penjelasan paham konstitusionalisme terperinci

Tags




Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar menempati tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara. Dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna permakluman tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-hak rakyat.
Konstitusi dalam sejarah perkembangannya membawa pengakuan akan keberadaan pemerintahan rakyat. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan rakyat. Naskah dimaksud merupakan kontrak sosial yang mengikat setiap warga dalam membangun paham kedaulatan rakyat.
Dalam penyusunan undang-undang dasar, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan pada naskah. Dengan demikian, suasana kebatinan yang menjadi latar
110
belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan yuridis suatu ketentuan undang-undang dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal undang-undang dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu yang niscaya. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai saat ini, Inggris dan Israel dikenal tidak memiliki satu naskah undang-undang dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Menurut Phillips Hood and Jackson, Konstitusi Inggris adalah suatu bangun aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara dengan warga negara.
Berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara menganut paham kedaulatan rakyat, sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi dan paling fundamental sifatnya karena merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang
111
berlaku universal, agar peraturan yang tingkatannya berada di bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Pengaturan sedemikian rupa, menjadikan dinamika kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan negara dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, paham konstitusionalisme dalam suatu negara merupakan konsep yang seharusnya ada.
Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai hukum dalam penyelenggaraan negara. Konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of law (supremasi hukum) dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu. Konstitusionalisme mengemban the limited state (negara terbatas), agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi (Laica Marzuki, 2010).
Menurut Jhon Alder dan Daniel S.Lev paham konstitusionalisme adalah suatu paham negara terbatas, di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum, sehingga pada intinya, konstitusionalisme adalah suatu proses hukum yang mengatur masalah pembagian kekuasaan dan wewenang.
112
Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Konstitusi menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan, serta instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Kekuasaan dibutuhkan oleh negara karena memberi kekuatan vital bagi penyelenggaraan pemerintahan. Namun harus diwaspadai tatkala kekuasaan itu terakumulasi di tangan penguasa tanpa dibatasi konstitusi.
Sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut dimaksud memuat paham konstitusionalisme. Rakyat pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konsititusi. Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
113
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi pedoman dan norma hukum yang dijadikan sumber hukum bagi peraturan perundangan yang berada di bawahnya. Untuk menjaga paham konstitusionalisme maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang diberi tugas untuk menjaga Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi yang salah satu tugasnya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dimaksudkan agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga ini memberikan penegasan bahwa konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi merupakan puncak dari seluruh peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disusun oleh pendiri negara, secara keberlakuan mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan politik saat itu. Periodisasi keberlakuan tersebut menggambarkan bahwa konstitusi yang menjadi fundamen/dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar telah diuji dengan berbagai peristiwa dan kondisi bangsa sesuai dengan dinamika sejarah yang berlangsung saat itu.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia. Substansinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman sekaligus sarana pembaruan masyarakat ke arah cita-cita kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai negara di dunia, yang menjadikan undang-undang dasar hanya
114
sebagai konstitusi politik, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar serta bersifat terbuka yang memungkinkan untuk menampung dinamika perkembangan zaman. Walaupun demikian, meskipun perumusan undang-undang dasar bersifat garis besar, haruslah disusun agar ketentuan yang diatur tidak multi interpretasi sehingga tidak dapat ditafsirkan sewenang-wenang oleh para penyelenggara negara.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik para penyelenggara negara. Jika penyelenggara negara tidak berjiwa demokratis dan tidak memiliki tekad serta komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam praktek penyelenggaraan negara atau hanya menjadikannya sebagai retorika, pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi tidak akan terwujud. Akan tetapi, apabila semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, maka kekurangan dalam perumusan pasal undang-undang dasar tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan dasar negara Pancasila sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Asshiddiqie, Jimly, 2005).

Artikel Terkait