TAK DI(TER)SANGKA PENEGAK HUKUM LUPA
TUGASNYA
(Nurul hidayati)
Di negeri ini
apa saja bisa terjadi
Untuk
mendapatkan keadilan
Kalau perlu
membeli
Yang hitam bisa
menjadi putih
Yang putih pun
begitu
Terhadap yang
benar saja sewenang wenang
Apalagi yang salah
Sebenarnya ini cerita lama
Tapi nyatanya sampai kini
Masih sama
Banyak pengacara berjaya karenanya
Pengangguran banyak acara itulah dia
Tekak tekuk hukum sudah menahun
Pengadilan bagai sarang para
penyamun
Hukum mudah dipermainkan
Pasal pasalnya mulur mungkrek
Sampai kapan ini berjalan
Kok semakin hari bertambah ruwet
Kalau mau
menang harus punya uang
Yang bokek tak masuk hitungan
Ada hakim dilempar sepatu
Itu artinya tak mau dimadu
Yang gila lagi
Orang gila masuk persidangan
Punya pengacara yang juga gila
Hakimnya gila
Jaksanya gila
Jangan jangan semuanya sudah gila
Termasuk
dokternya
Termasuk saya
Mungkin
(“Mungkin” - Iwan Fals)
“Gila”
mungkin sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi peradilan di
Indonesia saat ini. Seperti lirik lagu yang dinyanyikan Iwan Fals di atas, para
pengacara, jaksa bahkan hakim mereka gila. Gila di sini menggambarkan adanya
kekacauan atau carut marutnya penegakan hukum di Indonesia, mulai dari
meningkatnya tidak pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat, pejabat, birokrat
bahkan aparat (penegak hukum). Ironis memang jika aparat (penegak hukum) yang
seharusnya berusaha menegakkan hukum, memulihkan sesuatu yang salah agar mencapai
keteraturan sosial, serta menindak pelanggar hukum malah ia sendiri yang
melakukan pelanggaran hukum.
Lupa sebuah kata yang singkat namun
biasa digunakan saat kita tidak ingat sesuatu hal. Lupa ini bisa dimaklumi jika
bersinggungan dengan hal kecil, namun bagaimana jadinya jika yang dilupakan
adalah hal yang penting, bukankah akan menimbulkan masalah? Misalnya seorang
pelajar yang melupakan kewajibannya, padahal sebentar lagi mereka ujian, hingga
akhirnya saat ujian mereka tidak lulus . Begitu juga seorang penegak hukum yang lupa
tugasnya, mereka sendiri malah melanggar hukum bukannya menegakkan. Hal ini
tentunya akan menimbulkan masalah besar, sebab siapa lagi yang akan menindak
pelanggar jika mereka sendiri lupa.
“Di
negeri ini apa saja bisa terjadi”, maka dari itu semua hal yang mungkin
mustahil, bisa menjadi kenyataan sekaligus hal yang ironi di negeri ini seperti
penegak hukum yang malah dihukum. Sama halnya saat kita berbicara masalah pemberantasan
korupsi di negeri ini, ada hal yang lucu. Pertama, upaya pemberantasan korupsi
justru menciptakan peluang terjadinya pelanggaran hukum baru. Sebab dalam
lembaga penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, banyak sekali celah celah
yang rawan penyuapan. Dari mulai kepolisian, kejaksaan, kehakiman, bahkan mungkin
KPK sendiri. Berapa banyak hakim yang terlibat dalam kasus penyuapan yang
dilakukan oleh para tersangka kasus korupsi yang tujuannya tentunya agar para
pesakitan itu dapat lepas dari jeratan hukum atau paling tidak mendapatkan
hukuman yang seringan-ringannya. Begitu juga kepolisian dan kejaksaan, berapa
banyak kasus-kasus yang tidak ditindaklanjuti dan dibiarkan menggantung
nasibnya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar apakah pihak-pihak ini
sudah lelah dalam mengurusi kasus korupsi yang tiada henti, lelah menegakkan
konstitusi, lelah memberantas tindak pelangaran hukum, atau apakah memang mereka
sengaja tidak menindaklanjuti katena telah terima gratifikasi. Jika hal ini
benar, bisa dikatakan penegak hukum kita memang sudah “gila” mereka lupa tugasnya.
Mengutip
dari Kompas.com, berdasarkan data
dari Indonesia Corruption Watch (ICW) selama tahun 1999 sampai 2011, setidaknya
terdapat 233 kasus korupsi dalam dunia pendidikan yang telah masuk dalam proses
penyidikan, yang tentunya kasus tersebut sungguh merugikan negara dan penyidik
sudah mengantongi nama tersangka. Seluruh kasus-kasus tersebut ditangani oleh
tiga lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Lebih
lanjut ICW menuturkan bahwa 57,4 persen dari kasus-kasus itu tidak jelas nasib
dan pengusutannya. Ini merupakan ironi dalam penegakan hukum kita, mereka
seakan membiarkan kasus ini tanpa mengusutnya.
Lihat saja kasus yang menimpa Lilik S Haryanto (Direktur
Perdata Dirjen Administrasi Hukum Umum), Djoko Susilo (kepala Korps Lalu Lintas
Polri), Setyabudi Tejocahyono (wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung),
Asmadinata dan Pragsono (Majelis Hakim Tipikor Semarang), Sistoyo (Kepala
Subbagian Pembinaan Kejari Cibinong), Iwan Siswanto (Kepala Rutan Markas Komando
Brimob Kelapa Dua, Depok), yang mengagetkan lagi yaitu Akil Mochtar seorang
ketua Mahkamah Konstitusi yang diduga menerima suap untuk memenangkan salah
satu calon dalam sengketa pemilu, dan yang paling terbaru yaitu munculnya
perselisihan antara KPK dan Polri yang bermula dari dugaan KPK terhadap calon Kapolri
baru yang disangkakan memiiki rekening gendut, namun hal ini dibantah keras
oleh calon Kapolri tersebut. Polemik tidak berhenti disitu hingga akhirnya
calon Kapolri tersebut batal dilantik sebab
masih tersandung kasus. Mungkin Kapolri tidak terima akhirnya mereka
juga melakukan penyelidikan hingga akhirnya tertangkaplah salah satu anggota
KPK yang diduga juga melakukan pelanggaran hukum. Kedua lembaga hukum tersebut saling
lapor yang akhirnya memunculkan permasalahan baru yaitu adanya tarik ulur siapa
yang benar. Tarik ulur ini
akibat adanya perbedaan kepentingan masing masing lembaga. Masyarakat yang
melihat permasalan ini menjadi kurang percaya atau menurunkan kepercayaan terhadap
kedua lembaga hukum tersebut, mana yang harus dijadikan panutan jika mereka yang
sama-sama tahu hukum tapi malah saling tuduh. Seharuanya sebagai penegak hukum,
mereka harus saling bekerjasama dalam menindak pelanggaran walaupun mungkin
tersangkanya dari dalam lembaga mereka sendiri.
Kalau susdah begini siapa lagi yang
akan di salahkan atau siapa yang akan bertanggung jawab mengenai masalah ini. Apakah hukum? Bukan, hukum
sebenarnya tidak pernah salah, hanya mereka yang sering dijadikan kambing hitam
di sini lalu siapa yang akan disalahkan, tentunya merekalah yang melanggar
hukum. Hukum di Indonesia sebenarnya sudah baik hanya saja banyak orang orang
yang tidak mau mematuhinya selain itu bagaimana
mungkin penegakan hukum bisa diharapkan memberikan rasa keadilan, jika para
penegak hukum sendiri masih terlibat dalam tindakan melanggar hukum. Untuk itu
diharapkan bagi semua pihak termasuk penegak hukum lain yang masih ingin
Indonesia semakin baik harus mengatasi
persoalan penegakan hukum secara utuh, komprehensif, tersistematis,
keseluruhan, dan bukan
hanya tambal sulam.
Dengan banyaknya kasus pelangggaran
hukum yang dilakukan para penegaknya, masihkah akan muncul lagi kasus yang
sama? Sebelum muncul hal tersebut kita harus mencegahnya dengan berbagai upaya
nyata, yaitu menindak tegas para pelanggar terdahulu agar mereka yang berniat
melanggar, mengurungkan niat mereka. Dengan demikian Indonesia bisa menjadi
lebih baik dan tidak seperti lirik lagu di atas yaitu “masih sama” dengan yang dulu. Penegak hukum di Indonesia tak lagi “gila”, mereka ingat tugasnya.
Hukum (meskipun bukan person) belum mati di Indonesia. Ia
(pura-pura) tidur karena sangat malu melihat para pejabat dan aparat penegak
hukum dalam keadaan telanjang bugil menari-nari karena mabuk kekuasaan korupsi
dalam irama reformasi.
(http://jossril.blogspot.com/)
tag
contoh essay bahasa indonesia
kumpulan essay
contoh essay bahasa indonesia
kumpulan essay
contoh essay bahasa indonesia