NEGERI PERDAGANGAN MARITIM

Tags



Sultan Abdulfatah tidak pernah lengah akan kelicikan Kompeni Belanda, yang selalu memanfaatkan kesempatan, dengan cara mencari setiap kelemahan, untuk mencapai tujuannya, yaitu menanamkan hak monopoli atas perniagaan di Kesultanan Banten. Dalam masa damai di bawah perjanjian 10 Juli 1659, Sultan Abdulfatah mengisinya dengan memperbaiki keadaan dalam negeri. Sebab selama perang berlangsung, telah banyak hal yang terabaikan.
               Salah satunya, Sultan Abdulfatah memecahkan persoalan di pos pertahanan perbatasan di sebelah timur. Posko pertahanan sebelah timur ini, banyak mernakan biaya yang amat tinggi. Hal ini disebabkan, selain letaknya yang jauh, juga sarana perhubungannya sulit. Sehingga tempat itu baru bisa dicapai dari ibukota Surasowan, dalam tempo 9 hari perjalanan. Pada saat perang berlangsung, sepertiga dari pasukan yang dikirimkan ke perbatasan, ditugaskan untuk mengangkut dan mengelola perbekalan. Kondisi ini mengakibatkan daya guna pasukan relatif rendah, karena beban logistik yang terlalu berat.
               Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah mengambil tindakan dengan dua cara, antara lain sebagai berikut:

Pertama. Dibangun saluran secara berantai, dari Pontang ke daetah Angke Tangerang. Saluran itu, dibuat sepanjang jalan lama, dan dapat dilalui perahu perahu kecil. Dengan demikian, penggunaan tenaga manusia untuk angkutan barang, dapat dikurangi dan angkutan pasukan dapat dipercepat. Jalur itupun aman dan gangguan armada Kompeni Belanda, karena terletak cukup jauh dari pantai. Dari catatan Kompeni Belanda dapat diketahui, bahwa pembuatan saluran tersebut, dimulal tahun 1660 dan memakan waktu kira kira 10 tahun.

Kedua. Sultan Abdulfatah memindahkan penduduk sebanyak kira kira 6.000 jiwa, untuk dimukimkan di tempat-tempat tertentu, sepanjang saluran yang baru. Di sebelah kiri dan kanan saluran, masyarakat dianjurkan mencetak sawah. Strategi ini, bukan saja memperbanyak penduduk di sekitar wilayah timur, tetapi lebih mendekatkan sumber logistik ke daerah perbatasan.

Persiapan persiapan matang yang dilakukan oleh Sultan Abdulfatah, tidak Iuput dari intaian dan penilalan Kompeni Belanda yang semakin cemas dan gemas. Kompeni Belanda menyadari, tujuan Sultan Banten yang tangguh itu. Kecemasan dan kegemasan Kompeni Belanda, tampak dalam laporan Rijcklof Volckertsz van Goens, ketika ia telah menjabat kedudukan Gubemur Jenderal, kepada atasannya di Netherland, pada tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Banten harus ditundukan, bahkan dihancur-lumatkan, atau. Kompeni yang akan lenyap".

Kesultanan Surasowan Banten, dianggap sebagai saingan utama oleh Kompeni Belanda. Selain karena letaknya berdampingan dengan pusat kekuasaan Batavia, Banten pun merupakan sebuah negara maritim, dengan tulang punggung ekonominya mengandalkan perdagangan internasional. Terbukti, negara yang terletak di ujung barat Pulau Jawa itu, telah berhasil mengimbangi kekuatan militer Kompeni Belanda.
              Kecemasan pihak Kompeni Belanda, ditambah lagi dengan tindakan Mataram pada tahun 1661, yang mengirimkan koloni petaninya, sebanyak 500 orang ke Muara Beres, sebuah tempat di pinggiran Sungai Ciliwung. Di Muara Beres, yang terletak di antara Jakarta dengan Bogor, koloni Mataram ditugasi mencetak sawah baru. Muara Beres, pernah dijadikan pangkalan "pasukan rakit", ketika Sultan Agung Mataram mengerahkan tentaranya, untuk mengepung benteng Batavia.
               Peristiwa ini pun turut diperhitungkan oleh Sultan Abdulfatah. Sebab, Muara Beres terletak sejauh 4 jam perjalanan, ke sebelah timur dari Wales, pos terdepan pasukan Banten, dengan kekuatan 4.000 orang. Dari Wales, terdapat sebuah jalan darat melalui Pagutan (sebelah barat Ciputat), yang menuju Batavia, atau ke arah tenggara Muara Beres. Mata mata Banten mendapatkan, bahwa pemukiman orang Mataram itu, dihuni petani biasa (bukan tentara). Banyak di antaranya, orang Paledang (pembuat alat alat tembaga), dan mereka dianggap "tidak berbahaya".
               Selain pembangunan fisik, Sultan Abdulfatah, dengan jiwa "Maritim Banten" murninya mempererat hubungan dagang internasional, dengan kongsi kongsi dagang Eropa yang bukan Belanda. Dengan demikian, dapat diraih tiga macam keuntungan sekaligus, yaitu:

1.    Peningkatan ekspor;
 2.    Hubungan persahabatan dengan saingan saingan Kompeni Belanda;
 3.    Alih teknologi.

Melalui Kompeni Inggeris EIC (East Indie Compagnie), Sultan Abdulfatah, mengadakan kontak diplomatik dengan kerajaan Inggeris. Dari orang EIC, ia memperoleh informasi rahasia, tentang keadaan organisasi induk VOC di Netherland.
               Ketika pecah perang, antara Belanda dengan Inggeris dan Perancis pada tahun 1672, peristiwa itu segera diketahui oleh Sultan Abdulfatah, dari para pelaut Inggeris dan Perancis yang datang di pelabuhan Banten.

Dalam jalinan persahabatan internasional ini, Sultan Abdulfatah, mengundang para teknisi Eropa. Mereka dilibatkan dalam pembangunan kapal-kapal niaga, yang memiliki daya jangkau jauh, mampu berlayar hingga mencapai Philipina, Macao, Benggala dan Persia (Iran).
               Sebagian besar para teknisi Eropa itu, dilibatkan pula dalam perbaikan komplek keraton Surasowan. Istana yang megah itu, dibuat lebih indah dan lebih tahan dari serangan. Keraton Surasowan, dilengkapi pancuran dan danau buatan. Seluruh komplek, dilindungi tembok terbuat dari bata merah, yang cukup tebal. Pada sudut sudut benteng, ditempatkan menara jaga. Jalan masuk menuju komplek Istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya, untuk menghindari pengintaian dari luar. Di sekitar tembok benteng, dibuat pula saluran yang cukup lebar. Jejak-jejak tangan teknisi Eropa, tampak berbaur dengan arsitektur tradisional.
               Selain Istana Surasowan di pusat ibukota, Sultan Abdulfatah pun membangun keraton baru di sebelah tenggara Pontang, tidak jauh dari pantai. Dalam sumber Belanda yang sejaman, keraton itu dilaporkan bercorak modern. Keraton dibangun untuk tempat tinggal Sultan Abdulfatah, dan berfungsi sebagai benteng cadangan, bila terjadi hal darurat di ibukota Surasowan. Karena keistimewaan sistem saluran airnya, keraton baru itu dinamai Tirtayasa. Dari nama keraton itulah, kelak Sultan Abdulfatah dikenang oleh rakyat Banten, sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
               Salah satu teknisi Eropa itu adalah Henrik Lucaszoon Cardeel, seorang "tukang batu" kelahiran Steenwijk, Negeri Belanda. Setelah Henrik Lucaszoon Cardeel masuk Islam, Sultan Abdulfatah memberikan gelar kebangsawanan, dengan nama Tubagus Wiraguna. Kelak, ia dihadiahi sebidang tanah di Batavia (daerah Ragunan, sekarang). De Haan berpendapat, bahwa nama tempat itu (Ragunan), merupakan singkatan dari Wiraguna (Lombard, 1996: 303).
               Upaya hubungan diplomatik dilakukan pula dengan Denmark. Melalui kongsi dagangnya, perjanjian dagang antara Banten Denmark, dapat ditandatangani tahun 1670. Hal tersebut, dapat dilihat dalam surat dinas Sultan Abdulfatah, yang ditulis menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab. Surat tersebut ditujukan kepada Raja Christian V Denmark, pada tahun 1671, yang isinya sebagai berikut:
               Ini surat menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Seri Sultan Abu'l Fath di Banten yang mengempukan tahta pekerjaan (sic) dalam negeri Banten khallada'llahu mulkahu wa sayyara a'naka a'adihi milkahu datang kepada raja Danamarka yang bernama Raja Kerristian anak Raja Parraiderrai yang mengempukan tahta pekerjaan dalam negeri Dananarka raja yang termashur gagah berani dalam segala negeri atas angin dan negeri bawah angin ialah raja yang amat bangsawan serta setiawan dan yang bijaksana pada memerintah segala pekerjaan di darat dan di laut serta mengelakukan isti'adat raja raja dalam negeri Danamarka.
               Adapun kemudian daripada itu bahwa surat dan bingkis daripada raja Kerristian itu telah sampailah kepada Raja Paduka Serri Sultan di Banten dengan sempurnanya. Maka apabila dibukalah surat itu daripada meterainya semerbaklah bau bauwan yang amat harum daripada kasturi dan `anbar akan mengatakan perkataan tulus dan ikhlas dan hendak berkasih kasihan. Sahdan barang maksud Raja Kerristian yang tersebut dalam kitabat itu telah diketahuilah oleh Paduka Seri Sultan di Banten, maka Paduka Seri Sultan pun terlalulah sukacita sebab mendengar perkataan Raja Kerristian yang tersebut di dalam kitabat itu.
               Sebermula Paduka Seri Sultan meminta kepada Raja Kerristian jual-jualan obat bedil pada tiap tiap masa kapal berlayar ke Banten sekira-kira obat bedil itu seratus pikul dan demikian lagi peluru bedil besar-besar.
               Shahdan Paduka Seri Sultan memberi Ma'lum kepada Raja Kerristian dahulu kala Kapitan Haddelar menitipkan lada kepada angabehi Cakradana banyaknya lada itu seratus bahara dan tujuh puluh enam bahara. Tamat (Naerssen,1977: 159).
               Sementara itu, di lingkungan Istana Kesultanan Surasowan Banten, pada tanggal 16 Februari 1671, Sultan Abdulfatah mengangkat Abdulkahar sebagai Pangeran Gusti atau putera mahkota. Abdulkahar, adalah putera Sultan Abdulfatah dari permaisuri Ratu Adi Kasum. Peristiwa ini, bertepatan dengan datangnya surat dari Syekh Mekah, yang memberi gelar kepada Pangeran Gusti, yaitu Sultan Abu'nasr Abdulkahar, yang kelak lebih dikenal sebagai Sultan Haji.
               Sultan Abu'nasr Abdulkahar, diberikan tugas dan wewenang untuk mengatur urusan dalam negeri Kesultanan Surasowan Banten. Sedangkan kekuasaan dan urusan luar negeri, sepenuhnya masih dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Sejak itulah, Sultan Abdulfatah pindah ke kediaman yang baru, di Istana Tirtayasa
               Selanjutnya, pada tahun 1674, putera mahkota Sultan Haji, diperintahkan oleh ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus melakukan perlawatannya ke Turki, guna menjalin persahabatan dengan pusat kekuatan Islam dunia Petjalanan Sultan Haji dalam perlawatan diplomatik, memerlukan waktu 2 tahun.
               Kesultanan Surasowan Banten memanfaatkan masa yang relatif damai, berdasarkan perjanjian 10 Juli 1659, untuk mengungguli persiapan Kompeni Belanda. Setiap saat, perang antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, dapat saja meletus.

Hal yang meredakan ketegangan, di antara kedua belah pihak, adalah sikap Gubernur Jenderal Johan Maetsuycker. Sikapnya yang sangat hati-hati, membuat ia mengambil sikap netral, bila terjadi pertikaian di antara kerabat keraton di Nusantara.
               Saran van Goens dan Speeltnan, agar Kompeni bertindak cepat melumpuhkan Banten, tidak dihiraukan oleh Johan Maetsuycker. Kekhawatirannya, Kesultanan Surasowan Banten, bersahabat baik dengan kongsi dagang Inggeris dan Perancis, ketika pecah perang antara Belanda dengan Inggris Perancis tahun 1672.
               Sementara itu, untuk mengamankan hak monopoli rempah rempah di wilayah timur, Speelinan berhasil menggulung Ternate dan menundukkan Makasar. Dalam perjanjian Bongaya (1667), Makasar harus mengakui keunggulan Kompeni, dan kehilangan kebebasannya. Dalam kejadian ini, Cornelis Speelinan mengutamakan jasa baik Aru Palaka, Raja Bone yang terusir oleh Sultan Hasanuddin, ketika kerajaannya ditundukkan oleh Makasar. Tanpa bantuan Aru Palaka yang hafal keadaan daerah pedalarnan Makasar, belum tentu Kompeni Belanda berhasil menggulung kekuatan Makasar.
               Oleh sebab peristiwa itu, Sultan Ageng Tirtayasa, kehilangan sekutunya di kawasan timur. Sisa sisa laskar Makasar, banyak yang menyingkir, kemudian bergabung dengan laskar Banten. Dalam laporan perwakilan Belanda di Banten, diberitakan bahwa selama bulan Agustus dan September 1671, berturut turut telah datang ke Banten, 800 dan 300 orang Makasar. Mereka ikut memperkuat angkatan perang Banten.
               Ketika pecah pemberontakan Trunojoyo, bukan saja orang Makasar yang ada di Banten, melainkan juga laskar Banten ikut membantu gerakan bangsawan Madura itu. Bantuan senjata dan perbekalan, diberikan pula oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
               Akibat adanya persaingan kekuasaan di Pulau Jawa, terlebih setelah Sultan Agung Mataram menguasai Priangan, hubungan Banten dengan Mataram, tidak pernah mulus, cenderung mengarah kepada permusuhan. Koloni petani Mataram di Karawang, justeru selalu diganggu keamanannya oleh laskar Banten, bukan oleh Kompeni yang menjadi sasarannya.
               Karena persaingan itulah, walaupun secara resmi tidak pernah berperang, akan tetapi Sultan Ageng Tirtasaya tidak mau bekerjasama dengan Mataram, dalam perjuangannya ketika mengusir Kompeni dari Batavia. Kedua belah pihak saling membiarkan, bila salah satu pihak diancam Kompeni. Terbukti, Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan Kesultanan Banten sebagai pendukung Trunojoyo, dalam pemberontakan melawan Sunan Amangkurat I Mataram.

Peristiwa pemberontakan Trunojoyo, telah mempererat hubungan antara Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Banten. Sebagaimana telah dikemukakan, menurut penuturan Pangeran Wangsakerta, dalam peristiwa itu, kedua orang kakaknya, yaitu Samsudin Martawijaya dan Badridin Kartawijaya, tertawan oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Mereka bersama ayahnya, Panembahan Girilaya, tidak diperkenankan pulang ke Cirebon oleh Amangkurat I Mataram.
               Pemerintahan Pakungwati Cirebon, diwakili oleh Pangeran Wungsakerta, putera Panembahan Girilaya yang bungsu. Pangeran Wangsakerta segera pergi ke Banten, merninta jasa baik Sultan Ageng 'Tirtayasa, untuk membebaskan kedua kakaknya dari tangan Trunojoyo.
               Melalui sepucuk surat dari Sultan Ageng Tirtayasa, berangkatlah sebuah kupal perang Banten membawa perlengkapan menuju perairan Jaw a Timur. Menggunakan kapal itu pula, kedua pangeran Cirebon itu kembali ke pelabuhan Banten.
               Menurut Pangeran Wangsakerta sendiri, sesungguhnya Sultan Ageng Tirtayasa lah, yang melantik resmi (mewisuda) mereka bertiga, menjadi penguasa Pakungwati Cirebon. Masing masing, sebagai Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Wangsakerta sendiri sebagai Panembahan Cirebon. Menggunakan kapal perang Banten pula, mereka diantarkan ke Pakungwati Cirebon, untuk memulai tugas sebagai akhli waris Panembahan Girilaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1677.
               Akibat peristiwa itulah, hubungan kekerabatan antara Pakungwati Cirebon dengan Surasowan Banten, yang telah lama retak, dapat dipererat kembali. Sebagai sesama keturunan Susuhunan Jati Cirebon Syekh Syarif Hidayat, Sultan Ageng Tirtayasa, adalah saudara sepupu jauh ketiga orang penguasa Cirebon itu.
               Hanya saja, Kesultanan Surasowan Banten, tidak menyukai hubungan akrab antara Pakungwati Cirebon dengan Mataram, karena alasan politik. Sedangkan pihak Pakungwati Cirebon, mempunyai jalinan kekerabatan yang lebih dekat, dengan keraton Mataram. Ibunda Amangkurat I, adalah kemenakan Panembahan Ratu, buyut ketiga orang penguasa Cirebon tersebut. Selain itu, ibu dan isteri isteri mereka, juga puteri Mataram.
               Oleh sebab itulah, walaupun para penguasa Cirebon sangat berhutang budi kepada Sultan Ageng Tirtayasa, permintaan agar Pakungwati Cirebon memusuhi Mataram, tidak mungkin dipenuhi. Mereka hanya menjanjikan, akan mengambil sikap netral, bila terjadi perselisihan antara Banten dengan Mataram. Hal ini merupakan suatu keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, bagi kepentingan politik diplomasi Kesultanan Surasowan Banten, yang telah berhasil menetralkan sekutu utama Mataram di kawasan Tatar Sunda.
               Dalam peristiwa Trunojoyo ini, Speelman mengusulkan agar Kompeni Belanda memulihkan kedudukan penguasa Mataram, dengan tujuan mendapatkan wilayah, sebagai tebusan biaya perang. Selain itu, Speelinan pun mengusulkan, supaya Trunojoyo beserta sekutunya, yaitu Kesultanan Surasowan Banten, segera dilumpuhkan. Akan tetapi, Gubemur Jenderal Maetsuycker, yang selalu hati hati, tidak menerima usul tersebut.
               Maetsuycker mengijinkan Speelman membawa armada Kompeni ke Japara, untuk mengatasi kekacauan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini Johan Maetsuycker berpesan, agar Speelman mendesak Amangkurat I dan Trunojoyo untuk berdamai kembali. Anjuran Speelman diterima baik oleh Amangkurat I, namun ditolak oleh Trunojoyo.
               Selanjutnya, Speelman segera bertindak merebut Surabaya, yang telah dikuasai`pasukan Trunojoyo, mengambil alih benteng pasukan Makasar di Gogodog dan perbatasan Balambangan, dan menyerang Arosbaya di Madura. Akan tetapi, Speelman kembali ke Japara, tidak meneruskan gerakannya.
               Trunojoyo yang cerdik segera membuntutinya, menyeberangi Selat Madura. Pada tanggal 2 Juli 1677, langsung menyerbu ibukota Mataram, serta berhasil merebut dan mendudukinya. Pusaka pusaka Mataram, termasuk mahkota Majapahit, diboyongnya ke Kediri sebagai tempat kedudukannya.
               Akibat serbuan Trunojoyo, Maetsuycker yang semula bersikap netral, karena menganggap sebagai konflik intern keraton, akhirnya mengambil sikap memihak Susuhunan Matarain. la berkirim pesan kepada Speelman, agar mengambil langkah langkah untuk pemulihan kedudukan Sunan Mataram.
              Setelah Amangkurat I meninggal dunia, dalam pengungsian ke benteng Kompeni di Tegal Arum, pada bulan Oktober 1677, Speelman mengadakan pertemuan dan perjanjian dengan Adipati Anom, putera mahkota Mataram. Berdasarkan pertemuan itulah, akhirnya perlawanan menghadapi Trunojoyo tidak dilakukan oleh Mataram, melainkan oleh Kompeni Belanda. Selanjutnya, setelah Trunojoyo tertawan, ia beserta mahkota Majapahit, diserahkan oleh Kompeni kepada Sunan Amangkurat II. Karena peristiwa itulah, Mataram resmi menjadi vazal Kompeni Belanda.
               Akan tetapi, penumpasan gerakan Trunojoyo itu, tidak sempat disaksikan oleh Johan Maetsuycker, yang meninggal dunia pada tanggal 4 Januari 1678. Sebagai penggantinya, Para Direktur Kompeni Belanda di Netherland, mengangkat Rijcklof Volckertsz van Goens, orang yang sepaham dengan Cornelis Speelinan, sama sama penganut garis keras.

Artikel Terkait