Melalui Dekrit Presiden Nomor 150 Tanggal 5 Juli Tahun 1959,
berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945 di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Istilah Undang-Undang Dasar 1945 yang menggunakan angka
“1945” di belakang Undang-Undang Dasar, baru muncul pada awal tahun 1959,
ketika pada 19 Februari 1959 Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara
bulat mengenai “pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945”. Keputusan pemerintah ini disampaikan kepada
Konstituante pada 22 April 1959.
Dengan demikian, pada saat Undang-Undang Dasar 1945 disahkan
pada 18 Agustus 1945 hanya bernama “Oendang-Oendang Dasar”. Begitu pula ketika
Undang-Undang Dasar tercantum dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7
tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih “Oendang-Oendang Dasar”
tanpa ada Tahun 1945. Baru setelah Dekrit Presiden 1959 menggunakan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75
Tahun 1959.
Dalam perjalanan bangsa selanjutnya, sejak dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945, di dalam konsiderannya mengakui bahwa Piagam Jakarta
126
menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, di awal pemberlakuan
Undang-Undang Dasar 1945 sangat kondusif, dan bahkan dalam perjalanannya,
menjadi keinginan seluruh pihak, termasuk Presiden, DPR, dan MPR untuk selalu
tetap melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian
Bangsa Indonesia. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Presiden di samping
berkedudukan sebagai “Kepala Negara” juga berkedudukan sebagai “Kepala
Pemerintahan”. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah
MPR. Presiden adalah “Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak dapat selalu bersidang setiap hari.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan tugas sehari-hari diserahkan kepada
Presiden sebagai mandataris MPR. Hanya dalam hal-hal tertentu saja, menurut
Undang-Undang Dasar 1945, harus dikerjakan sendiri oleh MPR, yaitu melaksanakan
kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat (2), menetapkan Undang-Undang Dasar dan
garis-garis besar haluan negara (Pasal 3), memilih Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 6), dan mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37).
127
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, di dalam
menyelenggarakan tugasnya sehari-hari, dibantu oleh menteri-menteri (Pasal 17
Ayat (1)). Sebagai pembantu Presiden, menteri-menteri ini, tidak bertanggung
jawab kepada DPR. Sebagai pembantu Presiden, menteri-menteri bertanggung jawab
kepada Presiden. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan atas kehendak
Presiden sendiri (Pasal 17 Ayat (2)).
DPR menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan persetujuan
kepada Presiden dalam membuat Undang-Undang (Pasal 5 Ayat (1) juga Pasal 20
Ayat (1)). Beberapa hal tertentu menurut Undang-Undang Dasar 1945 harus diatur
dengan undang-undang. Ini berarti bahwa apabila ingin dibuat aturan tentang
hal-hal tersebut, Presiden harus memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Terhadap hal-hal lain yang menurut Undang-Undang Dasar harus
diatur dengan undang-undang, tentu saja tidak ada halangan apabila pembentuk
undang-undang ingin mengatur hal tersebut dengan undang-undang, baik inisiatif
tersebut datang dari Presiden maupun dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain sebagai Kepala Pemerintahan, dalam menjalankan
kekuasaan Pemerintahan, Presiden harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar (Pasal 4), dan harus pula tunduk kepada Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan keputusan-keputusan lain dari Majelis Permusyawaratan Rakyat.
128
Pemberlakukan Undang-Undang Dasar 1945 cukup lama bertahan,
sejak Dekrit Presiden 1959 sampai 1999, bila dibanding dengan masa-masa awal
pemberlakuan Undang-Undang Dasar sejak 1945 sampai 1959. Bahkan dalam
pelaksanaannya, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif selalu menekankan
agar pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 harus dilaksanakan secara murni dan
konsekuen.
Komitmen untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekuen tersebut, salah satunya diwujudkan dengan ketatnya aturan
terhadap keinginan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu terlebih dahulu harus melalui referendum, sebagaimana tercantum dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Namun reformasi 1999, telah membawa perubahan yang cukup
mendasar, karena salah satu tuntutannya adalah melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 karena sebagian dari isi Undang-Undang Dasar 1945
dipandang perlu disesuaikan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan
perpolitikan waktu itu kurang relevan sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Karena tuntutan tersebut, pada 1999 sampai 2002, MPR melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan sejak itu pula mulai terjadi perubahan
perkembangan ketatanegaraan di Indonesia.