Memerankan Drama

Cara Memerankan Drama

Anda akan menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh. Kemudian, Anda akan mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan antagonis.
Drama adalah suatu bentuk cerita yang berisi konflik sikap dan sifat manusia yang disajikan dalam bentuk dialog. Biasanya naskah drama dibuat untuk diperankan.
Bagaimana cara memerankan naskah drama?
Langkah-Langkah Memerankan Naskah Drama
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat memerankan naskah drama.
1.        Setiap kata harus diucapkan atau dilafalkan dengan jelas.
2.        Kata-kata dalam dialog drama harus diberi tekanan keras atau lembut. Kata-kata yang diucapkan dengan tekanan keras atau lembut adalah kata-kata yang dianggap penting daripada kata-kata lain.
3.        Tekanan tinggi rendahnya pengucapan suatu kata dalam kalimat atau intonasi yang digunakan harus tepat.
4.        Tekanan cepat lambatnya pengucapan suatu kata dalam kalimat ( tekanan tempo ).
5.        Menunjukkan gerakan tubuh (gerak-gerik) dan ekspresi wajah (mimik) yang sesuai dengan karakter atau watak tokoh yang diperankan. Melalui mimik dan gerak tubuh pemain yang juga harus dapat menunjukkan perasaan yang sedang dialami tokoh yang diperankan. Misalnya kegembiraan, kejengkelan, kejemuan, dan kesedihan.
6.        Watak tokoh dalam drama terlihat dalam percakapan antartokoh. Dalam percakapan itu tergambar sifat dan tingkah laku setiap tokoh. Dari kata-kata dan gerak-geriknya tergambar watak jahat, baik hati, pemarah, pendendam, jujur, sabar, atau yang lainnya.
Jika akan memerankan drama, Anda harus menjiwai watak tokoh. Lakukan hal-hal berikut agar Anda dapat menjiwai watak tokoh dengan baik.
1.        Membaca naskah drama, khususnya pada tokoh yang akan diperankan secara berulang-ulang.
2.        Mengamati orang-orang yang memiliki watak yang mirip dengan tokoh yang hendak diperankan.
3.        Jika tidak ada, pemain dapat melihat foto-foto, cerita, sejarah, atau sumber lain yang dapat mendukung karakter tokoh.
4.        Berlatih memerankan tokoh  sesuai dengan karakternya, baik tokoh antagonis maupun tokoh protagonis.
Dengan memahami perwatakan setiap tokoh, Anda akan mampu mengekspresikan diri secara total. Artinya, karakter tokoh yang Anda bawakan benar-benar sesuai dengan perwatakan tokoh tersebut. Bacalah drama ”Ayahku Pulang” dengan saksama! Ayahku Pulang

Para Pelaku:

Gunarto
Tinah (ibu)
Maimun
Mintarsih
Saleh (ayah)
Suasana ruangan : Ruang rumah yang sederhana. Di belakang kiri tempat pintu beranda . . . Senja, di luar sudah gelap.
Di panggung kanan sebuah meja kecil (meja bambu)  yang sudah tua dengan dua buah kursi dan satu meja.
Ibu sedang berada di jendela, melihat ke luar dengan jahitan di tangannya. Dari jauh terdengar bunyi tabuh bersahutsahutan. Gunarto masuk dari kiri dan berhenti . . . .


. . . .                                          
GUNARTO           :               (pergi ke meja makan)  Mintarsih ke mana, Bu?   
IBU         :               Mintarsih keluar tadi mengantarkan barang jahitan.          
GUNARTO           :               (heran)  Masih saja terima barang jahitan itu, Bu? Bukankah Mintarsih tak perlu lagi bekerja membanting tulang sekarang.     
IBU         :               Biarlah, Narto, nanti kalau ia sudah bersuami, kepandaiannya itu tak kan sia-sia.   
GUNARTO           :               (memandang ibunya dengan kasih)  Sebenarnya ibu hendak mengatakan penghasilan kita belum cukup untuk makan sekeluarga. (diam sebentar)  Tapi bagaimana dengan lamaran orang itu, Bu?                  
IBU         :               Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, tetapi orang itu mendesak juga.       
GUNARTO           :               Tapi apa salahnya, Bu? Uangnya kan banyak?       
IBU         :               Ah, uang banyak, Narto . . . .         
GUNARTO           :               Maaf, Bu. Bukan maksudku untuk menjual adikku sendiri. Aku sudah bosan terlalu mata duitan dalam hidup yang serba penuh derita ini.               
IBU         :               (terkenang)  Ayahmu orang ber-uang, punya tanah dan kekayaan, waktu kami baru kawin. Tetapi kemudian bagaikan pohon ditiup angin daunnya pada berguguran. Aku tak mau terkena dua kali, aku tak mau. Mintarsih harus bersuamikan orang berbudi tinggi mesti . . . .       
GUNARTO           :               (mencoba tertawa)  Tapi kalau kedua-duanya sekaligus, ada harta dan ada hati?                  
IBU         :               Di mana akan dicari, Narto? Mintarsih memang gadis yang cantik, tapi pada saat ini kita tak ada uang di rumah . . . sedikit hari lagi uang simpanan terakhir pun habis.        
GUNARTO           :               (terpekur, kemudian geram)  Semuanya ini adalah karena ayah. Mintarsih mesti pula menderita. Sedari mula kecil ia sudah merasa pahit getir penghidupan. Tetapi kita mesti dapat mengatasi segala kesukaran ini, Bu, mesti . . . . Min mesti dapat senang sedikit. Itu kewajibanku, aku mesti lebih keras berusaha. Ah, jika aku ada uang barang dua ratus lima puluh ribu rupiah saja . . . .             
IBU         :               Buat perkawinan Mintarsih, dua ratus lima puluh ribu rupiah saja sudah cukup, Narto . . . , sesudah itu datang giliranmu.               
GUNARTO           :               Aku kawin, Bu? Belum masanya aku memikirkan kesenangan bagiku sendiri, sebelum saudaraku sendiri semuanya senang, dan Ibu sendiri dapat merasakan bahagia yang sebenarnya dari jerih payahku.                  
IBU         :               Aku merasa bahagia kalau anak-anakku bahagia, karena               
nasibku bersuami tidak baik benar. Bahagia akan turun kepada anak-anakku (diam, dari jauh terdengar suara beduk). Malam lebaran dia pergi waktu itu. Aku tak tahu apa yang mesti kuperbuat, apa yang mesti kukerjakan . . . .

GUNARTO           :               (mengalihkan pembicaraan)  Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?   
IBU         :               Barangkali masih banyak yang harus dibereskan, katanya bulan depan ia naik gaji.              
GUNARTO
. . . .        :               (girang)  Betul itu, Bu? Maimun memang pintar, otaknya encer, tapi uang kita tidak ada, tak dapat mengongkosi sekolahnya lagi lebih lanjut. Sayang dia terpaksa bekerja di kantor saja. Tapi, jika ia bekerja keras dan dia cukup kemauan, tentu ia akan menjadi orang yang berharga bagi masyarakat.
MAIMUN MASUK . . . .    
MAIMUN            :               Lama menunggu aku?      
GUNARTO           :               Ah, aku juga baru kembali.            
IBU         :               Agak terlambat hari ini, Mun?      
MAIMUN            :               Kerja lembur, Bu. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih. Mana dia, Bu?               
IBU         :               Mengantarkan barang jahitan. Tapi makanan sudah sedia. Makanlah dulu, mandinya nanti saja.   
MAIMUN            :               (duduk di meja makan)  Mas Narto, ada kabar aneh. Tadi pagi aku berjumpa Pak Tirto. Katanya dia bertemu dengan seorang tua. Katanya agak serupa dengan ayah.       
GUNARTO           :               (tidak peduli, mulai makan)   . . . . Begitu . . . . ?     
MAIMUN            :               Waktu Pak Tirto belanja di pasar gudek, ia tiba-tiba berhadapan dengan seorang tua, kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia agak kaget juga karena orang tua itu seperti sudah dikenalnya. Katanya agak serupa dengan Raden Saleh. Tapi orang tua itu menyingkir di tengah-tengah orang ramai.             
IBU         :               (teringat)  Pak Tirto kawan ayahmu waktu kecil. Mereka sama-sama sekolah dahulu. Mereka sudah lama tak bertemu, sudah 20 tahun. Boleh jadi ia salah lihat.           
MAIMUN            :               Pak Tirto mengaku juga, boleh jadi ia salah lihat. Katanya 20  tahun, memang masa yang lama dalam kehidupan manusia. Tetapi katanya pula ia kenal benar pada ayah, jadi
. . . .          
GUNARTO           :               Mana bisa ia ada di sini.   
IBU         :               (diam sejurus)  Memang, aku kira ia sudah meninggal. Atau ke luar negeri. Sudah dua puluh tahun ia pergi. Pada malam lebaran seperti ini.      
MAIMUN            :               Ada orang mengatakan, ayah ada di Singapura.    
IBU         :               Tapi itu sudah 10 tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia punya toko besar di sana. Kata orang yang melihatnya, hidupnya mentereng benar.               
GUNARTO           :               Dan anak-anaknya makan lumpur. (sinis)                
IBU         :               (terus saja seperti tidak mendengar)  Tapi kemudian tak ada      
kabar sama sekali tentang ayahmu itu. Apa lagi sesudah perang. Sekarang di mana kita akan dapat bertanya.

MAIMUN            :               Bagaimana rupa ayah yang sebenarnya, Bu?         
IBU         :               Waktu ia masih muda, tidak begitu suka belajar, tidak seperti kau, Maimun. Dia lebih suka berfoya-foya dan ayahmu disegani orang. Ia pandai berdagang. Itulah . . . .              
GUNARTO           :               (tak sabar)  Bu, marilah makan.    
IBU         :               Oh, ya, aku hampir lupa (meletakkan sendok, keluar melalui pintu sebelah belakang).      
MAIMUN
. . . .        :               Kau masih ingat rupa ayah, Mas?
MINTARSIH MASUK. IA GADIS YANG PERIANG NAMPAKNYA.      
MINTARSIH        :               Wah, kalian sudah makan rupanya?           
IBU         :               Tadi kami tunggu, tapi engkau lama benar, Min. (Mintarsih terus ke jendela melihat keluar)  Makanlah. Apa yang kau lihat di situ?              
MINTARSIH        :               Waktu aku pulang tadi . . . (melihat pada Gunarto yang terus makan)  Mas Narto, dengarlah dulu !      
GUNARTO           :               (biasa saja)  Aku mendengar.       
MINTARSIH        :               Ada orang tua di pojok jalan ini, dari jembatan sana melihatlihat keadaan rumah kita, . . . seperti kera nampaknya (semua diam) . Kenapa diam?   
MAIMUN            :               (cepat mau berdiri) Orang tua macam apa, Min? (meninjau lewat jendela)             
MINTARSIH        :               Hari agak gelap, tak begitu jelas bagiku. Tapi orangnya tinggi, Mas.             
GUNARTO           :               (agak menoleh)  Siapa Maimun?                 
MAIMUN            :               Tidak ada orang yang kelihatan (kembali ke tempatnya).                 
IBU         :               (meletakkan sendok, terkenang)  Malam lebaran seperti ini, waktu dia pergi itu. Mungkinkah . . . ?                  
SALEH   :               Assalamu’alaikum . . . . Assalamu’alaikum . . . . Apakah di sini rumah nyonya Saleh?            
IBU         :               (kaget, bangkit dari kursi)  Astaghfirullah. Ayahmu pulang, ayahmu pulang (cepat ia ke beranda depan, sementara itu Saleh masuk, seorang tua kira-kira berumur 60 tahun).       
SALEH   :               (tersenyum lemah)  Ya, aku berubah, Tinah. Dua puluh tahun perceraian mengubah muka. Tapi kulihat engkau ada sehatsehat saja.
Gembira aku. Anak-anak bagaimana? Tentunya sudah besar-besar sekarang. (masih di beranda depan)                  
IBU         :               Ya, mereka sudah besar-besar sekarang. Sudah lebih besar dari ayahnya. Marilah masuk, tengoklah mereka.                 
SALEH   :               (ragu-ragu)  Boleh..., bolehkah aku masuk, Tinah?              
IBU         :               Tentu saja boleh. (mereka masuk, memegang lengannya). Ayahmu pulang . . . . Ayahmu pulang . . . .                  
MAIMUN            :               (gembira) Ayah . . . . (mendekati ayahnya dan mencium tangannya)  Aku Maimun, Ayah.                  
SALEH   :               Maimun? Ya, Maimun, sudah besar engkau sekarang. Dulu         
waktu aku pergi kau masih kecil sekali, kakimu masih lemah, belum dapat berdiri . . . , dan nona ini . . . ?

MINTARSIH        :               Aku Mintarsih, Ayah? (mencium tangan ayahnya)              
SALEH   :               Ya . . . , Mintarsih aku mendengar dari jauh, aku mendengar dari jauh, aku mendapat seorang anak lagi, seorang putri. Engkau cantik Mintarsih. Ah, aku girang sekali. Tak tahu apa yang mesti kukatakan . . . .              
MAIMUN            :               Silakan duduk, Ayah!        
IBU         :               Yah, aku sendiri tak tahu dari mana aku akan mulai bicara . . . . Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira bagiku bahagia yang paling besar.       
SALEH   :               (tersenyum pahit)  Yah, anak-anak rupanya bisa juga besar meskipun tak punya bapak.   
IBU         :               Ya, mereka semuanya sudah menjadi pandai sekarang.
Gunarto bekerja di perusahaan dan Maimun tidak pernah tinggal kelas selama ia sekolah; tiap kali tentu jadi juara di dalam ujian. Sekarang semuanya mempunyai penghasilan tiap bulan. Dan Mintarsih bantu-bantu menjahit sementara menunggu.          
MINTARSIH        :               Ah, Ibu.                  
IBU         :               Dan bagaimana engkau selama ini?            
SALEH   :               Sepuluh tahun yang lalu aku seorang besar di Singapura. Aku kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh. Tapi malang, tokoku terbakar habis, dan seolah-olah nasib belum puas menyeret aku ke dalam kesengsaraan. Andilandil yang kuberi merosot semua sehabis perang. Sesudah itu segala yang kukerjakan tidak ada yang baik lagi, tak hendak sempurna . . . sementara itu aku sudah mulai tua. Tempat tinggalku, keluargaku anak istriku, tergambar di depan jiwaku. Rasanya tak tahan lagi aku hidup, karena itu . . . . Harap kasihan akan kasihmu . . . (diam sejurus melihat kepada Gunarto)
Gunarto, maukah kau memberi aku air segelas? Kering rasanya tenggorokanku. Engkau tak begitu berubah rupanya, Narto, hanya engkaulah yang tidak. (diam lagi)    
IBU         :               Narto. Ayahmu yang bicara, mestinya engkau gembira . . . . Sudah semestinya bapak berjumpa kembali dengan anaknya. Setelah sekian lama berpisah.                  
SALEH   :               Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun, berilah ayah air segelas.             
MAIMUN            :               Baik, ayah. (mengambil air)           
GUNARTO           :               (pelan tapi pahit)  Kami tidak punya ayah lagi. Kapan kami punya ayah?    
IBU         :               Narto! Apa katamu?         
GUNARTO
. . . .        :               Kami tidak punya ayah lagi, kataku. Jika kami berayah apa perlunya kami membantu membanting tulang menjadi budak orang selama ini.

 Sumber: Dasar-Dasar Teori Sastra, S. Suharianto, Widyaduta
Lakukan secara berkelompok!
1.        Guru Anda akan membagi siswa ke dalam beberapa kelompok.
2.        Bergabunglah dengan kelompok Anda!
3.        Berbagilah peran yang ada dalam kutipan naskah drama ”Ayahku Pulang”! Anda dan teman-teman boleh memilih tokoh yang disukai.
4.        Berlatihlah menghayati karakter tokoh yang Anda perankan bersama temanteman Anda !
5.        Berlatihlah bermain drama bersama kelompok Anda. Jangan lupa gunakan gerak-gerik dan mimik yang sesuai dengan karakter tokoh!
6.        Bermainlah drama di depan kelas. Guru Anda akan menilai penampilan kelompok Anda.
Hal-hal yang akan dinilai guru sebagai berikut. a. Penghayatan karakter tokoh
b.       Kesesuaian mimik dan gerak-gerik saat menampilkan tokoh antagonis, protagonis, dan tritagonis
c.        Lafal
d.       Intonasi
e.       Kejelasan dialog yang diucapkan
7.        Kelompok yang tidak mendapat giliran memerankan drama, menyimak penampilan kelompok lain dengan saksama.
8.        Setelah semua kelompok memerankan drama, diskusikan penampilan kelompok-kelompak yang telah memerankan drama! Diskusikan mengenai pengekspresian perilaku dan dialog yang dilakukan teman Anda.
Diskusikan hal-hal berikut.
a.        Kesesuaian mimik dan gerak-gerik dengan dialog dalam drama.

b.       Kesesuaian mimik dan gerak-gerik dengan karakter tokoh yang diperankan, baik tokoh antagonis, protagonis, maupun tokoh tritagonis.

Artikel Terkait