contoh essay bahasa indonesia

MENGHENINGKAN TIKUS, MULAI (!?)
‘Aliya Salsabila Ummu Kinasih

Dengan seluruh angkasa raya memuja
Pahlawan negara
Nan gugur remaja diribaan bendera
Bela nusa bangsa
Kau kukenang wahai bunga putra bangsa
Harga jasa
Kau Cahya pelita
Bagi Indonesia merdeka

Itulah sekelumit bait yang senantiasa dinyanyikan oleh seluruh sifitas akademika di berbagi penjuru Indonesia pada saat upacara bendera. Mungkin terlintas dalam pikiran Anda, mengapa harus mengheningkan cipta? Mengheningkan cipta esensinya adalah untuk mengenang sejenak jasa-jasa pahlawan yang telah gugur, dan mendoakan arwah para pahlawan atau orang-orang yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Bila dihayati secara benar, mengheningkan cipta dapat membuat kita menjadi lebih peka rasa terhadap arti perjuangan. Lagu ini diciptakan oleh Truna Prawit untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan pemujaan terhadap para pahlawan muda yang gugur dalam membela nusa dan bangsa semasa perang kemerdekaan di Indonesia. Sekarang ini Indonesia dapat dikatakan sudah “bersih” dari para penjajah, bisa bebas menghirup napas kemerdekaan, jauh dari rasa ketakutan, dan bahkan bisa tersenyum merekah. Tapi apa benar napas yang kita hirup sehari-hari ini merupakan napas kemerdekaan yang sejati? Bagaimana tidak, hampir setiap saat kita mendengar, dan membaca berita-berita yang tidak sedap. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian di dalam unsur-unsur negara. Terusirnya penjajah asing malah menyuburkan populasi “penjajah” pribumi. Salah satu karakter dari penjajah pribumi ini adalah suka mengambil apa yang bukan menjadi haknya alias korupsi. Dari generasi ke generasi karakter ini terus bertumbuh subur. Akarnya makin kuat menancap, tidak goyah akan badai. Hal ini terjadi karena seringnya diberi pupuk kecurangan dan disirami air ketamakan. Rasa puas yang tidak pernah terpenuhi juga menambah tinggi kualitas karakter buruk yang sedang tumbuh ini dan pada akhirnya terciptalah sebuah budaya yang bernama korupsi.
            Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagaimana tercantum dalam Bab II Pasal 2 yang dimaksud dengan korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Fenonema korupsi di Indonesia telah menjadi hal yang tidak asing. Ironis memang, di negara yang semakmur ini masih banyak pihak yang ikut andil dalam tindakan korup. Para koruptor ini bahkan tidak malu dihadapan media, mereka segan melambaikan tangan ke kamera. Alih-alih tidak segan, ketika sudah didakwa pun mereka berusaha untuk melarikan diri ke luar negeri. Berikut beberapa contoh data dari ICW (Indonesia Corruption Watch) mengenai para koruptor yang berusaha kabur ke luar negeri. Yang pertama yaitu Eko Adi Putranto yang terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia berusaha melarikan diri ke Singapura dan Australia. Selanjutnya, Nunun Nurbaeti dengan kasus dugaan suap cek Pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Istri Adang Daradjatun ini masuk dalam DPO. Terakhir dikabarkan ia lari ke Thailand. Kemudian Anggoro Widjojo dengan kasus SKRT Dephut. Dia merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO. Berikutnya Gayus Tambunan yang terlibat dalam kasus suap pajak. Ia merugikan negara sebesar Rp 24 miliar. Bahkan Gayus sempat menonton pertandingan tenis Internasional di Bali pada saat menjalani masa tahanannya. Tak hanya itu kemudian Gayus kabur ke Singapura tetapi berhasil ditangkap oleh Satgas Anti Mafia dan kembali ke tanah air.
Sebenarnya jika direnungkan lebih dalam pengertian korupsi yang bermaktub pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana tercantum dalam Bab II Pasal 2  pada awalnya berasal dari kita sendiri. Karakter yang terbentuk dari kebiasaan menghambur-hamburkan waktu, budaya konsumtif, hedonisme yang kian menjamur, menerima apa yang tidak menjadi haknya, berpuas diri atas kecurangan seperti hasil nilai yang memuaskan karena mencontek misalnya, dan menggunakan kekuasaan dengan tidak bijak merupakan karakter-karakter buruk yang nantinya jika tidak diluruskan akan berhulu pada tindak korupsi.
Di negeri yang sangat demokratis seperti di Indonesia, pemberantasan korupsi sangat dijunjung tinggi. Keseriusan pemberantasan korupsi di Indonesia dapat kita lihat dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Megawati pada tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia yang biasa disingkat KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.  Pada awalnya masyarakat Indonesia tidak terbiasa dengan adanya pembentukan lembaga ini karena dalam masyarakat sendiri paham orde baru masih kental mendarah daging. Tetapi lama-kelamaan mereka mulai terbiasa dengan kehadiran lembaga ini dan mulai bersyukur karena ternyata kinerja lembaga ini dinilai cukup baik sehingga populasi koruptor mulai berkurang. Media juga gencar memberitakan tentang ketegasan lembaga ini dalam menindak para koruptor. Lagi, mulai terasanya penegakan reformasi hukum yang berdasar tuntutan rakyat, dan transparansi UU tentang korupsi yang terlihat makin jelas sehingga menimbulkan kesamaan perlakuan di depan hukum. Namun, sangat disayangkan pada realitanya kinerja KPK masih mendapat banyak tentangan dari beberapa orang yang merasa privasinya terganggu dengan keberadaan KPK. Tak heran jika lembaga yang telah berdiri selama tiga belas tahun ini masih saja menuai pro dan  kontra. Akibatnya lembaga yang diidentikkan dengan "kucing buas" menjadi kewalahan dengan keberadaan “tikus-tikus” yang merajalela dan saling “kongkalikong”. Siklus pergantian ketua KPK yang tidak konsisten menjadi salah parameter makin lemahnya lembaga ini. Pada tahun 2015 kemenangan Komjen Budi Gunawan dalam gugatan praperadilan menunjukkan bahwa KPK dalam keadaan yang rentan. KPK digugat dan kalah hanya terjadi era Presiden Joko Widodo. Apesnya lagi presiden tidak melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan KPK. Yang dilakukan oleh presiden masih sebatas tindakan normatif. Oleh sebab itu, tak ada lagi tersangka korupsi yang takut dengan lembaga yang dulu pada era SBY sempat menjadi momok bagi para koruptor.
Era orde baru sudah berlalu, praktik KKN mulai membeku. Namun, kegiatan korupsi masih saja menjadi hal asyik untuk kita lakukan karena keseharian dalam masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari tindakan tercela ini. Bahkan hal-hal  kecil pun masih mengandung unsur korupsi. Nah, parah tidaknya tindak korupsi kembali pada diri kita sendiri. Tergantung bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Sejatinya, memperbaiki kualitas diri sendiri sudah termasuk ikut andil dalam pencegahan tindak korupsi, ditambah dengan pedidikan karakter sejak dini tentunya akan mempermudah bangsa dalam meraih cita-citanya.
Kembali lagi pada esensi dari lagu Mengheningkan Cipta di atas, pada awal abad dua puluh ini alangkah menggelitik jika lagu Mengheningkan Cipta digubah ulang menjadi lagu baru yang esensinya sesuai dengan kondisi saat ini. Bahkan judulnya pun dapat kita kreasikan ulang agar menjadi padu. Coba kita renungkan dan kita resapi, lagu berikut ini. Mengheningkan Tikus, mulai!

Dengan seluruh angkasa raya memuja
Si Tikus merdeka
Nan gugur pemuda diribaan bendera
bela tikus bangsa
Kau kupuja wahai raja tikus bangsa
Harga jasa
Sang penghancur bangsa
Bagi Indonesia sengsara


Menarik, bukan? 

Artikel Terkait