Saleh Danasasmita berpendapat tentang Hinduisme, dalam buku
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 1(1984), antara lain
sebagai berikut:
Poerbatjaraka dalam desertasmya Agastya in den Archipel
(1921) mengemukakan, bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang
Kumbayana dari negeri Atas angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa
awal sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India
Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah daerah seberang (di luar
India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok
wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya
yang selalu menating kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut
wayang Kumbayana yang lancip, meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang
Kumbayana, kendi itu dihilangkan, untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984:
29).
Tentang adanya sentuhan Hinduisme di Propinsi Banten, Claude
Guillot membahas pernah ditemukannya arca arca di kawasan Gunung Pulasari
Pandeglang, melalui pemberitaan Brumund dan Van Hoevel, antara lain sebagal
berikut:
Sesungguhnya, pada paro pertama abad ke 19, dua pakar yang
terkenal, Brumund dan Van Hoevell, menyebut arca arca lama yang menghiasi taman
asisten residen di Caringin. Arca itu, yang menggambarkan Brahma, Siwa,
Agastya, Durga dan Ganesha, beberapa tahun kemudian diangkut ke Museum
Bataviaasch Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di anjung sositet
Harmonie, dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Beberapa puluh tahun
kemudian, asisten residen Caringin itu dalam suratnya kepada Bataviaasch
Genootschap, memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah ditemukan di
Cipanas di dekat kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke Batavia, kecuali
satu, yang karena terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungal Labuan dan sekarang
masih ada di sana. Lagi pula orang-orang Cina tidak mau mengangkutnya ke
Batavia, karena yakin bahwa barang siapa berani melakukannya pasti mendapat
bencana di laut". Beberapa bulan kemudian arca itu, ternyata sebuah yoni,
diangkut ke museum pula, sekalipun orang Cina berkeberatan, dan didaftarkan
dengan nomor 361 (Guillot,1996:101).
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka, ada
keterkaitan dengan hasil temuan arca-arca di Gunung Pulasari, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Brumund dan Van Hoevell. Pemujaan terhadap Agastya, adalah
merupakan sekte lainnya dalam agama Hindu. Bila dikaji lebih dalam, kemungkinan
besar kedua pemikiran tersebut, bisa dijadikan acuan bagi penelitian
Salakanagara.
Selanjutnya R Friederich pada tahun 1850 mengemukakan
pendapatnya, tentang proses Hinduisasi sebuah `kerajaan' di pesisir Selat
Sunda, antara lain sebagai berikut:
Lebihjauh lagi bolehlah kami ajukan hipotesis, bahwa pada
masa hutan rimba pegunungan Sunda dihuni orang-orang biadab yang mirip kera
(ingatlah dongeng Raja Lutung Kasarung yang diringkaskan oleh Raffles), maka
sejumlah pendatang Hindu menetap di pantai pantai Sunda yang elok, dan
mendirikan sebuah kerajaan yang makmur berkat perdagangan di Selat Sunda
(Friederich, 1850, dalam Guillot, 1996; 104).
Sayangnya, Friederich terlalu memaksakan temuan Manusia
Purba dengan mitos Sunda cerita Lutung Kasarung. Kedua-duanya, ada di wilayah
disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany Michrob, telah mengidentifikasi wilayah pesisir
barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan Masalalu Banten (1993), mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Pulau Panaltan merupakan pulau yang langsung berhubungan
dengan Selat Sunda yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha
termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian
geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ± 26
juta tahun lain, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada
berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jeris jenis batuan
andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial (Michrob,1993: 33).
Pada materi yang sama, Anwas Adiwilaga mengemukakan
pendapatnya, kemudian dibahas oleh Yogaswara, antara lain sebagai berikut:
Di Pulau Panaitan pada kira kira tahun 130 M pernah berdiri
satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat Kerajaan ini bernama
Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak
di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman I (130 168 M). Daerah kekuasannya mehputi: Kerajaan
Agrabinta (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan
daerah ujung selatan Surnatera. Dengan demikian, seluruh Selat Sunda dapat
dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelan Aji Raksa Gapurasagara (Raja
Penguasa Gerbang Lautan) (Yogaswara, dalam Michrob,1993: 33),
Selanjutnya, Anwas Adiwilaga menduga Rajatapura berada di
Pulau Panaitan (Pandeglang) (Yogaswara, 1978: 38), dengan ditemukannya patung
Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan sabit) di dahinya, di
Pulau Panaitan. Padahal keberadaan patung patung itu tidak menolong keadaan,
karena ada yang menduga bahwa patung patung itu berasal dari abad ke 7 Masehi
(Danasasrnita, 1984: 3334). Bahkan dalam hasil penelitian lainnya, dua arca
tersebut diperkirakan berasal dari abad ke 14 atau ke 15 Masehi (Vorderman,1894
dalam Guillot,1996: 106).