DALAM beberapa hari ini kita mendapatkan banyak ‘pertunjukan’ yang tidak setiap saat bisa kita lihat. Karena pahargyan ageng dengan pelbagai prosesi yang lengkap ini tentu hanya ada jika Ngarsa Dalem memiliki hajat mantu. Segala ‘atraksi’ ini memiliki arti cukup banyak. Dari dimensi kraton, merupakan bagian upacara tradisi. Ini tentu ingin direkonstruksi secara kuat. Dan dalam dimensi lain, untuk mengembangkan nilai-nilai budaya penuh makna dan pesan moral spiritual yang patut disimak masyarakat luas.
Dalam dimensi lain adalah pelestarian aspek budaya, dari kraton maupun dari masyarakat Jawa atau Indonesia. Di masa kini, perlu rekaman, pemeliharaan budaya yang memiliki makna strategis untuk edukasi, pemeliharaan mental dan moral budaya masyarakat tanpa melupakan akar budayanya sendiri.
Rangkaian prosesi pahargyan ageng mulai dari nyantri, siraman, pasang tarub, bleketepe, tantingan, midodareni hingga ijab qabul, panggih dengan dhahar klimah serta kacar kucur memberikan pelajaran untuk adalah memperteguh pesan-pesan moral dalam kehidupan manusia. Ini bukan sekadar pertunjukan tanpa makna. Dan di dalam situasi sekarang, prosesi ini sangat tepat, karena mengingatkan kita adanya pesan-pesan moral dalam kehidupan manusia, yang diawali dalam kehidupan berumah tangga.
Semua ini mempertegas pesan-pesan dari paradigma Kraton Ngayogyakarta yang sejak dari Sri Sultan HB IX ingin membangun sebuah konsep masyarakat-bangsa. Ini yang diwujudkan kemudian sebagai ‘tahta untuk rakyat’. Konsep yang memuat manifestasi pesan moral dan budaya yang menjadi bagian perekat tahta: kraton untuk masyarakat. Sesuatu yang sekaligus menggambarkan hubungan yang masih terpelihara antara kratin dan masyarakat dalam membentuk pengenalan rasa, nilai budaya. Sehingga, masyarakat akan ikut menikmati, merasakan nilai-nilai yang ada dalam tradisi penuh pesan moral-nilai relijiusitas, nilai budaya dan pemantapan kearifan.
Ini menggambarkan masyarakat Jawa umumnya dan Yogyakarta khususnya masih memiliki hubungan rasa bersatu dengan kraton sebagai panutan sosial budaya. Sehingga pelaksanaan kirab pahargyan agung disambut warga yang dengan sukarela menyediakan makanan di sepanjang Malioboro atau tempat kirab, masyarakat ingin melihat pelaksanaan kirab dan lainnya. Apalagi kali ini, kirab dengan kereta pusaka juga diikuti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisuri GKR Hemas serta para putri Dalem. Sesuatu yang sangat langka.
Inilah local wisdom, kearifan local yang khas masyarakat Yogyakarta. Inilah upaya meningkatkan, menghidupkan kembali rasa budaya masyarakat untuk dikembangkan sebagai bagian dikembangkan rasa budaya bangsa. Ada kesadaran pemilik identitas. Sebagai budaya leluhur, sekalipun di tangan seseorng yang sudah modern-pun tetap berakhir pada ‘pentas’ kirab. Inilah sebuah pemahaman kesadaran akan identitas budaya masyarakat Nusantara. Yang dimaknai dan digunakan untuk memantapkan jatidiri masyarakat Indonesia yang harus berakar pada local wisdom. Dan ini dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena tidak semua wilayah memiliki dan ada. Kalaupun ada, belum tentu masih hidup dan terjaga.
Di sini lengkap. Kita memiliki local wisdomdalam tradisi luhur untuk menguatkan jatidiri. Dan masyarakat pun sesungguhnya terus memelihara nilai-nilai tersebut. Apa yang selama ini diikuti masyarakat ketika melaksanakan upacara perkawinan menunjukkan bila esistensi dan keberadaan kraton adalah sebagai panutan. Sebagai panutan ini adalah peugeran budaya dalam bersentuhan. Sehingga masyarakat memiliki kebanggaan daan pemeliharaan makna-makna simbolis untuk terus dikembangkan.
Kraton masih memiliki kemampuan untuk eksistentsi dan masih memiliki kekokohan dalam budaya. Sebab masih mampu melaksanakan tradisi yang utuh. Yang menarik adalah tanpa meninggalkan kemajuan teknologi. Perhelatan yang cukup megah - bukan mewah - ini hanya bisa diselenggarakan kraton. Orang biasa tidak mungkin bisa.
(Prof Dr Djoko Surjo. Sejarawan UGM)