(essay) Me(nye)mbunyikan Bahasa Indonesia: Masih Banggakah?

membuat essay bahasa Indonesia

Me(nye)mbunyikan Bahasa Indonesia: Masih Banggakah?
Ilham Maulana Ash Shiddieq

Nol gwen zini, zen diki eiwa de olsa zen dawemkam gwirensïk
gwen – nen men kirekam taïblïbin hip dena tawa la gwibirinke.
Zen dekam sa aha zisi eiwa desan dep tïtï da gwibir.
Hen zini men zen ola insa baes nei gwibißin,
desa sa anakan oto dasïk gwibir,
“Em kire nakone ësyal he'an.”

Bahasa apakah di atas? Yang pasti bukan bahasa Mordor dalam film The Lord of The Rings atau bahasa Klingon dalam film Star Trek. Tulisan di atas adalah kutipan salah satu ayat Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Orya, bahasa lokal yang digunakan oleh saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di Papua. Penutur sekaligus penggunanya yang tersisa hanya sekitar 1.600 orang namun hingga kini bahasa tersebut masih digunakan dan dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Orya.
Bahasa Orya hanyalah satu dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa lokal di wilayah timur Indonesia pada umumnya tidak berasal dari bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu sehingga jarang sekali ditemukan kata-kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Namun, beruntunglah kita punya bahasa Indonesia sehingga jika kita harus pergi ke Papua, kita tidak perlu belajar bahasa Orya terlebih dahulu. Dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan penduduk di Papua.
Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia (bisa) berbahasa Indonesia.
Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh para pemimpin terdahulu mungkin tidak terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau kita menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama, mungkin baru akan terasa bahwa bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.
Dr. Tom Boellstorff, ahli antropologi dari University of California, Irvine, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian tentang bahasa gay atau bahasa banci di Indonesia, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi kaum homoseksual di Indonesia. Dalam artikel berjudul “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging” yang dimuat dalam Journal of Linguistic Anthropology terbitan American Anthropological Association, Dr. Boellstorff memaparkan bahwa bahasa gay atau bahasa banci adalah salah satu bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa persatuan Indonesia dalam pembentukan bahasa gay. Ke manapun kita pergi, tidak akan ada perbedaan yang berarti antara bahasa banci yang digunakan di Jakarta, Makasar, ataupun Bali karena yang ada hanyalah bahasa banci Indonesia atau bahasa gay Indonesia. Seperti ada rasa kesatuan dan nasionalisme di kalangan homoseksual di seluruh Indonesia yang terbentuk lewat bahasa. Keberadaan bahasa banci, walaupun ada kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali, pada proses transformasinya selalu mengacu pada tata bahasa Indonesia. Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi dari posisi unik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang memegang peranan penting dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa banci inilah yang akhirnya menjadi bahasa gaul.[1]
Bahasa Indonesia juga tidak luput memengaruhi pembentukan bahasa tidak baku (informal) di seluruh wilayah Indonesia secara nasional. Seorang konsultan Amerika yang pernah selama enam belas tahun tinggal di Papua menyatakan ketakjubannya ketika mendapati bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk Jakarta di pulau Jawa ternyata tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Papua.
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Tanpa kita sadari, kita telah tumbuh menjadi bangsa yang menghargai persatuan. Toleransi kita terhadap perbedaan suku, ras, agama, dan bahasa daerah sangat tinggi. Tidak ada bangsa Jawa, bangsa Papua, atau bangsa Bali. Akan tetapi, yang ada hanyalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Tahukah Anda bahwa bahasa persatuan Indonesia yang kita anggap biasa-biasa saja ini diidamkan oleh negara tetangga? Di bawah ini merupakan salah satu lontaran pemikiran yang dikutip dari www.malaysia.youthsays.com, sebuah wadah tempat generasi muda Malaysia bertukar pikiran, pendapat, dan melontarkan pertanyaan.
Kenapa rakyat Malaysia tak suka berbahasa Melayu? Kita lihat ramai rakyat Malaysia yang tak suka dan tak mahu berbahasa Melayu/Malaysia. Malahan laman web untuk generasi muda Malaysia sendiri tidak menggunakan bahasa kebangsaan atau sekurang-kurangnya dwibahasa. Sedangkan rakyat Indonesia yang berbilang bangsa membawa bahasa mereka ke serata dunia. Sila beri pendapat anda.

Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.[2]
Sejak bulan Maret 2009, situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.
Konon, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Vietnam, Kamboja, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?
Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta orang, seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya di Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga. Pada kenyataannya, bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.
Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008, 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika Serikat adalah bahasa Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina (Mandarin), Latin, Rusia, Arab, dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geo-politiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi, dan Indonesia karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI (Federal Bureau of Investigation), Biro Investigasi Federal Amerika Serikat.[3]
Seiichi Okawa, koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun drastis. Bangkitnya perekonomian Cina dan tingginya pengaruh sinetron-sinetron Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan bahasa Inggris, Perancis, dan bahasa lainnya.
Hingga tahun 1990-an, bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden Kantor Berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007, penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, sedangkan bahasa Korea 15,3 persen, dan bahasa Jepang 1,5 persen. Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya, banyak universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia.[4] Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Negeri Kangguru.
Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan Perdana Menteri John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau “travel advisory” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia setelah peristiwa Bom Bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat Pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.
Dr. James Sneddon, Associate Professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya, bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok untuk dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis, dan lain-lain.[5]
Selain itu, kemahiran Kevin Rudd yang pernah menjabat dua kali sebagai Perdana Menteri Australia dalam berbahasa Mandarin kini ikut memengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina. Hal ini semakin memicu drastisnya penurunan tingkat pembelajaran bahasa Indonesia di Negeri Kangguru.
Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika mereka berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Hal ini tidak mengherankan karena diglosia dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Maksudnya, terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan informal atau tidak resmi, seperti yang terjadi pada bahasa tulis dan bahasa lisan.[6] Baru dalam beberapa tahun terakhir saja, bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan resmi, banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Para penutur di Indonesia cenderung menggunakan bahasa Indonesia dengan bebas tanpa terikat \ kaidah-kaidah kebahasaan yang baku. Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di kalangan orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia di universitas.

Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaan bahasa Indonesia di negeri kelahirannya sendiri? Ternyata meskipun digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Indonesia. Di antara 6 mata pelajaran Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.
Banyak guru menyayangkan bahwa selama ini pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah hanya menjadi semacam syarat. Murid tidak memahami secara mendalam tentang tata cara dalam berbahasa yang sesungguhnya. Padahal bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak dilatih dan dibina secara serius. Idealnya, para siswa harus dibiasakan membaca koran, karya-karya sastra, menulis esai, dan menganalisis tulisan, serta menonton siaran berita televisi.
Namun, hal tersebut juga belum tentu menyelesaikan persoalan karena saat ini tidak semua media memiliki acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah bahasa Indonesia sehingga terjadi ketidakseragaman istilah yang pada gilirannya merusak bahasa Indonesia dan membingungkan penuturnya.
Pemerintah daerah pun pada umumnya kurang peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Ketidaktertiban administrasi dalam berbahasa banyak sekali ditemukan di ruang publik. Pemerintah daerah cenderung menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dipahami secara umum tanpa memperhatikan ketatabahasaan yang baku dan kohesi-koherensi antardiksi. Hal ini membuat ketidakrapian penggunaan bahasa sangat sering dijumpai dalam laman-laman web resmi pemerintah daerah ataupun kesekretariatan pemerintah daerah.
Ketika Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengunjungi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam bahasa Indonesia, peristiwa tersebut diberitakan ramai-ramai di Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang Presiden Amerika Serikat bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, walaupun yang diucapkannya hanya, “terima kasih, apa kabar?”.
Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang. Beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, ketika Pemerintah Vietnam menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di seluruh wilayah Negara Vietnam, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. Nur Hassan Wirajuda, langsung melakukan lawatan dalam rangka mempererat hubungan diplomatik dengan negara tersebut.
Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting bahasa Indonesia. Sebaliknya, kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.
Dr. Anton M. Moeliono, Guru Besar Bahasa Indonesia dan Linguistik di Universitas Indonesia, pernah berkata, “Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa.”[7]
Memang, masih banyak orang Indonesia yang gemar membunyikan bahasa Indonesia meskipun juga gemar menyembunyikannya dari celotehan sehari-hari karena terlanjur fanatik dengan kecintaannya terhadap bahasa asing. Jadi, sebetulnya, masih banggakah kita belajar bahasa Indonesia?



[1])  Boellstorff, Tom. 2004. “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging dalam Journal of Linguistic Anthropology (Volume XIV, Issue 2). Irvine: University of California Press.
[2]Central Intelligence Agency. 2009. The World Fact Book: 2009 Edition. Dulles: Potomac Books, University of Nebraska Press.
[3]Forbes Magazine: February 2008 Issue. 2008. New York City: Forbes, Inc.
[4]http://rnasution.blogspot.com/2008/11/mengembalikan-popularitas-bahasa.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 15.00 WIB.
[5])  Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales Press.
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Diglosia, diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 9.00 WIB.
[7])  Moeliono, Anton M. 1997. Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.Me(nye)mbunyikan Bahasa Indonesia: Masih Banggakah?
Ilham Maulana Ash Shiddieq

Nol gwen zini, zen diki eiwa de olsa zen dawemkam gwirensïk
gwen – nen men kirekam taïblïbin hip dena tawa la gwibirinke.
Zen dekam sa aha zisi eiwa desan dep tïtï da gwibir.
Hen zini men zen ola insa baes nei gwibißin,
desa sa anakan oto dasïk gwibir,
“Em kire nakone ësyal he'an.”

Bahasa apakah di atas? Yang pasti bukan bahasa Mordor dalam film The Lord of The Rings atau bahasa Klingon dalam film Star Trek. Tulisan di atas adalah kutipan salah satu ayat Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Orya, bahasa lokal yang digunakan oleh saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di Papua. Penutur sekaligus penggunanya yang tersisa hanya sekitar 1.600 orang namun hingga kini bahasa tersebut masih digunakan dan dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Orya.
Bahasa Orya hanyalah satu dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa lokal di wilayah timur Indonesia pada umumnya tidak berasal dari bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu sehingga jarang sekali ditemukan kata-kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Namun, beruntunglah kita punya bahasa Indonesia sehingga jika kita harus pergi ke Papua, kita tidak perlu belajar bahasa Orya terlebih dahulu. Dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan penduduk di Papua.
Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia (bisa) berbahasa Indonesia.
Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh para pemimpin terdahulu mungkin tidak terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau kita menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama, mungkin baru akan terasa bahwa bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.
Dr. Tom Boellstorff, ahli antropologi dari University of California, Irvine, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian tentang bahasa gay atau bahasa banci di Indonesia, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi kaum homoseksual di Indonesia. Dalam artikel berjudul “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging” yang dimuat dalam Journal of Linguistic Anthropology terbitan American Anthropological Association, Dr. Boellstorff memaparkan bahwa bahasa gay atau bahasa banci adalah salah satu bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa persatuan Indonesia dalam pembentukan bahasa gay. Ke manapun kita pergi, tidak akan ada perbedaan yang berarti antara bahasa banci yang digunakan di Jakarta, Makasar, ataupun Bali karena yang ada hanyalah bahasa banci Indonesia atau bahasa gay Indonesia. Seperti ada rasa kesatuan dan nasionalisme di kalangan homoseksual di seluruh Indonesia yang terbentuk lewat bahasa. Keberadaan bahasa banci, walaupun ada kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali, pada proses transformasinya selalu mengacu pada tata bahasa Indonesia. Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi dari posisi unik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang memegang peranan penting dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa banci inilah yang akhirnya menjadi bahasa gaul.[1]
Bahasa Indonesia juga tidak luput memengaruhi pembentukan bahasa tidak baku (informal) di seluruh wilayah Indonesia secara nasional. Seorang konsultan Amerika yang pernah selama enam belas tahun tinggal di Papua menyatakan ketakjubannya ketika mendapati bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk Jakarta di pulau Jawa ternyata tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Papua.
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Tanpa kita sadari, kita telah tumbuh menjadi bangsa yang menghargai persatuan. Toleransi kita terhadap perbedaan suku, ras, agama, dan bahasa daerah sangat tinggi. Tidak ada bangsa Jawa, bangsa Papua, atau bangsa Bali. Akan tetapi, yang ada hanyalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Tahukah Anda bahwa bahasa persatuan Indonesia yang kita anggap biasa-biasa saja ini diidamkan oleh negara tetangga? Di bawah ini merupakan salah satu lontaran pemikiran yang dikutip dari www.malaysia.youthsays.com, sebuah wadah tempat generasi muda Malaysia bertukar pikiran, pendapat, dan melontarkan pertanyaan.
Kenapa rakyat Malaysia tak suka berbahasa Melayu? Kita lihat ramai rakyat Malaysia yang tak suka dan tak mahu berbahasa Melayu/Malaysia. Malahan laman web untuk generasi muda Malaysia sendiri tidak menggunakan bahasa kebangsaan atau sekurang-kurangnya dwibahasa. Sedangkan rakyat Indonesia yang berbilang bangsa membawa bahasa mereka ke serata dunia. Sila beri pendapat anda.

Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.[2]
Sejak bulan Maret 2009, situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.
Konon, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Vietnam, Kamboja, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?
Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta orang, seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya di Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga. Pada kenyataannya, bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.
Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008, 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika Serikat adalah bahasa Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina (Mandarin), Latin, Rusia, Arab, dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geo-politiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi, dan Indonesia karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI (Federal Bureau of Investigation), Biro Investigasi Federal Amerika Serikat.[3]
Seiichi Okawa, koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun drastis. Bangkitnya perekonomian Cina dan tingginya pengaruh sinetron-sinetron Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan bahasa Inggris, Perancis, dan bahasa lainnya.
Hingga tahun 1990-an, bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden Kantor Berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007, penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, sedangkan bahasa Korea 15,3 persen, dan bahasa Jepang 1,5 persen. Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya, banyak universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia.[4] Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Negeri Kangguru.
Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan Perdana Menteri John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau “travel advisory” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia setelah peristiwa Bom Bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat Pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.
Dr. James Sneddon, Associate Professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya, bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok untuk dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis, dan lain-lain.[5]
Selain itu, kemahiran Kevin Rudd yang pernah menjabat dua kali sebagai Perdana Menteri Australia dalam berbahasa Mandarin kini ikut memengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina. Hal ini semakin memicu drastisnya penurunan tingkat pembelajaran bahasa Indonesia di Negeri Kangguru.
Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika mereka berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Hal ini tidak mengherankan karena diglosia dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Maksudnya, terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan informal atau tidak resmi, seperti yang terjadi pada bahasa tulis dan bahasa lisan.[6] Baru dalam beberapa tahun terakhir saja, bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan resmi, banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Para penutur di Indonesia cenderung menggunakan bahasa Indonesia dengan bebas tanpa terikat \ kaidah-kaidah kebahasaan yang baku. Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di kalangan orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia di universitas.

Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaan bahasa Indonesia di negeri kelahirannya sendiri? Ternyata meskipun digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Indonesia. Di antara 6 mata pelajaran Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.
Banyak guru menyayangkan bahwa selama ini pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah hanya menjadi semacam syarat. Murid tidak memahami secara mendalam tentang tata cara dalam berbahasa yang sesungguhnya. Padahal bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak dilatih dan dibina secara serius. Idealnya, para siswa harus dibiasakan membaca koran, karya-karya sastra, menulis esai, dan menganalisis tulisan, serta menonton siaran berita televisi.
Namun, hal tersebut juga belum tentu menyelesaikan persoalan karena saat ini tidak semua media memiliki acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah bahasa Indonesia sehingga terjadi ketidakseragaman istilah yang pada gilirannya merusak bahasa Indonesia dan membingungkan penuturnya.
Pemerintah daerah pun pada umumnya kurang peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Ketidaktertiban administrasi dalam berbahasa banyak sekali ditemukan di ruang publik. Pemerintah daerah cenderung menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dipahami secara umum tanpa memperhatikan ketatabahasaan yang baku dan kohesi-koherensi antardiksi. Hal ini membuat ketidakrapian penggunaan bahasa sangat sering dijumpai dalam laman-laman web resmi pemerintah daerah ataupun kesekretariatan pemerintah daerah.
Ketika Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengunjungi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam bahasa Indonesia, peristiwa tersebut diberitakan ramai-ramai di Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang Presiden Amerika Serikat bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, walaupun yang diucapkannya hanya, “terima kasih, apa kabar?”.
Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang. Beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, ketika Pemerintah Vietnam menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di seluruh wilayah Negara Vietnam, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. Nur Hassan Wirajuda, langsung melakukan lawatan dalam rangka mempererat hubungan diplomatik dengan negara tersebut.
Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting bahasa Indonesia. Sebaliknya, kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.
Dr. Anton M. Moeliono, Guru Besar Bahasa Indonesia dan Linguistik di Universitas Indonesia, pernah berkata, “Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa.”[7]
Memang, masih banyak orang Indonesia yang gemar membunyikan bahasa Indonesia meskipun juga gemar menyembunyikannya dari celotehan sehari-hari karena terlanjur fanatik dengan kecintaannya terhadap bahasa asing. Jadi, sebetulnya, masih banggakah kita belajar bahasa Indonesia?


[1])  Boellstorff, Tom. 2004. “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging dalam Journal of Linguistic Anthropology (Volume XIV, Issue 2). Irvine: University of California Press.
[2]Central Intelligence Agency. 2009. The World Fact Book: 2009 Edition. Dulles: Potomac Books, University of Nebraska Press.
[3]Forbes Magazine: February 2008 Issue. 2008. New York City: Forbes, Inc.
[4]http://rnasution.blogspot.com/2008/11/mengembalikan-popularitas-bahasa.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 15.00 WIB.
[5])  Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales Press.
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Diglosia, diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 9.00 WIB.
[7])  Moeliono, Anton M. 1997. Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.

Artikel Terkait