Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi
Sultan Anom (tahun 1651), penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan
Abdulmafakhir Abdulkadir meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten,
dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu.
Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan
dunia luar, terutama dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran
Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah, sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten
dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi
Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran
Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahan sehari hari, Sultan Abdulfatah dibantu oleh saudara saudara dan
kaum kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara. Antara lain, empat orang
saudara kandungnya, yaitu:
1. Pangeran Kilen;
2. Ratu Kulon;
3. Pangeran Lor; dan
4. Pangeran Raja.
Serta empat orang saudara seayah, yaitu:
1. Pangeran Wetan;
2. Pangeran Kidul;
3. Ratu Inten; dan
4. Ratu Tinumpuk.
Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan
Abdulfatah sangat besar perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga
ia sering berkeliling ke daerah laerah, untuk melihat sendiri kehidupan
penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi pedagang asing, Sultan Abdulfatah
bersikap sama dengan para pendahulunya, yang selalu tegas menolak setiap
tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten terbuka bagi semua pedagang, dari
manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan jujur.
Terhadap Kompeni Belanda, Sultan
Abdulfatah bersikap tegas dan keras. Dengan berpegang pada "amanat"
kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang langsung sarang Kompeni Belanda ke
Batavia, seperti yang pernah dilakukan oleh Mataram, merupakan pekerjaan yang
sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal". Oleh karena itu, Sultan
Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni Belanda di luar
sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya:
1. Kompeni Belanda,
harus dipancing keluar dari sarangnya;
2. Perkebunan tebu beserta kilang kilang
penggilingannya harus dimusnahkan; dan
3. Jalur angkutan laut, yang membawa keperluan
Kompeni dari arah timur, harus dipotong.
Untuk memenuhi strategi itu, Sultan Abdulfatah membentuk
kekuatan:
1. Di
laut, satuan satuan armada kecil; dan
2. Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, dilatih bergerak cepat sebagai "satuan
mobil", tanpa basis yang tetap (gerilya).
Mengenai satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi
yang pernah dilakukan oleh leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut
Wahanten Pasisir dan menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak
cepat" itulah, yang ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat
Kesultanan Surasowan Banten, dalam satuan satuan kecil, beroperasi di belakang
garis pertahanan Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan,
menurut perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni
Belanda, disepakati bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan
Banten dengan Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane.
Di wilayah perbatasan, pasukan
gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan
menghancurkan kilang penggilingan gula. Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda
untuk mengadakan patroli terus menerus. Akan tetapi, setiap ada kesempatan,
pasukan patroli Kompeni Belanda, disergap oleh pasukan gerak cepat Kesultanan
Surasowan Banten. Demikian pula halnya di perairan Ciasem dan Karawang, kapal kapal
pengangkut dari arah Timur, dihadang oleh armada kecil pasukan Banten.
Tujuannya, supaya kapal kapal itu, tidak akan pernah sampai ke Batavia.
Dari sistem strategi dan aksi aksi
yang dilakukan, terlihat watak maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan
Abdulfatah, yaitu: lincah dan tidak senang menunggu. Semua aksi aksinya,
dilakukan dengan tujuan untuk bisa mencegah "pembaharuan perjanjian",
yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat menekan pihak Kompeni Belanda, agar
bersikap "lebih lunak" dalam meja perundingan.
Kompeni Belanda, yang semula
bersikap "tenang" menghadapi Sultan Abdulmafakhir, hingga
"berhasil" mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan"
oleh kelincahan dan ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda berharap,
dalam "pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami
hambatan dan kesulitan.
Sultan Abdulfatah, telah
memusnahkan segala harapan Kompeni Belanda, mengenai "keuntungan"
dagangnya dari Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni Belanda harus berhadapan
dengan seorang penguasa Banten, yang tangguh dan berwibawa
Sementara itu, pada tahun 1653,
dalam tubuh Kompeni Belanda terjadi pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker
diangkat menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Carel Reynierszoon.
Maetsuycker, adalah tenaga akhli dalam bidang hukum, yang membantu Dewan Hindia
Belanda, sejak masa GJ. Anthony Van Diemen (1636 1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai
bergaul.
Sebagai ahli hukum, Maetsuycker
sangat mentaati aturan-aturan, yang telah digariskan oleh atasannya di
Netherland. "Statuten Van Batavia", yang memuat peraturan peraturan
tentang tata tertib kehidupan di Batavia, adalah hasil dari buah tangannya.
Para Direktur Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi Maetsuycker,
sehingga jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun, dipercayakan
kepadanya sampai 7 kali (1653 1678).
Maetsuycker tidak senang
bertualang, selama 25 tahun menjadi Gubernur Jenderal, ia belum pernah
meninggalkan Pelabuhan Batavia, kecuali untuk berburu di luar tembok kota.
Untuk ukuran VOC yang bertugas di Nusantara, sikap Maetsuycker dinilai terlalu
"halus" dan "hati hati". Akan tetapi, ia mempunyai dua
orang kawan, yang sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz
van Goens dan Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni
"tulen", yang menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar
Jan Pieterszoon Coen, kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan,
yaitu: mahir menjadi pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal.
Baik van Goens maupun Speelman,
telah mengamati nasib "Imperium Portugis" di kawasan Asia, yang tidak
bertahan lama, karena bersifat "imperium laut murni" (hanya menguasai
pelabuhan pelabuhan penting). Menurut pandangan mereka, pelabuhan harus
memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas, sebagai sumber pangan,
sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan musuh dari darat. Mereka
mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan "lebih keras".
Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman, saling mengisi
dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh Sultan
Abdulfatah, selanu 30 tahun.
Kembali ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya
Kesultanan Banten, baik di darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda
dengan memblokade Pelabuhan Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah
mengadakan tekanan balasan di sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan
di daerah Angke Tangerang. Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh
Kompeni Belanda. Sebab di laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup,
mengunggudi armada Kesultanan Surasowan Banten.
Karena merasa lemah di sektor
darat, Kompeni Belanda mencontoh strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten,
derigan membentuk pasukan "pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk.
Untuk memenuhi keperluan tersebut, banyak "budak" yang dibebaskan
atau ditebus oleh Kompeni, dengan catatan bersedia menjadi tentara Kompeni
Belanda.
Menjelang akhir masa perjanjian,
Kompeni Belanda mengambil prakarsa, mengirim perunding untuk menghadap Sultan
Abdulfatah, sambil membawa usul usul baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda
mengirimkan utusannya, dua kali pula Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara
pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak pernah mempercayai "niat baik"
Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656, perundingan itu belum juga dapat
dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang dimiliki oleh Maetsuycker,
membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal, van Goens dan
Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih keras.
Pada tahun 1657, sikap
"kehati hatian" Maetsuycker, hampir berhasil. Kesultanan Surasowan
Banten, bersedia membuka jalur perundingan. Pertukaran nota, dilakukan sampai
beberapa kali. Pada tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni Belanda, membawa usul
"perdamaian", sebanyak 10 pasal:
1. Kedua belah
pihak, harus mengembalikan tawanan perangnya masing masing.
2. Banten harus membayar kerugian perang,
berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
3. Blokade Belanda atas Banten akan
dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4. Kantor perwakilan Belanda di Banten harus
diperbaiki, atas biaya dari Banten.
5. Sultan Banten harus menjamin keamanan dan
kemerdekaan perwakilan Kompeni di Banten.
6. Karena banyaknya barang barang Kompeni
dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal kapal Kompeni yang datang
di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7. Setiap orang Banten yang ada di Batavia,
harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya
8. Kapal kapal Kompeni yang datang ke
Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
9. Perbatasan Banten dan Batavia, ialah garis
lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
10. Untuk menjaga hal
hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas
daerahnya masing masing.
(Michrob,1993:137).
Dengan tegas, Sultan Abdufatah
menolak usulan tersebut, yang dinilai sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah
menegaskan, bahwa jika Kompeni Belanda menuntut perlakuan istimewa dari Banten,
maka sebagal imbalannya, pihak Kompeni Belanda pun harus memberikan perlakuan
istimewa terhadap Kesultanan Surasowan Banten. Oleh karena itu, sebagai
imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut:
1. Menuntut, agar
orang Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan mesiu di pelabuhan
Batavia,
2. Menuntut, agar orang Banten, diijinkan
langsung membeli rempah-rempah dan timah dari daerah produsen.
Sultan Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu
tidak akan diluluskan oleh Kompeni Belanda, karena:
1. Tuntutan yang
pertama, artinya sama dengan menyuruh Kompeni Belanda, agar "bunuh
diri". Sebab, peralatan peralatan yang dimaksud, pasti digunakan untuk
menghadapi Kompeni Belanda.
2. Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran
terhadap hak monopoli Kompeni, yang telah diperolehnya, dengan mengorbankan
jiwa dan biaya yang cukup banyak.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda
di Batavia menolak kedua usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada
tanggal 11 Mei 1658, Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat, yang
menyatakan bahwa "perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan
tersebut, berarti menyulut sumbu perang terbuka.
Pasukan pasukan Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya
sudah dipersiapkan dengan matang. Para komandan tempur dari berbagai tingkat,
telah ditunjuk untuk menempati pos posnya masing masing.
1. Arya Suryanata,
di perairan Tangerang;
2. Tumenggung Wirajurit, di perairan Karawang;
3. Ratu Bagus Singandaru, di perairan Tanara;
4. Ratu Bagus Wiranatapada, di perairan
Pontang;
5. Suranubaya, di perairan Labuhan Ratu; untuk
mencegah pendaratan pasukan Kompeni Belanda di pantai Selatan.
Selain itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di
pantai Caringin, perairan Selat Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan
Purwakarti.
Pasukan tempur darat dengan
kekuatan 5,000 orang, segera dikirimkan ke daerah perbatasan Angke Tangerang,
di bawah komando Senapati Ingalaga (nama ini sebenarnya berarti: Panglima
Perang). la didampingi oleh Rangga Wirapata sebagal Wakil Panglima, dan Haji
Wangsareja sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui jalan darat, selama 9 hari,
pasukan tempur itu berangkat dari Ibukota Surasowan ke daerah Angke Tangerang.
Sedangkan satuan Artileri Banten,
khusus ditugaskan melindungi ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam.
Sepuluh di antaranya, jenis canon (meriam besar), yang masing-masing diberi
nama. Di antara meriam meriam itu: Si Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka,
yang terkenal paling ampuh dan paling banyak mengenai sasaran.
Pertahanan ibukota, dipusatkan di
sekitar pelabuhan, untuk menjaga serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena
dalam rangka blokadenya, Kompeni Belanda menempatkan satuan armada, yang
terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk Banten. Kapal kapal milik Kompeni
Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar Pulodua dan Pulolima.
Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar semua moncong meriam
diarahkm ke pantai Teluk Banten.
Ketika Kompeni Belanda menyerang
Surasowan dari taut, berhasil digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan
Surasowan Banten, setelah melalui pertempuran sengit artileri sehari penuh.
Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi,
balasan dari pasukan ardleri Banten, yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak
memberi peluang kepada kapal kapal Kompeni Belanda untuk mendekati garis
pantai. Pertempuran sengit itu, berlangsung sampai senja hari.
Sebelum malam tiba, armada Kompeni
Belanda, mundur dari garis pantai pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju
ke laut lepas. Pasukan pasukan itu tidak kembali lagi, selama perang antara
Kesultanan Surawowan Banten dengan Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir
satu tahun lamanya.
Sementara itu, di garis depan
Angke Tangerang, terjadi stagnasi. Pertempuran yang sudah berlangsung hampir
satu tahun, belum ada pihak yang mendahului maju atau mundur. Padahal, dari
kedua belah pihak, telah banyak korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini,
Sultan Abdulfatah mengambil keputusan, untuk mengadakan penyegaran pasukan.
Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan
Arya Wiratmaja, ditunjuk untuk mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata.
Kemudian Sayid Ali, ditunjuk menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka
dibekali pasukan baru, untuk menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah
memerlukan istirahat.
Strategi militer Sultan Abdulfatah
ini, dipandang sebagai ancaman baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan
tenaga cadangan dan sulit mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda
hanya mampu bertahan. Di Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota
Dewan Hindia, mengambil keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada
Sultan Banten, melalui jasa baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada
tanggal 10 Juli 1659, di bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai
Ingali Marta Sidana, bertindak atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung
di Batavia. Sultan Abdulfatah sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal
Maetsuycker.
Sultan Abdulfatah, menyetujui dan
menandatangani perjanjian "perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda,
tidak menuntut hak monopoli. Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun
menarik kembali tuntutannya, tentang hak membeli senjata dari Batavia, dan hak
memperoleh rempah rempah (pala dan cengkeh) serta timah secara langsung dari
produsen. Kompeni Belanda, diperlakukan sama dengan kongsi kongsi dagang
lainnya, dan Kesultanan Surasowan Banten, tetap harus membeli bahan rempah
rempah dan timah, dari pasar Batavia.
Sebetulnya, titik berat dari
perjanjian itu, adalah: pengukuhan garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane.
Setiap pelanggar batas dari kedua belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap.
Bagi orang Kompeni Belanda, yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten,
kemudian memeluk agama Islam, dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian
ditandatangani, harus dikembalikan ke Batavia.
Sebagai catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang
asing, terutama bagi yang memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan
Abdulfatah akan menawarkan pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila
teknisi yang bersangkutan bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi
jabatan resmi kepadanya. Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar
kebangsawanan.
Kemudian, Kesultanan Surasowan
Banten harus membayar harga ternak, yang telah dirampas oleh pasukan gerilya
Banten, dari para kawula Kompeni Belanda di sekitar Batavia. Kelak terbukti,
bahwa para gerilyawan Banten, mengalihkan operasi "penyergapan
ternak", ke daerah pedalaman Cileungsi dan Cianjur.
Sedangkan konsesi bagi Kompeni
Belanda, adalah kantor perwakilannya di ibukota Surasowan Banten, tetap
diperbolehkan dibuka. Bahkan, biaya pemeliharaan kantor tersebut, menjadi
tanggungan pemerintah Kesultanan Banten. Strategi Sultan Abdulfatah ini,
bertujuan agar dapat mengawasi kegiatan Kompeni Belanda secara lebih ketat.
Sebab, kantor perwakilan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, sekaligus
berfungsi sebagai "sarang mata mata".
Adapun keringanan lain yang diperoleh oleh Komperri Belanda,
antara lain sebagai berikut:
1. Bila kapal
Kompeni yang masuk pelabuhan Banten, atas permintaan kepala perwakilannya, atau
terpaksa singgah karena memerlukan air, tidak dikenakan bea pelabuhan.
2. Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang
yang dianggap terlarang, petugas pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya.
Kemudian barang tersebut dikirimkan ke Jakarta.
Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu,
sesungguhnya kedua belah pihak "memerlukan istirahat". Perang selama
11 bulan dengan keadaan "seimbang", telah ikut memperlancar
tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan Kesultanan Surasowan
Banten.