Dalam proses perumusan dasar negara, Soekarno memainkan
peran yang sangat penting. Dia berhasil mensintesiskan berbagai pandangan yang
telah muncul dan orang pertama yang mengonseptualisasikan dasar negara itu ke
dalam pengertian “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan
komprehensif dunia” (weltanschauung) secara sistematik dan koheren.
Di dalam awal pidatonya, pada 1 Juni 1945, Soekarno terlebih
dahulu mencoba memberikan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud oleh Ketua
BPUPKI:
”Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia,
yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh
Paduka tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda ’Philosofische
grondslag’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah
fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal
dan
27
abadi.” (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara
Republik Indonesia: 1998).
Sesudah menyampaikan ulasan mengenai arti merdeka guna
mempertegas tekad untuk mewujudkan Indonesia Merdeka, Soekarno meneruskan
pembicaraan mengenai dasar negara:
”Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua Kehendaki!
Paduka tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische grondslag, atau, jikalau
kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia
meminta suatu ’Weltanschauung,’ di atas di mana kita mendirikan Negara
Indonesia itu ... Apakah ’Weltanschauung’ kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?”
Dalam usaha merumuskan Philosofische grondslag itu, Soekarno
menyerukan:
“Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan
faham”: Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari
satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang
saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang
saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen
Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.
Setelah itu, Soekarno menawarkan rumusannya tentang lima
prinsip (sila) yang menurutnya merupakan titik persetujuan (common denominator)
segenap elemen bangsa. Rumusan kelima prinsip itu adalah:
Pertama: kebangsaan Indonesia.
28
Baik saudara-saudara yang bernama kaum bangsawan yang di
sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat…
Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang,
bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
kaya,--tetapi ‘semua buat semua’…. “Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”
Kedua: Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang
menyendiri, bukan chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia. Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita
harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Ketiga: Mufakat atau demokrasi.
Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan… Kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua,
semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara
Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa yang belum memuaskan,
kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Keempat: Kesejahteraan sosial.
Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
Barat,1 tetapi permusyawaratan yang
1 Kalau para pendiri bangsa menyebut “demokrasi Barat”,
dalam nada “pelianan” (othering), yang dimaksud bukanlah seluruh model
demokrasi yang berkembang di Dunia
29
memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial…. Maka oleh karena itu jikalau kita
memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah
kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan politiek saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita
harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan.
Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.... bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang
berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain.
Mengapa dasar negara yang menyatukan dan menjadi panduan
keindonesiaan itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah
yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka
pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai “keramat” dalam
antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima
jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang
lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pandawa lima). Pandawa pun lima
bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima
larangan
Barat, melainkan secara spesifik berkonotasi pada suatu
ideal type dari demokrasi liberal yang berbasis individualisme.
Liberalisme-individualisme dianggap sebagai jangkar dari kapitalisme yang pada
perkembangannya mendorong kolonialisme-imperialisme.
30
sebagai kode etika, yang disebut istilah “Mo-limo”.2 Taman
Siswa dan Chuo Sangi In juga memiliki “Panca Dharma”. Selain itu, bintang yang
amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari juga
bersudut lima. Asosiasi dasar negara dengan bintang ini digunakan Soekarno
dalam penggunaan istilah Leitstar (bintang pimpinan). Selain itu, istilah
Pancasila juga telah dipakai dalam buku “Negara Kertagama” karangan Empu
Prapanca, juga dalam buku “Sutasoma” karangan Empu Tantular, dalam pengertian
yang agak berbeda, yakni kesusilaan yang lima.
Sungguh pun Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar
negara, dia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai
bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar
kelima sila tersebut.
Alternatifnya bisa diperas menjadi Trisila bahkan bisa
dikerucutkan lagi menjadi Ekasila:
“Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka
bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.
Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu:
itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
2 Pantangan “Mo-limo” itu terdiri maling (mencuri, termasuk
korupsi), madat (mengisap candu dan mengabaikan akal sehat), main (berjudi dan
berspekulasi), minum (mabuk-mabukan dan berfoya-foya), dan madon (main
perempuan dan hedonistis).
31
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi
politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale
rechtvaardigheid: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie, yaitu
penggabungan antara paham demokrasi dan kesejahteraan sosial.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada
simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan
senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan
satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buat semua! Jikalau saya peras
yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan
Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang
kita dirikan haruslah negara gotong-royong.”
Dengan menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi
ekasila, yang muncul adalah sila gotong-royong, Soekarno kurang lebih ingin
menegaskan bahwa dasar dari semua sila Pancasila itu adalah semangat gotong
royong. Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang
berkebudayaan, yang
32
lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang
dan mengucilkan. Prinsip kemanusian universalnya harus berjiwa gotong-royong
(yang berkeadilan dan berkeadaban), bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah
dan eksploitatif. Prinsip persatuannya harus berjiwa gotong-royong
(mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan “bhinneka tunggal
ika”), bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan.
Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat),
bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elit
penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong
(mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat
kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis
individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu
seperti dalam sistem etatisme.
Demikianlah pada tanggal 1 Juni 1945 itu, Soekarno
mengemukakan pemikirannya tentang Pancasila, yaitu nama dari lima dasar negara
Indonesia yang diusulkannya berkenaan dengan permasalahan di sekitar dasar
negara Indonesia Merdeka. Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam pidato Bung
Karno itu yang kemudian diterima secara aklamasi oleh BPUPKI sebagai dasar
dalam penyusunan falsafah