Menelusuri Pulasari

Tags


Sering disebut sebutnya Gunung Pulasari (Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian sejarah, baik dalam naskah babad maupun hasil kajian para akhli, mengisyaratkan, bahwa peran Gunung Pulasari memiliki arti penting dalam sejarah.

Mengacu kepada Pupuh XVII dalam Babad Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein Djajadiningrat (1913), memberitakan Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana Hasanuddin berkelana di hutan hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang kepadanya, dikatakannya kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana Kadali   atau Kandali (Djajadiningrat,1983: 33).

Temuan arkeologis di sekitar Gunung Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajaan Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, (1996), oleh Claude Guillot dan kawan kawan.
Dalam pada itu, Tantu Panggelaran mengandung keterangan yang nrenarik, yaitu bahwa "di ujung barat Pulau Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat Gunung Mahameru yang bagian atasnya diangkut ke timur, sedangkan bagian bawahnya bernama Gunung Kailasa yaitu tempat kedudukan Siwa tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu disebutkan ternpat di luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud (penyunting naskah tersendiri) yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis meskipun kurang yakin sendiri bahwa "Nusa Jawa" itu barangkali terbatas pada daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Dan Pigeaud hanya dapat menyatakan bahwa "gunung apa yang dinamakan Kailasa itu masih harus dicari". Pada hemat kami, Tantu Panggelaran sangat sesuai dengan infornrasi dalam SB tentang adanya golongan besar pendeta di atas Gunung Pulasari, oleh karena gunung tersebut memang terletak "di ujung barat Pulau Jawa". Artinya Gunung Kailasa dapat disamakan dengan Gunung Pulasari. Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampal ke Jawa Timur kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan lama (Guillot,19y6;100).
Berdasarkan cerita rakyat Desa Cilentung, di sekitar puncak Gunung Pulasari, terdapat batu batu yang dikeramatkan. Untuk membuktikan kebenarannya, Tim berangkat dari Desa Cilentung Kecamatan Saketi, pada tanggal 8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4 orang penduduk Desa Cilentung, Tim mengadakan pendakian menu ju ke puncak Gunung Pulasari. Sepanjang perjalanan secara berturut-turut, ditemukan batu batuan yang dikeramatkan itu, antara lain:
Batu Sanghiyang Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang Arca, ada kemiripan dengan lempeng batu prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu Tulis kota Bogor. Menurut cerita rakyat Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang Arca, Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun Curug Putri. Menurut cerita rakyat, air terjun Curug Putri, dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rinak Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang Kotok. Pada salah satu permukaan batu Sanghiyang Kotok, menurut cerita rakyat, ada semacam "gambar" ayam jantan. Ayam jantan tersebut, konon milik Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara Sarebu. Batu Kiara Sarebu berbentuk empat persegi panjang, pipih, dengan luas permukaan 80 x 50 centimeter, tebal 10 centimeter. Di lokasi Batu Kiara Sarebu, dahulu kala banyak terdapat pohon kiara. Menurut cerita rakyat, diperkirakan merupakan tempat bertapa raja raja. Patut disayangkan, dikarenakan lokasi tersebut sudah dirusak oleh perambah hutan, kini pohon kiara yang tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara Jingkar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya hanya merupakan sebuah batu biasa. Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh adanya 3 buah pohon hanjuang merah (siang), yang dibentuk serupa "makam".
Batu Cangkrung. Batu Cangkrung, merupakan sebuah batu dengan salah satu permukaannya yang cekung, sehingga dapat menampung air (nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air di atas permukaan yang cekung tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan untuk minum berbagai jenis burung.
Ketika tiba di sekitar puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter hingga 1.346 meter di atas permukaan laut, terdapat dua tempat yang dikeramatkan, yaltu puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas.
Di lokasi puncak Rincik Manik, terdapat dua "makam" dengan karakter yang berbeda. Makam yang pertama, membujur arah timur barat, dan di lokasi tersebut terdapat semacam batu lumpang serta sejenis kapak genggam. Makam yang satunya lagi, membujur arah utara selatan, dan di lokasi tersebut terdapat sejenis menhir.
Di lokasi puncak Rincik Manik, juga terdapat sebuah batu yang sangat unik, sehingga 'Tim menamainya "batu magnit". Uniknya, ketika diukur menggunaltan kompas, walaupun ditempatkan di sekeliling batu ke berbagai arah mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas selalu mengarah ke batu tersebut. Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya pesawat terbang di lereng timur laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi Baru Kiara Swebu. Mungkin saja arah kompas kapal terbang yang nahas, dikacaukan oleh "batu magnit" puncak Rincik Manik.
Di lokasi puncak Roncang Omas, terdapat sebuah tempat yang dianggap "makam", dengan ditandai tumpukan batu yang sudah demikian terlantar. Di lokasi itu, banyak sampah sampah berserakan, yang ditinggallkan wisatawan lokal. Bahkan batu batuan yang ditemukan, nampak gosong, akibat seringkali digunakan sebagai tungku untuk memasak atau api unggun.
Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pernujaan lama (Guillot, 1996).
Mungkin, puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas itulah yang dimaksud oleh Guillot. Di bagian lain, Guillot mengemukakan pendapatnya tentang Situs Sanghiyang Dengdek, yang juga berlokasi di lereng Gunung Pulasari.
Selain tempat tempat keramat biasa, sata satunya tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek, yang menyandang nama "dewa" yang dipuja di situ. Ternpat pemujaan tersebut sudah lama dikenal, dengan tipe "primitif" yang umum di Jawa Barat; di atas sebuah onggokan tanah yang dikelilingi batu sungai yang besar besar, berdiri tegak sebuah batu yang tingginya kira kira satu meter dan puncaknya dipahat secara kasar berbentuk kepala; kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol, lengan lengan dan kelamin lelaki. Nama tokoh itu "si bungkuk yang terpuja" berasal dari bentuk batu yang secara alam agak membungkuk.
Betapapun menariknya tempat pemujaan tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan Gunung Pulasari menurut SB, Tantu Panggelaran dan Serat Centhini, apalagi kalau diingat bahwa pengarang kedua karya terakhir ini sudah tentu mengetahui bangunan agama yang jauh lebih canggih. Lagi pula sulit dibayangkan bahwa negeri terbuka ke dunia luar seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari arca menhir itu (Guillot,1996:100).
Pendapat Guillot terkesan merendahkan nilai kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek, dengan sebutan "si bungkuk yang terpuja", "primitif" dan "kampungan". Mungkin Guillot kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang Dengdek, tidak marnpu mendukung kebesaran temuan Banten Girang.
Haris Sukendar, dalam makalah Peranan Menhir Dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia, menerangkan makna dan fungsi menhir, antara lain sebagai berikut:
Menhir berasal dari bahasa Breton yang terdiri dari kata "men" =batu dan "hir" = berdiri, yang secara keseluruhan berarti batu tegak (berdiri) (Soejono, 1981/1982: 247). Menhir merupakan peninggalan tradisi megalitik yang sangat banyak ditemukan di berbagai situs, dan berbagai masa setelah periode neolitik (bercocok tanam) (Van der Hoop 1938). Bahkan sampai masa masa pengaruh Hindu maupun pengaruh Islam di Indonesia menhir sebagai salah satu obyek tradisi megalitik masih memegang peranan penting bahkan berkembang sampai sekarang. Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun waktu cukup panjang tersebut maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan perkembangan pada bentuk bentuk dan fungsi menhir itu sendiri. Situs situs megalitik telah menghasilkan menhir menhir yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan lain lain ditemukan menhir dalam bentuk sederhana dari batuan kasar, dan belum dikerjakan (Sukendar,1985: 92).

Dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, mengenai pitarapuja (penghormatan terhadap arwah leluhur), dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun yang jadi pujaan warga masyarakat pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang menjadi pujaannya sekehendak mereka, dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama pemujaan terhadap nenek moyang. Mereka memohon kepada nenek moyang, yang menjadi tujuan terakhir, terutama pujaan terhadap nenek moyang dari ayah dan juga mantera sihir, lengkap dengan upacara yang diperlukan serta asthapana sewana (nama sejenis mantra) dan berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita cita mereka tercapai.

Saleh Danasasmita pernah mengungkapkan, bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari menhir atau batuan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar Sunda.
Para "pemuja leluhur" ini telah memiliki tatanan kehidupan yang teratur yang kemudian tumbuh secara dinamik, ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu. Orang Jawa Barat berkenalan dengan panteon baru yang dihuni para dewa, namun seperti diungkapkan oleh Wangsakerta dan Pleyte, rakyat banyak tetap setia memuja roh leluhurnya. Sampai sekarang hal ini masih tampak cukup jelas (Danasasmita,1984: 42).

Selanjutnya Saleh Danasasmita memberikan gambaran, tentang kemungkinan terjadinya transisi keagamaan, antara lain sebagai berikut:
Dalam abad ke 13 atau sedikitnya abad ke 14 raja raja di Jawa Barat sudah mulai mempertaruhkan nasib negaranya di kabuyutan atau di sasaka domas. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya berasal dari peninggalan para leluhur yang dimanfaatkan terus atau dimanfaatkan kembali. Dengan kabuyutan sebagai "pusat dangiang", mereka makin menggeser jauh dari garis Hinduisme. Lingga dan yoni gaya Hindu ditinggalkan; mereka kembali kepada penggunaan disolit yang berupa pasangan tonggak batu dengan lempeng batu. Kalau tempat tempat seperti itu dilengkapi patung patung, bukanlah patung dewa dewa Hindu yang ditempatkannya melainkan patung patung nenek moyang. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya ditandai oleh adanya petak bersegi empat mirip "kuburan" (Danasasmita,1984: 42).

Mengacu kepada pendapat Saleh Danasasmita, di seputar Gunung Pulasari Pandeglang, terdapat peninggalan kepurbakalaan dimaksud, antara lain berupa menhir:
1.    Sanghiyang Dengdek. Lokasi di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi.
2.    Sanghyang Healeut. Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3.    Batu Pahoman. Lokasi di Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy, Kecamatan Cadasari.
4.    Batu Goong. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
5.    Batu Lingga. Lokasi di Desa Batulingga, Kecamatan Banjar.
6.    Batu Cihanjuran. Jumlah 3 buah menhir, lokasi di mata air Cihanjuran, Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi.
7.    Makam Gunung Cupu. Lokasi di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8.    Batu Rincik Manik. Posisi di puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian + 1300 meter di atas permukaan laut.
9.    Sanghiyang Arca. Lokasi di ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan Saketi.

Berdasarkan kajian geografi sejarah, pada masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai barat Pandeglang, tentunya berbeda dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara geologis, sangat memungkinkan terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa kali letusan gunung Krakatau, Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung Aseupan. Terhanyutnya pasir, debu, kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras sungai Cibama, Cilabuan, Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan selebar antara 8 10 kilometer di sepanjang pantai barat Gunung Pulasari.
Keadaan tanah situs Sanghiyang Dengdek, berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut, berjarak 14 kilometer dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang Dengdek pada saat 2000 tahun yang lalu, sebelum terjadi pengendapan di sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya hanya 3 kilometer dari tepi pantai. Berpedoman kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa I sarga 1, yang menyatakan "pernah adanya masyarakat pesisir pantai barat", dapat diduga bahwa Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki Tirem dan masyarakatnya bermukim), berlokasi di arcal pemukiman Sanghiyang Dengdek.

Artikel Terkait