Dalam mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Negara Barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa
yang disebut dengan multikulturalisme di Barat, jauh berabad-abad yang lalu
bangsa Indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah juga
membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan kemajemukan,
maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang lain”.
173
Sebagai contoh, negara-negara Islam di wilayah Asia dan
Timur Tengah, seperti Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima
warisan kemajemukan masyarakatnya yang lebih heterogen, jauh lebih toleran dan ramah
sikap keagamaannya bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Yaman, dan Pakistan
yang masyarakatnya sangat homogen dalam bidang agama (Noorsena, Bambang, 2011).
Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar pulau-pulau dengan komposisi
dan kontruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan
ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat, dan keberagaman
lainnya ditinjau dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di
Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil.
Di balik keindahan pulau-pulau yang dihiasi oleh flora dan
fauna yang beraneka ragam, Indonesia juga memiliki kebhinnekaan dalam suku yang
berjumlah lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan
lebih dari 700 bahasa daerah. Namun keberagaman suku bangsa dan bahasa
tersebut, dapat disatukan dalam satu bangsa, bangsa Indonesia dan satu bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia memiliki
bahasa persatuan, karena bila melihat negara-negara lain ada yang tidak
berhasil merumuskan bahasa nasional yang berasal dari bahasa aslinya sendiri,
selain mengambil dari bahasa negara penjajahnya.
Keberagaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia ditambah
dengan letak posisi geografis yang sangat strategis.
174
Kepulauan Indonesia berada di antara dua benua yaitu benua
Asia dan benua Australia, diapit dua samudera yaitu samudera Pasifik dan
samudera Hindia, dan terletak ditengah garis khatulistiwa, sehingga pergantian
siang dan malam berjalan sesuai dengan siklus yang seimbang.
Budaya luhur bangsa Indonesia tidak terlepas dari kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang yang menjadi warisan dari jaman kerajaan Nusantara
seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan lain yang
juga melahirkan budaya tradisional yang telah berurat dan berakar sampai saat
ini. Hal ini juga didukung antara lain dengan ditemukannya prasasti-prasasti
bersejarah yang menggambarkan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan dukungan
penuh seluruh rakyat Indonesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika pada lambang negara Garuda Pancasila yang ditulis dengan huruf latin pada
pita putih yang dicengkeram burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu
sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit
sudah dipakai sebagai semboyan pemersatu wilayah Nusantara. Dengan demikian,
kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa
serta semangat anak-anak bangsa, jauh sebelum zaman moderen.
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas
dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari
sejarah masa lalu dan yang akan
175
terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan dari apa yang
terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan
dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat,
agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur
sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar.
Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku
semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang
dengan mengambil peran masing-masing.
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, di
Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan
Kramat 106 Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh
pemuda dari berbagai etnik dan daerah menyadari sepenuhnya kekuatan yang dapat
dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan Sumpah Pemuda mereka
bersatu dan menegaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
Dari sumpah tersebut tampak sekali bahwa mereka sendiri
menyadari adanya perbedaan dari segi bahasa, namun kesepakatan tersebut
merupakan capaian yang luar biasa dalam suasana penjajahan untuk membangun
kesadaran untuk melepaskan egosentris kedaerahan dan bahasa daerah
masing-masing.
Semangat dan gerakan untuk bersatu tersebut menjadi sumber
inspirasi bagi munculnya gerakan yang terkonsolidasi
176
untuk membebaskan diri dari penjajahan. Bangsa Indonesia
kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi
kemerdekaan adalah ikrar untuk bersatu padu mendirikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka,
bersatu, dan berdaulat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dan
dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara, semakin mengukuhkan
komitmen pendiri negara dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun
sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa
Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan
lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan
ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas
sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul
keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat, Indonesia.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan
memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat
Indonesia. Sementara Pancasila merupakan rumusan saripati seluruh filsafat
kebangsaan yang mendasari pembangunan negara. Pancasila adalah kekayaan bangsa
Indonesia yang tidak ternilai harganya dan merupakan rangkuman dari nilai-nilai
luhur serta akar budaya bangsa Indonesia yang mencakup seluruh kebutuhan maupun
hak-hak dasar manusia secara universal.
177
Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan
kepentingan. Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Oleh karena itu, upaya untuk terus
mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa
Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap manusia Indonesia. Sebagai nilai
dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila merupakan ideologi negara dan
menjadi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan
atas keberagaman dicantumkan pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa ‘Dalam territori’
Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan
Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.
178
Seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan
sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam
menata hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang
memiliki keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah
bangsa dapat tercapai.
Kesadaran akan kebhinnekaan tersebut, juga mewarnai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diubah. Bahkan
dalam rumusan undang-undang dasar tersebut, banyak sekali pengaturan tentang
semangat kebhinnekaan dalam pasal-pasal.
Rumusan Pasal 6A ayat (3) yang menetapkan bahwa “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-dapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pertimbangan adanya ketentuan ini adalah untuk menyesuaikan
dengan realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi suku,
agama, ras, budaya, maupun domisili karena persebaran penduduk tidak merata di
seluruh wilayah negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia
yang secara relatif tersebar di hampir semua wilayah. Hal itu sebagai wujud
bahwa figur Presiden dan Wakil Presiden selain sebagai pim-pinan penyelenggara
pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional.
179
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B merupakan suatu
pendekatan baru dalam mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan
bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika.
Pencantuman tentang pemerintah daerah di dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik
ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis, adanya
penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah.
Akibat kebijakan yang cenderung sentralistis itu, pemerintah
pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah sehingga
daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang
dimilikinya.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era
reformasi menjadi salah satu agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan lebih mempercepat
180
terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di
daerah, serta meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Semua ketentuan itu
dirumuskan tetap, dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.
Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan Pasal
25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang.
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting dirumuskan agar ada
penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi
perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa
perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Pengakuan akan keberagaman, juga tercantum pada Pasal 26
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menetapkan bahwa Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.
181
Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal di
Indonesia sebagai penduduk Indonesia, orang asing yang menetap di wilayah
Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk,
pada diri orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial)
sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku umum.
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan tersebut menggambarkan
keanekaragaman agama di Indonesia.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga diatur berdasarkan pada keanekaragaman budaya di
Indonesia. Pasal ini merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan
masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang
kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk
memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya
diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
182
1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur,
banyak generasi muda yang tidak mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan
melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia
merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya
semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari
pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
fanatisme asal daerah.
Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an,
perbedaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan
negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi
menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah
homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas sudah
merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus
belajar menerima dan menghargai pelbagai perbedaan.
Dewasa ini banyak faktor yang menyebabkan toleransi kian
memudar dari kehidupan masyarakat. Di era globalisasi ini, banyak kecenderungan
antar individu bersikap saling curiga yang apabila hal ini dibiarkan akan
memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Itulah artinya toleransi, yang berasal dari kata “tollere”
(bahasa Latin) yang berarti mengangkat, sikap yang
183
memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul,
menopang bersama perbedaan yang ada. Dengan demikian, toleransi meniscayakan
sikap menghargai harus aktif dan dimulai dari diri sendiri. Jadi, dengan
toleransi bukan orang lain yang terlebih dulu harus menghargai kita, melainkan
kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai orang lain. Akan tetapi
tidak berhenti di situ saja, sebab toleransi akan menjadi bermakna jika ia
diikuti juga oleh pihak lain, sehingga sifatnya menjadi dua arah dan
timbal-balik.