Periode Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950
- 5 Juli 1959)
Bentuk Negara Federasi dan Penerapan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Serikat (1949) hanyalah bersifat sementara, karena
sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menginginkan bentuk Negara
Kesatuan. Hal ini terbukti dengan negara Republik Indonesia Serikat yang tidak
bertahan lama karena negara-negara bagian tersebut menggabungkan dengan
Republik Indonesia, sehingga dari 16 negara bagian menjadi hanya 3 negara,
yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera
Timur. Keadaan ini menambah semakin merosotnya wibawa negara Republik Indonesia
Serikat.
Pada akhirnya, dicapai kesepakatan antara Republik Indonesia
Serikat yang mewakili Negara Republik Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
dengan Negara Republik Indonesia untuk kembali mendirikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Langkah selanjutnya, dibuatlah kesepakatan yang tertuang
dalam perjanjian pada 19 Mei 1950 untuk mendirikan kembali negara kesatuan,
sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945.
Bagi negara kesatuan yang baru terbentuk, tentu diperlukan
sebuah undang-undang dasar yang baru. Untuk kebutuhan tersebut dibentuk Panitia
bersama yang bertugas menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian
disahkan pada 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat dan selanjutnya
123
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia
Serikat pada 14 Agustus 1950, Dengan disahkannya itu, berlakulah Undang-Undang Dasar
Sementara pada 17 Agustus 1950.
Pemberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950)
merujuk kepada Pasal 190, Pasal 127 a, dan Pasal 191 ayat (2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat yaitu pasal-pasal tentang perubahan Undang-Undang
Dasar. Dengan Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Serikat 1950 No. 56) secara resmi UUDS 1950 berlaku sejak 17 Agustus
1950.
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa secara formal UUDS 1950
merupakan perubahan dari Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Dan hal yang tidak berbeda antara kedua konstitusi ini
(Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan UUDS 1950) adalah bahwa
keduanya bersifat sementara. Tentang kesementaraan UUDS 1950, dengan jelas
disebutkan pada pasal 134 UUDS 1950 yang memerintahkan Konstituante bersama
dengan pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia untuk
menggantikan UUDS 1950 yang berlaku saat itu. Hal ini disebabkan karena tim
yang merumuskan UUDS 1950 merasa kurang representatif, sebagimana tim perumus
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Berbeda dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949,
yang tidak sempat membentuk Konstituante, dalam UUDS 1950, merealisasikan Pasal
134 di atas, dilaksanakan
124
pemilihan umum pada Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante. Pemilihan umum ini dilaksanakan berdasarkan Undang-undang No. 7
Tahun 1953. Dan hasilnya pada 10 November 1956 di Bandung konstituante
diresmikan.
Meskipun telah bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun
namun Konstituante belum bisa menyelesaikan tugasnya, situasi di tanah air
berada dalam keadaan genting, sehingga dikhawatirkan bisa timbul perpecahan
bangsa dan negara. Belum lagi konstituante selalu gagal memecahkan masalah
pokok dalam menyusun undang-undang dasar baru, karena tidak pernah mencapai
kuorum 2/3 sebagaimana yang diharuskan. Untuk mengatasi hal tersebut, Akhirnya
pada 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan amanat atas nama pemerintah
Republik Indonesia di depan sidang pleno Konstituante yang berisi anjuran agar
Konstituante menetapkan saja Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dalam tiga kali
pemungutan suara untuk memberlakukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu pada
30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959, Konstituante tidak juga berhasil mencapai
kuorum 2/3 yang diperlukan.
Sementara situasi tanah air waktu itu sama sekali tidak
menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan, maka pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
salah satu isinya adalah kembali menggunakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang berlaku di
Indonesia. Dasar hukum yang
125
dijadikan rujukan untuk mengeluarkan Dekrit ini adalah
Staatsnoodrecht (hukum tata negara darurat).