Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung Karang
di Kabupaten Pandeglang, ditemukan pula batu batuan berbentuk dolmen, di antaranya:
1. Batu Ranjang.
Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
2. Batu Pangasaman.
Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3. Batu
Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan Mandalawangi.
Sedangkan batu batu yang ditemukan dalam bentuk lain, diduga
memiliki nilai kepurbakalaan, antara lain:
1. Batu Sanghiyang
Kotok. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2. Batu Cangkrung.
Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3. Batu Keris dan
Bata Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
4. Batu Kuda I.
Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5. Batu Kuda II.
Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa Parigi, Kecamatan
Saketi.
6. Batu Qur'an.
Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7. Batu Notod.
Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8. Batu Saketeng.
Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9. Batu Tumbung.
Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
10. Batu Kasur. Lokasi di Kampung Nembol, Kecamatan
Mandalawangi.
11. Batu Tongtrong. Lokasi di Desa Palanyar, Kecamatan
Cimanuk.
12. Batu Kolam Citaman. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan
Menes.
Di kawasan Popinsi Banten, masih terdapat gejala religi
"agama masa silam", dan masih dianut oleh kelompok masyarakat yang
menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal). Hal ini diperkuat oleh
laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun 1908, dalam laporan
resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929: 47), yang dikutip Judistira Garna
dalarn bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan kepercayaan, orang orang Baduy merupakan
kelompok yang mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam.
Meskipun kita telah jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya
mengenai pandangan mereka namun melihat keterasingannya yang ketat yang mereka
lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa mereka itu bukan penganut ajaran
Ciwa atau Wisnu, bukan pula penganut suatu sekte Hindu ataupun Buddha.
Walaupun kurang terdapat keterangan terinci, namun
berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat serta
pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda sebagai
kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk oleh
penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama Islam
sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987: 61)
Mengenai jejak religi masa silam seperti itu, Saleh
Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain sebagai berikut:
Sesuai dengan kehidupan leluhurnya yang masih biasa
berpindah pindah tiap habis musim panen, watak agama yang diwarisinya lebih
sederhana dalam arti: praktis, akrab, dengan alam dan lebih mengutamakan isi
daripada bentuk. Praktis sehingga dapat dilaksanakan di manapun mereka berada.
Akrab dengan alam sehingga lebih mengutamakan keheningan
mutlak daripada kehiruk-pikukan masa. Lebih mementingkan isi sehingga ukuran
kesungguhan dan kekhidmatan tidak didasarkan kepada nilai-nilai materil benda
benda upacaranya melainkan dalam hati dan tingkah laku.
Jelas upacara upacara dalam agama Hindu yang penuh
formalitas dengan urutan yang ketat serta mantera mantera yang tak boleh salah
ucap atau salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang diwarisi dari
para leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh sudah cukup
untuk dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai batu itu
ditinggalkannya karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis. Namun,
sejenak kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar merupakan modal
mereka yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib (Danasamita,1984:
43).
Situs religi masa silam terbesar di wilayah Propinsi Banten,
berupa peninggalan dari masa pra Hindu, dengan ditemukannya beberapa punden
berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan peninggalan tersebut,
diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak Sibedug dan Arca Doms di
Banten Selatan(1993), antara lain sebagai berikut:
Undakan batu di Kosala terdiri 5 tingkat yang pada setiap
tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai sebuah papan batu (lab
stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian bawah yang terpendam dalam tanah
terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor) yang bergaris tengah antara 10
15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat struktur berundak tersebut kedua
tangannya terlipat ke depan, salah satu di antaranya seperti dalam sikap
mangacungkan ibujari.
Arca Domas adalah bangunan berundak dengan 13 tingkatan dan
pada tingkat paling atas terdapat sebuah menhir berukuran besar, yang pemercaya
dianggap melambangkan Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh
roh akan kembali.
Monumen Lebak Sibedug juga merupakan bangunan berundak empat
tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak batu ini terdapat dataran yang di
tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir pusat ini ditunjang oleh batu batuan
berukuran kecil (Michrob,1993: 5 6).
Dalam naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang
Karesian, 'terdapat jejak "agama asli" yang jauh lebih mendasar, jika
dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan Budhisme. Hal tersebut pernah
dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai
berikut:
Dalam dasaperbakti di antaranya disebutkan, "ratu bakti
di dewata, dewata bakti di hiyang" (raja tunduk kepada dewata, dewata
tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang lah yang paling tinggi. Kemudian dinyatakan
bahwa dewa dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan lain lainnya tunduk
kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat (penguasa alam) "nu
ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur dunia gaib). Seda Niskala adalah
nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda = sempurna; niskala = gaib). Nama itu
dapat diartikan "Yang Maha Gaib" (Danasasmita, 1984:41).j
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang terdapat di Pulau
Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah dipindahkan ke
museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak oleh kebangkitan
kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan itulah, yang tidak
sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga Sanghiyang Dengdek
disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai bergaya
"primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama leluhur
Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca Hinduisme, dari
pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang Dengdek.
Tidak menutup kemungkinan, peninggalan kepurbakalaan
Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya (Karawang), terkuburannya
menjadi bukit bukit (hunyur), kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu
ngawakan Jati Sunda" yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan
"agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan parahiyangan". Sisa
dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyangan sepeti itu adalah Mandala Kanekes
yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman
kerajaan mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan “Jati Sunda"
yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu ("Baduy dalam") adalah
keturunan "para wiku", orang panamping ("Baduy luar) merupakan
keturunan "kaum sangga". Mereka bertugas melakukan "tapa di
mandala" dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun temurun sejak
masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984: 41).
Sendi sendi religi masa silam pra Hindu di seputar lereng
dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang merah religius, antara
tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan "Pitarapuja Hiyang" nya;
bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda, Galuh, Pajajaran dengan "Hiyang
Seda Niskala" nya, terlestarikan dalam refleksi masyarakat Sunda Wiwitan
(Baduy) masa kini dengan Agama Sundanya.