Apakah Kuliah Itu Penting?

Ini adalah sebuah cerita yang biasa kita saksikan. Misal ada satu keluarga petani, tinggal di desa. Mereka punya sawah atau kebun, hidupnya bisa cukup dengan hasil darinya. Dengan hasil kebun itu mereka dapat menyekolahkan anak, hingga sampai ke perguruan tinggi. Tidak sedikit dari mereka yang menjual sebagian sawah atau ladang untuk keperluan tersebut.

Disaat anaknya selesai kuliah, ia tak menjadi apa-apa. Ia tidak mendapatkan kerja di perusahaan atau lembaga pemerintah. Ia kemudian kembali ke kampung, bertani lagi. Atau malah bekerja sebagai buruh.


Tidak terlihat sesuatu yang membedakan ia dengan orang-orang yang tak kuliah. Taksedikit pula yang bahkan tidak bisa mandiri seperti orang tua mereka, sekedar menumpang hidup dari harta yang didapat oleh orang tua.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah yang salah pada perguruan tinggi kita?

Di masa 20-30 tahun terakhir ini kita  mengalami berbagai jenis transformasi. Ada transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Juga transformasi demografis dari desa menjadi urban.

Akses ke dunia pendidikan sedang bertransformasi menjadi sangat lebih mudah. Dalam hal itu seharusnya terjadi pergeseran pola pikir. Namun sering kali terjadi situasi yang tidak sinkron antara yang dihadapi dengan pola pikir yang dipakai.

Di masa lalu sekolah merupajan tiket untuk pindah dari gelar petani-desa-wong cilik menjadi pegawai-kota-priyayi.

Semisal digambarkan oleh Umar Kayam di novel “Para Priyayi’, sekolah membuat para wong cilik yang tadinya harus menerima status wong cilik sebagai suratan takdir, dapat bertransformasi menjadi priyayi. Anak orang desa, sekolah, menjadi pegawai pemerintah atau swasta, dan menjadi orang kaya dan terhormat di kota.

Proses inilah yang dipercayai oleh banyak orang. Mereka terjebak dalam ilusi, bahwa sekolah, khususnya perguruan tinggi ialah mesin pencetak priyayi. Siapapun yang masuk ke sana akan keluar sebagai sosok yang digambarkan di atas. Dengan bermodal gelar sarjana dan ijazah, mereka berharap dapat pindah dari domain wong cilik menjadi priyayi.

Di masa lalu hal itu memang masih berlaku. Siapapun yang pernah kuliah nyaris bisa dapat dipastikan akan mendapat pekerjaan. Tapi sekarang situasi itu sudah berubah. Fakta menunjukkan bahwa ada begitu banyak pengangguran sarjana, fenomenanya diwakili oleh cerita di awal tulisan ini tadi. Diperkirakan saat ini ada 500 ribu sarjana yang menganggur.

Para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka atas dasar pada ilusi tadi. Mereka tidak dapat menimbang kemampuan intelektual anak. Pokoknya adalah kuliah. Kalau tidak bisa masuk jurusan favorit, maka cari jurusan lain. Tak bisa masuk ke perguruan tinggi besar, maka masuk ke perguruan tinggi kecil pun tak apa. Tidak bisa masuk ke negeri, ke swasta pun juga boleh. Tak bisa masuk ke PTS mahal, carilah yang murah.

Sebagian besar dari anak-anak yang dikuliahkan juga berpikir seperti itu. Masih ada banyak yang mengira bahwa ijazah dan gelar sarjana akan bisa menjamin masa depan mereka. Mereka tidak tahu soal apa yang dibutuhkan dalam merebut kesempatan kerja yang sudah semakin menyempit. Mereka kuliah tanpa rencana dan target.

Adapun perguruan tinggi, mereka hanya menangkap situasi ini sebagai pasar yang perlu digarap. Orang-orang membuka berbagai perguruan tinggi swasta, agar menampung luberan peminat kuliah yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri.

Maka dengan begitu kita menyaksikan perguruan tinggi berdiri hingga ke pelosok negeri. Tidak mau kalah dengan swasta, perguruan tinggi negeri menyelenggarakan berbagai program extention, untuk menampung orang-orang yang tak lulus dalam seleksi reguler.

Orang-orang malah menjadi gila gelar. Lulusan sekolah vokasi yang tadinya tidak perlu menyandang gelar sarjana, memaksa dirinya pindah ke jalur akademik, agar ia punya gelar. Tidak punya gelar dianggap seperti orang cacat. Orang merasa lebih tidak nyaman dalam status tanpa gelar daripada tanpa keahlian.

Situasi ini perlulah kita ubah. Orang-orang perlu dibangunkan dari ilusi. Sekolah atau perguruan tinggi bukanlah mesin pencetak para priyayi. Harus disadari bahwa tidak semua orang harus  atau perlu kuliah. Juga tidak semua orang harus menjadi sarjana.

Menguliahkan anak harus didahului dengan pemikiran tentang apa potensi yang dimiliki oleh anak, dan perencanaan soal akan jadi apa anak itu kelak.

Juga harus disadarkan kalau masa priyayi sudah selesai. Saat ini orang bisa hidup terhormat sebagai petani yang makmur. Atau jadi seorang pedagang, perajin, dan pengusaha. Tak selalu harus jadi pejabat negara atau perusahaan.

Anak-anak dapat dikuliahkan dengan mempertimbangkan potensi yang dirinya miliki, juga aset yang dipunyai keluarganya. Seorang anak petani, misalnya, dapat belajar untuk mengelola pertanian orang tuanya secara lebih modern, berikut aspek bisnis pertanian tersebut.

Poin terpentingnya ialah kalau kuliah itu tempat belajar. Belajar dengan suatu tujuan, dan target. Mau jadi apa seseorang dengan melakukan kuliah, maka jurusan yang ia pilih disesuaikan dengan tujuan itu. Kemudian selama kuliah ia secara terstruktur dan terencana belajar soal hal-hal yang ia butuhkan

Artikel Terkait