Bertambah lama, orang yang datang baru bertambah banyak.
Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa tujuan. Mengembara
di hutan dan gunung gunung, bertambah banyaklah yang jadi pengungsi. Karena
orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang terus menerus.
Golongan pribumi senantiasa dihinakan.
Kenyataannya, ada di bawah perintah orang orang pendatang
baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan penakut. Biarpun
sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh. Orang orang pribumi
senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang. Sedangkan orang
pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi,
berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik, kristal, kendaraan. Selanjutnya
membuat berbagai senjata dari besi dengan gelang anak panahnya, pengetahuan
tentang memanah, juga membuat berbagai obat obatan, begitu pula membuat perahu
bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan sehari hari.
Mereka juga telah mempunyal pengetahuan tentang
perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian dan
perhiasan yang indah indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada besi
itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat rumah
besar, yang dihuni suami isteri dan kerabat laki laki dan wanita, membuat api
dengan pemantik (paneker) dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat
tabuh-tabuhan pengiring orang menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang
perilaku yang baik di dusun, perilaku mengenai alat penukar. Mereka memiliki
pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang: (1
yojana =100.000 depa), tentang makanan yang lezat, pengetahuan tentang hari,
berbagai tumbuh tumbuhan, (musim) penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang
laut, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan tentang tanah,
gunung, dan pengetahuan tentang tutur kata.
Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan tentang rempah
rempah, pengetalruan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan warga masyarakat
dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang belakangan dari negeri Yawana,
negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang serta negeri Bharata (India) sebelah
selatan, sangatlah pandai berbagai pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu
pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ, ialah orang
orang pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang.
Pakalan mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia purba
pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa orang orang pendatang baru dari negeri
Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia purba pertengahan, kira kira seribu
enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka. Ada juga pendatang baru yang
tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan seratus tahun sebelum
permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir dalam pengetahuan, sudah
tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala perlengkapan.
Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Demikianlah uraianmahakawi (pujangga besar), pada waktu itu disebut zaman besi.
Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan perang, anak panah dan
sebagainya dari besi, emas, dan perak. Mereka lebih pandai berbagai
pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka kemudian menyerang desa-desa yang
didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau pulau di Nusantara menjadi milik
mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk segera dibinasakan. Apabila
bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya dibinasakanlah mereka itu
kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta menyebabkan mereka menjadi
manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang berkuasa.
Begitu pula di antara seratus tahun pertama sebelum tahun
Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari beberapa negara yang
terletak di sebelah timur negeri Bharata (India). Oleh karena itu zaman besi
disebut juga manusia pada zaman purba.
Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang dari barat, yaitu
dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan Benggala di bumi
Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula,
mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena kegiatan perdagangan
dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga orang orang pendatang
dari kawasan benua utara, yang leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus
tahun lebih dahulu.
Barang barang yang dibawa oleh para pendatang baru ini, di
antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas, perak, permata,
mustika, obat obatan, bahan bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah
tangga. Adapun bahan bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah rempah serta
hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di antara mereka ada yang terus
menetap di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa
Bali. Demikian pula di Sumatera, dan di pulau pulau lain di Bumi Nusantara,
yang disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai
berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan, dan kaum
pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau
pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi
(samyasanya swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu
merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini.
Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak
pinak. Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh
tumbuhannya. Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang
dari Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi
Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan
putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian
mereka masing masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong
rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.
Mereka bergabung untuk bergotong royong (samakarya),
membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung akhli pembuat
rumah (hundagi) dan pandai besi.
Para pendatang dari India itu, ada yang mengajarkan agama
yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa desa. Mereka mengajarkan
pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa
yang disebut Trimurtiswara. Juga masih banyak Dewa lain yang dipujanya selain
itu. Walaupun demikian, mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan
agamanya, karena mereka berhasil menemukan cara yang tepat.
Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak dahulu,
mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Singkatnya, mereka itu
mernuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru dari India Selatan itu, telah
rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya.
Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama
pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.
Dengan cara demikian, mereka tidak menemukan kesulitan untuk
mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni,
pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya.
Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa,
dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama
kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu.
Sementara itu, banyak di antara para pendatang yang menikahi
puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan menggantikan kedudukan
kakeknya. Oleh karena itu, desa desa di Pulau Jawa makin lama makin dikuasai
oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan kekayaannya. Segera
pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu telah dijunjungnya
menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang Panghulu,
menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasannya.
Sementara itu, keadaan desa-desa tetap makmur dan hasil
pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya. Demikianlah pula pulau
pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun 80 sampai 320 Saka,
sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa, di
antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak di antara
mereka itu, yang membawa anak isteri berserta sanak keluarganya, lalu menetap
di Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di situ.
Ada yang datang membawa perahu besar, ada yang datang
beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini, mereka lalu
mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun tinggal di
situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa Tengah,
mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di sana.