Menulis Cerpen

bahasa Indonesia kelas X kurikulum 2013
Eddy D. Iskandar seorang cerpenis, novelis, dan pembuat skenario sinetron serta film ditanya oleh mahasiswa Fikom Unpad, ”Apa bekal Kang Eddy menulis?” Kang Eddy memang telah menulis novel Gita Cinta dari SMA, Cowok Komersil, Puspa Indah Taman Hati, dan lain-lain. Skenario filmnya adalah Si Kabayan dan Glen Kemon Mudik, sedangkan skenario sinetronnya adalah Bidadari yang Terluka, Harkat Wanita, Nikita, dan banyak lagi. Kang Eddy menjawab, ”Kuncinya adalah gemar membaca, bergaul, berpetualang, dan berlatih dengan sungguh-sungguh.” Dari kegemaran membaca, melakukan perjalanan, bergaul, tumbuhlah sikap berimajinasi. Imajinasi perlu sekali dalam membangkitkan gairah menulis.
Imajinasi sangat diperlukan dalam menulis cerita rekaan. Imajinasi itu berupa dorongan dari rasa emosional positif yang datang dari penjiwaan. Imajinasi berupa energi yang terkumpul dari hasil membaca, melihat (pengalaman), merasakan, dan bergaul (berkomunikasi) dengan sesama manusia. Kelak apabila imajinasi sudah terkumpul dan melahirkan rentetan ide, ide tersebut direka-reka, mengalirlah ide tersebut dalam tulisan sehingga menjelma menjadi cerpen, novel, atau puisi. Misalnya, apabila kalian berbelanja ke sebuah pasar, di sudut kios seorang nenek kira-kira 60 tahunan duduk menghadap dua tempayan yang berisi penganan atau kudapan. Dagangannya itu masih banyak, padahal hari hampir siang. Wajah nenek itu terlihat lusuh, tatapannya mendung. Nenek itu terlihat letih. Wajahnya yang keriput dan rambutnya yang penuh uban terlihat sangat tua dan ringkih. Penglihatan itu tariklah kepada pusaran emosional; jiwai kehidupan si nenek itu dengan daya khayal kalian. Seandainya nenek itu sakit? Seandainya nenek itu sebatang kara? Seandainya dagangannya tidak laku? Akankah beruntung? Kalau si nenek sakit, bagaimana kalau tidak mempunyai penghasilan hari ini?
Imajinasi semacam itu kelak akan melahirkan ide cerita dan menggiring kita pada karakteristik si nenek. Setting atau latar, yaitu suasana pasar. Alur, yaitu jalan hidup si nenek hari itu di pasar. Sudut pandang kalian, yaitu tokoh si nenek. Temanya tentang hari tua si nenek yang habis di pasar. Amanatnya adalah kemanusiaan tentang nasib si nenek.
Bacalah contoh cerpen berikut dengan saksama!


Kepada Yang Terhormat
Surat beramplop putih agak kekuningan itu diantar bersama dengan setumpuk surat-surat lainnya. Terselip, terhimpit, dan terjepit surat-surat dinas untuk pak Lurah. Tak ada yang istimewa dari surat itu. Lihat saja warna amplopnya yang putih sudah agak kekuningan. Pasti surat itu sudah terlampau lama ditumpuk di kantor pos. Juga prangko yang tertempel di sudut kanannya, sudah hampir terkelupas dan tidak fashionable. Surat beramplop putih agak kekuningan itu, kemudian jatuh kepada sekretaris kelurahan. Wanita muda dan cantik dengan seragam pegawai negeri itu lantas memeriksa satu persatu surat-surat. Memisahkannya, menurut penting atau tidaknya suratsurat itu untuk segera diketahui pak Lurah.
Tangannya begitu cekatan, ”Dari Parmin di Desa Timbul,” bibirnya bergumam pelan.
Wuzzz .... Surat itu melayang ke keranjang sampah di dekat kakinya, bersama surat-surat lain yang sudah terlebih dahulu mendiaminya.
”Dari ....???” Wanita itu membalik-balik surat beramplop putih agak kekuningan yang ada di jarinya. Matanya sibuk mencari sesuatu ke setiap sudut amplop merek AA itu. Rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. Dibolak-baliknya surat itu beberapa kali, tetapi tak dijumpainya tertulis nama pengirim.
”Dasar usil, ngirimi surat kaleng, kok ke kelurahan, ke presiden kek. Biar di-tin-dak-lan-juti,” katanya mengeja kata terakhir.
”Tapi ....” sekretaris kelurahan itu jadi terkejut ketika memerhatikan tujuan surat itu.
Kepada Yang Terhormat:,” dia bergumam membaca tulisan yang ada di bagian depan surat beramplop putih agak kekuningan itu. Tak ada lagi tulisan lain selain itu. Wah ini surat misterius amat, batin wanita itu. Mungkin buat pak Lurah, wanita itu berkata dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi, surat itu diletakkannya dengan baikbaik di atas meja, bersama surat-surat penting lain untuk pak Lurah.
Menikmati siaran HBO dari televisi kabel, sambil ditemani sebatang rokok Marlboro, pak Lurah sibuk membaca surat-surat buatnya yang diantar sekretaris kelurahan. Kursinya yang berukuran big size seperti tak mampu menampung tubuhnya yang tambun. Di tangannya kini ada surat dari pak Gubernur yang mengabarkan akan berkunjung ke kelurahan ini pekan depan. Ini, sih, urusan kecil, besok dia tinggal memerintahkan masyarakat untuk bergotong royong membersihkan jalan dan parit-parit.
Pak Gubernur tentu akan senang karena kawasan kelurahannya bersih dan aku tentu akan dipuji, begitu kata pak Lurah dalam hati. Berikutnya, dengan tangan kiri dia meraih surat lain di atas meja. Kali ini sebuah surat dari sebuah lembaga sosial yang diketuai isteri seorang pejabat tinggi. Isinya, juga tak jauh berbeda. Mengabarkan kedatangan mereka ke sini. Pak Lurah meraih surat berikutnya. Keningnya lantas berkerut. Di bolak-baliknya surat beramplop putih agak kekuningan itu. Sudah tiga kali dia membaca tujuan surat itu.
”Asihhh ....,” pak Lurah berteriak memanggil wanita sekretaris kelurahan tadi.
”Kamu tahu surat ini untuk siapa?” diacungkannya surat beramplop putih agak kekuningan itu, begitu Asih, sang sekretaris kelurahan berada di depannya.
”Ini pasti surat buat pak Camat. Coba kamu baca Asih, di sini tertulis, Kepada Yang Terhormat:. Kirim segera surat ini ke pak Camat,” perintah pak Lurah tegas.
***
Di kantornya, pak Camat bersafari masih sibuk dengan handphone-nya. Bicaranya tampak begitu berhati-hati. Raut wajahnya pun menunjukkan kecemasan. Persoalannya, beberapa proyek perintah pak Bupati belum dapat diselesaikannya. Sebenarnya ini karena masalah ganti rugi tanah penduduk kampung di tepi kali. Kata mereka ganti rugi itu terlalu kecil. Huh...mana ada, sih, yang namanya ganti rugi malah untung tentu harus rugi.
”Baik, Pak. Ya ....ya, saya mengerti, Pak.”
”Akan segera saya laksanakan, Pak,” kata pak Camat mengakhiri pembicaraannya, napasnya ditarik dalam-dalam. Matanya nanar memandang ke seluruh ruangan. Cepat diraihnya sebotol coca cola dingin dari kulkas di sudut ruangan. Setelah napasnya kembali teratur, pak Camat kemudian duduk kembali di kursinya. Ringan tangannya meraih surat-surat yang menumpuk di atas meja yang penuh dengan tumpukan kertas di hadapannya. Matanya kemudian membaca satu per satu surat-surat tersebut. Surat berwarna kekuningan itu lagi!
Mata pak Camat mendelik. Dibacanya beberapa kali lagi dengan saksama tujuan surat itu. Dengan terburu-buru, hingga hampir saja ia terjatuh dari kursi empuknya, meraih handphone di sudut meja.
”Selamat pagi, Pak. Ya, saya lagi, Pak,” ujarnya terburu-buru.
”Ada sesuatu yang penting, Pak. Sebuah surat. Saya yakin ini pasti untuk Bapak,” pak Camat bersafari berhenti sebentar.
”Ya, segera saya antarkan, Pak,” tukasnya dengan mantap.
***
Surat beramplop putih agak kekuningan itu berada di tangan pak Bupati. Di bolak-baliknya surat itu, ditimang-timangnya. Otaknya bekerja keras. Dia benar-benar ragu untuk membuka surat yang ditujukan kepada yang terhormat itu. Entah sudah berapa kali dibacanya sebaris tulisan di bagian depan amplop itu. Mondar-mandir dia memikirkan persoalan yang ada di tangannya itu.
”Surat itu pasti untuk, Bapak,” pak Camat bersafari mencoba memberi pertimbangan. Langkah pak Bupati berhenti, matanya menatap tajam pak Camat yang duduk di sofa di depannya.
”Tidak mungkin, di sini hanya tertulis, Kepada Yang Terhormat:. Anda pasti mengerti, saya bukanlah orang yang terhormat di sini. Masih banyak orang yang terhormat di negeri ini. Bayangkan saja, di atas saya masih ada pak Gubernur, pak Dirjen, pak Menteri, bahkan pak Presiden. Kamu bayangkan itu! Kedudukan saya bakal terancam jika saya berani-beranian membaca surat untuk mereka ini,” pak Bupati berhenti bicara sambil mengacungkan surat itu ke wajah pak Camat.
”Tapi, Pak.....” pak Camat mencoba membantah.
”Tidak ada tapi-tapian. Sekarang juga kita menghadap pak Gubernur. Surat ini harus segera sampai ke tangan beliau,” tukas pak Bupati.
***
Surat beramplop putih agak kekuningan itu kembali tersuruk di tumpukan surat-surat buat pak Gubernur. Setelah pak Camat dan pak Bupati mengantarkan surat itu sore tadi, pak Gubernur belum sempat membacanya.
Ketika malam turun dengan jubah-jubah kegelapannya. Saat orang-orang bermimpi tentang sebuah negeri di atas awan. Ketika benda-benda mati bangkit dari kebisuannya. Saat mereka bercerita satu dan yang lainnya. Di ruangan kantor pak Gubernur yang dingin ber-AC, setumpuk surat masih asyik ngobrol. Berisik sekali kedengarannya. Mereka bicara dalam bahasa mereka: bahasa pesan.
Mereka bahkan tak memedulikan ketika jam diding berteriakteriak memperingatkan untuk beranjak tidur. Surat-surat itu tetap saja dengan santai berbagi cerita. Mereka duduk mengelilingi sebuah surat amplop putih bersih dengan lambang burung Garuda. Menunggunya bercerita. Dengan pongah surat itu, dengan nada sombong, menceritakan kesaktiannya. Dia mengatakan pak Gubernur akan mati ketakutan ketika membacanya besok pagi. Surat itu terus bercerita hingga berjam-jam. Ketika surat berlambang Garuda itu selesai, dilanjutkan dengan surat lain yang tak kalah hebatnya. Dia bercerita soal keinginan lembaga penegak hukum yang ingin memeriksa beberapa anggota dewan perwakilan daerah.
Sementara itu, surat-surat yang lain hanya bisa mendengar terkagum-kagum. Begitu juga surat beramplop putih agak kekuningan. Ia terdiam sambil melipat tubuhnya lebih kecil.
”Hei....” Tiba-tiba saja sebuah surat yang lain menoleh padanya. Surat beramplop putih agak kekuningan tersebut terkejut. Ia tersentak.
”Dari tadi kau hanya diam saja. Bisakah kamu menceritakan isi suratmu itu?” kata surat itu.
”Ya, ya, ya....” serempak surat yang lain menjawab.
”Rupamu paling aneh dari kami semua. Lihatlah warnamu yang sudah agak kekuningan itu. Tentunya kau sudah lama sekali mengembara. Kabar apa yang kau bawa sebenarnya,” sahut sebuah surat beramplop bagus yang lain. Surat beramplop putih agak kekuningan itu betul-betul bingung. Ia jadi malu dengan keadaannya. Tapi dipaksakan hatinya untuk bercerita. Ia sebenarnya takut untuk menceritakan hal ini pada surat-surat yang lain. Ceritanya nanti tentu tak akan lebih menarik dan lebih seru dibanding cerita surat yang lain.
Tetapi, setelah menarik napas dan memejamkan mata, ia pun mulai bercerita. Bagai sebuah tirai layar mengalirlah sebuah cerita klasik. Sebuah pergumulan antara si kuat dan si lemah. Di sebuah desa di tepi kali yang airnya hitam. Wajah ibu-ibu hamil. Sebuah pos ronda tempat para bapak berkumpul malam hari. Anak-anak SD yang berlarian di gang sempit dan kumuh. Rumah-rumah reot. Bau terasi bercampur aroma lain. Semua mengalir dari surat beramplop putih agak kekuningan itu. Namun, tiba-tiba saja semua gambaran itu lenyap. Lalu muncul sepatu-sepatu lars. Suara bising bulldozer.
Teriak kesakitan, dan terakhir ceceran darah.

○                                           ○                                              ○                                              ○                                              ○                                              ○                                              ○
Lalu disusul asap yang mengepul dari rumah yang sengaja dibakar. Orang-orang yang panik. Rumah-rumah dan sebuah surau di gang sempit itu telah rata dengan tanah. WC umum juga sudah duluan habis dibakar. Pos ronda cuma tersisa atapnya saja. Semua tertunduk. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis. Ya, cuma menangis. Si lemah yang berduka.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu cepat-cepat mengakhiri ceritanya. Napasnya terengah-engah. Sesak. Matanya berkunang-kunang karena digenangi air mata. Sejurus kemudian setelah menenangkan dirinya, ia memandang ke sekeliling. Betapa terkejut karena semua surat menangis. Lalu meja pak Gubernur basah oleh air mata. Banjir hingga meluber ke mana-mana.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu terdiam. Ia sudah tak bisa menangis lagi. Menjelang pagi surat-surat itu berangkulan. Mereka berpelukan erat berbagi kedukaan. Saling menghibur.
Kemudian atas kesepakatan bersama, surat beramplop putih agak kekuningan itu diletakkan pada tumpukan paling atas agar besok ia yang dibaca pak Gubernur pertama kali.
Aulia Andri, Medan, awal tahun 1999
Dikutip tanpa pengubahan
Buatlah cerita pendek dengan paparan seperti yang disebutkan tersebut!
Sebelum membuat cerita, tentukan dahulu temanya. Kemudian, rincilah tema itu menjadi kerangka cerita. Dari kerangka cerita itu, kembangkan menjadi cerita!
Cermatilah kalimat-kalimat berikut!
1.       Sebaiknya, para siswa memanfaatkan buku-buku yang ada di perpustakaan.
2.       Meja-meja di perpustakaan hendaknya ditata dengan baik.
3.       Sedang asyiknya membaca-baca buku pelajaran, saya dipanggil Ibu agar membuatkan kopi untuk Ayah.
4.       Untuk menakut-nakuti burung, petani membuat orang-orangan sawah.
5.       Gerak gerik perempuan tua itu sungguh menyedihkan hati kami.
Kata buku-buku, meja-meja, membaca-baca, menakut-nakuti, orang-orangan, dan gerak gerik pada kalimat tersebut disebut kata ulang, yakni kata yang terbentuk akibat adanya proses pengulangan. Pengulangan itu dapat terjadi pada seluruh bentuk dasar atau sebagian, dapat pula terjadi variasi fonem.
Kata buku-buku bentuk dasarnya adalah buku. Bentuk dasar buku diulang seluruhnya menjadi buku-buku. Pengulangan seperti itu disebut pengulangan penuh atau seluruh dan bentukan kata yang dihasilkannya disebut kata ulang penuh atau seluruh. Kata membaca-baca bentuk dasarnya adalah membaca. Bentuk dasar membaca  tidak  diulang seluruhnya, tetapi hanya sebagian yang diulang, yakni kata baca menjadi membaca-baca. Kata ulang seperti itu disebut kata ulang sebagian. Kata orang-orangan bentuk dasarnya orang. Ketika bentuk dasar tersebut diulang, secara bersama-sama terjadi pembubuhan afiks –an sehingga terbentuk kata orangorangan. Kata ulang seperti itu disebut kata ulang dengan kombinasi afiks. Kata gerakgerik bentuk dasarnya adalah gerak. Bentuk dasar gerak diulang dan terjadi perubahan bunyi fonem /a/ menjadi fonem /i/ sehingga terbentuk kata gerak-gerik. Bentukan kata seperti ini disebut kata ulang berubah bunyi.
Pengulangan bentuk dasar sebuah kata menjadi kata ulang, tidaklah mengubah jenis kata. Misalnya, bentuk dasar buku berjenis kata benda, diulang menjadi bukubuku, tetap berjenis kata benda. Bentuk dasar membaca berjenis kata kerja, diulang menjadi membaca-baca tetap berjenis kata kerja.
Jika ditinjau dari maknanya, kata buku-buku dan meja-meja pada kalimat di atas mengandung makna banyak. Kata membaca-baca bermakna menyatakan pekerjaan yang dilakukan secara berulang. Kata menakut-nakuti bermakna menjadikan takut, sedangkan kata orang-orangan bermakna menyerupai orang.
1. Bacalah kembali wacana ”Antara Perempuan dan Pasar”, kemudian catatlah kata-kata yang mengalami pengulangan! Setelah itu, tentukan jenis, fungsi, dan makna pengulangan kata tersebut!
2. Buatlah kalimat dengan menggunakan kata ulang yang terdapat pada wacana dengan menggunakan bahasamu sendiri!


Artikel Terkait