Saleh
Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran
Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan
Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar
Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11
Maret 1986.
Menurut
Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum.
Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai
Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa
naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681.
Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu
Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama
penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama
Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan
tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran
Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa tokoh
Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam pertengahan
kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.
Dr.
F. de Haan dalam buku Priangan II (1912), membicarakan tokoh Pangeran
Wangsakerta dengan sebutan Depati Topati. Dalam sumber Kompeni lainnya, ia
lebih dikenal sebagai de derde Prins van Cheribon (Pangeran
yang ketiga dari Cirebon).
Catatan Harian Kompeni, Daggh Register geharden int
Casteel Batavia: 19 November 1677 memuat laporan Caeff (wakil Kompeni di
Banten), yang memberitakan: bahwa de derde Prins baru saja
kembali ke Cirebon dari kunjungannya ke keraton Banten. Namun dalam Dagh
Register 21 Desember 1677 Caeff melaporkan, bahwa berita tersebut
"tidak benar". Karena kesal, De Haan mengumpat Caeff; Di mana orang
itu menaruh matanya? (War zijne oogen gehad?).
Mengenai hubungan antara Pangeran Wangsakerta dengan kerabat
keraton Banten, De Haan (1912, 260 paragraf 425) mengutip laporan B. van der
Meer dan Jan Mulder, bahwa Sultan Anom masih terhitung kerabat keraton Banten.
Sedangkan Dipati Topati, sama sekali bukan.
Di lingkungan terbatas kerabat keraton, dikenal adanya
sebuah naskah wawacan, dikisahkan bahwa Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom)
berbeda ibu dengan Pangeran Mertawijaya (Sultan Sepuh) dan Pangeran
Wangsakerta. Ibunda Pangeran Kertawijaya berasal dari Banten, sedangkan Ibunda
kedua orang saudaranya berasal dari Mataram. Kekisruhan tersebut menunjukkan
bahwa riwayat hidup Pangeran Wangsakerta, termasuk kedudukannya di Cirebon,
masih sangat kabur.
Untuk menjernihkan kekisruhan tersebut, kita perhatikan
keterangan dari Pangeran Wangsakerta sendiri, dalam naskah Pustaka Nagara
Kretabhumi parwa I sarga 4 (Halaman 86-88) yang terjemahannya sebagai berikut:
Telah dikisahkan terdahulu bahwa Puteri Ratu Ayu Sakluh
berjodoh dengan Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Mataram. Dari
perkawinan tersebut, lahir Sunan Tegalwangi yaitu Amangkurat yang pertama.
Sunan Tegalwangi berputera Amangkurat kedua yang kemudian menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Penguasa Mataram. Puteri Sunan Tegalwangi berjodoh
dengan Pangeran Putra yaitu Panembahan Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam.
Dari puteri Mataram, Panembahan Girilaya berputra tiga,
yaitu: Pangeran Mertawijaya alias Pangeran Samsudin yang menjadi Sultan
Kasepuhan pertama, adiknya. Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin yang
menjadi Sultan Kanoman pertama, dan adiknya yang bungsu yaitu Pangeran
Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon pertama.
Karena Ratu Ayu Sakluh itu kakak Panembahan Ratu, maka raja
Cirebon dengan raja Mataram masih berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan
Tegalwangi, senantiasa ingin merebut Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga
berkerabat dengan raja Banten padahal Banten dengan Mataram selalu bermusuhan.
Adapun awal pembentukan Kasepuhan dan Kanoman, pada
tahun 1599 Saka (1677 M). Empat tahun kemudian, Cirebon mengadakan perjanjian
persahabatan (mitranan) dengan Kompeni Belanda. Yang menandatangani
surat perjanjian ink yaitu: Sultan Kasepuhan yang pertama Pangeran Samsudin
Mertawijaya, Sultan Kanoman pertama Pangeran Badridin Kertawijaya, kemudian
semua pejabat tinggi negeri Cirebon yang disebut jaksa Pepitu, yaitu:
Panembahan Ageng Gusti Cirebon yaitu Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu
masing-masing: Raksanagara, Purbanagara, Anggadireksa, Anggadiprana,
Anggaraksa, Singanagara, dan Nayapati. Sang Panembahan (Pangeran Wangsakerta)
adalah ketua dari jaksa Pepitu itu.
Penandatangan
dari pihak Kompeni Belanda adalah: Yakub Bule (Jakob van Dijk) dan Kapitan
Misel (Michielsz). Peristiwa itu berlangsung di keraton Kasepuhan.
Setelah Panembahan Ratu wafat, ia digantikan oleh
cucunya yaitu Raden Putra alias Raden Rasmi yang kemudian disebut Pangeran
Panembahan Adining Kusuma. la bergelar Panembahan Ratu II putera Pangeran Seda
ing Gayam, yang wafat ketika ayahnya yaitu Panembahan Ratu I masih hidup.
Panembahan Adining Kusuma menjadi penguasa Cirebon selama 12 tahun. Setelah
wafat, Pangeran Raden Putra disebut Pangeran Panembahan Girilaya.
Selama menjadi penguasa Cirebon ia selalu berada di Mataram
bersama kedua orang putranya yaitu: Pangeran Samsudin Mertawijaya dan Pangeran
Badridin Kertawijaya. Adapun putra Pangeran Panembahan Girilaya yang ketiga
tinggal di keraton Cirebon mewakili ayahnya.
Setelah Pangeran Panembahan Girilaya wafat, Pangeran
Samsudin Mertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Sepuh kemudian disebut Sultan
Kasepuhan pertama, adiknya, Pangeran Badridin Kertawijaya ditunjuk menjadi
Panembahan Anom kemudian disebut Sultan Kanoman pertama dan adiknya, Pangeran
Wangsakerta ditunjuk menjadi sultan ketiga dengan gelar Panembahan Cirebon.
Pada waktu itu tiga negara ingin menguasai Cirebon yaitu:
Banten, Mataram dan Belanda, padahal para sultan menghendaki negaranya merdeka.
Sementara itu raja Mataram, Susuhunan Amangkurat pertama sedang bermusuhan
dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati Madura Pangeran Cakraningrat.
Tentara Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo bergabung
dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng Galesung dan Monte Marano. Dalam
pertempuran di berbagai daerah, tentara Mataram selalu menderita kekalahan. Tak
lama kemudian tentara Madura dan tentara Makasar berhasil merebut Karta ibukota
Mataram. Susuhunan Amangkurat dan putranya, Pangeran Dipati Anom beserta para
pengiringnya melarikan diri ke arah barat. Kemudian Sunan Mataram wafat di
Tegalwangi. Karena itulah Susuhunan Amangkurat pertama digelari Susuhunan
Tegalwangi. Setelah itu putranya, Pangeran Dipati Anom, menggantikan ayahnya
menjadi Susuhunan Amangkurat kedua.
Ketika Ibukota Mataram direbut oleh tentara Madura dan
Makasar, Panembahan Sepuh Samsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom Cirebon
berada di sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri. Juga Ratu
Blitar serta beberapa kaulanya tertangkap oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri.
Di sana para pangeran dari Cirebon bersama Ratu Blitar mendapat perlakuan
hormat dari Trunojoyo.
Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, yaitu aku sendiri,
ingin membebaskan kakakku dari bencana tersebut. Karena itu aku beserta
rombongan para pejabat tinggi pergi ke Banten. Dengan sungguh-sungguh aku
memohon bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa Banten agar ia berusaha
membebaskan kakakku karena Sultan Banten masih kerabatku.
Kemudian anggota rombonganku bersama tentara Banten pergi
naik kapal perang Banten menuju Jawa Timur dan selanjutnya ke Kediri. Trunojoyo
dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi permintaan agar para pangeran dari
Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan. Bersamaan dengan itu Sultan Banten
memberikan hadiah dan bantuan berupa senjata kepada Trunojoyo karena Sultan
Banten bersekutu dengan Trunojoyo dalam permusuhan mereka terhadap Mataram dan
Belanda. Penguasa Banten menyampaikan rasa suka citanya karena Trunojoyo
berhasil merebut ibukota Mataram.
Pangeran Madura itu bersikap hormat kepada anggota rombongan
utusanku dan menjamu dengan bermacam‑macam hidangan yang serba lezat. Akhirnya
Panembahan Sepuh, Panembahan Anom beserta pengiringnya demikian juga Ratu
Blitar dibebaskan oleh Trunojoyo.
Setelah itu anggota rombonganku membawa kakakku dan Ratu
Blitar ke Banten. Di sana Sultan Ageng Banten menerima kedatangan rombonganku
bersama Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom Cirebon.
Lalu
Sultan Banten mewisuda kami, Pangeran Samsudin Mertawiijaya ditunjuk menjadi
Sultan Sepuh yang kemudian disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin
Kertawrijaya ditunjuk menjadi Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman
dan Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi Sultan ketiga dengan sebutan
Panembahan Ageng Gusti Cirebon alias Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil
Mohammad Nasarudin namanya yang lain.
Setelah itu kami pulang ke Cirebon dan Sultan Banten
meminta agar kami memusuhi Mataram dan Belanda. Sejak saat itulah berdiri
Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan Panembahan Cirebon.
Kutipan
di atas, merupakan kisah yang dialami sendiri oleh Pangeran Wangsakerta,
sehingga dapat menghapus segala kekisruhan, akibat bermacam‑macam dugaan yang
ditulis pada masa kemudian.