menulis essay bahasa indonesia
Junjung
Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia(lish)?
oleh : Ilham
Maulana Ash Shiddieq
Dalam bahasa percakapan informal sehari-hari,
mencampur kosa kata asing dari bahasa daerah dan bahasa slang ke dalam percakapan adalah suatu hal yang spontan, lumrah,
dan tidak perlu dipermasalahkan. Masyarakat sering menyebutnya sebagai “bahasa
gado-gado”. Simak saja ucapan seorang mahasiswi yang pernah terliput salah satu
stasiun televisi swasta seperti di bawah ini.
“Tahu, nggak?
Ternyata si Susi diem-diem udah ‘married’,
lho, sama Benny. Soalnya, kan, si Benny musti
ambil ‘Master’ ke Amrik dan dia mau
Susi juga ikut. Daripada musti ‘long
distance relationship’, takut Susi ‘cheating’,
katanya. Mereka ‘take off’ besok malem, soalnya ‘flight’ ke LA adanya hari itu dan jam segitu. Katanya, sih, mereka bakal ‘stop over’ sekali di Hong Kong, kayaknya. Sampe sana
pasti pada ‘jet lag’. Tapi mereka,
sih, enaklah, udah disiapin ‘apartment’ sama bokapnya Benny. Mudah-mudahan Susi nggak ‘boring’, tuh, nemenin Benny di sana, soalnya dia nggak bakal bisa ngapa-ngapain, paling-paling ‘shopping’.
Gue mau ke rumah Susi nanti malem, mau ‘say bye-bye’. Mau ikut?”
Sejak runtuhnya era pemerintahan Orde Baru, gejala
menyelipkan kosa kata asing sudah mulai memengaruhi wacana lisan formal yang
ironisnya banyak dilakukan oleh para intelektual, seperti yang diucapkan oleh Mohamad
Sobary, seorang jurnalis, dalam suatu wawancara radio:
“Gus Dur memerlukan ‘transitional period’. Saya kira ‘something like three years or so’ untuk itu, MPR yang anggota-anggotanya
sangat ‘selfish’, sangat ‘group oriented’, dan berfikir tentang ‘short term projects’.”[1]
Lihat? Pada era reformasi kini, pencampuradukan
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dapat kita jumpai dengan mudah, kapanpun
dan di manapun. Dari perusahaan-perusahaan nasional dengan banyak pemakaian istilah
asingnya, seperti: meeting, outing,
order, customer, owner, break event point, part time, dan office boy, hingga ke bidang paling
krusial yang mencakup semua tataran penyelenggaraan negara: pemerintahan. Dalam
pemerintahan, kebanggaan meminjam istilah Inggris juga amat mengenaskan, kalau
tidak mau disebut mengesalkan atau memuakkan. Tampak sekali kalau para pejabat
kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya sehingga merasa
perlu meminjam istilah asing. Tengoklah istilah seperti impeachment, smart card, voting, sampai istilah yang paling memalukan,
busway.
Media cetak maupun elektronik juga makin melayani
semua keadaan mengenaskan ini. Simak saja kata-kata yang mondar-mandir di depan
mata kita: ada Today Dialogues, Woman of the Year, Sport, Headline News, dan
sebagainya. Sebut saja salah satu media massa nasional seperti SINDO, sebuah
media massa nasional yang namanya berakar dari singkatan “Seputar Indonesia”
dan yang logikanya merupakan sebuah media yang turut bertanggung jawab terhadap
budaya berbahasa, pun bersikap demikian. Cobalah periksa koran ini pada tiap
edisinya. Di halaman depan, mata pembaca sudah dihadang dengan rubrik ‘news’ dan ‘quote of the day’. Usaha meng-inggris ini belum usai karena hal
serupa disusulkan pada lembar-lembar berikutnya, seperti: rubrik ‘financial revolution’-nya Tung Desem
Waringin, rubrik ‘people’, rubrik ‘fashion’, rubrik ‘food’, rubrik ‘rundown’,
atau cap ‘special report’ pada artikel
tertentu. Jangan tersenyum geli dulu karena bukan saja SINDO, koran-koran
nasional lainnya pun tak luput dari gaya-gayaan berbahasa seperti demikian.
Entah, tulah apa yang (telah) menelanjangi identitas
kebangsaan kita. Kenapa kata-kata asing bertaburan dalam percakapan
sehari-hari? Bahasa Indonesia seakan tak mampu bersolek dengan anggun bila
tidak menggandeng bahasa Inggris. Orang paling bodoh sekali pun diatur gaya
berbahasanya agar fasih melafalkan tengkyu,
sori, serprais, sekyuriti, ataupun
syoping sebagai syarat penduduk
berwawasan global, walaupun pengetahuan dan nalarnya tidak diajak mengglobal.
Tidak ketinggalan, – dan ini yang paling menyakitkan
– institusi publik yang seharusnya mendidik masyarakat, malah melayani
kekeliruan berbahasa tersebut. Kita lihat saja, bagaimana sekolah-sekolah
berbangga dengan mengganti namanya menjadi nama dalam bahasa Inggris.
Universitas mengiklankan dirinya di media massa dengan istilah Inggris, seperti
admission, free laptop, the leading
university, faculty of management,
dan seterusnya. Padahal target pemasarannya adalah orang-orang yang sehari-hari
berbahasa Indonesia.
Dalam acara Temu Nasional 2009 yang dihelat pada
tanggal 30 Oktober beberapa tahun lalu, ada seorang wartawan yang iseng-iseng menghitung jumlah kosa kata
bahasa Inggris yang dituturkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
pidatonya. Dalam pidato sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosa kata
bahasa Inggris yang dilontarkannya. Artinya, setiap satu menit terlontarlah
kosa kata bahasa Inggris! Bahkan Presiden Yudhoyono juga memadukan kosa kata bahasa
Inggris dengan bahasa Indonesia sekaligus ketika menjelaskan adanya kemacetan
dalam berbagai hal. ”Banyak hal yang masih ada di-“debottlenecking” ini yang harus diselesaikan,” katanya. Ada yang
pro dan ada yang kontra.
Patutkah penggunaan kosa kata bahasa Inggris di
dalam pidato seorang Presiden Republik Indonesia dipermasalahkan? Kelompok yang
pro berpendapat bahwa menggandeng kosa kata asing ke dalam wacana lisan formal
tidak perlu dipermasalahkan karena bahasa Indonesia masih kekurangan kosa kata
yang mampu menjelaskan apa yang dimaksud dalam pidato tersebut. Lagi pula,
bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional. Sudah saatnya semua
orang mampu berbahasa Inggris. Jadi, jika saudara-saudara kita di Papua tidak
mengerti isi pidato presidennya, itu salah mereka sendiri yang tidak belajar
bahasa Inggris. Kalau mau maju, kita harus belajar bahasa Inggris.
Bagi kelompok yang kontra, penggandengan istilah
asing di dalam banyak wacana formal menunjukkan fakta bahwa betapa bahasa
Inggris pelan-pelan sudah menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Contoh lain yang tak kalah mengenaskan adalah ketika Gubernur Sumatera
Selatan, Alex Noerdin, melaksanakan rapat bersama dengan jajaran pejabat
provinsi dengan menggunakan bahasa Inggris. Seusai rapat perdana yang
dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Januari 2010 itu, sang gubernur mengatakan
bahwa dia menggunakan bahasa Inggris dalam rapat tersebut agar para pejabat
lebih memahami bahasa yang sudah menjadi kebutuhan itu. Gubernur Alex
berpendapat bahwa masih ada pejabat yang belum bisa bicara dan mengerti seluruh
perbincangan yang dilakukan dalam bahasa Inggris karena berbagai faktor, antara
lain karena tidak rutin menggunakan bahasa asing itu. Oleh karena itu, pihaknya
akan melaksanakan rapat menggunakan bahasa asing tersebut setiap satu kali
dalam seminggu. Menurut Gubernur Alex, rapat yang dilaksanakan secara rutin
tersebut sekaligus upaya memperlancar kemampuan berbahasa Inggris di kalangan
pejabat. Maka dari itu, Sumatera Selatan nantinya akan menjadikan bahasa
Inggris bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.[2]
Contoh mengenaskan lainnya? Tidak usah pergi jauh
karena cukup sambil duduk, kita dapat membayangkan segala sesuatu di sekitar kita:
merek permen, keterangan dalam bungkus mie instan, nama restoran, keterangan
dalam gedung (exit, toilet, emergency),
dan seterusnya, dan sebagainya, yang kalau dituliskan semua, semua pembahasan
ini hanya akan memuat daftar ‘dosa’ tersebut dan tentunya akan memanjangkan
rasa jengkel.
Lalu, menjadi sehebat Inggris atau Amerika-kah
bangsa ini ketika berhasil mengadopsi bahasa mereka? Apakah dengan serta-merta
ekonomi negara akan menjadi seadidaya mereka? Apakah dengan begitu, kita akan
terlihat cerdas karena berhasil menyejajarkan diri dengan bangsa Barat? Sampai
sebegitu jijiknyakah kita terhadap bahasa Indonesia sehingga pada kata
‘peralatan kantor’ perlu ditemani kata dalam kurung ‘stationery’, ‘nyata’ ditemani kata dalam kurung ‘real’, atau ‘kekuatan’ yang ditemani ‘power’? Seakan-akan mata kita lebih
karib dengan kata di dalam kurung ketimbang kata dalam bahasa Indonesia-nya.
Masih cukup waraskah kita ketika menertawakan
seorang artis muda yang ber-Inggris ria, “hujan..
beychek.. ojhek”, yang ironisnya merupakan cerminan dari ketidakberkepribadian
diri kita sendiri? Atau celakanya, latah pun kalau bisa dibuat-buat agar yang
keluar secara spontan adalah kata, ‘oh my
god’, ‘monkey’, ‘shit’, atau bahkan kata-kata sarkasme, ‘fuck you’.
Pada kasus lain, kita temukan bagaimana sikap ‘sok Inggris’
tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai. Contoh yang paling
fatal, juga mungkin, maaf, paling tolol, terdapat pada istilah ‘busway’ yang sama sekali tidak
mengindahkan aturan bahasa, terlebih logika. Mana ada frasa, “perjalanan ke
Blok M naik ‘jalanan bis’ sangatlah nyaman”. Hal tersebut sangatlah
bertentangan dengan konsep transliterasi umum dan perilaku sintaksis nomina
dalam morfologi linguistik.[3]
Coba perhatikan, bagaimana kita melafalkan ‘AC’ (Air
Conditioner) dan ’HP’ (Hand Phone). Bukankah kita melafal ‘a-se’
untuk ‘AC’ dan ‘ha-pe’ untuk ‘HP’? Padahal kalau kita menerapkan
prinsip pengejaan bahasa Inggris dengan benar, kedua hal tersebut harusnya dieja
menjadi ‘ei-si’ dan ‘eitch-pi’. Namun, anehnya hal tersebut tidak terjadi pada ‘VCD’ (Video Compact Disc) dan ‘PC’ (Personal Computer) karena kita mengejanya
‘vi-si-di’ dan ‘pi-si’. Konyolkah? Lebih konyol lagi ketika kita mengeja ‘Media
Nusantara Citra’ (MNC) yang jelas-jelas merupakan padanan bahasa Indonesia asli
dengan pelafalan ‘em-en-si’, bukan ‘em-en-ce’.
Sebenarnya, hal tersebut di atas bukanlah apa-apa
ketimbang mengetahui bahwa hal yang paling menyedihkan justru yang menghargai
budaya (bahasa) Indonesia adalah orang asing. Mungkin kita sudah bosan
mendengar bagaimana bertaburnya kelompok musik gamelan Jawa di Amerika Serikat
atau di seantero Benua Biru. Di Eropa, beberapa konservatori musik malah
menyediakan jurusan musik karawitan atau gamelan Bali. Tengokkanlah kepala kita
ke tempat yang paling terkenal di seantero negeri, misalnya di Erasmus Huis, sebuah pusat budaya
Belanda di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam program bulanan kegiatan yang
dicetak di atas brosur, bahasa Indonesia-lah yang didahulukan, kemudian baru
disusul dengan bahasa Belanda, kemudian Inggris. Sewaktu ada pementasan, buku
acara dan bahkan kata sambutannya pun – walau terbata-bata – mendahulukan
bahasa Indonesia. Gilanya, hal ini justru berbanding terbalik apabila artis
Indonesia yang tampil.
Dalam acara penerimaan Surat Kepercayaan Diplomatik (Letter de Creance) dari Duta Besar
Afrika Selatan, Brasil, Slowakia, dan Kanada pada 12 Agustus 2009 lalu di Ruang
Kredensial Istana Merdeka, sebagai Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono yang orang Indonesia, memberi sambutan, tentunya dalam bahasa
Inggris. Lalu, sebagai perwakilan diplomatik, kata sambutan dari beberapa duta
besar menyusul secara bergantian. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik
Slowakia untuk Republik Indonesia, Stefan Rozkopal, mendapat kesempatan
penyampaian sambutan di urutan ketiga setelah Duta Besar Afrika Selatan dan
Duta Besar Brasil. Dubes Stefan yang asli Slowakia ini, yang tidak ada
untungnya karena memakai bahasa Indonesia, malah dengan lantangya berpidato
dalam bahasa Indonesia dengan fasih tanpa cacat.
Sudah cukup muakkah kita membaca keprihatinan di
atas?
Peranan Penting
Bahasa
Sebetulnya, seberapa pentingkah peranan bahasa bagi
suatu bangsa dan negara? Mungkin ada baiknya jika kita menegok sebentar sejarah
bahasa Indonesia dan melihat sikap negara-negara lain terhadap bahasa
nasionalnya.
Pada zaman penjajahan Belanda, kesempatan pendidikan
untuk rakyat Indonesia hanya diberikan kepada anak-anak kalangan atas.
Tujuannya agar kalangan kelas atas tersebut pada gilirannya mampu membantu Pemerintah
Belanda dalam hal pelayanan masyarakat. Akibatnya, pada masa itu kalangan
terdidik yang pandai berbahasa Belanda menjadi kalangan elite Indonesia. Bahasa
Belanda digunakan oleh kaum elite pribumi sebagai sarana komunikasi di antara
kalangan mereka sehari-hari, termasuk para nasionalis dan calon-calon pemimpin
bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno bahkan berkata, “Bahasa
Belanda adalah bahasa yang saya gunakan jika saya berpikir, mengumpat, bahkan
berdoa”.
Namun, para calon pemimpin ini menetapkan bahasa
Indonesia – yang berakar dari bahasa Melayu dan merupakan bahasa yang sama
sekali belum berkembang – sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia dalam Kongres
Sumpah Pemuda tahun 1928. Mengapa bukan bahasa Belanda? Padahal, bahasa Belanda
sudah menjadi bahasa komunikasi modern yang sudah beratus-ratus tahun digunakan
sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Banyak sekali buku-buku ilmu
pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dari segi struktur dan tata
bahasa pun bahasa Belanda sudah mapan. Jawabannya jelas. Para calon pemimpin
itu menyadari bahasa Belanda merupakan simbol penjajahan Belanda terhadap Indonesia.
Secara politis, penggunaan bahasa Belanda dapat menghambat atau menghalangi
kemerdekaan Indonesia yang justru sedang diperjuangkan. Bahasa Indonesia adalah
lambang nasionalisme. Selain merupakan keputusan politis, bahasa Indonesia juga
merupakan keputusan sosial karena hanya bahasa Indonesia yang dipercaya
memiliki kekuatan untuk mempersatukan Indonesia. Walaupun Bung Karno belum
seratus persen merasa nyaman dengan bahasa Indonesia yang masih baru, namun
jika harus berpidato di depan rakyat, Bung Karno selalu menggunakan bahasa
Indonesia.[4]
Hal serupa juga terjadi dengan bahasa Indonesia di
Timor Timur. Ketika wilayah Timor Timur secara resmi memisahkan diri dari
Republik Indonesia, Pemerintah Timor Timur menetapkan bahasa Portugis sebagai
bahasa nasional mereka. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Asia Foundation pada tahun 2001
menunjukkan bahwa 63% rakyat Timor Timur lancar berbahasa Indonesia, namun
hanya 3% yang mendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Timor Timur.[5] Hal
ini terjadi karena bahasa Indonesia dianggap sebagai simbol penjajahan dan
kebrutalan Indonesia terhadap rakyat Timor Timur, menjadikannya sebagai sebuah
reaksi emosional untuk menentang sesuatu yang berbau Indonesia. Jadi, walaupun
sebagian besar penduduk Timor Timur tidak mengenal bahasa Portugis dan merasa
kesulitan harus mempelajari lagi bahasa yang baru di samping penggunaan bahasa
Tetun sebagai bahasa ibu, rakyat Timor Timur beranggapan bahwa bahasa Portugis merupakan
simbol kemerdekaan dan nasionalisme. Kini, walaupun bertetangga dengan
Indonesia, mereka lebih suka belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
ketimbang bahasa Indonesia.
Contoh lain yang dapat diamati adalah ketika sebelum
Mary Donaldson, wanita dari kalangan rakyat Australia biasa, menikah dengan Pangeran
Frederik dari Denmark. Ia diharuskan mempelajari terlebih dahulu budaya, bahasa,
dan etiket Denmark karena dalam acara-acara kenegaraan nantinya, Mary harus
mampu berbicara dalam bahasa Denmark. Padahal, bahasa Inggris adalah bahasa
kedua yang sangat dikuasai oleh sebagian besar rakyat Denmark.
Bahasa sesungguhnya adalah wacana dan sarana
komunikasi budaya sebuah bangsa. Bahasa mencerminkan inti, karakter, ciri, dan
semangat sebuah budaya. Bahasa seperti sebuah gerbang yang memudahkan kita
untuk masuk dan mengerti budaya suatu bangsa. Secara teknis memang mudah untuk
menerjemahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain, namun untuk menerjemahkan
sikap dan nilai budaya suatu bangsa tidak akan semudah itu karena kosa kata
bahasa suatu negara mencerminkan budaya bangsa tersebut yang tentunya tidak
dapat diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa lain.
Boyé Lafayette De Mente, seorang jurnalis, penulis,
dan editor yang pernah menjadi anggota agen intelejen Amerika, telah menulis
lebih dari 50 buku tentang kaitan bisnis, budaya, dan bahasa di Jepang, Cina,
Korea dan Meksiko. Dalam bukunya yang berjudul “Japan Unmasked: The Character and Culture of The Japanese”, Boyé
menulis bahwa pada awalnya bahasa Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan
untuk mencegah masuknya orang asing. Pada zaman pemerintahan Shogun Tokugawa,
mengajarkan bahasa Jepang pada orang asing merupakan pelanggaran berat.[6] Hingga
kini, bahasa Jepang sangat berkaitan erat dengan proses berpikir dan tingkah laku
orang Jepang sehingga apabila ada orang asing yang fasih berbahasa Jepang tanpa
bertingkah laku seperti orang Jepang, orang tersebut akan dianggap tidak
menghargai budaya Jepang dan tidak bisa dipercaya.
Dengan berakhirnya sistem monarki di Perancis, bahasa
Perancis tidak hanya menjadi simbol identitas nasional bagi orang Perancis tapi
juga lambang kejayaan budaya dan imperialisme di masa lalu. Presiden Perancis,
Georges Jean Raymond Pompidou (1969-1974), bahkan mengatakan bahwa, ”Karena
bahasa Perancislah negara Perancis dipandang oleh dunia sebagai negara yang
bukan sekadar suatu negara.” Anatole France, penyair Perancis, pemenang hadiah
Nobel Sastra tahun 1921, mengimplisitkan bahasa Perancis sebagai sesosok wanita
cantik yang penuh percaya diri, rendah hati, berkepribadian kuat, luhur, hangat,
dan seksi sehingga siapapun yang mengenalnya akan jatuh cinta sepenuh hati.[7]
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai bahasa
komunikasi antarbangsa, bahasa Inggris menjadi semakin penting untuk dipelajari
di era globalisasi saat ini. Mantan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, beberapa
tahun lalu sewaktu memimpin Negeri Mode Dunia itu bahkan mewajibkan anak-anak
usia sekolah untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Indonesia
pun tidak ketinggalan. Berbondong-bondongnya orang-orang Indonesia mendirikan
sekolah dengan label internasional dengan pengantar bahasa Inggris merupakan
suatu fenomena yang menggembirakan karena kini sekolah internasional memang tidak
lagi menjadi monopoli orang asing. Ada kesetaraan akses bagi anak-anak
Indonesia guna memperoleh pendidikan berkualitas internasional dengan harga
yang lebih terjangkau. Kesempatan untuk belajar bahasa kedua, yakni bahasa
Inggris, kini terbuka lebar. Sayangnya hal ini malah menghasilkan bahasa
gado-gado.
Masa Depan
Bahasa Indonesia
Mencampur bahasa Indonesia dengan kosa kata bahasa
Inggris yang sepotong-sepotong sehingga menjadi bahasa gado-gado ke dalam
wacana formal dan tulisan tidak akan membawa bangsa Indonesia menjadi “masyarakat
dwibahasawan” yang terdidik. Jika hal ini dibiarkan begitu saja maka akan makin
sedikit orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Berkurangnya pengguna bahasa Indonesia pelan-pelan akan mengikis identitas
bangsa dan menggerogoti kelestarian budaya Indonesia. Pada saat yang sama,
kemampuan masyarakat Indonesia berbahasa Inggris dengan baik pun akan terhambat
karena sudah terbiasa menyelipkan kosa kata bahasa Inggris ke dalam percakapan
bahasa Indonesia. Akibatnya, berbahasa Indonesia yang baik dan benar jadi tidak
becus, berbahasa Inggris pun jadi berantakan.
Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari bahasa
Indonesia menjadi bahasa gado-gado seperti bahasa Manglish di Malaysia, yaitu
bahasa Malaysia yang dicampur dengan bahasa Inggris yang lazim digunakan di
Malaysia. Jika di Malaysia ada Manglish, di Filipina ada Taglish, di Singapura
ada Singlish, dan sebentar lagi mungkin akan ada Indolish, bahasa yang
mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Bahasa adalah budaya bangsa. Almarhum W.S. Rendra
pernah berkata bahwa sebuah bangsa tidak cukup hanya terdidik, tetapi juga
harus berbudaya. “Karena kebudayaan merupakan tulang punggung peradaban
bangsa,” tambah pengamat masalah pendidikan, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd..[8]
Dr. James Sneddon, Associate Professor di Griffith
University, Brisbane, Australia, dalam buku yang ditulisnya, The Indonesian Language: Its History and
Role in Modern Society, mengatakan, “Masa depan bahasa Indonesia akan
berkaitan erat dengan masa depan negara Indonesia. Jika Indonesia tetap bersatu
dan makmur maka bahasa Indonesia pun akan tetap lestari. Jika Indonesia
terpecah belah, bahasa Indonesia akan tetap ada namun akan mengarah kepada
ketidakstabilan yang mengikuti jenis atau bentuk pemerintahan yang ada. Dengan
demikian maka kelestarian bahasa Indonesia di masa depan akan tergantung pada
kemampuan masyarakat yang berbahasa Indonesia dalam memecahkan masalah
perbahasaan yang dialami saat ini. Bahasa Indonesia pernah menjadi elemen
terpenting dalam mempersatukan negara kepulauan Indonesia; kini persatuan
Indonesia akan menjadi sangat penting dalam menentukan masa depan bahasa
Indonesia”.[9]
Jadi, merujuk kepada Sumpah Pemuda yang pernah
dinyatakan oleh leluhur kita, bahasa manakah yang akan tetap kita junjung
tinggi? Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau malah bahasa Indolish? Sayangnya,
sebelum kita memilih ternyata pilihan terakhir sudah terlanjur erat membudaya.
[2]) http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/01/16/101257-rapat-staf-di-pemprov-sumsel-gunakan-bahasa-inggris,
diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
[3]) Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi.
Jakarta: Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia.
[4]) Kahin, George McTurnan dan Nin Bakdi Soemanto.
1952. Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
[5]) Ramagee, Douglas, dkk. 2003. Demokrasi di Indonesia: Sebuah Survei
Pemilih Indonesia 2003. Jakarta: The Asia Foundation.
[6]) Mente, Boyé Lafayette De. 2005. Japan Unmasked: The Character and Culture of
The Japanese. Tokyo: Tuttle Publishing.
[7]) France, Anatole dan Frederic Chapman. 2003. The Revolt of The Angels (Edisi Revisi).
Whitefish: Kessinger Publishing LLC.
[8]) http://bahasa.kompasiana.com/2012/08/13/bahasa-kesayangan-para-penulis-indonesia-484933.html,
diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
[9]) Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society.
Sydney: University of New South Wales Press.
contoh essay bahasa indonesia
cara membuat essay