(Essay) Junjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia(lish)?

Tags

menulis essay bahasa indonesia

Junjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia(lish)?
oleh : Ilham Maulana Ash Shiddieq

Dalam bahasa percakapan informal sehari-hari, mencampur kosa kata asing dari bahasa daerah dan bahasa slang ke dalam percakapan adalah suatu hal yang spontan, lumrah, dan tidak perlu dipermasalahkan. Masyarakat sering menyebutnya sebagai “bahasa gado-gado”. Simak saja ucapan seorang mahasiswi yang pernah terliput salah satu stasiun televisi swasta seperti di bawah ini.
“Tahu, nggak? Ternyata si Susi diem-diem udah ‘married’, lho, sama Benny. Soalnya, kan, si Benny musti ambil ‘Master’ ke Amrik dan dia mau Susi juga ikut. Daripada musti ‘long distance relationship’, takut Susi ‘cheating’, katanya. Mereka ‘take off’ besok malem, soalnya ‘flight’ ke LA adanya hari itu dan jam segitu. Katanya, sih, mereka bakal ‘stop over’ sekali di Hong Kong, kayaknya. Sampe sana pasti pada ‘jet lag’. Tapi mereka, sih, enaklah, udah disiapin ‘apartment’ sama bokapnya Benny. Mudah-mudahan Susi nggak ‘boring’, tuh, nemenin Benny di sana, soalnya dia nggak bakal bisa ngapa-ngapain, paling-paling ‘shopping’. Gue mau ke rumah Susi nanti malem, mau ‘say bye-bye’. Mau ikut?”
Sejak runtuhnya era pemerintahan Orde Baru, gejala menyelipkan kosa kata asing sudah mulai memengaruhi wacana lisan formal yang ironisnya banyak dilakukan oleh para intelektual, seperti yang diucapkan oleh Mohamad Sobary, seorang jurnalis, dalam suatu wawancara radio:
“Gus Dur memerlukan ‘transitional period’. Saya kira ‘something like three years or so’ untuk itu, MPR yang anggota-anggotanya sangat ‘selfish’, sangat ‘group oriented’, dan berfikir tentang ‘short term projects’.”[1]
Lihat? Pada era reformasi kini, pencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dapat kita jumpai dengan mudah, kapanpun dan di manapun. Dari perusahaan-perusahaan nasional dengan banyak pemakaian istilah asingnya, seperti: meeting, outing, order, customer, owner, break event point, part time, dan office boy, hingga ke bidang paling krusial yang mencakup semua tataran penyelenggaraan negara: pemerintahan. Dalam pemerintahan, kebanggaan meminjam istilah Inggris juga amat mengenaskan, kalau tidak mau disebut mengesalkan atau memuakkan. Tampak sekali kalau para pejabat kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya sehingga merasa perlu meminjam istilah asing. Tengoklah istilah seperti impeachment, smart card, voting, sampai istilah yang paling memalukan, busway.
Media cetak maupun elektronik juga makin melayani semua keadaan mengenaskan ini. Simak saja kata-kata yang mondar-mandir di depan mata kita: ada Today Dialogues, Woman of the Year, Sport, Headline News, dan sebagainya. Sebut saja salah satu media massa nasional seperti SINDO, sebuah media massa nasional yang namanya berakar dari singkatan “Seputar Indonesia” dan yang logikanya merupakan sebuah media yang turut bertanggung jawab terhadap budaya berbahasa, pun bersikap demikian. Cobalah periksa koran ini pada tiap edisinya. Di halaman depan, mata pembaca sudah dihadang dengan rubrik ‘news’ dan ‘quote of the day’. Usaha meng-inggris ini belum usai karena hal serupa disusulkan pada lembar-lembar berikutnya, seperti: rubrik ‘financial revolution’-nya Tung Desem Waringin, rubrik ‘people’, rubrik ‘fashion’, rubrik ‘food’, rubrik ‘rundown’, atau cap ‘special report’ pada artikel tertentu. Jangan tersenyum geli dulu karena bukan saja SINDO, koran-koran nasional lainnya pun tak luput dari gaya-gayaan berbahasa seperti demikian.
Entah, tulah apa yang (telah) menelanjangi identitas kebangsaan kita. Kenapa kata-kata asing bertaburan dalam percakapan sehari-hari? Bahasa Indonesia seakan tak mampu bersolek dengan anggun bila tidak menggandeng bahasa Inggris. Orang paling bodoh sekali pun diatur gaya berbahasanya agar fasih melafalkan tengkyu, sori, serprais, sekyuriti, ataupun syoping sebagai syarat penduduk berwawasan global, walaupun pengetahuan dan nalarnya tidak diajak mengglobal.
Tidak ketinggalan, – dan ini yang paling menyakitkan – institusi publik yang seharusnya mendidik masyarakat, malah melayani kekeliruan berbahasa tersebut. Kita lihat saja, bagaimana sekolah-sekolah berbangga dengan mengganti namanya menjadi nama dalam bahasa Inggris. Universitas mengiklankan dirinya di media massa dengan istilah Inggris, seperti admission, free laptop, the leading university, faculty of management, dan seterusnya. Padahal target pemasarannya adalah orang-orang yang sehari-hari berbahasa Indonesia.
Dalam acara Temu Nasional 2009 yang dihelat pada tanggal 30 Oktober beberapa tahun lalu, ada seorang wartawan yang iseng-iseng menghitung jumlah kosa kata bahasa Inggris yang dituturkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya. Dalam pidato sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosa kata bahasa Inggris yang dilontarkannya. Artinya, setiap satu menit terlontarlah kosa kata bahasa Inggris! Bahkan Presiden Yudhoyono juga memadukan kosa kata bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia sekaligus ketika menjelaskan adanya kemacetan dalam berbagai hal. ”Banyak hal yang masih ada di-“debottlenecking” ini yang harus diselesaikan,” katanya. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Patutkah penggunaan kosa kata bahasa Inggris di dalam pidato seorang Presiden Republik Indonesia dipermasalahkan? Kelompok yang pro berpendapat bahwa menggandeng kosa kata asing ke dalam wacana lisan formal tidak perlu dipermasalahkan karena bahasa Indonesia masih kekurangan kosa kata yang mampu menjelaskan apa yang dimaksud dalam pidato tersebut. Lagi pula, bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional. Sudah saatnya semua orang mampu berbahasa Inggris. Jadi, jika saudara-saudara kita di Papua tidak mengerti isi pidato presidennya, itu salah mereka sendiri yang tidak belajar bahasa Inggris. Kalau mau maju, kita harus belajar bahasa Inggris.
Bagi kelompok yang kontra, penggandengan istilah asing di dalam banyak wacana formal menunjukkan fakta bahwa betapa bahasa Inggris pelan-pelan sudah menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Contoh lain yang tak kalah mengenaskan adalah ketika Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, melaksanakan rapat bersama dengan jajaran pejabat provinsi dengan menggunakan bahasa Inggris. Seusai rapat perdana yang dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Januari 2010 itu, sang gubernur mengatakan bahwa dia menggunakan bahasa Inggris dalam rapat tersebut agar para pejabat lebih memahami bahasa yang sudah menjadi kebutuhan itu. Gubernur Alex berpendapat bahwa masih ada pejabat yang belum bisa bicara dan mengerti seluruh perbincangan yang dilakukan dalam bahasa Inggris karena berbagai faktor, antara lain karena tidak rutin menggunakan bahasa asing itu. Oleh karena itu, pihaknya akan melaksanakan rapat menggunakan bahasa asing tersebut setiap satu kali dalam seminggu. Menurut Gubernur Alex, rapat yang dilaksanakan secara rutin tersebut sekaligus upaya memperlancar kemampuan berbahasa Inggris di kalangan pejabat. Maka dari itu, Sumatera Selatan nantinya akan menjadikan bahasa Inggris bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.[2]
Contoh mengenaskan lainnya? Tidak usah pergi jauh karena cukup sambil duduk, kita dapat membayangkan segala sesuatu di sekitar kita: merek permen, keterangan dalam bungkus mie instan, nama restoran, keterangan dalam gedung (exit, toilet, emergency), dan seterusnya, dan sebagainya, yang kalau dituliskan semua, semua pembahasan ini hanya akan memuat daftar ‘dosa’ tersebut dan tentunya akan memanjangkan rasa jengkel.
Lalu, menjadi sehebat Inggris atau Amerika-kah bangsa ini ketika berhasil mengadopsi bahasa mereka? Apakah dengan serta-merta ekonomi negara akan menjadi seadidaya mereka? Apakah dengan begitu, kita akan terlihat cerdas karena berhasil menyejajarkan diri dengan bangsa Barat? Sampai sebegitu jijiknyakah kita terhadap bahasa Indonesia sehingga pada kata ‘peralatan kantor’ perlu ditemani kata dalam kurung ‘stationery’, ‘nyata’ ditemani kata dalam kurung ‘real’, atau ‘kekuatan’ yang ditemani ‘power’? Seakan-akan mata kita lebih karib dengan kata di dalam kurung ketimbang kata dalam bahasa Indonesia-nya.
Masih cukup waraskah kita ketika menertawakan seorang artis muda yang ber-Inggris ria, “hujan.. beychek.. ojhek”, yang ironisnya merupakan cerminan dari ketidakberkepribadian diri kita sendiri? Atau celakanya, latah pun kalau bisa dibuat-buat agar yang keluar secara spontan adalah kata, ‘oh my god’, ‘monkey’, ‘shit’, atau bahkan kata-kata sarkasme, ‘fuck you’.
Pada kasus lain, kita temukan bagaimana sikap ‘sok Inggris’ tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai. Contoh yang paling fatal, juga mungkin, maaf, paling tolol, terdapat pada istilah ‘busway’ yang sama sekali tidak mengindahkan aturan bahasa, terlebih logika. Mana ada frasa, “perjalanan ke Blok M naik ‘jalanan bis’ sangatlah nyaman”. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan konsep transliterasi umum dan perilaku sintaksis nomina dalam morfologi linguistik.[3]
Coba perhatikan, bagaimana kita melafalkan ‘AC’ (Air Conditioner) dan ’HP’ (Hand Phone). Bukankah kita melafal ‘a-se’ untuk ‘AC’ dan ‘ha-pe’ untuk ‘HP’? Padahal kalau kita menerapkan prinsip pengejaan bahasa Inggris dengan benar, kedua hal tersebut harusnya dieja menjadi ‘ei-si’ dan ‘eitch-pi’. Namun, anehnya hal tersebut tidak terjadi pada ‘VCD’ (Video Compact Disc) dan ‘PC’ (Personal Computer) karena kita mengejanya ‘vi-si-di’ dan ‘pi-si’. Konyolkah? Lebih konyol lagi ketika kita mengeja ‘Media Nusantara Citra’ (MNC) yang jelas-jelas merupakan padanan bahasa Indonesia asli dengan pelafalan ‘em-en-si’, bukan ‘em-en-ce’.
Sebenarnya, hal tersebut di atas bukanlah apa-apa ketimbang mengetahui bahwa hal yang paling menyedihkan justru yang menghargai budaya (bahasa) Indonesia adalah orang asing. Mungkin kita sudah bosan mendengar bagaimana bertaburnya kelompok musik gamelan Jawa di Amerika Serikat atau di seantero Benua Biru. Di Eropa, beberapa konservatori musik malah menyediakan jurusan musik karawitan atau gamelan Bali. Tengokkanlah kepala kita ke tempat yang paling terkenal di seantero negeri, misalnya di Erasmus Huis, sebuah pusat budaya Belanda di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam program bulanan kegiatan yang dicetak di atas brosur, bahasa Indonesia-lah yang didahulukan, kemudian baru disusul dengan bahasa Belanda, kemudian Inggris. Sewaktu ada pementasan, buku acara dan bahkan kata sambutannya pun – walau terbata-bata – mendahulukan bahasa Indonesia. Gilanya, hal ini justru berbanding terbalik apabila artis Indonesia yang tampil.
Dalam acara penerimaan Surat Kepercayaan Diplomatik (Letter de Creance) dari Duta Besar Afrika Selatan, Brasil, Slowakia, dan Kanada pada 12 Agustus 2009 lalu di Ruang Kredensial Istana Merdeka, sebagai Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang orang Indonesia, memberi sambutan, tentunya dalam bahasa Inggris. Lalu, sebagai perwakilan diplomatik, kata sambutan dari beberapa duta besar menyusul secara bergantian. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Slowakia untuk Republik Indonesia, Stefan Rozkopal, mendapat kesempatan penyampaian sambutan di urutan ketiga setelah Duta Besar Afrika Selatan dan Duta Besar Brasil. Dubes Stefan yang asli Slowakia ini, yang tidak ada untungnya karena memakai bahasa Indonesia, malah dengan lantangya berpidato dalam bahasa Indonesia dengan fasih tanpa cacat.
Sudah cukup muakkah kita membaca keprihatinan di atas?

Peranan Penting Bahasa
Sebetulnya, seberapa pentingkah peranan bahasa bagi suatu bangsa dan negara? Mungkin ada baiknya jika kita menegok sebentar sejarah bahasa Indonesia dan melihat sikap negara-negara lain terhadap bahasa nasionalnya.
Pada zaman penjajahan Belanda, kesempatan pendidikan untuk rakyat Indonesia hanya diberikan kepada anak-anak kalangan atas. Tujuannya agar kalangan kelas atas tersebut pada gilirannya mampu membantu Pemerintah Belanda dalam hal pelayanan masyarakat. Akibatnya, pada masa itu kalangan terdidik yang pandai berbahasa Belanda menjadi kalangan elite Indonesia. Bahasa Belanda digunakan oleh kaum elite pribumi sebagai sarana komunikasi di antara kalangan mereka sehari-hari, termasuk para nasionalis dan calon-calon pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno bahkan berkata, “Bahasa Belanda adalah bahasa yang saya gunakan jika saya berpikir, mengumpat, bahkan berdoa”.
Namun, para calon pemimpin ini menetapkan bahasa Indonesia – yang berakar dari bahasa Melayu dan merupakan bahasa yang sama sekali belum berkembang – sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia dalam Kongres Sumpah Pemuda tahun 1928. Mengapa bukan bahasa Belanda? Padahal, bahasa Belanda sudah menjadi bahasa komunikasi modern yang sudah beratus-ratus tahun digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dari segi struktur dan tata bahasa pun bahasa Belanda sudah mapan. Jawabannya jelas. Para calon pemimpin itu menyadari bahasa Belanda merupakan simbol penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Secara politis, penggunaan bahasa Belanda dapat menghambat atau menghalangi kemerdekaan Indonesia yang justru sedang diperjuangkan. Bahasa Indonesia adalah lambang nasionalisme. Selain merupakan keputusan politis, bahasa Indonesia juga merupakan keputusan sosial karena hanya bahasa Indonesia yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mempersatukan Indonesia. Walaupun Bung Karno belum seratus persen merasa nyaman dengan bahasa Indonesia yang masih baru, namun jika harus berpidato di depan rakyat, Bung Karno selalu menggunakan bahasa Indonesia.[4]
Hal serupa juga terjadi dengan bahasa Indonesia di Timor Timur. Ketika wilayah Timor Timur secara resmi memisahkan diri dari Republik Indonesia, Pemerintah Timor Timur menetapkan bahasa Portugis sebagai bahasa nasional mereka. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Asia Foundation pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 63% rakyat Timor Timur lancar berbahasa Indonesia, namun hanya 3% yang mendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Timor Timur.[5] Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia dianggap sebagai simbol penjajahan dan kebrutalan Indonesia terhadap rakyat Timor Timur, menjadikannya sebagai sebuah reaksi emosional untuk menentang sesuatu yang berbau Indonesia. Jadi, walaupun sebagian besar penduduk Timor Timur tidak mengenal bahasa Portugis dan merasa kesulitan harus mempelajari lagi bahasa yang baru di samping penggunaan bahasa Tetun sebagai bahasa ibu, rakyat Timor Timur beranggapan bahwa bahasa Portugis merupakan simbol kemerdekaan dan nasionalisme. Kini, walaupun bertetangga dengan Indonesia, mereka lebih suka belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ketimbang bahasa Indonesia.
Contoh lain yang dapat diamati adalah ketika sebelum Mary Donaldson, wanita dari kalangan rakyat Australia biasa, menikah dengan Pangeran Frederik dari Denmark. Ia diharuskan mempelajari terlebih dahulu budaya, bahasa, dan etiket Denmark karena dalam acara-acara kenegaraan nantinya, Mary harus mampu berbicara dalam bahasa Denmark. Padahal, bahasa Inggris adalah bahasa kedua yang sangat dikuasai oleh sebagian besar rakyat Denmark.
Bahasa sesungguhnya adalah wacana dan sarana komunikasi budaya sebuah bangsa. Bahasa mencerminkan inti, karakter, ciri, dan semangat sebuah budaya. Bahasa seperti sebuah gerbang yang memudahkan kita untuk masuk dan mengerti budaya suatu bangsa. Secara teknis memang mudah untuk menerjemahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain, namun untuk menerjemahkan sikap dan nilai budaya suatu bangsa tidak akan semudah itu karena kosa kata bahasa suatu negara mencerminkan budaya bangsa tersebut yang tentunya tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa lain.
Boyé Lafayette De Mente, seorang jurnalis, penulis, dan editor yang pernah menjadi anggota agen intelejen Amerika, telah menulis lebih dari 50 buku tentang kaitan bisnis, budaya, dan bahasa di Jepang, Cina, Korea dan Meksiko. Dalam bukunya yang berjudul “Japan Unmasked: The Character and Culture of The Japanese”, Boyé menulis bahwa pada awalnya bahasa Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan untuk mencegah masuknya orang asing. Pada zaman pemerintahan Shogun Tokugawa, mengajarkan bahasa Jepang pada orang asing merupakan pelanggaran berat.[6] Hingga kini, bahasa Jepang sangat berkaitan erat dengan proses berpikir dan tingkah laku orang Jepang sehingga apabila ada orang asing yang fasih berbahasa Jepang tanpa bertingkah laku seperti orang Jepang, orang tersebut akan dianggap tidak menghargai budaya Jepang dan tidak bisa dipercaya.
Dengan berakhirnya sistem monarki di Perancis, bahasa Perancis tidak hanya menjadi simbol identitas nasional bagi orang Perancis tapi juga lambang kejayaan budaya dan imperialisme di masa lalu. Presiden Perancis, Georges Jean Raymond Pompidou (1969-1974), bahkan mengatakan bahwa, ”Karena bahasa Perancislah negara Perancis dipandang oleh dunia sebagai negara yang bukan sekadar suatu negara.” Anatole France, penyair Perancis, pemenang hadiah Nobel Sastra tahun 1921, mengimplisitkan bahasa Perancis sebagai sesosok wanita cantik yang penuh percaya diri, rendah hati, berkepribadian kuat, luhur, hangat, dan seksi sehingga siapapun yang mengenalnya akan jatuh cinta sepenuh hati.[7]
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai bahasa komunikasi antarbangsa, bahasa Inggris menjadi semakin penting untuk dipelajari di era globalisasi saat ini. Mantan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, beberapa tahun lalu sewaktu memimpin Negeri Mode Dunia itu bahkan mewajibkan anak-anak usia sekolah untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Indonesia pun tidak ketinggalan. Berbondong-bondongnya orang-orang Indonesia mendirikan sekolah dengan label internasional dengan pengantar bahasa Inggris merupakan suatu fenomena yang menggembirakan karena kini sekolah internasional memang tidak lagi menjadi monopoli orang asing. Ada kesetaraan akses bagi anak-anak Indonesia guna memperoleh pendidikan berkualitas internasional dengan harga yang lebih terjangkau. Kesempatan untuk belajar bahasa kedua, yakni bahasa Inggris, kini terbuka lebar. Sayangnya hal ini malah menghasilkan bahasa gado-gado.

Masa Depan Bahasa Indonesia
Mencampur bahasa Indonesia dengan kosa kata bahasa Inggris yang sepotong-sepotong sehingga menjadi bahasa gado-gado ke dalam wacana formal dan tulisan tidak akan membawa bangsa Indonesia menjadi “masyarakat dwibahasawan” yang terdidik. Jika hal ini dibiarkan begitu saja maka akan makin sedikit orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Berkurangnya pengguna bahasa Indonesia pelan-pelan akan mengikis identitas bangsa dan menggerogoti kelestarian budaya Indonesia. Pada saat yang sama, kemampuan masyarakat Indonesia berbahasa Inggris dengan baik pun akan terhambat karena sudah terbiasa menyelipkan kosa kata bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia. Akibatnya, berbahasa Indonesia yang baik dan benar jadi tidak becus, berbahasa Inggris pun jadi berantakan.
Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari bahasa Indonesia menjadi bahasa gado-gado seperti bahasa Manglish di Malaysia, yaitu bahasa Malaysia yang dicampur dengan bahasa Inggris yang lazim digunakan di Malaysia. Jika di Malaysia ada Manglish, di Filipina ada Taglish, di Singapura ada Singlish, dan sebentar lagi mungkin akan ada Indolish, bahasa yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Bahasa adalah budaya bangsa. Almarhum W.S. Rendra pernah berkata bahwa sebuah bangsa tidak cukup hanya terdidik, tetapi juga harus berbudaya. “Karena kebudayaan merupakan tulang punggung peradaban bangsa,” tambah pengamat masalah pendidikan, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd..[8]
Dr. James Sneddon, Associate Professor di Griffith University, Brisbane, Australia, dalam buku yang ditulisnya, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, mengatakan, “Masa depan bahasa Indonesia akan berkaitan erat dengan masa depan negara Indonesia. Jika Indonesia tetap bersatu dan makmur maka bahasa Indonesia pun akan tetap lestari. Jika Indonesia terpecah belah, bahasa Indonesia akan tetap ada namun akan mengarah kepada ketidakstabilan yang mengikuti jenis atau bentuk pemerintahan yang ada. Dengan demikian maka kelestarian bahasa Indonesia di masa depan akan tergantung pada kemampuan masyarakat yang berbahasa Indonesia dalam memecahkan masalah perbahasaan yang dialami saat ini. Bahasa Indonesia pernah menjadi elemen terpenting dalam mempersatukan negara kepulauan Indonesia; kini persatuan Indonesia akan menjadi sangat penting dalam menentukan masa depan bahasa Indonesia”.[9]
Jadi, merujuk kepada Sumpah Pemuda yang pernah dinyatakan oleh leluhur kita, bahasa manakah yang akan tetap kita junjung tinggi? Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau malah bahasa Indolish? Sayangnya, sebelum kita memilih ternyata pilihan terakhir sudah terlanjur erat membudaya.


[1]http://m.koran-sindo.com/node/375408, diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 11.00 WIB.
[3])  Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia.
[4])  Kahin, George McTurnan dan Nin Bakdi Soemanto. 1952. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[5])  Ramagee, Douglas, dkk. 2003. Demokrasi di Indonesia: Sebuah Survei Pemilih Indonesia 2003. Jakarta: The Asia Foundation.
[6])  Mente, Boyé Lafayette De. 2005. Japan Unmasked: The Character and Culture of The Japanese. Tokyo: Tuttle Publishing.
[7])  France, Anatole dan Frederic Chapman. 2003. The Revolt of The Angels (Edisi Revisi). Whitefish: Kessinger Publishing LLC.
[9])  Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales Press.


contoh essay bahasa indonesia
cara membuat essay

Artikel Terkait