Susuhunan Jati wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan
Badra tahun 1490 Saka (19 September 1568 Masehi). Pada mulanya, calon pengganti
Susuhunan Jati, diharapkan oleh puteranya, yaitu Pangeran Muhammad Arifm yang
bergelar Pangeran Pasarean. Pangeran Muhammad Arifin atau Pangeran Pasarean,
adalah putera Susuhunan Jati, dari Nyai GedengTepasan. Akan tetapi harapan itu
tidak tetpenuhi, karena "putera mahkota" Pangeran Pasarean, wafat
dalam usia muda.
Latar belakang tragedi, diawali terbunuhnya Sultan
Trenggono, oleh bocah pengiringnya, ketika mengadakan penyerangan ke Pasuruan.
Kemudian, terjadilah huru hara di kalangan kerabat keraton Kesultanan Demak.
Calon pengganti Sultan Trenggono adalah puteranya, Sunan Prawoto. Kekosongan
tahta Demak, dimanfaatkan oleh Arya Penangsang, Bupati Jipang, putera Pangeran
Sekar (putera Raden Patah). Pangeran Sekar, adalah tokoh yang dibunuh oleh
Sunan Prawoto, untuk memperlancar kenaikan tahta ayahnya, Sultan Trenggono.
Atas restu gurunya, Sunan Kudus, Jipang menyerang Demak, dan Prawoto tewas di
tangan Arya Penangsang. Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat), adiknya
Prawoto, tewas pula. Pada saat peristiwa itu terjadi, putera mahkota Cirebon,
Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), sedang berada di Demak, ia pun tewas di
tangan Arya Penangsang, karena berupaya membela Prawoto. Peristiwa itu sangat
melukai hati Susuhunan Jati Cirebon.
Calon pengganti Susuhunan Jati lainnya, diharapkan adalah
cucunya, yang bergelar Pangeran Suwarga. Pangeran Suwarga, adalah putera
Pangeran Pasarean dari Ratu Nyawa. Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, adalah janda
dari almarhum Pangeran Bratakelana. Sedangkan Pangeran Bratakelana, adalah
putera Susuhunan Jati, dari Syarifah Bagdad atau Syarifah Fatimah. Syarifah
Fatimah, adalah puterinya Syekh Datuk Kahfi dan Hadijah.
Pangeran Suwarga, berkedudukan sebagai Pangeran Dipati
(putera mahkota) Pakungwati Cirebon. Akan tetapi ia wafat tahun 1565 Masehi,
mendahului kakeknya, Susuhunan Jati.
Calon pengganti Susuhunan Cirebon lainnya, adalah Pangeran
Emas atau Panembahan Ratu, putera Pangeran Suwarga dari Wanawati Raras.
Wanawati Raras, adalah puterinya Fadhillah Khan dari Ratu Ayu. Karena Pangeran
Emas, pada waktu itu masih kanak kanak, pemerintahan Pakungwati Cirebon, untuk
sementara ditangani oleh Fadhillah Khan.
Fadhillah Khan alias Maulana Fadhillah Al Paseh alias Wong
Agung Paseh alias Tubagus Paseh, menjadi penguasa ketiga Pakungwati Cirebon,
dengan gelar penobatan: Fadhillah Khan Al Paseh ibnu Maulana Makdur Ibrahim Al
Gujarat. Kedudukan tertinggi itulah, yang menyebabkan adanya anggapan di
kemudian hari, bahwa "Sunan Gunung Jati" (Susuhunan Jati) itu adalah
"Fatahillah" (Fadhillah Khan).
Tampilnya Fadhillah Khan sebagai Sultan Pakungwati Cirebon,
secara terselubung, menjadi masalah kerabat keraton lainnya. Naik tahtanya
Fadhillah Khan, sebagai Susuhunan Cirebon, dianggap tidak semestinya.
Mengingat, Fadhillah Khan adalah orang Pasai Sumatera, juga warga Demak.
Sedangkan pada waktu itu, masih ada calon pengganti yang lebih berhak, yaitu:
Pangeran Cirebon atau Pangeran Carbon, putera Pangeran
Cakrabuana (pendiri dan penguasa pertama Pakungwati Cirebon), yang saat itu
berkedudukan sebagai Senapati Pakungwati Cirebon; dan Pangeran Sabakingkin atau
Panembahan Maulana Hasanuddin, putera Susuhunan Jati dari Nyai Kawung Anten.
Melihat kenyataan seperti itu, Sang Adipati Wahanten Syekh
Maulana Hasanuddin, akhirnya memproklarnirkan Kesultanan Surasowan Wahanten
(Banten), sebagai negara yang mahardhika (merdeka), berdaulat, melepaskan diri
dari kekuasaan Pakungwati Cirebon. Sekaligus, melepaskan diri dari pengaruh
politik Demak. Wahanten Pasisir, sudah berubah menjadi purasaba (pusat
pemerintahan) Kesultanan Surasowan, perkembangan dunia perdagangannya semakin
pesat. Sendi sendi Islam, telah mewarnai kehidupan kenegaraan Surasowan.
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad, martabat pedagang bukan lagi
pekerjaan "kasta kelas tiga Waisa". Surasowan, berhasil menjadi
negari niaga maritim, mampu berdiri sendiri, sebagai pusat niaga di kawasan
Nusantara.
Pada tahun 192 Saka (1570 Masehi), Panembahan Hasanuddin
Sultan Surasowan Wahanten watat, digantikan oleh puteranya. Pangeran Yusuf:
Pada tahun yang sama, Sultan Pakungwati
Cirebon Fadhillah Khan pun wafat, digantikan oleh Pangeran Ernas atau
Panembahan Ratu.
Pangeran Yusuf, adalah putera Panembahan Hasanuddin dari
permaisuri puteri Indrapura. Sedangkan dari isterinya yang kedua, Ratu Ayu
Kirana atau Ratu Mas Purnamasidi (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak),
Panembahan Hasanuddin memperoleh beberapa orang putera: Ratu Winahon, - kelak
menjadi isteri Tubagus Angke, Bupati Jayakarta (Jakarta); dan Pangeran Arya, -
yang diangkat anak oleh Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran
Japara.
Panembahan Hasanuddin, dipandang oleh masyarakat Banten,
seperti tokoh Siliwangi oleh orang Sunda lainnya di Priangan. Hampir segala hal
yang "aneh" atau "ajaib", bila tidak dikenal asal usulnya,
dialamatkan kepada Panembahan Hasanuddin. Misalnya, kisah tentang watu gilang,
yang ditempatkan di depan Istana Surasowan. Menurut "Serat Banten",
batu itu bekas sajadah yang digunakan oleh Hasanuddin, ketika ia bersalat di
permukaan laut. Permukaan batu yang mula mula kasar itu, dengan "doa"
Hasanuddin, mendadak berubah menjadi licin, mengkilap dan berseri. Itulah kisah
watu gilang sriman sriwacana yang sebenarnya diboyong oleh Panembahan Yusuf
dari Pakuan. Bagi penulis "Serat Banten", bukan Maulana Yusuf yang
"menaklukkan" Pakuan, melainkan Hasanuddin. Karena Yusuf hanyalah
menjalankan tugas dari ayahnya. Karena itulah, pada saat Pakuan jatuh tahun
1579 Masehi, dalam kisah "Serat Banten", Panembahan Hasanuddin
dibiarkan "tetap hidup", walau sesungguhnya tokoh tersebut, telah
wafat tahun 1570 Masehi dalam usia 92 tahun (Danasasmita,1964: 48).
Sejak Pangeran Yusuf menjadi Panembahan Surasowan, telah
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Satu persatu dari raja daerah bawahan
Kerajaan Sunda (Pajajaran), berhasil ditundukkan. Panembahan Yusuf menjadi
penguasa kedua Kesultanan Surasowan, dalam tahun yang sama dengan Panembahan
Ratu, di Pakungwati Cirebon.
Dari segi hubungan kerabat, Panembahan Ratu adalah suan
(anak adik) Panembahan Yusuf. Panembahan Ratu, tidak berusaha menjalin
kekerabatan dengan Panembahan Yusuf. la lebih mencurahkan perhatiannya ke
Pajang, kesultanan yang baru sebagai pengganti Kesultanan Demak. la murid dan
sekaligus menantu Adiwijaya, penguasa Kesultanan Pajang.
Selain ditinggallcan oleh Surasowan, Panembahan Ratu
Pakungwati Cirebon, kelak ditinggalkan pula oleh Sumedanglarang, yang
memisahkan diri sebagai negara merdeka. Pakungwati Cirebon di bawah
pemerintahan Panembahan Ratu, sudah demikian menurun kharismatiknya.
Tokoh tokoh yang menandatangani perjanjian Cirebon Pajajaran
semua telah meninggal. Panembahan Yusuf lebih leluasa untuk menentukan masa
depan Kesultanan Surasowan. Untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, ia menyusun
rencana matang selama 9 tahun, untuk mengambil alih sisa dari kekuatan Kerajaan
Sunda Pajajaran.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah
demikian maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari
segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara
(Sutjipto,1961:13; dalam Michrob,1993: 81).
Situasi perdagangan di Karangantu, sebagai salahsatu
pelabuhan Surasowan, digambarkan sebagai berikut:
1. Pedagang
pedagang dari Cina, berdagang uang kepeng (uang yang terbuat dari logam),
porselen, sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung,
selop, kipas, kertas, dan sebagainya. Ketika kembali ke negerinya, mereka
membeli lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan gading
gajah;
2. Orang Arab dan
Persia, berdagang permata dan obat-obatan;
3. Orang Gujarat,
menjual kain dari kapas, sutera, dan kain putih dari Coromandel.
Ketika mereka kembali, membeli rempah rempah; Sedangkan
orang Portugis berdagang aneka kain dari Eropa & India.
Barang-barang dari luar negeri ini diambil oleh pedagang
pedagang dari Jawa, Makasar, Sumbawa, Palembang dan lainnya. Ke Banten
pedagang-pedagang ini membawa garam dari JawaTimur, gula dari Jepara dan
Jayakarta, beras dari Makasar dan Sumbawa, ikan kering dari Karawang,
Banjarmasin dan Palembang. Minyak kelapa dari Belambangan, rempah rempah dari
Maluku, lada dan Lampung dan Solebar, kayu cendana dan kepulauan Sunda kecil,
gading gajah dari Andalas, tenunan dan Bali dan Sumbawa, timah putih dan timah
hitam dan Perak, Kedah dan Selong di Malaka, besi dari Karimata, damar dari
Banda dan Banjarmasin (Pane, 1950:182).
Dari awal dinasti Maulana Yusuf inilah Banten menjadi ramai,
baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang. Oleh karenanya dibuatlah aturan
penempatan penduduk sesuai dengan keakhlian dan asal daerah penduduk itu
(Ambary,1977: 448). Sehingga tumbuhlah perkampungan untuk orang India,
perkampungan orang Pegu, orang Arab, Turki, Persia, Siam, Cina, dan sebagainya.
Di samping ada pula perkampungan untuk orang Melayu, Ternate, Banjar, Bugis,
Makasar, Bali (Tjandrasasmita, 1975: 160).
Tembok keliling kota diperkuat dan dipertebal, demikian juga
tembok benteng di sekehling istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan
luar bata dan batu karang dengan parit-parit di sekelilingnya (Michrob,1983:
31).
Di samping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Maulana
Yusuf pun mendorong rakyatnya untuk membuka daerah daerah baru bagi persawahan,
sehingga sawah di Banten bertambah luas sampai melewati daerah Serang sekarang.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah sawah tersebut, dibuatlah
terusan terusan irigasi dan bendungan-bendungan (Djajadiningrat,1983: 38 dan
59).
Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu
danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dan sungai Cibanten dialirkan
melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian dibagi ke daerah-daerah di
sekitar danau. Tasikardi juga digunakan bagi pemenuhan kebutuhan air bersih
bagi kebutuhan masyarakat di kota. Dengan melalui pipa pipa yang terbuat dan
terakota, setelah dibersihkan/diendapkan di pengindelan abang dan pengindelan
putih, air yang sudah jernih tersebut dialirkan ke keraton dan tempat tempat
lain di dalam kota. Di tengah danau buatan tersebut terdapat pulau kecil yang
digunakan untuk tempat rekreasi keluarga keraton (Michrob,1981: 56 58).
Pada masa Maulana Yusuf, strategi pembangunan lebih
dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.
Dengan demikian, gangguan keamanan, dapat diatasi dengan baik.
Setelah keadaan dalam negerinya dibenahi, rencana untuk
rnemperluas wilayah kekuasaannya, mulai dipersiapkan. Panembalran Yusuf
memobilisasi pasukan besar angkatan perang Surasowan. Sasaran utama
penyerangan, adalah Pakuan, ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran.
Laskar Surasowan Wahanten, dari sejak pemerintahan ayahnya,
terkenal kemampuannya dalam melakukan serangan kilat, bergerak cepat dari satu
wilayah ke wilayah lainnya. Catatan VOC dalam bagian kedua abad ke 17 penuh
dengan istilah rover, yang semuanya dialamatkan kepada laskar Banten, karena
mereka dianggap sebagai pengganggu ketertiban di daerah kekuasan Kompeni.
Situasi di Kerajaan Sunda Pajajaran, setelah Sang Prabu
Nilakendra wafat, digantikan oleh puteranya, Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya
Suryakancana. Pada masa pemerintahannya, Prabu Ragamulya Suryakancana, tidak
tinggal di ibukota Pakuan Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh
karena itulah, ia lebih dikenal dengarr sebutan Pucuk Umun Pulasari. Disebut
demikian, karena ia memilih tinggal di lereng gunung Pulasari (Pandeglang). Di
sanalah ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran ditempatkan, sebagai pusat
pemerintahan yang baru.
Prabu Ragamulya Suryakancana, menjadi raja Sunda (Pajajaran)
sudah tidak lagi mengenakan mahkota. Karena mahkota turun temurun dari Sri
Baduga Maharaja, diamankan oleh panglima perang Jayaprakosa, beserta ketiga
saudaranya, dibawa mengungsi ke wilayah Sumedanglarang. Kelak, mahkota tersebut
dikenakan oleh Prabu Geusan Ulun sebagai Narendra Sumedanglarang.
Serbuan laskar Surasowan Wahanten, dipimpin langsung oleh
Panembahan Yusuf. Kota Pakuan Pajajaran, sudah ditinggalkan oleh para pembesar
kerajaan. Bila kenyataan yang terjadi, Keraton Pakuan Pajajaran dibumi
hanguskan oleh laskar Surasowan Wahanten, sangat memungkinkan. Bagi Panembahan
Yusuf, merupakan upaya "pembersihan", terhadap kedzaliman. la tidak
menghendaki, kebesaran dan nama baik Sri Baduga Maharaja, dinodai oleh para
penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran.
Dari peninggalan yang ada, laskar Surasowan Wahanten,
tampaknya tidak menggangu "tempat keramat" di dalam kota. Terbukti
masih tersisanya prasasti Batutulis Kota Bogor. Hanya kepala patung Ki
Purwagalih yang ditanggalkan.
Kemudian mereka memboyong Batu Gilang atau Palangka batu
Sriman Sriwacana ke ibukota Surasowan. Dengan diboyongnya batu tersebut, maka
di kota Pakuan, tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Palangka itu, menjadi
tanda "keabsahan" Panembahan Yusuf, sebagai ahli waris dan penerus
kekuasaan raja raja Pajajaran. Watu Gilang Sriman Sriwacana tersebut, terbuat
dari batu andesit ukuran: 200 x 160 x 20 centimeter. Sekarang, Watu Gilang
"tanda keabsahan Panembahan Yusuf sebagai penerus tahta Kerajaan Sunda
Pajajaran", tergeletak terlantar di bekas halaman keraton Surasowan.
Padahal, batu tersebut mempunyai nilai spiritual, yang dahulu digunakan untuk
upacara penobatan Raja Raja Sunda.
Akibat serangan laskar Surasowan Wahanten, sebagian penduduk
kota Pakuan yang tersisa, mengungsi ke pantai selatan, di Cisolok dan Bayah.
Sampai sekarang, keturunannya masih merupakan kaum adat, dan menamakan
pemukimannya: Kampung Ciptarasa. Menurut cerita leluhurnya, mereka meninggalkan
kota Pakuan, ketika kota itu diserang laskar Surasowan Wahanten. Jejak peristiwa
itu, secara samar samar, dikisahkan Ki Baju Rambeng, dalam Pantun Bogor.
Sesungguhnya, kota Pakuan telah "berhenti
berfungsi" sebagai ibukota kerajaan, sejak Prabu Nfakendra
meninggalkarmya. Raja Kerajaan Sunda Pajajaran yang terakhir, beribukota
d.Puasari, Pandeglang. Prabu Ragamulya Surya Kancana, tentunya tidak membuat
babak baru, untuk membangun Kerajaan Sunda Pajajaran. la hanya berlindung dan
mempertahankan hidupnya di salah satu kerajaan daerah bawahannya. Namun mengapa
ia justeru lari ke arah barat, ke suatu daerah yang lebih dekat ke sarang
musuhnya?
Mungkin Pucuk Umun Masari tidak memposisikan dirinya sebagai
raja "pemimpin pemerintahan". la hanya sebagai "rajaresi",
neangan marga lantaran (mencari keutamaan jatidiri yang sesungguhnya), sambil
menyongsong ajal tiba. Mungkin ia pergi ke Pulasari, hanya berdasarkan getaran
"panggilan masa silam", bahwa di sanalah, di Pulasari "dangiang
Sunda wiwitan" (kekuatan Sunda awal) tersimpan. Semua atribut kebesaran
kerajaan sudah ditanggalkan. la hanya seorang "raja pendeta"
bersahaja, yang meninggalkan urusan duniawi.
Prabu Ragamulya Suryakancana, bersama pembesar dan
pengikutnya yang setia, hanya berusaha mempertahankan diri, menangkis serangan
laskar Surasowan Wahanten. Akan tetapi, "Pajajaran napak uga" (tiba
saat berakhir). Sisa kekuatan Kerajaan Sunda Pajajaran di purasaba Pulasari,
dibinasakan.
Sekelompok kecil yang bernasib baik, menyelamatkan diri ke
Pegunungan Kendeng di Banten Selatan, bergabung bersarna masyarakat "Sunda
Wiwitan" di Mandala Kanekes. Di sanalah yang sesungguhnya "Tanah
Suci" religi Sunda, satu satunya pilihan untuk menemukan ketentraman hidup
yang hakiki.
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa
saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran lenyap dari muka bumi
tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Peristiwa runtuhnya
Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul `awal 987
Hyriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
Sang Prabu Ragamulya Suryakancana alias Pucuk Umun Pulasari,
belum tentu mengetahui riwayat Sang Panghulu Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya,
penguasa masyarakat Sunda pertama. Akan tetapi, napas tertua bentuk kerajaan,
terlahir dan berawal di bumi Pulasari Pandeglang. Setelah riwayatnya mengalami
pasang surut selama 1450 tahun, akhirnya berpusara di tempat lahir.
Prabu Ragamulya Suryakancana atau Pucuk Umun Pulasari,
menjadi penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran selama 12 tahun, dari tahun 1489 Saka
(1567 Maselv) hingga tahun 1501 Saka (1579 Masehi). Sedangkan Panembahan Yusuf,
menjadi penguasa Surasowan Wahanten selama 10 tahun, dari tahun 1492 Saka (1570
Masehi), hingga tahun 1502 Saka (1580 Masehi).