
Di negara Denmark yang terletak di
ujung utara Eropa, Islam memang bukan agama mayoritas. Sebab, negara yang
berpenduduk sekitar 5 juta jiwa ini, Islam adalah agama kedua setelah Kristen
Protestan. Kendati demikian, “nyala api” perkembangan Islam yang dibawa oleh
para Imigran dari berbagai negara semakin berkobar seperti nyala lilin yang
menerangi ruangan di tengah malam. Kendatipun perkembangan itu telah
menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang diakui kerajaan dan dijamin
adanya “kebebasan menjalankan ajaran agama” seperti yang ditetapkan UU Denmark,
toh tetap ada diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang diterima umat Islam
Denmark. Akibatnya, itu jadi riak-riak kecil yang menuntut umat Islam Denmark
harus teguh memegang agama dan menjadikan tantangan tersendiri untuk terus
mengibarkan bendera Islam di negara yang besarnya kurang lebi 1/3 pulau Jawa.
Dibawa oleh
Kaum Imigran
Kapan persisnya Islam masuk Denmark,
tak ada satu kepastian jelas untuk dijadikan “rujukan”. Tapi perkembangan dan
masuknya Islam ke Denmark, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Denmark. Sebab,
sekitar 1536 Denmark menetapkan UUD yang memberi kebebasan bagi warganya untuk
memeluk agama yang mereka yakini. Dari kemunculan UU itu lalu berimbas
terjadinya perpindahan penganut Katolik-Roma ke Protestan Lutheran. Lambat-laun
perpindahan itu ternyata mencapai titik kulminasi dan bahkan tahun 1849,
Protestan telah menjadi agama resmi di negara Denmark.
Sejarah selanjutnya mencatat, Denmark
yang terletak di ujung Utara Eropa didatangi para tamu sebagai imigran.
Sebenarnya, waktu itu tak cuma Denmark yang menjadi tempat datangnya para
imigran karena di semua dataran Eropa, juga mendapatkan tamu yang sama.
Uniknya, lama-kelamaan jumlah kaum
imigran itu kian banyak dan bersamaan itu agama-agama minoritas mulai tumbuh,
seperti Islam, Katolik, Yahudi, Hindu dan Budha. Di antara agama kaum monoritas
itu, Islam menduduki peringkat ke-2 setelah Katolik. Saat itu, diperkiraan
jumlah pemeluk Islam 100 ribu jiwa, sementara Katolik sekitar 350 ribu.
Jika mau ditelisik lebih jauh, awal
mula kedatangan kaum muslim ke Denmark terjadi pada 1967 hingga November 1970.
Waktu itu pemerintah Denmark memang mengizinkan import tenaga kerja asing yang
dibutuhkan sebagai pekerja kasar dan mayoritas berasal dari Turki,
negara-negara eks-Yugoslavia, Maroko dan Pakistan. Jumlah dari imigran itu
makin bertambah setelah anggota keluarga yang lain menyusul untuk berimigrasi.
Setelah melihat adanya gelombang
imigran yang kian banyak, sekitar tahun 1970-an pemerintah Denmark mulai
bersikap lain. Jika pada awal mulanya bersikap lunak, kemudian berubah menjadi
keras. Rupanya, hal itu berdampak besar kepada kaum pekerja. Banyak pekerja
asing pun harus menelan ludah, kehilangan pekerjaaan.
Selain itu, dihembuskan sikap takut
pada agama Islam. Apalagi fakta menunjukkan bahwa hampir semua kaum muslim di
sana hidup miskin dan tidak punya mata pencaharian. Rupanya, hasutan itu
berhasil. Akibatnya, warga setempat menganggap kaum muslim sebagai penyebab
dari timbulnya huru-hara dan masalah sosial.
Selanjutnya, pada tahun 80-an
gelombang kedua imigran muslim menjejakkan kaki ke Denmark. Imigran kedua itu
sebagian besar berasal dari Palestina, Iran, Irak, Bosnia, Somalia serta
Afganistan. Jadi, muslim Denmark berasal dari beragam etnis. Juga, berbeda
dengan gelombang pertama yang dipicu untuk mencari kerja, gelombang kedua lebih
disebabkan karena alasan mencari selamat dari kecamuk perang yang terjadi di
negara-negara mereka.
Berdasarkan UU negara tahun 1536,
sudah seharusnya negara menjamin kebebasan beragama dan menghormati pelaksanaan
ibadah berdasarkan dengan keyakinan yang mereka anut. Tapi kenyataan di
lapangan tak seperti yang tertulis di atas kertas. Jadi, sebagai agama resmi
negara, Lutherian Evangelis memperoleh banyak kemudahan dibanding agama lain.
Tantangan yang dihadapi
Fakta menunjukkan jumlah umat Islam
Denmark kian meningkat. Tapi keberadaan Islam sebagai agama kedua, ternyata tak
diimbangi jaminan kehidupan beragama. Akibatnya, Denmark tak selamanya menjadi
tempat kondusif bagi kehidupan kaum muslimin.
Pada November 2000, misalnya , PM
Paul Nyrup Rasmunssen mengkritik muslim setempat yang meminta hak istirahat
selama waktu shalat. Kritik ini ternyata langsung menuai kecaman dari banyak
pihak, termasuk Partai Sosialis Demokrat. Sebab, sebagian besar warga setempat
tahu bahwa waktu istirahat untuk melaksanakan shalat lima waktu itu tidak
menjadi masalah mendasar di tempat kerja. Artinya, tidak mengganggu aktivitas
kerja. Akhirnya pada 19 Desember 2002 Rasmussen meminta maaf secara terbuka
atas pernyataannya tersebut.
Belum lagi, peraturan keimigrasian
Denmark untuk membatasi kehadiran imigran ke Denmark, terutama para tokoh,
ilmuwan dan pemuka Islam. Tak dapat disangkal, peraturan itu dimaksudkan untuk
menghadang ilmuwan muslim tinggal di Denmark dan memulangkan mereka yang sudah
lebih dahulu berada di negara kecil itu. "Teorinya, peraturan ini berlaku
bagi semua tokoh agama apapun. Namun prakteknya, target utamanya adalah imam
muslim," ungkap juru bicara Danish People Party (DPP), Peter Skaarup.
Terkait dengan hal tersebut,
sejumlah cendekiawan Muslim juga mengakui, tak hanya di Denmark, para imam di
negara Eropa juga mengalami masalah serupa. Dari kebijakan yang seharusnya
memperlakukan setiap agama mendapat perlakuan sama, ternyata berbeda bagi
mereka (para imam). Seperti yang dialami para imam di Belanda.
Persoalan lain yang dihadapi kaum
muslim di Denmark adalah masih kuatnya citra Islam yang dipandang dengan
sebelah mata. Untuk itu, pemerintah kerajaan Denmark akan mulai menerapkan
rencana yang sudah dibuat untuk membatasi aktifitas para pemuka Islam yang
dianggap 'radikal'. Kebijakan ini, tentu saja ditujukan kepada para imam atau
para da'i. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan para pemuka Islam untuk
memiliki standar hidup yang berkecukupan, mampu berbahasa Denmark dan
menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat barat. Jika para pemuka
agama Islam tidak bisa memenuhi persyaratan itu, maka mereka akan dikatagorikan
sebagai 'orang yang tidak disukai'.
Pernyataan dan kebijakan negara yang
perannya kurang menonjol di Eropa ini atas kaum muslim jelas menimbulkan
kekhawatiran. Sebab, di Denmark sudah ada sekitar 200 ribu warga muslim. Karena
itu, mereka khawatir kalau-kalau pemerintah kerajaan Denmark akan memberlakukan
peraturan yang lebih ketat lagi di masa mendatang, meski agama Islam di Denmark
menjadi agama kedua terbesar setelah agama Kristen Protestan Lutheran.
Mengharap
Setitik Cahaya
Rupanya, tak selamanya kebijakan
yang diterapkan bagi kaum muslim semuanya bisa dikata bersifat negatif. Sebab,
ada juga sebuah keputusan penting dibuat otoritas pendidikan Denmark yang
ternyata menyetujui program pemberian pelajaran agama Islam, khususnya
al-Quran, pada tahun ajaran 2004/2005 di sekolah-sekolah menengah pertama yang
ada di negara itu.
Keputusan pemerintah Denmark untuk
memasukkan mata pelajaran Al-Quran dan bahasa Arab di sekolah-sekolah,
mengikuti langkah yang sudah dijalankan oleh negara-negara Skandinavia. Swedia
misalnya, sudah memasukkan mata pelajaran agama Islam di sekolah selama
bertahun-tahun. Begitu juga halnya dengan Norwegia dan Finlandia, kaum
orientalis di kedua negara itu ditugaskan untuk memberikan penjelasan tentang
Islam dan budaya Arab.
Dengan diterapkannya aturan itu,
Denmark akan menjadi negara kedua di kawasan Skandinavia, setelah Swedia yang
memberikan pelajaran al-Quran di sekolah. Adapun di Norwegia dan Finlandia,
para siswa yang berminat juga diperbolehkan untuk mengikuti kelas sejarah dan
peradaban Islam-Arab. Ketika mengumumkan kebijakan tersebut tanggal 19
September 2004, Ulla Toernaes, juru bicara Departemen Pendidikan, mengharapkan
agar pelajaran al-Quran nantinya dapat membantu masyarakat Denmark lebih
mengenal Islam. ''Apalagi semakin banyak kalangan yang ingin mengetahui lebih
jauh tentang agama ini,'' ujarnya.
Islam kini merupakan agama kedua
terbesar di Denmark. Jumlah umat muslim diperkirakan mencapai 200 ribu jiwa
dari total populasi sebesar 5,3 juta jiwa. Komunitas muslim yang berada di
Eropa Barat segera “menyambut baik” inisiatif dari pemerintahan Denmark itu.
''Hal ini akan menjadi langkah penting dalam menuju tatanan masyarakat yang
multi-etnis dan saling menghargai satu sama lainnya,'' demikian advetorial
sebuah koran lokal Denmark.
Sebetulnya, 'angin' ke arah sana
sudah terbaca sejak awal tahun 2004. Akhir tahun lalu, pemerintah Denmark
menggulirkan rencana untuk memberikan program pendidikan tambahan berupa
pelajaran bahasa Arab dan agama Islam di sekolah-sekolah negeri. Tetapi
benarkah semuanya setuju dengan kebijakan ini? Ternyata ada ganjalan juga.
Untuk ukuran negara-negara Eropa, keputusan pemerintah Denmark memang lumayan
'berani'. Begitu palu keputusan diketok, mereka langsung berhadapan dengan
kelompok sayap kanan yang didominasi Partai Kaum Sosialis (Socialist People's
Party atau Socialistisk Folkeparti), sebuah partai yang anti-muslim. Mereka
mengecam habis kebijakan pemerintah itu.
Warga muslim di negara-negara Eropa
Barat menyambut baik kebijakan pemerintah Denmark, yang dinilai sebagai langkah
yang tepat dalam komunitas yang multi etnis. Satu-satunya yang menentang
kebijakan pemerintah Denmark adalah kelompok sayap kanan partai sosialis yang
dikenal anti Islam.
Ketika 'gelagat' bakal disahkannya
keputusan pengajaran Islam di sekolah mulai terbaca, koran-koran anti-Islam
sudah mulai membuat tulisan miring. Belum lama ini, dua orang politisi Denmark
mengaku terganggu dengan sebuah tulisan yang menyoroti masalah seputar proses
integrasi umat muslim yang tengah berlangsung di negara mereka.
Fakta di lapangan menunjukkan,
jumlah umat Islam di Denmark makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa
makin banyak orang Swedia yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam.
Pemberian pengajaran al-Quran di sekolah, sekaligus sebagai niat baik dari
pemerintah Denmark untuk mengakomodasi komunitas muslim di negara itu.
Saat ini, ada sekitar 200.000 warga
Muslim di Denmark dan agama Islam, menjadi agama kedua terbesar setelah agama
kristen protestan. Mereka kini sedang menghadapi persoalan untuk menyediakan
pemakaman khusus bagi warga muslim. Komunitas muslim di Swedia harus punya dana
sebesar 3,2 juta Krone untuk membeli lahan yang akan digunakan sebagai
pemakaman muslim. Pemerintah Denmark sendiri masih membicarakan persoalan ini.
Selain itu, ada lagi persoalan
penting yang dihadapi umat Islam di Denmark. Sebab, dengan meningkatnya jumlah
penduduk muslim Denmark, ternyata tidak diimbangi dengan jumlah masjid yang
ada. Jadinya, kini kaum muslim Denmark benar-benar membutuhkan masjid, karena
tempat ibadah masjid haruslah diakui sebagai nafas umat Islam. Tanpa masjid,
bagaimana denyut Islam bisa leluasa didengungkan?
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI PERANCIS
Oleh
Wakhidatun Nisa
Awal Masuk
Islam ke Perancis
Sejak abad 8 M, Islam masuk ke kota-kota selatan
Perancis melalui Spanyol ke Toulouse, Narbonne dan sekitarnya hingga Bourgogne
di tengah-tengah Perancis. Namun baru pada abad 12 hingga abad 15
orang-orang Islam mulai menempati kota-kota selatan Perancis yang terdapat di
provinsi Roussillon, Languedoc, Provence, Pay Basque Perancis termasuk Bearn.
Hal ini berlangsung secara bertahap dan puncaknya adalah ketika terjadi
pengusiran besar-besaran terhadap muslim Spanyol pada peristiwa Reconquista di
bawah Raja Ferdinand II dan istrinya Ratu Isabelle pada tahun 1492 M. Namun baru pada pada abad ke-20, Islam berkembang
dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru
yang mayoritas beragama Kristen dan Katholik ini mulai menerima kehadiran Islam.
Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satu agama yang mendapat perhatian
serius dari masyarakat Eropa.
Di Perancis Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan
awal ke-20 M. Sebelum Islam masuk ke Perancis yang berada di benua Eropa
yang terkenal sebagai benua tempat umat pemeluk agama Kristen terbesar di
dunia. Perancis masih di bawah pimpinan raja-raja yang beragama Kristen. Dan
pada saat itu pemerintah melarang umat Islam masuk ke Perancis. Hal ini
disebabkan kekhawatiran pemerintah Perancis terhadap umat Islam akan melakukan
pemberontakan dan merebut salah satu wilayah Eropa terbesar.
Akan tetapi pada masa kejayaan Bani Abbasiyah,
pinggiran-pingiran benua Eropa yang telah di rebut oleh kerajaan Yunani dari
masa pemerintahan Bani Umayyah di pukul mundur, hingga ekpansi tentara Islam
pada saat itu kembali menguasai bagian pinggiran Eropa. Kemudian gerakan
pasukan muslim pada saat itu yang berada di daratan Turki mampu merebut kawasan
Spanyol dan Perancis. Dan disinilah awal mula masa keemasan umat Islam di
kawasan Eropa. Umat Islam yang berada di kawasan Eropa pada saat itu tidak
khawatir lagi atas keberadaan tempat tinggalnya di Eropa.
Dan pada masa keemasan ini para ilmuwan-ilmuwan Arab
bebas masuk ke bagian Spanyol, Cordova, Sisilia, Perancis dan negara-negara di
bagian Eropa barat. Dan pada saat itu pengetahuan umat Islam di Eropa khusunya
di wilayah Perancis sangat berkembang pesat, baik itu di bidang politik,
ekonomi, filsafat, kedokteran dan lain sebagainya.
Adapun ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat
itu di wilayah Eropa terutama di daerah Perancis pada saat itu adalah sebagai
berikut :
1.
Bidang politik
Terjadi balance
of power karena di bagian barat terjadi permusuhan antara
Bani Umayyah II di Andalusia dengan kekaisaran Karoling di Perancis.
Sedangkan di bagian timur terjadi perseteruan antara Bani Abbasyah dengan
kekaisaran Byzantium Timur di semenanjung Balkan. Bani Abbasyah juga
bermusuhan dengan Bani Umayyah II dalam perebutan kekuasaan pada tahun 750
M. Kekaisaran Karoling bermusuhan dengan kekaisaran Byzanium Timur
dalam memperebutkan Italia. Oleh karena itu terjadilah persekutuan antara
Bani Abbasyah dengan kekaisaran Karoling, sedangkan Bani Umayyah II
bersekutu dengan Byzantium Timur. Persekutuan baru berakhir setelah terjadi
Perang Salib (1096-1291)
2.
Bidang Sosial Ekonomi
Islam telah menguasai Andalusia pada tahun 711 M dan
Konstantinopel pada tahun 1453 M. Keadaan ini mempunyai pengaruh besar
terhadap pertumbuhan Eropa. Islam berarti telah menguasai daerah Timur
Tengah yang ketika itu menjadi jalur dagang dari Asia ke Eropa. Saat itu
perdagangan ditentukan oleh negara-negara Islam. Hal ini menyebabkan mereka
menemukan Asia dan Amerika.
3.
Bidang Kebudayaan
Melalui bangsa Arab (Islam), Eropa dapat memahami ilmu
pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh tokoh yang
mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain :
a.
Al Farabi (780-863M)
Al Farabi mendapat gelar guru kedua (Aristoteles
digelari guru pertama). Al Farabi mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan
buku-buku karya Aristoteles.
b.
Ibnu Rusyd (1120-1198)
Ibnu Rusyd memiliki peran yang sangat besar sekali
pengaruhnya di Eropa sehingga menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu
Rusyd di panggil Averoes) yang menuntut kebebasan berfikir. Berawal
dari Averoisme inilah lahir reformasi pada abad ke-16 M dan
rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan Ibnu Rusyd
kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di
perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan
Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c.
Ibnu Sina (980-1060 M)
Di Eropa, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicena.
Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan Persia, penulis buku-buku
kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau juga seorang filsuf yang
terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau wahdatul wujud.
Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya yang terkenal
dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang menjadi
suatu rujukan ilmu kedokteran.
4.
Bidang Pendidikan
Banyak pemuda Eropa yang belajar di
universitas-universitas Islam di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Malaca,
Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut,
mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat
penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka
mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali
berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan
pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada
universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari
universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafat.
Dan di jelaskan mulai dari masa keemasan Islam di
Eropa hinga tahun 912-961 M. Ibukota Cordova di kenal sebagai pusat ilmiah dan
kebudayaan yang gemilang, menandingi kedudukan Baghdad dan kawasan Islam bagian
timur, dan di berbagai belahan bumi lainnya. Terutama masyarakat Perancis
berbondong-bondong menuntut ilmu di ibukota Cordova.
Awal
Kemunduran Islam di Prancis
Akan tetapi, pada saat keemasan umat Islam di Eropa
inilah umat Kristen Spanyol dan Perancis yang membuat suatu kelompok sadar dan
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam pada saat itu. Terjadilah
puncak pemberontakan dan kekacauan yang sangat besar di Spanyol dan Perancis.
Umat Islam pada saat itu di pimpin oleh As-Samh dalam
melawan pemberontakan yang sedang bergolak pada saat itu. Dan akhirnya As-Samh
tewas dalam pertempuran Toulouse. Kemudian Abdurrahman dipilih untuk
menggantikan kedudukannya oleh tentara disana tetapi jabatan itu tidak lama.
Abdurrahman hanya menjabat selama beberapa bulan saja. Kemudian umat Islam pada
saat itu di pimpin oleh Anbasah yang menggantikan kedudukan Abdurrahman sebagai
gubernur Spanyol pada tahun 721 M sampai batas tertentu ia mampu memulihkan
kedaan disana. Hingga akhirnya Anbasah melintasi Pegunungan Pyrenee dan
bertujuan untuk merebut kembali Perancis dari umat Kristen.
Dan Anbasah pun mampu merebut kembali Perancis dan
pemerintahan di ambil alih oleh pemerintah Islam. Tak berapa lama dari
keberhasilan ini, sisa-sisa umat Kristen yang berada di Perancis kembali
melakukan aksi pemberontakan, dan pada saat itu tepatnya tahun 725 M Anbasah terbunuh
dan kedudukannya di ambil alih kembali oleh Abdurrahman pada tahun 731 M. Akan
tetapi beralihnya kekuasaan ke angan Abdurrahman tidak meredam pemberontakan
pada saat itu. Pemberontakan tetap terjadi hingga salah satu gubernur Islam
Perancis yang berada di Provinsi Pyrenee bersama Duke of Aquitaine yang
berkhianat melakukan pemberontakan dan meminta bantuan kepada raja Perancis,
Charles Martel, agar membantunya.
Charles mengabulkan permohonannya dan dengan suatu
kekuatan yang besar menuju ke arah selatan Perancis meskipun kalah dalam jumlah
oleh orang-orang Kristen. Pada saat itu umat Islam bertempur dengan keberanian
dan semangat yang bergejolak dan berkali-kali menembus benteng pasukan Kristen
yang berlapis baja.
Pertempuran yang sengit itu berlangsung selama tiga
hari. Pada hari ketiga Abdurrahman tertembus anak panah. Gugurnya jendral itu
menyebabkan seluruh komando pasukan kacau dan orang-orang Kristen pun langsung
memanfaatkan kesempatan dan membuat kerusakan yang hebat pada tentara Islam
saat itu.
Setelah merebut Perancis, pasukan Kristen bergerak
maju ke bagian Eropa lainnya hingga mereka melakukan ekspansi ke Turki dan
berhasil merebut wilayah Turki dan dendam umat Kristen pun terbalas. Hal ini
bertepatan pada saat terjadinya krisis politik di Baghdad yang mana pada saat
itu dinasti-dinasti kecil yang dibawah pimpinan Daulah Abbasiyah memberontak
dan juga disebabkan kekalahan umat Islam pada Perang Salib yang bergejolak pada
saat itu.
Dan hal ini di jelaskan oleh buku yang terbit pada
1786, pengarang Perancis Volney muncul dengan karangannya berjudul “Pandangan
-Pandangan Tentang Perang Melawan Turki”. Dikatakannya bahwa Turki melebarkan
sayap kekuasaannya hampir 400 tahun dan selama masa itu mereka telah
memperbaiki pembukaan kota-kota dunia yang paling indah dan paling besar.
Tetapi di waktu hampir 100 tahun terakhir, muncul suatu kerajaan yang tadinya
tidak terkenal sama sekali tetapi dengan begitu cepat mengagumkan ia tampil dan
mempunyai hari depan, yaitu Kerajaan Rusia. Baik dalam alam benda maupun dalam
alam kebudayaan, kalau barangnya sudah tumbuh ia akan bergerak terus menerus
sesuai dengan kebesaran tubuhnya.
Dan keadaan di Turki semakin di perburuk oleh
bergabungnya antara Inggris dan Perancis dalam Perjanjian Sevres yang mengutus
orang-orang Constantinopel untuk menghancurkan Turki. Dan kemudian perjanjian
ini menghasilkan kesepakatan wilayah Turki di bagi menjadi dua wilayah
kekuasaan. Sebagian oleh Inggris dan sebagian oleh Perancis.
Akan tetapi Inggris mengubah haluan, yaitu dengan berpihak
kepada pemerintahan Prusia (Jerman) dan membuat perjanjian pada tanggal 13
Agustus 1788 akan kerjasamanya tentang negara-negara timur. Semenjak itu
politik Inggris membela tetap adanya Turki untuk menghambat pertumbuhan
kemajuan Rusia. Dengan demikian Turki dapat menarik nafas lega karena dapat
menjalankan pemerintahan meskipun masih dalam jajahan Inggris.
Masa Setelah
Perang Dunia I dan II
Tahap berikutnya adalah setelah pecahnya Perang Dunia
I dan II. Sebagian Muslim yang masuk ke Perancis adalah para korban perang (
Palestina, Turki, Tunisia dll ). Sementara sebagian besar lagi datang dari
Aljazair sekitar tahun 1960-an karena Perancis membutuhkan sejumlah besar
tenaga dalam rangka membangun negaranya yang hancur karena perang. Perlu
dicatat, Aljazair adalah satu dari negara bekas jajahan Perancis.
Negara-negara Islam seperti Irak dan Afganistan
menjadi sasaran serangan membabi buta. Dan seperti biasa rakyat yang menjadi
korban dan yang paling menderita. Mereka ini kemudian berimigrasi
ke Perancis untuk mencari perlindungan. Ini masih ditambah lagi dengan
orang-orang Iran yang lari dari negaranya ketika Revolusi Iran tahun 1979,
korban perang negara-negara bekas jajahan Uni Sovyet seperti Chenya serta
perang saudara di Yugoslavia. Dengan demikian masuklah Islam ke Eropa
termasuk Perancis.
Selain itu hal yang memengaruhi perkembangan
Islam di Perancis. Salah satunya adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan
munculnya krisis identitas di kalangan anak muda muslim di Perancis. Kondisi
ini mendorong mereka lebih rajin datang ke masjid. Gerakan Intifada di
Palestina juga mendorong makin banyaknya muslim Perancis yang beribadah ke
masjid.
Islam
Setelah Perang Dunia I dan II
Dan inilah yang menjadi awal penyebaran Islam di
Perancis di era teknologi. Islam berkembang melalui pengungsi meskipun awalnya
pergerakan aktivitas orang-orang Islam di Perancis sangat terkekang mulai dari
dilarangnya memakai jilbab seorang karyawan wanita muslim, dilarangnya
berkumandang azan dan dilarang membangun bangunan mesjid setinggi 30 m.
Menurut survei yang dilakukan kelompok muslim Perancis
sampai tahun 2003 jumlah masjid di seantero Perancis mencapai 1.554 buah. Mulai
dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh
warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Pada tahun 1970-an, imigran muslim kembali mendatangi
negara pencetus Trias Politica itu. Kali ini para pelajar muslim yang datang ke
Perancis untuk menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor
penting yang mengambil peran besar dan penting dalam mendorong penyebaran Islam
dan berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Karena justru sejak tahun 2004 itu makin banyak
saja perempuan berjilbab di kota-kota Perancis. Menurut laporan banyak
perempuan Perancis tertarik kepada ajaran Islam karena Islam ternyata sangat
melindungi hak-hak perempuan. Jilbab yang dituduh merupakan cermin
ketidakbebasan perempuan sekaligus lambang superioritas laki-laki ternyata
malah berfungsi melindungi perempuan.
Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terdapat penjualan
daging halal, setelah tujuh tahun dari pengungsian tersebut banyak berdiri
toko-toko yang menyediakan daging halal dan pelayanan secara Islami. Dan di
tambah kabar seorang Mentri Keimigrasian Eric Besson yang melempar isu debat
nasional. Sejumlah tabloid melaporkan bahwa saat ini duda berusia sekitar 45
tahun ini sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis
Tunisia muslim cucu mantan presiden Tunisia dan akan segera masuk agama Islam.
Dan perkembangan Islam semakin berjalan mulus dan hal
ini dengan di tahun 1985 diselenggarakan konferensi besar Islam yang
dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam
konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Perancis.
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara
Perancis jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.
Menurut survei yang dilakukan kelompok muslim
Perancis, sampai tahun 2003 jumlah masjid di seantero Perancis mencapai 1.554
buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang
dimiliki oleh warga muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Perkembangan Islam dan masjid di Perancis juga ditulis
oleh seorang wartawan Perancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien.
Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara
Perancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Perancis
sebanyak 73 masjid.
Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid
akan makin bertambah di Perancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang
tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes,
misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.
Awalnya, masjid-masjid yang ada di Perancis didirikan
oleh orang-orang muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris,
Perancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti
pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang mereka menggunakan ruangan di
asramanya sebagai sarana ibadah sehingga hal itu terus berkembang dan menyebar.
Tak hanya masjid yang berkembang pesat pada saat
ini lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang
sejumlah sekolah Islam berdiri di Perancis. Sampai kini sedikitnya ada empat
sekolah muslim swasta.
Awalnya sebuah sekolah didirikan di Vitrerie,
pinggiran selatan Paris. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pendidikan
nasional Perancis namun ada tambahan pelajaran khusus muatan lokal tentang
keislaman, seperti bahasa Arab dan agama Islam.
Education et Savior adalah sekolah kedua yang dibuka
di Paris setelah sekolah Reussite di pinggiran Aubervilliers, utara Paris, dan
yang keempat di Perancis. Dua sekolah swasta Islam lainnya adalah Ibn Rushd di
Kota Lille, utara Perancis, dan Al-Kindi di Kota Lyon.
Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang
tertinggi di kota itu menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah
dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan.
Namun Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari
tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret
2007.
Menurut para pemimpin muslim Perancis insiden di
Al-Kindi justru mendorong masyarakat muslim untuk membuka sekolah serupa.
”Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas muslim untuk memiliki
sekolah lebih banyak,” ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam
di Perancis, UOIF. Dan hingga saat ini Islam di Perancis berkembang pesat
di setiap kalangan penduduk negara Napoleon Bona Parte.
Bahkan kini Islam di negara ini telah menyebar di
setiap komunitas masyarakatnya mulai dari karyawan kantor, wiraswasta, bahkan
olahragawan.
SEJARAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI ITALIA
Oleh Wima
Nastiti
Sejarah Islam di Italia bermula pada abad
ke-9, ketika Sisilia
dan beberapa wilayah di Semenanjung Italia menjadi
bagian kekuasaan Ummah Muslim antara tahun 828 (Penaklukan
Muslim Sisilia) dan pada tahun 1300 (kehancuran benteng pertahanan
Islam terakhir di Lucera, Puglia), Islam hampir tidak ada
lagi di Italia sejak zaman penggabungan negara pada
tahun 1861
hingga tahun 1970-an,
saat gelombang pertama imigran dari Afrika Utara
mulai tiba. Bangsa tersebut, umumnya berasal dari bangsa Berber
dan Arab,
yang kebanyakan datang dari Maroko. Sebagian juga datang dari Albania,
dan beberapa tahun kemudian, mereka juga diikuti oleh orang-orang Mesir,
Tunisia, Senegal, Somalia, Pakistan dan lain-lain.
Saat ini,
terdapat 60.000 orang berkebangsaan Italia yang beragama Islam. Mereka
merupakan orang asing yang menjadi warga negara Italia dan penduduk asli Italia
yang memeluk Islam.
Islam tidak
secara formal diperkenalkan oleh negara di Italia di samping menjadi
kepercayaan terbesar kedua setelah Katolik. Kepercayaan lain termasuk Yahudi
dan grup yang lebih kecil seperti Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah
dan Gereja Advent Hari Ketujuh,
telah disetujui oleh pemerintah Italia. Pengenalan resmi telah memberikan
kepercayaan tersebut sebuah kesempatan menguntungkan dari "pajak
agama" nasional yang dikenal sebagai Delapan per seribu.
Sejarah
Sejak awal
abad ke-7 dan ke-8, sebagian bangsa Lombard, salah satu
dari bangsa Jerman
yang menguasai sebagian Italia, memilih meninggalkan kepercayaan Arianisme
dan memeluk Islam
di samping Katolik,
sedangkan al-Ankubarti umumnya berjuang sebagai tentara sewaan dalam
pasukan Arab di pantai Mediterrania Afrika, khususnya Ifriqiyah-Tunisia, dan juga
Saqaliba oleh masyarakat
Muslim Arab. Di Palermo
Tengah, sebuah distrik diberi nama Saqaliba. Orang Sisilia-Saqaliba
terkenal dari abad ke-10 adalah Gawhar Al-Siqilli, seorang
pemimpin militer Fatimiyyah dan yang mendirikan Cairo. Orang
Sisilia-Saqaliba lain, adalah dari bangsa Slavia
Sabir al-Fata, yang menaklukkan Taranto dan Otranto pada tahun 927.
Serangan Arab
pertama terhadap Sisilia-Bizantium pada tahun 652, 667, dan 720 mengalami
kegagalan; Syracuse
dapat ditaklukkan untuk pertama kalinya untuk sementara waktu pada tahun 708,
namun sebuah invasi yang direncanakan pada tahun 740 gagal dilaksanakan karena
pemberontakan Berber dari Maghreb
yang berlangsung hingga tahun 771 dan perang sipil di Ifriqiyah berlangsung
hingga tahun 799. Sardinia bagaimanapun berhasil dikuasai Islam dalam beberapa
tahapan pendudukan yang berlangsung pada tahun 711, 720, dan 760 secara
berturut-turut. Pulau Italia Pantelleria dapat ditaklukkan oleh bangsa Arab
pada tahun 700.
Muslim di Sisilia
Untuk
mengakhiri pemberontakan pasukannya, hakim Aghlabiyyah dari Ifriqiyah
mengirimkan para perjuang Arab, Berber, dan Andalusia untuk menaklukkan Sisilia
pada tahun 827, 830, dan 875, dengan dipimpin oleh Asad bin al-Furat. Pada
tahun 902, hakim Ifriqiyah menjadikan dirinya sendiri untuk memimpin pasukan
perang untuk bertempur di pulau tersebut. Hakim dari Sisilia, yang memberontak
melawan Konstantinopel, dijuluki oleh kaum Muslim
(disebut Saraken oleh orang Eropa)
sebagai penolong. Pada tahun 831 Palermo jatuh ke tangan mereka, kemudian pada tahun 843
diikuti Messina,
pada tahun 878 Syracuse, pada tahun 902 Taormina,
pada tahun 918 Reggio Calabria di daratan
utama, dan pada tahun 964 Rometta, dan yang benteng
Bizantium terakhir yang tersisa di Sisilia.
Keberhasilan
pertanian Sisilia di bawah kekuasaan Arab menjadikan pertanian tersebut
terkenal di bidang ekspor. Seni dan kerajinan tangan menjadi berkembang pesat
di kota itu. Palermo, ibu kota Arab di pulau itu, memiliki 300.000 penduduk
saat itu, lebih banyak dari hasil penggabungan seluruh kota di Jerman. Pada
awal abad ke-11, umat Muslim menjadi setengah populasi Sisilia, dengan bangsa
Arab mendominasi utara pulau di sekitar Palermo dan bangsa Berber di area
sekitar Agrigento
di wilayah selatan.
Emirat di Apulia
Dari Sisilia,
bangsa Muslim mulai pindah ke daratan utama dan menguasai Calabria.
Pada tahun 835 dan kemudian tahun 837, Adipati Naples berjuang
melawan Adipati Benevento yang diminta oleh bangsa Muslim untuk membantu. Pada
tahun 840, kota Taranto
dan Bari
jatuh ke tangan bangsa Muslim, dan pada tahun 841, Brindisi
juga mengalami kejatuhan. Capua dapat ditaklukkan, Benevento, yang saat itu di bawah
kekuasaan bangsa Frank,
dapat dikuasai pada tahun 840-847 dan tahun 851-52. Serangan bangsa Arab
terhadap Kota Roma
pada tahun 843, 846 dan 849 berhasil digagalkan. Pada tahun 847, Kota Taranto,
Bari, dan Brindisi menyatakan menjadi emirat independen dari Aghlabiyyah.
Selama beberapa dekade, bangsa Muslim memerintah Mediterrania dan menyerang
kota-kota pesisir Italia. Pada tahun 868-870, Kota Ragusa
di Sisilia masih dalam kekuasaan bangsa Arab.
Hanya setelah
kejatuhan Malta
tahun 870, Kristen dunia barat berhasil dalam memperbaiki angkatan
perang melawan Muslim. Kaisar Franko-Romawi Louis II
menaklukkan Brindisi dan menumpas bangsa Arab di Bari tahun 871, namun kemudian
jatuh tertawan Aghlabids. Sebagai gantinya, Byzantium menaklukkan Taranto tahun
880. Sejumlah kecil benteng Arab di selatan bertahan hingga tahun 885,
contohnya Santa Severina Crotone di Calabria. Tahun 882, bangsa Muslim dijumpai di
mulut Sungai Garigliano antara
Naples dan Roma basis baru jauh di utara, yang bersatu dengan Gaeta, dan menyerbu Campania
seperti Sabinia di Lazio.
Seratus tahun kemudian, Byzantium disebut bangsa Arab Sicilia sebagai pendukung
melawan kempanye Kaisar Jerman Otto II.
Mereka mengalahkan Otto di Taranto tahun 982 dalam pertempuran di Crotone dan
dalam 200 tahun berikutnya sebagian besar digantikan dalam mencegah
penggantinya sejak memasuki Italia selatan.
Tahun 1002,
Bari dikuasai lagi oleh bangsa Arab, namun kemudian dikuasai lagi oleh
Byzantium. Melus (Melo), Emir Bari
1009-1019, melawan Byzantium dan dijuluki oleh orang Normandia sebagai
penyelamat. Melus, berasal dari Lombard-Arabi, digambarkan sebagai Ismail dalam
sulaman emas "Sternenmantel", yang
diberikan kaisar Jerman Henry II.
Setelah Aghlabids dikalahkan di
Ifriqiya, Sicily jatuh pada abad ke-10 kepada pengganti Bani
Fatimiyah mereka, namun mengklaim kemerdekaan setelah pertempuran
antara Islam Sunni
dan Islam Syi'ah
dibawah Kalbids.
Invasi di Piedmont
Setelah
mereka menguasai kekaisaran Visigoth di Spanyol, bangsa Arab dan Barbar 729-765 dari Septimania dan Narbonne
melakukan pengepungan di Italia utara, dan tahun 793 menyerbu lagi Perancis
selatan (Nice 813, 859 dan 880). Tahun 888 Muslim Andalusia mengubah pasukan
baru di Fraxinet dekat Frejus di Provinsi
Perancis, dari mana mereka mengawali pengepungan sepanjang pesisir dan di dalam
Perancis.
Tahun 915,
setelah Pertempuran
Garigliano, bangsa Muslim kehilangan pasukan mereka di selatan
Lazio. Tahun 926 Raja Hugh dari Italia memerintah bangsa Arab untuk
bertempur mempertahankan Italia utara yang direbut miliknya. Tahun 934 dan 935 Genua dan La Spezia
diserang, diikuti oleh Nice pada tahun 942. Di Piedmont, bangsa Muslim menempuh
sejauh Asti
dan Novi,
yang bergerak ke utara sepanjang lembah Rhône
dan bagian barat Alps.
Setelah kekalahan Pasukan Burgundy, Tahun 942-964 mereka menguasai Savoy dan menduduki
sebagian Switzerland (952-960). Kota Swiss seperti Saratz tetap menggunakan
lambang keberadaan Arab di wilayah itu. Untuk melawan bangsa Arab, Kaisar Berengar I,
sainggan Hugh, memerintah bangsa Hungaria, di mana dalam pergerakannya, mereka
menghancurkan utara Italia. Di bawah tekanan Raja Jerman, Fraxinet harus
menyerah pada tahun 972,
namun tiga puluh tahun kemudian, pada tahun 1002, Genoa diserbu, dan pada tahun
1004 Pisa.
Pisa dan
Genoa bergabung untuk mengakhiri aturan Muslim hingga Corsica
(Islam 810/850-930/1020) dan Sardinia. Sejak 1015 Sardinia dilindungi oleh armada Emir
Andalusia Dénia di Spanyol, yang
dikalahkan oleh persatuan bangsa Italia tahun 1016 dan kemudian setelah
invasinya tahun 1022. Hanya pada tahun 1027 bangsa Italia berhasil dalam
mengalahkan Muslim Sardinia; pergolakan Muslim terakhir berakhir tahun 1050.
Serangan abad ke-16
Hal ini
menjadi perdebatan jika Otranto bermaksud untuk menjadikan pasukan dalam
pertempuran berikutnya. Sultan Ottoman tidak pernah menyerahkan ambisi mereka
untuk mengakhiri Kristen di Roma dan menerapkan kedaulatan Islam.
Setelah
pendudukan Ragusa (Dubrovnik) dan
Hungaria tahun 1526
dan kekalahan pasukan Turki di Vienna tahun 1529, pasukan Turki
menyerang kembali Italia selatan. Tahun 1512/1526 Ottoman menduduki Reggio dan
tahun 1537
bagian Calabria dan pada tahun 1538 mengalahkan Pasukan Venesia. Tahun 1539 Nice dikepung oleh bangsa Barbaria (Pengepungan Nice), namun
percobaan penguasaan Turki di Sisilia gagal, seperti percobaan pendudukan
Pantelleria tahun 1553 dan pengepungan Malta tahun 1565.
Spanyol,
penyumbang terbesar untuk kejayaan Kristen „Persaingan Suci“ dalam pertempuran Lepanto tahun 1571 dibuat oleh Republik Venice, antara
1423 (dan khususnya sejak 1463) dan 1718 memerangi delapan perang
pantai terhadap Kekaisaran Ottoman.
Situasi saat ini
Menurut
statistik resmi Italia terakhir, Muslim mencapai sekitar 34% dari 2.400.000
penduduk asing yang tinggal di Italia pada 1 Januari 2005. Dari 820.000 penduduk asing tersebut
merupakan sejumlah Muslim yang secara resmi bertempat tinggal di Italia,
100.000-150.000 lainnya seharusnya ditambahkan, sebagai keberadaan Muslim,
menurut perkiraan tahunan yang disetujui secara luas asosiasi Italia Caritas,
sekitar 40% imigran resmi Italia.
Di samping
imigran legal menunjukkan minoritas keberadaan Muslim di Italia, isu Islam di
Italia saat ini berhubungan dengan beberapa partai politik (khususnya 'Luga
Utara' atau 'Lega Lombarda') dengan imigrasi, dan imigrasi ilegal yang lebih
spesifik. Imigrasi telah menjadi isu politik yang terbuka, ketika, khususnya di
musim panas, laporan muatan kapal imigran ilegal atau program berita dominasi clandestini.
Kepolisian
tidak memiliki keberhasilan besar dalam meninterupsi banyaknya ribuan clandestini
yang menepi di pantai Italia, terutama karena panjangnya garis pantai Italia
semata: total sekitar 8.000 km . Namun, banyak clandestini yang berlabuh
di Italia
hanya menggunakan Italia sebagai jembatan menuju negara UE lain, karena fakta
bahwa Italia tidak memiliki banyaknya peluang ekonomi untuk mereka seperti Jerman atau Perancis,
dan kurang lebih iklim yang tidak bersahabat untuk keberadaan mereka, juga
dengan ketaatan beragama umat Katolik Italia.
Jumlah Muslim
asing yang telah berkedudukan warganegara Italia diperkirakan antara 30.000
hingga 50.000, jika Muslim Italia (dari marga Italia yang sebelumnya termasuk
penganut Katolik atau tidak memiliki agama lalu masuk Islam) diperkirakan
kurang dari 10.000.
Karena itu,
pada tahun 2005 jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan menjadi
antara 960.000 hingga 1.030.000, dengan perkiraan rata-rata mendekati angka
jutaan di mana media Italia sudah mulai mengadopsi yang merujuk pada populasi
Muslim di Italia.
Keberadaan
Muslim saat ini 1.4% dari populasi Italia, persentase rendah dari negara UE
besar lain, dan masih turun dari yang tercatat di Italia antara pertengahan
abad ke-9 dan akhir abad ke-13, sebelum perpindahan pasukan Muslim terakhir di
Puglia tahun 1300.
Saat zaman
Pertengahan, populasi Muslim bertotal hampir berpusat di Insular (Sisilia,
Sardinia) dan (Calabria, Puglia) Italia Selatan, saat ini lebih rata
penyebarannya, yang hampir 55% Muslim mendiami Utara Italy, 25% di Pusat, dan
hanya 20% di Selatan.
Harus
dikatakan bahwa di samping 'Invasi Muslim' tiruan, Muslim membentuk proporsi
rendah imigran kemudian pada tahun selanjutnya, ketika laporan statistik
terakhir Menteri Italia Interior dan Caritas menunjukkan bahwa bagian Muslim
antar imigran baru merosot dari lebih 50% awalnya pada tahun 1990-an (umumnya
Albanian dan Moroccan) menjadi kurang dari 25% di dekade selanjutnya, dengan
Negara non-Muslim seperti Rumania, Moldavia, dan Ukraina yang mempelopori
"gelombang" imigrasi terakhir.
Ukuran kecil
relatif komunitas Muslim lokal berarti bahwa Islam telah membuat dampak penting
pada kehidupan publik, namun terdapat tanda bahwa perubahan. Titik saat ini
pergolakan antara orang Italia asli dan populasi imigran Muslim meliputi
keberadaan salib
di rusang kelas sekolah dan kamar rumah sakit Italia. Adel Smith talah menarik
media pertimbangan dengan menuntut bahwa salib di tempat publik (sekolah, rumah
sakit, dan kantor pemerintah) dipindahkan. Konsili Negara Italia,
dengan jumlah kalimat 556, 13 Februari 2006 , mengkonfirmasi
pajangan salib dalam dukungan pemerintah ditempatkan.
Jika
non-Kristen mungkin tidak melihat ini sebagai alasan untuk menjadikan salib
wajib dalam institusi negara, banyak Muslim juga telah menyatakan oposisi
mereka untuk memindahkan salib karena mereka tidak menemukan mereka mengganggu.
Mereka mengutip fakta bahwa banyak negara dengan Muslim mayoritas, hal ini umum
dijumpai anak panah dalam ruang hotel yang menandakan arah Mekah, dan bahwa ini tidak
dibuat bahan perdebatan oleh non-Muslim.
SEJARAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI JERMAN
Oleh Wima
Nastiti
Pembicaraan mengenai Islam dan komunitas Muslim di
negara-negara Barat kini menjadi salah satu topik menarik. Hal ini tidak hanya
karena perkembangnya yang cukup signifikan tapi juga karena memberi dampak
terhadap kehidupan sosial politik negara-negara tersebut. Di sebagian besar
negara-negara Eropa, Islam kini telah menjadi agama terbesar kedua dan
keberadaanya saat ini mulai diperhitungkan sebagai agama yang “diakui”
pemerintah. Salah satu negara Eropa yang memiliki penduduk Muslim yang besar
adalah Jerman, dengan jumlah berkisar 3.7 juta jiwa.
Komunitas Muslim di Jerman
Keberadaaan orang-orang Islam pertama sekali di negeri
Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa Turki ke wilayah tersebut di akhir
abad ke 17 yang merupakan respons perlawanan terhadap kolonialisme Barat.
Mereka menetap dan berketurunan di wilayah tersebut. Ketika bangkitnya
industri-industri di Eropa, banyak warga Muslim dari Turki dan Timur Tengah
melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961,
1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki, Maroko, dan Tunisia direkrut
sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara pemerintah Jerman dengan
negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim dari Libanon, Palestina,
Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga datang ke Jerman mengungsi
karena negara mereka dilanda perang. Karena merupakan negara maju, Jerman juga
menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak para profesional, pebisnis,
pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan, dan Asia Tenggara datang dan
sebagian menetap di sana.
Jumlah penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7
juta jiwa. Mayoritas adalah keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta
orang. Menurut statistik tahun 1999, komposisi kaum Muslim di negeri ini adalah
sbb: Turki 2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan
71.955, Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055,
Aljazair 17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528,
Indonesia 9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia
3.084, Senegal, 2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan
1.399, Guinea 1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083. Tidak jelas berapa jumlah
Muslim yang berasal dari Jerman sendiri. Satu laporan dari Lembaga Statistik
Khusus umat Islam di Jerman menyebutkan sedikitnya 18.000-an orang, namun ada
dugaan menyebutkan sekitar 40.000 orang.
Konversi Agama ke Islam
Satu fenomena yang menarik belakangan bahwa tingkat
konversi orang-orang Jerman ke Islam cukup tinggi. Majalah ternama Jerman Der Spiegel pernah
menyebutkan bahwa antara Juli 2004 dan Juni 2005 saja terdapat sekitar 4000
orang di Jerman masuk Islam, fenomena ini terjadi justru disaat media-media
Barat gencar mengaitkan Islam dengan terorisme.
Apa motivasi masuknya orang-orang Jerman
ke Islam? Kai Luhr adalah seorang dokter praktek di Jerman. Ia beralih memeluk
Islam bersama istrinya dua setengah tahun lalu. Sejak itu ia mengganti nama
menjadi Kai Ali Rashid, sementara sang istri berganti menjadi Katrin Aisha
Luhr.Kedua pasangan itu sempat tampil dalam sebuah wawancara di televisi swasta
3sat. Dalam wawancara Katrin Luhr mengatakan sebelum mendapat kehormatan
berupa hidayah memeluk Islam, ia merasa jiwanya kosong. Ia mengaku pergi ke
gereja dari waktu ke waktu namun gagal menemukan jawaban yang ia cari. Kini ia
menyatakan tak pernah menemukan kegembiraan seperti ini sebelumnya, juga
jawaban terhadap pertanyaan di benaknya. Ia juga menikmati setiap perubahan
bermanfaat yang ia rasakan setelah memeluk Islam. “Saya menyesal tidak dari dulu mengenal Islam. Kalau
saja orang Jerman mendapat informasi yang benar tentang Islam, mereka akan
mudah masuk Islam,” kata Kai Lühr dalam pernyataannya di televisi.
Mereka memutuskan masuk Islam setelah mempelajari al-Qur’an terjemahan dalam
bahasa Jerman. Kini, keluarga Lühr telah menjadi Muslim yang taat.
Di
kalangan masyarakat Jerman, kelompok yang berprofesi dokter seperti keluarga
Lühr merupakan simbol kelas menengah. Mereka saat ini sedang menjadi sorotan
publik. Bukan soal kekayaan atau tekanan politik mereka terhadap pemerintah.
Tapi karena mereka sedang berbondong-bondong masuk Islam. Perkembangan Islam di
Jerman saat ini boleh dibilang sedang memasuki sebuah babak baru. Keluarga Lühr
adalah salah satu dari ribuan orang Jerman yang tiap tahun masuk Islam pada
lima tahun terakhir ini.
Sebut
saja beberapa orang misalnya Nils von Bergner, pengacara muda 36 tahun
yang tinggal di kota Hamburg, telah menetapkan pilihannya untuk masuk Islam.
Kini, Bergner tidak pernah absen menjalankan shalat lima waktu meskipun harus
dengan menggelar sajadah di kantornya. Ada juga dari kalangan akademisi seperti
Nina Mühe, ahli Etnologi dari Universitas Berlin. Juga Silvia Horch dosen
Jurusan Sastra Jerman- Arab. Dan masih banyak lagi. Mereka semua telah
berketetapan hati untuk masuk Islam.
Realitas sosial semakin banyaknya yang
menjadi mualaf itu rupanya menarik perhatian kantor Menteri Dalam Negeri
Pemerintah Federal Jerman. Akhirnya, kementerian meminta lembaga ‘Das Islam
Archiv’ untuk melakukan penelitian terkait dengan fenomena ini. Hasilnya
memang cukup mencengangkan. Menurut penelitian yang sempat dipublikasikan
Harian Hamburger Abendblatt edisi 29 Januari 2007. Selama satu tahun saja,
terhitung Juli 2005 sampai Juni 2006 misalnya, orang Jerman yang masuk Islam
sekitar 4.000 orang. Angka ini semakin meningkat pada tahun berikutnya. Tidak
lagi 4.000 tiap tahun, tapi menjadi sekitar 6.000 orang per tahun.
Monika Wohlrab-Sahr dari Institut
für Kulturwissenschaften Universitas Leipzig dalam studinya menyatakan
“viele auf der Suche nach dem “Andersartigen” (banyak yang sedang
mencari “bentuk lain”). Dalam banyak kasus, katanya. “..die Konvertiten
meist aus einer vorangegangenen Lebenskrise heraus den Islam entdeckten und
nicht, wie oft im Nachhinein geschildert werde, ein tatsächlicher Vergleich mit
anderen Religionen stattgefunden habe. (Banyak pelaku konversi
tersebut mengalami problematika kehidupan dan menemukan solusi dalam Islam,
bukan karena membanding-bandingkannya dengan agama lain, sebagaimana yang kerap
digambarkan). Monika menyebutkan bahwa penekanan terhadap kedisiplinan dan
kepatuhan dalam Islam lebih kuat. Salah seorang muallaf menyebutkan tertarik
pada Islam karena ajaran ini paling jelas merinci tuntunan hidup bagi umatnya.
Ada juga yang mengakui meski Islam saat mundur dari peradaban Barat, namun
ajarannya tetap relevan hingga saat ini.
Kebebasan Beragama
Di Jerman, kebebasan beragama dijamin oleh
Undang-Undang. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar Jerman (Grundgesetz)
menyebutkan Die Freiheit des Glaubens, des Gewissens und die Freiheit
des religiösen und weltanschaulichen Bekenntnisses sind unverletzlich. (Kebebasan
beragama dan memiliki pandangan filosofis hidup tidak boleh diganggu). Memang
belakangan terdapat beberapa kasus dimana warga Muslim mendapat diskriminasi di
Jerman misalnya dalam masalah jilbab. Namun hal ini bukanlah kasus yang
fenomenal dan tidak merubah kebijakan pemerintah Jerman terhadap umat Islam.
Secara umum, masyarakat Jerman sangat menghargai kebebasan beragama. Sebuah
survey yang pernah dilakukan Stiftung Konrad Adenauer menunjukkan
bahwa dua pertiga peserta polling percaya bahwa umat Islam harus diberikan
kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama mereka.
Organisasi-organisasi Islam di Jerman umumnya berafilisasi
kepada kelompok-kelompok kultural seperti tersebut diatas. Namun belakangan ada
upaya-upaya penyatuan dengan membuat lembaga yang berfungsi sebagai mediator
dan pemersatu berbagai organisasi yang ada.
Dan saat ini Kaum Muslim di Jerman bernaung
di salah satu lembaga Islam terbesar bernama Zentralrat Muslim
Deutschlands (ZMD) atau Dewan Pusat Muslim Jerman. Selain memberikan
layanan pembelajaran tentang Islam, ZMD juga rajin memberikan advokasi atas
kejadian-kejadian yang dihadapi oleh Muslim di Jerman.
Pendidikan Islam Formal
Berbeda dengan kebanyakan negara-negara lain di Eropa,
Jerman dalam perkembangan terakhir, mulai memperbolehkan pelajaran agama Islam
bagi para pelajar Muslim di sekolah-sekolah umum. Biasanya pelajaran agama
dilakukan orang-orang Islam secara non-formal di masjid-masjid atau
kelompok-kelompok masyarakat. Kebijakan baru yang merupakan hasil dari
penggodokan bersama antara pemerintah Jerman dan komunitas Muslim di Jerman ini
adalah salah satu upaya mendukung proses integrasi sosial Muslim di Jerman.
Menurut Wolfgang Schrauber, Menteri Dalam Negeri Jerman, kebijakan tersebut
dapat menjembatani perbedaan yang kerap timbul.
Tidak hanya di level sekolah, pendidikan Islam juga
mulai diperkenalkan pada tingkat akademik dengan membuka Jurusan Teologi Islam
di perguruan tinggi di Jerman. Pendidikan pada tingkat akademik ini dianggap
dapat memberi solusi terhadap masalah kehidupan Muslim dalam keragaman dan juga
dapat mengangkat isu partisipasi mereka dalam diskursus politik di negara
tersebut.
Masjid Sebagai Pusat Pembinaan
Karena tidak adanya infrastruktur keagamaan formal,
masjid-masjid di Jerman memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan
komunitas Muslim. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tapi juga
sebagai tempat pendidikan/pengajaran, pertemuan sosial keagamaan, acara
perkawinan, dan pusat bisnis. Karenanya tidak sedikit masjid yang memiliki
toko, restoran, perpustakaan, dan ruang pertemuan. Saat ini jumlah masjid di
Jerman berkisar 2000, namun sebagian besar tidak dalam bentuknya yang umum,
melainkan ruko-ruko yang berada dekat pusat bisnis dan perumahan kaum Muslim.
Tuntutan kaum Muslimin untuk membangun masjid dalam bentuknya yang umum selalu
kandas di tingkat parlemen setempat. Namun sejak tahun 1990-an, banyak masjid
yang utuh dan megah di bangun. Satu laporan menyebut sekitar 200 telah
terbangun dan lebih dari 30 dalam proses pembangunan.
Sebagai catatan akhir, dapat dikatakan bahwa
perkembangan Islam dan komunitas Muslim di Jerman tampak memberi dampak yang
positif bagi kehidupan masyarakat Jerman. Penerimaan Islam oleh masyarakat
Jerman sendiri menunjukkan agama ini memberikan alternatif bagi pemecahan
masalah kehidupan mereka. Islam tidak lagi diidentikkan sebagai agama para
imigran melainkan agama yang terintegral dari kehidupan mereka sendiri.
Integrasi Islam dan kultur mereka inilah yang akan membangun apa yang dikenal
sebagai “Euro Islam”.