PANGERAN
CAKRABUANA
Banten pada masa penyebaran Islam di Kerajaan Sunda,
sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dari pendahulunya,
Cirebon. Oleh karena itu, untuk membahas Banten, terlebih dahulu harus mengenal
Cirebon.
Dalam Carita Parahiyangan, karya Tim Pimpinan Pangeran
Wangsakerta, yang disusun oleh Atja dan Edi S. Ekadjati (1989), tentang Cirebon
dikemukakan sebagai berikut:
Adapun mengenai raja raja Cirebon, mereka keturunan raja
Pajajaran dari isteri Sang Prabhu yang bernama Nyai Subanglarang atau
Subangkarancang. Dalam pernikahannya itu berputera beberapa orang. Dua di
antaranya, ialah;
1. Raden Walangsungsang
atau Pangeran Cakrabuana;
2. Nyai Larasantang
atau Saripah Muda'im (Atja & Ekadjati, 1989:165).
Dalam naskah naskah Cirebon lainnya dijelaskan pula, bahwa
dari Subanglarang, Sri Baduga Maharaja memperoleh anak bungsu laki laki,
bernama Rajasangara.
Dari isterinya yang pertama, Ambetkasih (puterinya Ki Gedeng
Sindangkasih), Sri Baduga Maharaja tidak memperoleh anak. Sedangkan dari
isterinya yang ketiga, Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu
Susuktunggal), berputera beberapa orang, di antaranya:
1. Sanghiyang
Surawisesa;
2. Surasowan; dan
3. Dewi Surawati;
kelak diperisteri oleh Adhipati Surakerta.
Semua putera puteri Sri Baduga Maharaja, dilahirkan di
Keraton Pakuan Pajajaran. Status Pangeran Walangsungsang, di antara semua
putera puteri Sri Baduga Maharaja, berperan sebagai anak sulung. Status ini
sangat memungkinkan, jika Pangeran Walangsungsang, merupakan anak terdekat
pertama dengan ayahandanya.
Ibunda Pangeran Walangsungsang (Subanglarang), adalah murid
Syekh Hasanudin, dari Pondok Quro Pura Dalem (Karawang). Syekh Hasanudm, adalah
ulama Cina yang berasal dari Campa, pemeluk Islam madzhab Hanafi.
Adapun riwayat Syekh Hasanudin, hingga mendirikan Pondok
Quro di Pura Dalem Karawang, adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1416 Masehi, armada laut Cina, mengadakan
pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar
dari Dinasti Ming ketiga. Armada laut Cina tersebut, dipimpin oleh Laksamana
Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam yang beragama Islam. la didampingi oleh
jurututulisnya, Ma Huan, yang juga beragama Islam.
Armada laut Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, sebanyak
63 buah kapal layar, dengan prajurit laut sebanyak 27.800 orang. Tujuan
pelayaran mereka, untuk menjalin persahabatan, dengan raja raja Cina di
seberang lautan.
Di antara sekian banyak awak kapal, terdapat beberapa orang
penumpang, yang dipimpin oleh Syekh Hasanudin. la bermaksud, menyebarkan ajaran
agama Islam, di Pulau Jawa. Oleh karena sesama muslim, Laksamana Cheng Ho,
mengijinkan Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, untuk ikut menumpang pada
kapal layarnya.
Ketika armada laut Cina itu singgah di pelabuhan Pura Dalem
Karawang, Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, memohon diri untuk turun.
Sedangkan Laksamana Cheng Ho dengan armada lautnya, meneruskan pelayarannya ke
Majapahit, di Jawa Timur.
Syekh Hasanudin, ketika turun di Pura Dalem Karawang,
disertai pula oleh puteranya, Tan Go Wat. Kelak, Tan Go Wat, dikenal sebagai
Syekh Bantong. Setelah lama tinggal di Pura Dalem, akhirnya Syekh Hasanudin
berjodoh dengan Ratna Sondari, puterinya Ki Gedeng Karawang. Dari
perkawinannya, memperoleh anak, yang kelak dikenal sebagai Syekh Ahmad.
Syekh Hasanudin, mendirikan Pondok Quro tertua pertama di
Kerajaan Sunda, di pesisir Pura Dalem Karawang, pada tahun 1416 Masehi. Peristiwa
penting ini, terjadi pada masa pemerintahan Sang Mahapraburesi Niskala Wastu
Kancana (1371 1475 Masehi), kakeknya Sri Baduga Maharaja.
Selama 59 tahun, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana,
menyaksikan berseminya agama Islam di wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa
daerah bawahan Kerajaan Sunda, Ki Gedeng Karawang, tidak akan berani membiarkan
Islam berkembang di wilayahnya, kalau tanpa seijin Sang Mahapraburesi.
Bagi Sang Mahapraburesi, Islam bukan hal yang baru dan
acing. Sebab, adik iparnya, Bratalegawa alias Haji Purwa Galuh, sudah terlebih
dahulu memeluk agama Islam.
Keteladanan Wastu Kancana sangat luar biasa. Hal ini tampak
dalam Carita Parahiyangan. Penulis naskahnya sangat mahal dengan kata-kata, dan
lebih kikir lagi dengan pujian. Namun bagi tokoh Wastu Kancana, ia bersedia
mengurbankan lembaran kropaknya sampai 4 halaman, padahal untuk Sri Baduga
Maharaja, walau pun ia masih sanggup memujinya, hanya disediakan seperempat
halaman saja (Danasasmita,1984: 42).
Pangeran Walangsungsang, adalah cicit dari Sang
Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la dengan kedua adiknya, pemeluk agama
Islam mazhab Hanafi, mengikuti agama yang dipeluk ibunya, Subanglarang.
Sebagai catatan, madzhab Hanafi, adalah paham hukum Islam
yang difatwakan oleh Imam Abu Hanifah. Nama sesungguhnya dari Abu Hanifah,
adalah Nu'am bin Tsabit bin Zautha bin Mah. la. seorang bangsa Ajam, keturunan
bangsa Parsi yang bermukim di Kabul, Afganistan.
Selain sebagai ibunda tercinta, peran Subanglarang bagi diri
Pangeran Walangsungsang dan kedua adiknya, adalah Guru Agama. Di lingkungan
Keraton Pakuan Pajajaran, hanya ibunya, yang membimbing Pangeran Walangsungsang
dalam hal Islam. Kenyataan seperti itu, bagi Sri Baduga Maharaja, tidak menjadi
masalah. Sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam: rasika dharmika ring pamekul
agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Rasul). Perlu
dicatat, ketika Sri Baduga Maharaja masih remaja dan bernama Sang Pamanahrasa,
dibina langsung oleh kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. Sikap
"rasika dharmika ring pamekul agami rasul ", diteladani dari
kakeknya.
Ketika Subanglarang wafat, Pangeran Walangsungsang serta
adik-adiknya, merasa sangat kehilangan. Ketiadaan guru agama Islam lainnya di
kota Pakuan Pajajaran, mendorong Pangeran Walangsungsang, memohon izin kepada
ayahnya, untuk pergi mengembara, mencari guru agama Islam yang dapat memenuhi
hasrat keresahan batinnya.
Tentu saja, walaupun dengan berat hati, Sri Baduga Maharaja
terpaksa mengijinkan kepergian putera sulung kesayangannya itu.
Peristiwa-peristiwa itulah, yang Iuput dipahami dan dijadikan dasar cerita,
oleh para penulis babad. Sehingga rnereka beranggapan (sebagaimana yang sering
terbaca dalam Babad Cirebon), bahwa Pangeran Walangsungsang itu, diusir dari keraton
Pakuan Pajajaran, akibat konflik agama dengan ayahnya.
Sementara itu, Ki Gedeng Tapa, kakeknya Pangeran
Walangsungsang yang menjadi penguasa wilayah Singapore (Cirebon), telah
memukimkan seorang Guru Agama Islam mazhab Syafi'i: Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Datuk Kahfi adalah putera Syekh Datuk Ahmad.
Syekh Datuk Ahmad adalah putera Maulana Isa dari Malaka.
Maulana Isa adalah putera Abdul Qadir Qaelani.
Abdul Qadir Qaelani adalah putera Amir Abdullah Khanudin.
Amir Abdullah Khanudin, adalah generasi ke 17 turunan
Rasulullah Mohammad.
Syekh Datuk Kahfi berjodoh dengan Hadijah, cucu Haji Purwa
Galuh (Bratalegawa), yang bermukim di Dukuh Pasambangan Cirebon. Kemudian,
Syekh Datuk Kahfi, atas keinginan Ki Gedeng Tapa, mendirikan Pondok Quro di
Bukit Amparan Jati (Gunung Jati) Cirebon. Pondok Quro Amparan Jati, merupakan
pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda, setelah Pondok Quro Karawang. Oleh Ki
Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendapat nama julukan, Syekh Nurjati.
Dalam pengembaraannya, Pangeran Walangsungsang disertai
adiknya, Nyai Larasantang. Ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang
tiba di Singapore (Cirebon), keduanya berguru kepada Syekh Datuk Kahfi.
Pangeran Walangsungsang yang semula menjadi penganut Islam mazhab Hanafi, dari
Syekh Datuk Kahfi, mendapat pengetahuan agama Islam mazhab Syafi'i.
Sebagai catatan, mazhab Syafi'i adalah paham hukum Islam
yang difatwakan oleh Imam Syafi'i. la dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150
Hijriyah (767 Masehi), di kampung Ghuzah, wilayah Asqalan di dekat pantai
Lautan Putih (Laut Mati) Palestina bagian tengah.
Pangeran Walangsungsang, mempelajari ilmu pemerintahan dan
ketata negaraan, dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa. la dipercaya memegang jabatan
Pangraksabumi (Cakrabumi), dalam pemerintahan kerajaan daerah Singapura
(Cirebon). Dalam pemerintahan sehari hari, Pangeran Walangsungsang berfungsi
pula sebagai wakil kakeknya, Ki Gedeng Tapa.
Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa parwa I
sarga 4, dikemukakan riwayat Pangeran Walangsungsang, ketika mendirikan Dukuh
Cirebon, antara lain sebagai berikut:
to sawiji ping desa haneng tira ning tasik carbon wastanya
// rikung akwah tumuwuh parungpung alang alang lawan dukul sagara / mangidul
ring wanakweh satwa krura / pantara ning/ waraha / liman pas lawan salwirya //
atut tira ning tasik akweh saraksak mwang dok / ing parwataparswa careme kweh
aswa // riking lwah akweh matsya lawan rebo n/
Terjemahannya:
Ada sebuah desa terletak di tepi pantai, Cirebon namanya. Di
situ banyak tumbuhan pohon kayu alang alang dan rumput (semak belukar) laut. Di
bagian selatannya, masih hutan belantara tempat binatang buas. Seperti babi
hutan, harimau, ular, gajah, kura kura dan berbagai jenis lainnya. Di tepi
pantai, banyak burung belibis dan elang laut (camar). Sedangkan di Gunung Ciremai,
banyak kuda liar. Di sungai, banyak ikan dan rebon (udang kecil).
Pada awalnya, sebuah wilayah hutan yang dialiri sungai
Cirebon itu, disebut Kebon Pasisir, atau Tegal Alang Alang, atau Lemah Wungkuk.
Pada saat itu (tahun 1436 Masehi), di Kebon Pasisir, telah bermukim 5 orang
penduduk, ialah: Ki Danusela alias Ki Gedeng Alang Alang; Nyai Arumsari
(isterinya); Nyai Ratnariris atau Kancanalarang (puterinya); Ki Sarmawi
(pembantunya); dan Isteri Ki Sarmawi (pembantunya). Mereka, pindah dari tempat
tinggal asalnya, Cirebon Girang. Ki Danusela, adalah adiknya Ki Danuwarsih.
Sedangkan Ki Danuwarsih, seorang ulama agama Budha, adalah mertua Pangeran
Walangsungsang. Sebab, puteri Ki Danuwarsih, yaitu Nyai Indang Geulis, bersedia
masuk Islam, yang akhirnya menjadi isteri Pangeran Walangsungsang.
Di kalangan Pondok Quro Amparan Jati, Pangeran
Walangsungsang, lebih dikenal dengan sebutan Ki Samadullah. Nama itu diperoleh
dari gurunya, Syekh Datuk Kahfi.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka,
atau hari Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan penanggalan 1
Muharam 848 Hijriyah, Ki Samadullah yang disertai isterinya (Nyai Indang
Geulis), dan adiknya (Nyai Larasantang), serta 52 orang santri Pondok Quro
Amparan Jati, membuka hutan Kebon Pasisir. Setelah Kebon Pasisir menjadi tempat
terbuka, dibangunlah pemukiman baru, kemudian diberi nama Cirebon Pasisir.
Diberi nama demikian, untuk membedakan dengan pemukiman yang sudah ada di
wilayah hulu sungai Cirebon, yang disebut Cirebon Girang.
Semula, penduduk Cirebon Pasisir, hanya terdiri dari 52
orang santri pekerja, ditambah Ki Danusela dengan 4 orang anggota keluarganya.
Setelah melihat ada pemukiman baru, rakyat dari Muara Jati dan dukuh
Pasambangan, berdatangan dan pindah ke Cirebon Pasisir.
Atas kesepakatan bersama, Ki Danusela diangkat menjadi Kuwu
Pertama (kuwu=sesepuh desa) di Cirebon Pasisir. Kemudian, Pangeran
Walangsungsang alias Ki Samadullah, dipercaya menjadi Wakil Kuwu.
/ i sedeng ki somadullah rina
kcabumyaksa lawan winasta
n ki cakrabhumi ngaran ira //
Terjemahan:
Sedangkan Ki Samadullah sebagai akhli pertanahan
(pangraksabumi), mendapat gelar Ki Cakrabumi, namanya.
ki gedeng alang alang so
mah lawan ki somadullah so
nah rahine kulem makakar
ma angluru rebon lawan iwa
k ing lwah haneng wetan grha ni
ra / mwang tira ning tasik / ri
sampunya tumuluy magawe tra
si / pens lawan uyah //
Terjemahannya:
Adapun rakyat Ki Gedeng Alang alang dan rakyat Ki
Samadullah, sebelum tidur, berkumpul bekerjasama menumbuk rebon dan ikan, dari
sungai sebelah timur pemukiman mereka (di tepi pantai), bekerja menyelesaikan
pembuatan terasi, petis dan garam.
// a teher carbon dumadi desanung akrak hetunya janmapada
sakeng desantara / sarwa wangsa hang rikung/ wwang doltinuku / thanayan thani /
wwang angluru rebon lawan iwak tira ning sagara akrak prahwa mandeg/ ring
samangkana sira pribhumi sarwa wangsa / sarwa panganut nira / pangucap nira
tulisnya / praswabhawa nira / akarya nira kunang mebedha sowang-sowang//
Terjemahan:
Kemudian, Cirebon menjadi kawasan desa yang ramai di antara
desa-desa lainnya. Berbagai bangsa ada di sana. Pedagang, para petani. Mereka
menumbuk rebon dan ikan. Sekarang di tepi lautnya (pesisir) ramai disinggahi perahu.
Pribuminya terdiri dari berbagai suku bangsa. Macam-macam anutannya, bahasa dan
tulisannya, tingkah lakunya, keakhliannya, masing masing berbeda.
Pada tahun 1369 Saka (1447 Masehi), semua jumlah penduduk
yang menetap di Dukuh Cirebon, adalah 346 orang. Laki laki 182 orang dan wanita
164 orang. Rinciannya: Sunda 196 orang, Jawa
106 orang, Sumatera 16 orang, Hujung Mendini 4 orang, India 2 orang,
Parsi 2 orang, Syam 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang.
Wangsa Manggala dan Tirta Manggala, menduga kata
"Cirebon" berasal dari kata "Sarumban" atau
"Caruban". Hal itu, mengingat penduduk Cirebon pertama, terdiri dari
campuran (saruban) berbagai suku bangsa. Sehingga, pustaka yang disusunnya,
diberi judul Purwaka Caruban Nagari (Negeri Caruban Permulaan). Padahal, kata
"Cirebon" sendiri, sudah memberikan arti dan makna yang cukup jelas.
Cirebon, ci berarti sungai; dan rebon berarti udang kecil. Cirebon, berarti
sungai yang banyak udang-udang kecilnya.
Di dukuh Cirebon Pasisir, Pangeran Walangsungsang larut
dengan kehidupan masyarakat kecil, dan ia memerankan dirinya sebagal Guru Agama
Islam, dengan panggilan akrab Ki Samadullah. Bersama santri-santrinya, Ki
Samadullah, mendirikan Tajug (Masjid), diberi nama Jalagrahan. (Jala=air;
grahan=rumah), yang terletak di tepi laut.
/ kaucap ri sedeng ki cakrabhumi lawan myi nira matithi ring
giri ngamparan jati ing pondok guru nira // syeh datuk khahphi ya to syeh
maulana idlophi ngaran ira waneh / vrineh pituduh ring sisya nira // mangkana
ling sang guru / anak ngwang/ kamung marwa samidahaken to sera baitullah ing
mekahnagari i ngarabbumi //
Terjemahan:
Teriwayatkan, Ki
Cakrabumi dan adiknya (Larasantang) pergi berkunjung ke Gunung Amparan Jati, ke
tempat tinggal guru mereka Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Maulana Idlofi nama
lainnya, kemudian memberi petunjuk kepada muridnya itu. Sang guru mengingatkan,
"Anakku, agar kamu berdua sama sama mendapatkan kesempurnaan Islam,
pergilah kalian ke Baltullah negeri Mekah di tanah Arab".
Sesudah memperhatikan nasihat
gurunya, Ki Samadullah dan adiknya, pergi berlayar untuk menunaikan ibadah
Haji. Sedangkan isterinya Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis, tidak
bisa ikut, karena sedang hamil.
Pangeran Walangsungsang bersama
Nyai Larasantang, berlayar menuju Tanah Arab. Di tengah perjalanan, kapal
layarnya singgah di negeri Mesir. Beberapa orang pembesar dari negeri Mesir,
naik ke kapal layar, degan maksud yang sama, untuk menunaikan ibadah Haji ke
Mekah. Tidak terkisahkan lamanya perjalanan. Akhirnya, kapal layar yang
ditumpangi Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang, tiba di pelabuhan
Jedah. Kedua kakak beradik dari Cirebon Pasisir itu, menjadi perhatian seorang
Walikota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun. Syarif Abdullah,
adalah keturunan Bani Hasyim, yang pernah berkuasa atas wilayah Palestina. la.
menjadi Walikota Mesir, di bawah kekuasaan Sultan Mesir wangsa Ayubi, dari Bani
Mameluk.
Syarif Abdullah adalah putera Ali Nurul Alim.
Ali Nurul Alim putera Jamaluddin Al Husain (Kamboja).
Jamaluddin Al Husain putera Ahmad Shah Jalaluddin.
Ahmad Shah Jalaluddin putera Amir Abdullah Khanudin.
Sedangkan Amir Abdullah Khanudin, generasi ke I7 keturunan
Rasulullah Muhammad.
Kembali kepada Syarif Abdullah.
Ternyata, Syarif Abdullah telah jatuh cinta, kepada Nyai
Larasantang. Terpikat oleh puteri keraton Pajajaran yang cantik jelita,
samyasanya sang candreng patwelas suklapaksya (bersinar bagaikan benderangnya
bulan tanggal empat belas).
Di tanah suci Mekah, Pangeran Walangsungsang atau Ki
Samadullah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah (Walikota Mesir), sama sama
tinggal di rumah Syekh Bayanullah, adiknya Syekh Datuk Kahfi. Di rumah Ki
Bayanullah itulah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah Saling jatuh cinta dan mengikat
janji.
…// tu-
muLuy nay larasantang pinak-
stri de nira syarifih abdullah
lawan sinungan pasengga-
han nay syariphah mudai
m/…
Terjemahan:
Selanjutnya, Nyai Larasantang diperisteri oleh Syarifah
Abdullah dan diberi gelar Nyai (Hajjah) Syarifah Muda'im.
/ i sedeng sang raka nira
sinungan pasenggahan haji
abdullah iman a jawi // te
lung cndra tumuli haji
abdnllah iman mulih ring ja
wadwipa / mruang rayi nira ta
molah rikung//
Terjemahan:
Sedangkan kakaknya, diberi gelar Haji Abdullah Iman Al Jawi.
Tiga bulan kemudian, Haji Abdullah Iman pulang ke Pulau Jawa . Dan adiknya
menetap di sana.
.. // kahucapa nikang
lampah ira mulih ping jawa //
haji abdullah iman mande
g ing carnpanagari / ri sarnpu-
nya tekan carbon haji a-
bdullah iman dumadi rawaara-
warah agameslam ri janrnapa-
da/..
Terjemahan:
Teriwayatkan dalam perjalannya pulang menuju (Pulau) Jawa ,
Haji Abdullah Iman singgah di negeri Campa. Sesudahnya, tiba di Cirebon, Haji
Abdullah mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.
// hana prua pasanggaman ni-
ra haji abdullah ima-
n lawan nay indang ghelis manakta
stri nay pakungwati ngaran nira //
Terjemahan:
Adapun dari perkawinannya, Haji Abdullah Iman dengan Nyai
Indang Geulis, mempunyai anak perempuan, Nyai Pakungwati namanya.
Haji Abdullah Iman memperisteri puteri Ki Gedeng Alang dang,
yaitu Nyai Ratnariris atau Nyai Kancanalarang. Dan perkawinannya, Haji Abdullah
Iman mempunyai anak laki laki, diberi nama Pangeran Carbon (Pangeran Cirebon) .
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Ki Cakrabumi menjadi
Kuwu kedua, yang kelak dikenal pula sebagai Embah Kuwu Sangkan. Tidak lama
kemudian, kakeknya, Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa, wafat. Pangeran
Cakrabuana mendapat warisan, semua kekayaan dari kakeknya itu. Ki Gedeng Tapa,
selain sebagai penguasa Singapura, ia juga menjadi Jurulabuan yang kaya raya.
Harta warisan yang diterima oleh Haji Abdullah Imam digunakan untuk membangun
Cirebon Pasisir, dijadikan sebuah kota besar. la membangun Keraton, kemudian
diberi nama Pakungwati, sama dengan nama puterinya. Kata pakung, adalah sebutan
lain untuk udang kecil, yang banyak didapat dari sungai Cirebon.
Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Haji Abdullah Imam
membentuk tentara yang dilengkapi pasukan panah. Maka jadilah Cirebon, sebagai
kerajaan corak Islam pertama di Kerajaan Sunda Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja Kerajaan Sunda, sangat gembira mendengar
keberhasilan puteranya. Kemudian, ia mengutus Tumenggung Jagabaya, disertai
pasukan pengawalnya, untuk menobatkan puteranya. Sang Prabu mengirimkan
Pratanda (tanda keprabuan) dan Anarimakna Kacakrawartyan (tanda kekuasaan),
sebagai tanda pengakuan dan pengukuhan puteranya. Pangeran Walangsungsang, atau
Ki Samadullah, atau Ki Cakrabumi, atau Pangeran Cakrabuana, dinobatkan sebagai
Tumenggung dan diberi gelar Sri Mangana, oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja.