BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus tentang hubungan Islam dan negara merupakan tema
yang tak pernah usai dibahas. Salah satu dimensi persoalan yang selalu
melahirkan perbedaan adalah bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam
sistem sosial politik. Dengan kata lain, bagaimana strategi perjuangan umat
dirumuskan dalam masyarakat negara-bangsa yang plural ini. Bahkan tak dapat
dipungkiri, sebagian memandang Pancasila sebagai dasar negara merupakan
jembatan yang rentan menjatuhkan ke lembah kesyirikan, namun sebagian lagi
bersikap akomodatif. Pancasila yang berakar dari sejarah, agama, adab atau
budaya, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih
berbentuk kerajaan, diterima sebagai ideologi negara yang mengatur
keanekaragaman Indonesia, (bukan ideologi yang dipaksakan untuk individu).
Namun kenapa justru saat ini seolah-olah islam lah agama
satu-satunya yang berhak atas pancasila. Bukankah kita tahu, pancasila lahir
tidak hanya dibawah naungan agama islam semata. Namun Indonesia memiliki
keberagaman agama yang diakui. Dan bagaimanakah pendapat para tokoh atau
pandangan tokoh yang berpengaruh di Indonesia mengenai hal ini? Lalu
bagaimanakah sistem yang mereka gunakan dalam mengatur negara yang berasaskan
pancasila dan tidak lepas pula dari pengaruh islam?
Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah pancasila
dalam perspektif islam? Dan seperti apakah hubungan antara Islam dan Pancasila?
2. Bagaimana sila dalam
Pancasila yang berkaitan Ketuhanan?
3. Bagaimana pendapat
seorang tokoh tentang Gus Dur (selaku mantan presiden) dan
Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam?
4. Bagaimana
isu kontemporer yang berkaitan dengan Islam dan Pancasila, khususnya
terorisme?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pancasila
dalam Perspektif Islam dan Hubungannya
Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding
father-nya yang telah menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukannya. Semangat
nasionalisme mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari puluhan ribu
pulau, suku bangsa, bahasa, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling
mendasar.
Kini, ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme
sebagian masyarakat Indonesia yang ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa
dengan menginginkan penerapan syari’at Islam di tengah pluralisme beragama
bahkan dengan sistem khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan syari’at Islam
dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena
adanya agama lain. Padahal Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur
hal-hal yang berbaur dengan agama.
Sebagai bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara
kelompok Islamis dan nasionalis yaitu kelompok yang menginginkan penerapan
syari’at Islam serta membentuk Indonesia dalam sistem khilafah dan kelompok
yang tetap mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok Islamis
seolah-olah merasa tidak kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila,
demikian pula kelompok nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at
Islam diformalisasikan di negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang
syumul (universal) yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu hingga akhir
zaman. Demikian pula pancasila adalah ideologi yang terbangun atas dasar
nilai-nilai agama termasuk Islam.
Memang, pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak
masa kolonial. Di mana pada tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik
tentang masalah-masalah dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan
bangsa Indonesia. Keduanya adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok
nasionalis dan Islamis. Demikian pula pasca kemerdekaan, dua kelompok ini
bertarung melalui Piagam Jakarta terutama dalam konsep dasar ideologi bangsa
yaitu pada kalimat “…dengan berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya
berdasarkan musyawarah dapat diganti dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan
yang maha esa”.
Meskipun demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah
pertentangan di atas sebagai semangat pemberontakan terhadap Pancasila ataupun
melawan nilai dari ajaran Islam sebab mereka telah tuntas dalam satu
kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai azas negara dengan rumusannya
yang sempurna serta mengambil nilai dari ajaran-ajaran agama.
Namun semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas
masih terus mengalir hingga ke parlemen dan eksekutif dengan lahirnya
partai-partai berazaskan Islam dan melahirkan Undang-Undang serta Perda-Perda
bernuansa syari’at Islam. Di sisi lain semangat mempertahankan pancasila
sebagai ideology yang legitimed dan melindungi minoritas pun terus dilontarkan
melalui parlemen dan gerakan-gerakan nasionalisme. Mereka menginginkan
pancasila sebagai harga mati bagi azas negara Indonesia.
Pada dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak
dapat dipisahkan sebab keduanya bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi.
Untuk itu perlu ada rumusan dan diplomasi baru guna menjadikan keduanya sebagai
ruh bangsa Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk masyarakatnya dapat
berbangsa tanpa merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat beragama
tanpa merasa mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila
agar tidak bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila
merupakan impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun
minannas (hubungan kepada sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran
persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama anak
bangsa (ukhuwah wathoniyah).
Jadi mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang
sesuai dengan ajaran Islam dan mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan
kesetiaan kepada bangsa Indonesia. Sebaliknya, melanggar ketentuan Pancasila
dapat melanggar nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan Islam
adalah pengkhianatan kepada bangsa Indonesia.
2. Sila dalam
Pancasila yang berkaitan Ketuhanan
Sila pertama :
Ø Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam kebebasan berkeyakinan dan berpendapat, Islam tidak
memaksa seseorang untuk merubah keyakinannya dan memeluk Islam. Walaupun Islam
menyerukan untuk itu, namun seruan kepada Islam adalah satu hal dan memaksa
memeluk Islam ialah hal lain. Yang pertama disyariatkan dan yang kedua dilarang
:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (An-Nahl : 125)
Allah juga berfirman tentang paksaan :
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah
: 256)
Salah satu prinsip yang ditetapkan syariat ialah :
Kita biarkan mereka dan juga agama yang mereka anut. Jadi,
pemerintah Islam tidak memusuhi non muslim baik keyakinannya maupun ibadatnya.
Seperti halnya tempat-tempat ibadat Yahudi dan Nasrani tetap terpelihara dalam
pemerintahan Islam di sepanjang masa, tidak juga mengalami kerusakan, tidak
dari kaum Muslimin dan tidak juga dari negara. Bahkan negara melindunginya dan
para pemiliknya diperbolehkan melakukan ibadat di tempat itu.
Perlindungan fiqh Islam terhadap kebebasan akidah telah
mencapai taraf yang kita soalan masuk islamnya salah seorang dari suami isteri
yang non muslim, Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i dalam fiqh)
mengatakan, tidak boleh menampakkan keislamannya kepada pasangannya. Berbeda
dengan mazhab Hanafi yang memperbolehkannya. Imam Syafi’i beralasan :
Sesungguhnya dalam penampakan keislaman ini terdapat (kesan) permintaan masuk
Islam kepada mereka (non muslim), padahal kita telah menjamin dengan perjanjian
tanggungan untuk tidak memaksa mereka. Jadi Imam Syafi’i melihat bahwa
menampakkan keislaman kepada pasangan yang belum masuk Islam merupakan salah
satu bentuk permintaan dan pemaksaan kepadanya untuk masuk Islam, hingga tidak
diperbolehkan. Taraf yang begitu tinggi yang telah dicapai oleh fiqh Islam
dalam melindungi kebebasan akidah.
Apa yang dikemukakan harus tidak boleh diterapkan dalam
persoalan hukuman bagi orang murtad, yaitu hukuman orang Islam yang keluar dari
Islam. Persoalan ini adalah satu hal dan apa yang telah dikemukakan mengenai
kebebasan akidah adalah hal lain. Dengan keislamannya, seorang muslim
telah terkena oleh hukum-hukum dan keyakinan Islam. Jika dia murtad, ia telah
menghindari kewajibannya dan berbuat buruk serta membangkang terhadap negara.
Sehingga berhak mendapat hukuman, karena seseorang yang menghindari
kewajibannya harus mendapat balasan, sebagaimana dikenal dalam hukum.
3. Gus Dur dan
Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
Sebuah Catatan Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri
Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember
1983, ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer;
Drs. Zamroni, dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) rahimahumullah.
Gus Dur waktu itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang
membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah
hasilnya:
***
Bismillahirrahmanirrahim
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik
Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara
Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang
menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan
syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara
manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan
dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, NU berkewajiban
mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang
murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M
***
Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung
singkat sekali. Pimpinan (H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat
dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau
masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini
disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi — dr.
Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari
Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang
berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu
dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.
Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa
yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya:
Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan? Semua setuju.
Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.
K. Kun Solahuddin yang diutus K. As’ad Samsul Arifin untuk
mengamati rapat, kemudian melapor ke K. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan
dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As’ad kurang setuju
dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti.
Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding
dengan K. As’ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.
Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku saksi
sejarah, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang
disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya termasuk saya– merasa bahwa
kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan
saya, Gus Dur sudah membaca masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu
apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima
butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang
masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang
padahal– pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.
4. Isu
Kontemporer yang Berkaitan dengan Islam dan Pancasila
Di awal abad ke-21, Indonesia menghadapi musuh baru yang tak
kalah mematikan dibandingkan musuh-musuh lama yang sebelumnya sudah ada. Musuh
kali ini bukanlah para koruptor atau penjahat kelas kakap, tetapi adalah gejala
paranoid yang bernama terorisme. Selain membunuh banyak korban, musuh kita
yang satu ini juga jelas-jelas membunuh citra baik Indonesia di dunia Internasional.
Selain itu, kelompok teroris ini juga menyebarkan pemikiran-pemikiran radikal
mereka kepada masyarakat Indonesia yang moderat.
Dimulai dari peristiwa Bom Bali 1, lalu disusul oleh
pengeboman Hotel JW Marriot, kemudian Kedubes Australia, lalu Bali lagi, lalu
JW Marriot. Jika dilihat, semua alur pengeboman tersebut memiliki target yang
sama, yaitu pihak barat yang selama ini disimbolkan dengan Amerika Serikat dan
Negara sekutu-sekutunya. Organisasi seperti Darul Islam Indonesia (DI/NII)
telah mewariskan baik keturunan ideologis ataupun biologis terhadap
pelaku-pelaku terror saat ini, dengan tujuan mendirikan sebuah Negara Islam di
Indonesia atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Menurut penelitian, terorisme muncul dari gerakan radikal
islam. Gerakan ini akibat :
1. Ketidakadilan
2. Kelemahan Negara
3. Kelemahan Masyarakat
4. Krisis identitas
Dan memang di Indonesia situasi tersebut memang sedang
terjadi. Sehingga politisi ideologi yang dilakukan oleh teroris menjadi
berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Selain itu, peran organisasi Islam
juga jadi salah satu factor yang membuat banyak pemuda Islam mudah terlibat
aksi terorisme. Sebab, organisasi Islam tidak mampu mengakomodasikan
kepentingan kelompok Radikal Islam yang membuat kelompok tersebut berjalan
sendiri dengan pemahaman yang salah.
Lalu mengapa sebagian besar masyarakat menganggap terror itu
dilatarbelakangi oleh agama yang mengatasnamakan jihad fisabilillah,
tetapi dalam bentuk yang salah kaprah. Sebenarnya, terror yang berlatarbelakang
agama itu adalah tentang balas dendam, penghinaan dan ketamakan. Dari sana
berangkatlah para teroris berlatar belakang agama itu dengan penuh nikmat atas
keyakinan mereka bahwa misi yang mereka jalankan adalah benar.
Piagam Jakarta
Piagam Jakarta adalah dokumen historis berupa kompromi
antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan
negara. Disebut juga "Jakarta Charter". Merupakan piagam atau naskah
yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal
22 Juni 1945. Piagam ini disusun karena wilayah Jakarta yang besar, meliputi 5
kota dan satu kabupaten, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur,
Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, provinsi
DKI Jakarta dibentuk dengan piagam tersebut dan menetapkan Soewirjo sebagai
gubernur DKI Jakarta yang pertama sampai 1947.
Sembilan tokoh tersebut adalah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,
Sir A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim,
Sir Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Sir Muhammad Yamin. BPUPKI dibentuk 29
April 1945 sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada
Indonesia. Anggotanya dilantik 28 Mei 1945 dan persidangan pertama dilakukan
keesokan harinya sampai dengan 1 Juni 1945. Sesudah itu dibentuk panitia kecil
(8 orang) untuk merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang
dilontarkan oleh 3 pembicara pada persidangan pertama. Dalam masa reses
terbentuk Panitia Sembilan. Panitia ini menyusun naskah yang semula dimaksudkan
sebagai teks proklamasi kemerdekaan, namun akhirnya dijadikan Pembukaan atau
Mukadimah dalam UUD 1945. Naskah inilah yang disebut Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan
imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara
Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San
Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu merupakan
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi
Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Zaidan, Dr. Abd. Karim. Masalah Kenegaraan dalam
Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu, 1989.
Saputra, Dinianto. “Mengintip Jejak Teroris di Indonesia”
dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo, Februari 2010.
Pertiwi, Arum Bekti. “Menguak Latar Belakang Teror di Indonesia”
dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo, Februari 2010.
http://anisfatayati.blogspot.co.id/2012/08/makalah-pancasila-dan-islam.html