KESULTANAN PAKUNGWATI CIREBON

Tags



 PANGERAN CAKRABUANA

Banten pada masa penyebaran Islam di Kerajaan Sunda, sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dari pendahulunya, Cirebon. Oleh karena itu, untuk membahas Banten, terlebih dahulu harus mengenal Cirebon.
Dalam Carita Parahiyangan, karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta, yang disusun oleh Atja dan Edi S. Ekadjati (1989), tentang Cirebon dikemukakan sebagai berikut:

Adapun mengenai raja raja Cirebon, mereka keturunan raja Pajajaran dari isteri Sang Prabhu yang bernama Nyai Subanglarang atau Subangkarancang. Dalam pernikahannya itu berputera beberapa orang. Dua di antaranya, ialah;

1.    Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana;
2.    Nyai Larasantang atau Saripah Muda'im (Atja & Ekadjati, 1989:165).

Dalam naskah naskah Cirebon lainnya dijelaskan pula, bahwa dari Subanglarang, Sri Baduga Maharaja memperoleh anak bungsu laki laki, bernama Rajasangara.
Dari isterinya yang pertama, Ambetkasih (puterinya Ki Gedeng Sindangkasih), Sri Baduga Maharaja tidak memperoleh anak. Sedangkan dari isterinya yang ketiga, Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu Susuktunggal), berputera beberapa orang, di antaranya:
1.    Sanghiyang Surawisesa;
2.    Surasowan; dan
3.    Dewi Surawati; kelak diperisteri oleh Adhipati Surakerta.

Semua putera puteri Sri Baduga Maharaja, dilahirkan di Keraton Pakuan Pajajaran. Status Pangeran Walangsungsang, di antara semua putera puteri Sri Baduga Maharaja, berperan sebagai anak sulung. Status ini sangat memungkinkan, jika Pangeran Walangsungsang, merupakan anak terdekat pertama dengan ayahandanya.
Ibunda Pangeran Walangsungsang (Subanglarang), adalah murid Syekh Hasanudin, dari Pondok Quro Pura Dalem (Karawang). Syekh Hasanudm, adalah ulama Cina yang berasal dari Campa, pemeluk Islam madzhab Hanafi.
Adapun riwayat Syekh Hasanudin, hingga mendirikan Pondok Quro di Pura Dalem Karawang, adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1416 Masehi, armada laut Cina, mengadakan pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar dari Dinasti Ming ketiga. Armada laut Cina tersebut, dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam yang beragama Islam. la didampingi oleh jurututulisnya, Ma Huan, yang juga beragama Islam.
Armada laut Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, sebanyak 63 buah kapal layar, dengan prajurit laut sebanyak 27.800 orang. Tujuan pelayaran mereka, untuk menjalin persahabatan, dengan raja raja Cina di seberang lautan.
Di antara sekian banyak awak kapal, terdapat beberapa orang penumpang, yang dipimpin oleh Syekh Hasanudin. la bermaksud, menyebarkan ajaran agama Islam, di Pulau Jawa. Oleh karena sesama muslim, Laksamana Cheng Ho, mengijinkan Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, untuk ikut menumpang pada kapal layarnya.
Ketika armada laut Cina itu singgah di pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, memohon diri untuk turun. Sedangkan Laksamana Cheng Ho dengan armada lautnya, meneruskan pelayarannya ke Majapahit, di Jawa  Timur.
Syekh Hasanudin, ketika turun di Pura Dalem Karawang, disertai pula oleh puteranya, Tan Go Wat. Kelak, Tan Go Wat, dikenal sebagai Syekh Bantong. Setelah lama tinggal di Pura Dalem, akhirnya Syekh Hasanudin berjodoh dengan Ratna Sondari, puterinya Ki Gedeng Karawang. Dari perkawinannya, memperoleh anak, yang kelak dikenal sebagai Syekh Ahmad.
Syekh Hasanudin, mendirikan Pondok Quro tertua pertama di Kerajaan Sunda, di pesisir Pura Dalem Karawang, pada tahun 1416 Masehi. Peristiwa penting ini, terjadi pada masa pemerintahan Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1371 1475 Masehi), kakeknya Sri Baduga Maharaja.
Selama 59 tahun, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana, menyaksikan berseminya agama Islam di wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa daerah bawahan Kerajaan Sunda, Ki Gedeng Karawang, tidak akan berani membiarkan Islam berkembang di wilayahnya, kalau tanpa seijin Sang Mahapraburesi.
Bagi Sang Mahapraburesi, Islam bukan hal yang baru dan acing. Sebab, adik iparnya, Bratalegawa alias Haji Purwa Galuh, sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Keteladanan Wastu Kancana sangat luar biasa. Hal ini tampak dalam Carita Parahiyangan. Penulis naskahnya sangat mahal dengan kata-kata, dan lebih kikir lagi dengan pujian. Namun bagi tokoh Wastu Kancana, ia bersedia mengurbankan lembaran kropaknya sampai 4 halaman, padahal untuk Sri Baduga Maharaja, walau pun ia masih sanggup memujinya, hanya disediakan seperempat halaman saja (Danasasmita,1984: 42).
Pangeran Walangsungsang, adalah cicit dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la dengan kedua adiknya, pemeluk agama Islam mazhab Hanafi, mengikuti agama yang dipeluk ibunya, Subanglarang.
Sebagai catatan, madzhab Hanafi, adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam Abu Hanifah. Nama sesungguhnya dari Abu Hanifah, adalah Nu'am bin Tsabit bin Zautha bin Mah. la. seorang bangsa Ajam, keturunan bangsa Parsi yang bermukim di Kabul, Afganistan.
Selain sebagai ibunda tercinta, peran Subanglarang bagi diri Pangeran Walangsungsang dan kedua adiknya, adalah Guru Agama. Di lingkungan Keraton Pakuan Pajajaran, hanya ibunya, yang membimbing Pangeran Walangsungsang dalam hal Islam. Kenyataan seperti itu, bagi Sri Baduga Maharaja, tidak menjadi masalah. Sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam: rasika dharmika ring pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Rasul). Perlu dicatat, ketika Sri Baduga Maharaja masih remaja dan bernama Sang Pamanahrasa, dibina langsung oleh kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. Sikap "rasika dharmika ring pamekul agami rasul ", diteladani dari kakeknya.
Ketika Subanglarang wafat, Pangeran Walangsungsang serta adik-adiknya, merasa sangat kehilangan. Ketiadaan guru agama Islam lainnya di kota Pakuan Pajajaran, mendorong Pangeran Walangsungsang, memohon izin kepada ayahnya, untuk pergi mengembara, mencari guru agama Islam yang dapat memenuhi hasrat keresahan batinnya.
Tentu saja, walaupun dengan berat hati, Sri Baduga Maharaja terpaksa mengijinkan kepergian putera sulung kesayangannya itu. Peristiwa-peristiwa itulah, yang Iuput dipahami dan dijadikan dasar cerita, oleh para penulis babad. Sehingga rnereka beranggapan (sebagaimana yang sering terbaca dalam Babad Cirebon), bahwa Pangeran Walangsungsang itu, diusir dari keraton Pakuan Pajajaran, akibat konflik agama dengan ayahnya.
Sementara itu, Ki Gedeng Tapa, kakeknya Pangeran Walangsungsang yang menjadi penguasa wilayah Singapore (Cirebon), telah memukimkan seorang Guru Agama Islam mazhab Syafi'i: Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Datuk Kahfi adalah putera Syekh Datuk Ahmad.
Syekh Datuk Ahmad adalah putera Maulana Isa dari Malaka.
Maulana Isa adalah putera Abdul Qadir Qaelani.
Abdul Qadir Qaelani adalah putera Amir Abdullah Khanudin.
Amir Abdullah Khanudin, adalah generasi ke 17 turunan Rasulullah Mohammad.
Syekh Datuk Kahfi berjodoh dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh (Bratalegawa), yang bermukim di Dukuh Pasambangan Cirebon. Kemudian, Syekh Datuk Kahfi, atas keinginan Ki Gedeng Tapa, mendirikan Pondok Quro di Bukit Amparan Jati (Gunung Jati) Cirebon. Pondok Quro Amparan Jati, merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda, setelah Pondok Quro Karawang. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendapat nama julukan, Syekh Nurjati.
Dalam pengembaraannya, Pangeran Walangsungsang disertai adiknya, Nyai Larasantang. Ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang tiba di Singapore (Cirebon), keduanya berguru kepada Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Walangsungsang yang semula menjadi penganut Islam mazhab Hanafi, dari Syekh Datuk Kahfi, mendapat pengetahuan agama Islam mazhab Syafi'i.
Sebagai catatan, mazhab Syafi'i adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam Syafi'i. la dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 Masehi), di kampung Ghuzah, wilayah Asqalan di dekat pantai Lautan Putih (Laut Mati) Palestina bagian tengah.
Pangeran Walangsungsang, mempelajari ilmu pemerintahan dan ketata negaraan, dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa. la dipercaya memegang jabatan Pangraksabumi (Cakrabumi), dalam pemerintahan kerajaan daerah Singapura (Cirebon). Dalam pemerintahan sehari hari, Pangeran Walangsungsang berfungsi pula sebagai wakil kakeknya, Ki Gedeng Tapa.
Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa parwa I sarga 4, dikemukakan riwayat Pangeran Walangsungsang, ketika mendirikan Dukuh Cirebon, antara lain sebagai berikut:
to sawiji ping desa haneng tira ning tasik carbon wastanya // rikung akwah tumuwuh parungpung alang alang lawan dukul sagara / mangidul ring wanakweh satwa krura / pantara ning/ waraha / liman pas lawan salwirya // atut tira ning tasik akweh saraksak mwang dok / ing parwataparswa careme kweh aswa // riking lwah akweh matsya lawan rebo n/

Terjemahannya:
Ada sebuah desa terletak di tepi pantai, Cirebon namanya. Di situ banyak tumbuhan pohon kayu alang alang dan rumput (semak belukar) laut. Di bagian selatannya, masih hutan belantara tempat binatang buas. Seperti babi hutan, harimau, ular, gajah, kura kura dan berbagai jenis lainnya. Di tepi pantai, banyak burung belibis dan elang laut (camar). Sedangkan di Gunung Ciremai, banyak kuda liar. Di sungai, banyak ikan dan rebon (udang kecil).

Pada awalnya, sebuah wilayah hutan yang dialiri sungai Cirebon itu, disebut Kebon Pasisir, atau Tegal Alang Alang, atau Lemah Wungkuk. Pada saat itu (tahun 1436 Masehi), di Kebon Pasisir, telah bermukim 5 orang penduduk, ialah: Ki Danusela alias Ki Gedeng Alang Alang; Nyai Arumsari (isterinya); Nyai Ratnariris atau Kancanalarang (puterinya); Ki Sarmawi (pembantunya); dan Isteri Ki Sarmawi (pembantunya). Mereka, pindah dari tempat tinggal asalnya, Cirebon Girang. Ki Danusela, adalah adiknya Ki Danuwarsih. Sedangkan Ki Danuwarsih, seorang ulama agama Budha, adalah mertua Pangeran Walangsungsang. Sebab, puteri Ki Danuwarsih, yaitu Nyai Indang Geulis, bersedia masuk Islam, yang akhirnya menjadi isteri Pangeran Walangsungsang.
Di kalangan Pondok Quro Amparan Jati, Pangeran Walangsungsang, lebih dikenal dengan sebutan Ki Samadullah. Nama itu diperoleh dari gurunya, Syekh Datuk Kahfi.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka, atau hari Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Ki Samadullah yang disertai isterinya (Nyai Indang Geulis), dan adiknya (Nyai Larasantang), serta 52 orang santri Pondok Quro Amparan Jati, membuka hutan Kebon Pasisir. Setelah Kebon Pasisir menjadi tempat terbuka, dibangunlah pemukiman baru, kemudian diberi nama Cirebon Pasisir. Diberi nama demikian, untuk membedakan dengan pemukiman yang sudah ada di wilayah hulu sungai Cirebon, yang disebut Cirebon Girang.
Semula, penduduk Cirebon Pasisir, hanya terdiri dari 52 orang santri pekerja, ditambah Ki Danusela dengan 4 orang anggota keluarganya. Setelah melihat ada pemukiman baru, rakyat dari Muara Jati dan dukuh Pasambangan, berdatangan dan pindah ke Cirebon Pasisir.
Atas kesepakatan bersama, Ki Danusela diangkat menjadi Kuwu Pertama (kuwu=sesepuh desa) di Cirebon Pasisir. Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah, dipercaya menjadi Wakil Kuwu.

/ i sedeng ki somadullah rina
kcabumyaksa lawan winasta
n ki cakrabhumi ngaran ira //

Terjemahan:
Sedangkan Ki Samadullah sebagai akhli pertanahan (pangraksabumi), mendapat gelar Ki Cakrabumi, namanya.

ki gedeng alang alang so
mah lawan ki somadullah so
nah rahine kulem makakar
ma angluru rebon lawan iwa
k ing lwah haneng wetan grha ni
ra / mwang tira ning tasik / ri
sampunya tumuluy magawe tra
si / pens lawan uyah //
Terjemahannya:
Adapun rakyat Ki Gedeng Alang alang dan rakyat Ki Samadullah, sebelum tidur, berkumpul bekerjasama menumbuk rebon dan ikan, dari sungai sebelah timur pemukiman mereka (di tepi pantai), bekerja menyelesaikan pembuatan terasi, petis dan garam.

// a teher carbon dumadi desanung akrak hetunya janmapada sakeng desantara / sarwa wangsa hang rikung/ wwang doltinuku / thanayan thani / wwang angluru rebon lawan iwak tira ning sagara akrak prahwa mandeg/ ring samangkana sira pribhumi sarwa wangsa / sarwa panganut nira / pangucap nira tulisnya / praswabhawa nira / akarya nira kunang mebedha sowang-sowang//

Terjemahan:
Kemudian, Cirebon menjadi kawasan desa yang ramai di antara desa-desa lainnya. Berbagai bangsa ada di sana. Pedagang, para petani. Mereka menumbuk rebon dan ikan. Sekarang di tepi lautnya (pesisir) ramai disinggahi perahu. Pribuminya terdiri dari berbagai suku bangsa. Macam-macam anutannya, bahasa dan tulisannya, tingkah lakunya, keakhliannya, masing masing berbeda.

Pada tahun 1369 Saka (1447 Masehi), semua jumlah penduduk yang menetap di Dukuh Cirebon, adalah 346 orang. Laki laki 182 orang dan wanita 164 orang. Rinciannya: Sunda 196 orang, Jawa  106 orang, Sumatera 16 orang, Hujung Mendini 4 orang, India 2 orang, Parsi 2 orang, Syam 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang.
Wangsa Manggala dan Tirta Manggala, menduga kata "Cirebon" berasal dari kata "Sarumban" atau "Caruban". Hal itu, mengingat penduduk Cirebon pertama, terdiri dari campuran (saruban) berbagai suku bangsa. Sehingga, pustaka yang disusunnya, diberi judul Purwaka Caruban Nagari (Negeri Caruban Permulaan). Padahal, kata "Cirebon" sendiri, sudah memberikan arti dan makna yang cukup jelas. Cirebon, ci berarti sungai; dan rebon berarti udang kecil. Cirebon, berarti sungai yang banyak udang-udang kecilnya.

Di dukuh Cirebon Pasisir, Pangeran Walangsungsang larut dengan kehidupan masyarakat kecil, dan ia memerankan dirinya sebagal Guru Agama Islam, dengan panggilan akrab Ki Samadullah. Bersama santri-santrinya, Ki Samadullah, mendirikan Tajug (Masjid), diberi nama Jalagrahan. (Jala=air; grahan=rumah), yang terletak di tepi laut.

/ kaucap ri sedeng ki cakrabhumi lawan myi nira matithi ring giri ngamparan jati ing pondok guru nira // syeh datuk khahphi ya to syeh maulana idlophi ngaran ira waneh / vrineh pituduh ring sisya nira // mangkana ling sang guru / anak ngwang/ kamung marwa samidahaken to sera baitullah ing mekahnagari i ngarabbumi //
Terjemahan:
 Teriwayatkan, Ki Cakrabumi dan adiknya (Larasantang) pergi berkunjung ke Gunung Amparan Jati, ke tempat tinggal guru mereka Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Maulana Idlofi nama lainnya, kemudian memberi petunjuk kepada muridnya itu. Sang guru mengingatkan, "Anakku, agar kamu berdua sama sama mendapatkan kesempurnaan Islam, pergilah kalian ke Baltullah negeri Mekah di tanah Arab".

               Sesudah memperhatikan nasihat gurunya, Ki Samadullah dan adiknya, pergi berlayar untuk menunaikan ibadah Haji. Sedangkan isterinya Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis, tidak bisa ikut, karena sedang hamil.
               Pangeran Walangsungsang bersama Nyai Larasantang, berlayar menuju Tanah Arab. Di tengah perjalanan, kapal layarnya singgah di negeri Mesir. Beberapa orang pembesar dari negeri Mesir, naik ke kapal layar, degan maksud yang sama, untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah. Tidak terkisahkan lamanya perjalanan. Akhirnya, kapal layar yang ditumpangi Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang, tiba di pelabuhan Jedah. Kedua kakak beradik dari Cirebon Pasisir itu, menjadi perhatian seorang Walikota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun. Syarif Abdullah, adalah keturunan Bani Hasyim, yang pernah berkuasa atas wilayah Palestina. la. menjadi Walikota Mesir, di bawah kekuasaan Sultan Mesir wangsa Ayubi, dari Bani Mameluk.
Syarif Abdullah adalah putera Ali Nurul Alim.
Ali Nurul Alim putera Jamaluddin Al Husain (Kamboja).
Jamaluddin Al Husain putera Ahmad Shah Jalaluddin.
Ahmad Shah Jalaluddin putera Amir Abdullah Khanudin.
Sedangkan Amir Abdullah Khanudin, generasi ke I7 keturunan Rasulullah Muhammad.
Kembali kepada Syarif Abdullah.
Ternyata, Syarif Abdullah telah jatuh cinta, kepada Nyai Larasantang. Terpikat oleh puteri keraton Pajajaran yang cantik jelita, samyasanya sang candreng patwelas suklapaksya (bersinar bagaikan benderangnya bulan tanggal empat belas).
Di tanah suci Mekah, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah (Walikota Mesir), sama sama tinggal di rumah Syekh Bayanullah, adiknya Syekh Datuk Kahfi. Di rumah Ki Bayanullah itulah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah Saling jatuh cinta dan mengikat janji.

…// tu-
muLuy nay larasantang pinak-
stri de nira syarifih abdullah
lawan sinungan pasengga-
han nay syariphah mudai
m/…
Terjemahan:
Selanjutnya, Nyai Larasantang diperisteri oleh Syarifah Abdullah dan diberi gelar Nyai (Hajjah) Syarifah Muda'im.

/ i sedeng sang raka nira
sinungan pasenggahan haji
abdullah iman a jawi // te
lung cndra tumuli haji
abdnllah iman mulih ring ja
wadwipa / mruang rayi nira ta
molah rikung//
Terjemahan:
Sedangkan kakaknya, diberi gelar Haji Abdullah Iman Al Jawi. Tiga bulan kemudian, Haji Abdullah Iman pulang ke Pulau Jawa . Dan adiknya menetap di sana.
.. // kahucapa nikang
lampah ira mulih ping jawa //
haji abdullah iman mande
g ing carnpanagari / ri sarnpu-
nya tekan carbon haji a-
bdullah iman dumadi rawaara-
warah agameslam ri janrnapa-
da/..
Terjemahan:
Teriwayatkan dalam perjalannya pulang menuju (Pulau) Jawa , Haji Abdullah Iman singgah di negeri Campa. Sesudahnya, tiba di Cirebon, Haji Abdullah mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.

// hana prua pasanggaman ni-
ra haji abdullah ima-
n lawan nay indang ghelis manakta
stri nay pakungwati ngaran nira //
Terjemahan:
Adapun dari perkawinannya, Haji Abdullah Iman dengan Nyai Indang Geulis, mempunyai anak perempuan, Nyai Pakungwati namanya.

Haji Abdullah Iman memperisteri puteri Ki Gedeng Alang dang, yaitu Nyai Ratnariris atau Nyai Kancanalarang. Dan perkawinannya, Haji Abdullah Iman mempunyai anak laki laki, diberi nama Pangeran Carbon (Pangeran Cirebon) .
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Ki Cakrabumi menjadi Kuwu kedua, yang kelak dikenal pula sebagai Embah Kuwu Sangkan. Tidak lama kemudian, kakeknya, Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa, wafat. Pangeran Cakrabuana mendapat warisan, semua kekayaan dari kakeknya itu. Ki Gedeng Tapa, selain sebagai penguasa Singapura, ia juga menjadi Jurulabuan yang kaya raya. Harta warisan yang diterima oleh Haji Abdullah Imam digunakan untuk membangun Cirebon Pasisir, dijadikan sebuah kota besar. la membangun Keraton, kemudian diberi nama Pakungwati, sama dengan nama puterinya. Kata pakung, adalah sebutan lain untuk udang kecil, yang banyak didapat dari sungai Cirebon.
Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Haji Abdullah Imam membentuk tentara yang dilengkapi pasukan panah. Maka jadilah Cirebon, sebagai kerajaan corak Islam pertama di Kerajaan Sunda Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja Kerajaan Sunda, sangat gembira mendengar keberhasilan puteranya. Kemudian, ia mengutus Tumenggung Jagabaya, disertai pasukan pengawalnya, untuk menobatkan puteranya. Sang Prabu mengirimkan Pratanda (tanda keprabuan) dan Anarimakna Kacakrawartyan (tanda kekuasaan), sebagai tanda pengakuan dan pengukuhan puteranya. Pangeran Walangsungsang, atau Ki Samadullah, atau Ki Cakrabumi, atau Pangeran Cakrabuana, dinobatkan sebagai Tumenggung dan diberi gelar Sri Mangana, oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja.

Artikel Terkait