Gambaran umum tentang
bagaimana cara Pangeran Wangsakerta bekerja, dalam upaya menyusun naskah
sejarah, dapat dilihat dengan baik dalam kata pendahuluan yang disajikan dalam
naskahnya Sebagai contoh, dapat dikemukakan terjemahan kata pendahuluan dalam
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa IV sarga 1, yang terjemahannya
antara lain sebagai berikut:
Pada saat menyusun naskah ini,
demikian pula pada waktu menyusun pustaka pustaka lainnya, aku senantiasa
menemui kesulitan kesulitan yang menimbulkan beberapa kesukaran. Sebabnya ialah
ada beberapa mahakawi dan menteri menteri utusan yang berbeda pendapat dalam
mengutarakan sejarah negaranya masing masing mengenai: kejayaannya, tahun
pemerintahan raja rajanya, tahun berdirinya sesuatu kerajaan, keturunan
raja-rajanya, istri raja, meletusnya suatu pemberontakan, tahun wafat raja dan
banyak hal lagi.
Demikianlah misalnya mahakawi dari Jawa dan mahakawi dari
Sunda, lalu mahakawi dari Banten dan mahakawi dari Mataram dan Cirebon saling
berbeda dan saling bertentangan dalam pembicaraan mengenai negaranya
masing-masing. Demikian pula mahakawi dan Kudus dan Sumedang dengan mahakawi
dari Cirebon dan Pasai. Lalu mahakawi dari Sumatra dengan mahakawi dari Jawa
Timur. Terjadilah kericuhan yang nyaris mencetuskan pertentangan. Hampir hampir
tak ditemukan kisah sejarah yang sesungguhnya (kathekang tatwa).
Pertentangan timbul pula antara mahakawi dari Jayakarta,
Cirebon dan Banten dengan mahakawi dari Mataram. Demikian pula mahakawi dari
Makasar berselisih paham dengan mahakawi dari Mataram, Madura dan Banten.
Timbul pula pertentangan pendapat antara mahakawi dari Kutai dengan utusan
Palembang dan Ukur.
Namun lebih parah lagi keadaan dalam sidang kelima kelompok
para mahakawi dan menteri. Para peserta musyawarah saling memarahi sehingga
akhirnya timbul kericuhan. Hampir mereka itu berperang tanding (madwanda yudha)
dalam ruang sidang, terutama dalam saat-saat awal penulisan naskah.
Adapun para mahakawi utusan dari
negeri seberang dan negeri asing hanyalah hadir sebagai saksi. Tetapi mereka
memberikan catatan, termasuk beberapa surat dari Belanda yang ada di negaranya.
Juru bicara (paujar) hanya ada
lima orang yang harus mengutarakan kisah sejarah yang sesungguhnya. Tetapi di
antara mereka itu ada yang menyampaikan pandangannya secara berlebih lebihan
(wakrokti). Ada cerita yang sesungguhnya tak pernah terjadi (niskarana),
melainkan hanya hasil pikiran khayal (cittanung maya) dan keliru (wiparita).
Kisah bualan seperti itu tidak diambil dan tidak dijadikan catatan.
Ada yang melontarkan kata kata
menghina dan tidak layak sampai hampir menimbulkan kericuhan. Hanyalah karena
aku telah cukup banyak mempelajari bermacam macam pustaka tentang sejarah
kerajaan kerajaan di Nusantara dan memiliki aneka macam pustaka tentang
kerajaan kerajaan akhirnya aku berhasil mengatasi mereka, dan juga karena aku
menjadi ketua mereka dalam musyawarah ini.
Karena itu aku menempuh jalan tengah. Walaupun begitu aku
senantiasa bermusyawarah dan berunding
lebih dahulu dengan mereka terus menerus, lebih lebih dengan para sesepuh,
mahakawi dan para duta kerajaan yang tinggi pengetahuannya (widyanipuna).
Dengan cara ini
akhirnya mereka bersedia mengutarakan kisah sejarah yang sebenarnya, tidak lagi
dibuat buat. Tugas yang aku hadapi tidak sulit lagi. Lagi pula mereka telah
sepakat akan mengikuti amanat Sultan Sepuh Cirebon. Mereka bersepakat sama sama
mengharapkan hasil sempurna dari karya besar ini yaitu: menyusun pustaka yang
akan menjadi tuntunan pengetahuan sejarah (panghulu widya ning katha), terutama
bagi semua penduduk dari segala lapisan (kanistamadyau mottama) dan lebih lebih
lagi untuk pustaka pegangan raja yang memerintah negara atau daerah.
Dalam beberapa hari
aku berupaya sekuat tenaga sampai akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan
naskah yang kami susun dapat disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah
seandainya terdapat kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.
Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang Tunggal Yang Maha
Kuasa: semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari perbuatan dosa dan
malapetaka. Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya perbuatan khianat
yang akan merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah kesejahteraan kepada
kami peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai bahan pengetahuan
bagi masa yang akan datang dan masa kini (natgata wartanana), terutama sebagai
pengetahuan tentang raja raja beserta kerajaannya, agamanya, tanahnya dan
masyarakatnya dalam kehidupan di bumi Nusantara ini.
Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak segala kisah, dan
kami sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya karena hal itu
telah merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai kebenarannya serta
senantiasa akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan segala lapisan
sejak saat ini sampai masa yang akan datang.
Dalam jilid yang lain, kadang kadang ia mempertaruhkan
integritasnya sebagai keturunan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) yang tidak
boleh berbohong dalam membela keabsahan isi naskahnya. la pun biasa menunjuk
sumber sumber tertulis atau lisan, sebagai referensi dalam penyusunan
naskahnya, baik secara khusus maupun sambil lalu.
Patut disayangkan, bahwa Pangeran Wangsakerta tidak menyebutkan
tanggal dan bulan pelaksanaan silaturahmi dan musyawarah para akhli sejarah se
Nusantara di Cirebon itu. la hanya menyebutkan tahun 1599 Saka yang bertepatan
dengan tahun 1677 Masehi. Dalam naskah naskahnya Pangeran Wangsakerta, selalu
menggunakan sistem penanggalan Saka Hindu.
Dapat diketahui, bahwa Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parvva I sarga 1, selesai dibukukan pada tanggal 1 bagian terang bulan Srawana
tahun 1599 Saka (dengan sangkala: nawa gapura marga raja). Tanggal
tersebut,jatuh pada minggu pertama bulan Juli tahun 1677 Masehi. Karena itu,
maka Gotrasawala (musyawarah) tersebut, diduga terjadi sebelum bulan Juli pada
tahun itu juga
Melihat hasil musyawarah sebanyak yang termuat dalam naskah
naskah Pangeran Wangsakerta, ditambah dengan permasalahan yang terjadi selama
penyusunan, mungkin sekali musyawarah itu sendiri dilangsungkan dalam kuartal
pertama tahun 1677 Masehi. Penulisan naskah menjadi pustaka, memang baru
dilakukan kemudian, oleh Jaksa Pepitu, mungkin oleh Raksanagara dan
Anggadiraksa, yang menjadi penulis dan wakil penulis dalam musyawarah. Dilihat
dari gaya tulisannya, naskah naskah itu harus dikerjakan oleh lebih dari satu
orang.
Bila demikian halnya, musyawarah itu telah berlangsung,
sebelum Pangeran Mertawijaya dan Pangeran Kertawijaya dikukuhkan menjadi
pengganti ayahandanya, sebagai para penguasa Cirebon. Kedudukan sebagai
Panembahan Sepuh, dan Panembahan Anom, sebenarnya telah diperoleh sejak
Panembahan Girilaya wafat tahun 1662. Namun mereka tetap tidak diijinkan pulang
oleh Sunan Amangkurat I. Kemudian, terjadi penyerbuan Trunojoyo, sehingga Karta
ibukota Mataram, dapat direbutnya pada tanggal 12 Juli 1677.
Mereka kemudian dibebaskan di Kediri alas desakan Sultan
Ageng Tirtayasa. Pelantikan ketiga Penguasa Cirebon (Sultan Kasepuhan, Sultan
Kanoman, dan Panembahan Kacirebonan), berlangsung di Keraton Surasowan Banten.
Setelah itu, barulah mereka diantarkan pulang ke Cirebon.
Permasalahannya, adalah keterangan Wangsakerta, yang
pienyebutkan bahwa Sultan Sepuh memberikan amanat dalam musyawarah tersebut,
walaupun tidak dijelaskan, apakah amanat itu diberikan secara lisan atau
tertulis. Dalam kenyataannya, Pangeran Wangsakerta telah 17 tahun menjadi
pemegang pemerintahan sehari hari, mewakili ayahnya 12 tahun (1650-1662),
ditambah 5 tahun masa vakum (kekosongan kekuasaan), karena kedua kakaknya tetap
berada di ibukota Mataram. Dengan demikian, ia tidak canggung melaksanakan
musyawarah tersebut, bahkan rumah tinggalnyapun berdekatan dengan Keraton
Kasepuhan. Sesungguhnya dialah yang menjadi tonggak musyawarah itu.
Di antara amanat Sultan Sepuh itu, adalah pesan: supaya para
peserta musyawarah berada dalam suasana persaudaraan dan melupakan pertikaian
di antara negara negara yang mewakilinya demi kesempurnaan karya besar (karyagheng)
yang mereka hadapi.
Dalam kaitannya dengan alasan
penyusunan, ada dua hal yang menarik. Alasan pertama, ialah karena melihat
kenyataan, bahwa pengetahuan yang dimiliki orang pada masa itu masih lepas
lepas (fragmen). Alasan kedua ialah, karena para penyusun memperoleh tugas,
dari orang yang sangat mereka hormati, yaitu:
1. Pangeran Rasmi
yang bergelar Panembahan Adiningratkusuma atau yang lebih dikenal sebagal
Panembahan Girilaya, yaitu ayah Pangeran Wangsakerta;
2. Pangeran
Abulfath Abdulfatah, yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa dari
Banten; dan
3. Pangeran Arya
Prabhu Adi Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat I dari Mataram.
Bagi Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu, musyawarah
tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan mereka, yang telah lama menekuni
masalah sejarah Nusantara. Tahun 1676, Pangeran Wangsakerta telah menyelesaikan
terjemahan naskah Dharmakirti, hasil salinan Pangeran Losari (1518 M) yang
telah suram huruf hurufnya. Naskah inilah yang disajikan sebagai sumber utama
tentang riwayat pembentukan bumi serta isinya termasuk kemunculan mahluk
manusia setengah hewan sampai kepada kehadiran manusia sempurna (manusapurna).
Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah yang ditampilkan
oleh Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang disebutnya Purwayuga,
yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk manusia hewan (satwaprurusa). Secara
runtut berlangsung, kira-kira sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai
peristiwa perjanjian antara Cirebon dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia
menyebutkan tokot-tokoh yang dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung
Sembung yang oleh umum disebut makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah
nisan, tertulis Sultan Sepuh I yang wafat tahun 1697.
Dari naskah naskah yang terkumpul,
baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun urutan pemerintahan raja raja,
lengkap dengan tahun pemerintahamrya di beberapa daerah yaitu: Perelak,
Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin
dun Nusa Bali. Kita pun dapat menemukan kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa
dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati
dari Kerajaan Aceh Darussalam, dun Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan
Banjar.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya sejak
masa pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh para
penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti Maimun,
yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu misteri
sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam beberapa
hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal. Sedangkan
beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak bertentangan
dengan prasasti yang ada.
Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya, hanya tampak bila
ia melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan peran dengan ungkapan
yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata "meriam" sebagal
peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu Cirebon berperang dengan
Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun 1528.
Dalam ambahan sumber, Pangeran Wangsakerta pun sering
tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam hal yang demikian, ia berusaha
mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah), dengan cara mengkompromikannya.
Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan semua keterangan menurut
versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang menjadi sumbernya.