Sejarah Kerajaan Srivijaya (abad ke-7 hingga ke-11)

Tags

Srivijaya (juga disebut Sri Vijaya atau Sriwijaya) adalah sebuah imperium maritim Melayu kuno yang berbasis di Sumatera dan Semenanjung Malaya [1] yang banyak mempengaruhi Asia Tenggara. [2] Bukti terawal keberadaannya adalah dari abad ke-7; ketika seorang biksu Buddha dari Cina, I-Tsing, ada menulis tentang kunjungannya selama 6 bulan ke Sriwijaya pada tahun 671. [3] [4] [5] Prasasti Kedukan Bukit tanggal 683 Masehi yang ditemukan di Palembang, Sumatera juga ada menyebut tentang Srivijaya . [6] [7] pemerintah ini runtuh sepenuhnya pada abad ke-13 disebabkan berbagai faktor, diantaranya adalah kebangkitan kerajaan Jawa Majapahit. [2] Dari abad ke-8 hingga abad ke-11, Sriwijaya adalah pusat pengembangan agama Buddha yang utama di kepulauan Melayu. Dalam bahasa Sansekerta, sri (श्री) berarti "menarik" atau "sinar" dan "vijaya" (विजय) berarti "keberhasilan" atau "kemenangan". [8]

Setelah kejatuhan Sriwijaya, ia dilupakan sepenuhnya dan sejarawan tidak pernah menganggap ada pemerintah bersatu yang besar pernah ada di kepulauan Asia Tenggara. Keberadaannya pertama kali diakui secara resmi pada tahun 1918, oleh ahli sejarah berkebangsaan Prancis Georges Cœdès dari École française d'Extrême-Orient. [8]

Kebesarkan raja Sriwijaya digambarkan melalui catatan Arab yang mensifafkannya sebagai Raja di Gunung dan Kaisar di Pulau. Raja di Gunung dan Kaisar menggambarkan kebesaran raja yang memiliki kekuasaan sakit, berkuasa multak, dan bersifat ketuhanan. Raja Sriwijaya memerintah secara multak dan dibantu oleh menteri yang menjadi perantara raja dengan rakyat.



historiografi
Tidak seperti pengetahuan tentang kerajaan Singhasari, Majapahit dan sebagainya, tidak ada pengetahuan yang berkelanjutan tentang Srivijaya meskipun dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan sebenarnya dibuat ulang oleh ahli sejarah asing. Tidak ada orang Indonesia modern, bahkan yang tinggal di sekitar Palembang yaitu pusat utama kerajaaan tersebut, pernah mendengar tentang Sriwijaya sampai tahun 1920, ketika sarjana Perancis Georges Cœdès mempublikasikan penemuannya dan interpretasinya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. [9] Cœdès mencatat yang referensi Orang Cina kuno ke atas "Sanfoqi" (sebelumnya dibaca sebagai "Sribhoja"), dan batu-batu bersurat lama dalam bahasa Melayu kuno, adalah mengacu pada pemerintah yang sama. [10]

Sriwijaya telah menjadi simbol kepentingan Sumatra sebagai pusat kekaisaran agung untuk mengimbangi Majapahit Jawa di timur. Pada abad ke-20, kedua kekaisaran disebut oleh para intelektual nasionalis untuk berdebat untuk satu identitas Indonesia di dalam wilayah Indonesia sebelum keberadaan wilayah kolonial Belanda. [9]

Srivijaya dan Sumatera telah dikenal dengan nama-nama yang berbeda oleh berbagai bangsa. Orang Cina menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi, dan juga pemerintah yang lebih tua yaitu pemerintah kandali dalam catatan Cina yang dianggap pendahulu Srivijaya. [11] [12] Ia dikenal sebagai Yavadesh dalam catatan Sansekerta dan Javadeh dalam catatan Pali. [11] Orang Arab menyebutnya Zabag sementara orang Khmer menyebutnya Melayu. [11] Penggunaan nama yang berbeda ini adalah antara penyebab penemuan sejarah Sriwijaya menjadi sangat sulit. Meskipun ada di antara nama-nama di atas yang pengucapannya hampir sama dengan Jawa, ada kemungkinan besar ia lebih tepat mengacu kepada Sumatera. [13]




pendirian
Sejarah awal Srivijaya adalah kabur. Catatan Cina dari Sejarah Negeri Liang menyatakan keberadaan sebuah kerajaan kuno bernama pemerintah kandali diduga berpusat di daerah antara Jambi dan Palembang, dan terpercaya merupakan pendahulu Sriwijaya [14]. Ahli sejarah Cina, Shenyao (414-512) dalam bukunya Sung Shunya (Sejarah Awal Sung) ada menyebut tentang satu utusan dari negeri "Ho-Lo-Tan" yang dikirim oleh Raja "Shih-li-pi-cho-yeh" pada tahun 434 Masehi, satu nama yang sangat mirip dengan sebutan "Sriwijaya". Sejarawan modern berbeda pendapat tentang posisi sebenarnya "Ho-Lo-Tan", namun penelitian lebih lanjut menunjukkan ia berada di Semenanjung Tanah Melayu. [15] Pendapat ini didukung oleh sarjana Belanda, Ir. JL Moens, sarjana Jepang, K. Takakuwa [16] dan sarjana Jerman, Hermann Schlegel yang mengaitkannya dengan negeri Kelantan tua. [17] Dalam tulisannya pada tahun 1937, Moens berpendapat Kelantan menggunakan nama "Sri Vijaya" tidak lama setelah tahun 666 Masehi. [18] Menurut Cœdès, oleh karena telah menjadi praktik umum di wilayah ini pada zaman dahulu di mana Raja yang memerintah menamakan kerajaannya bersempena namanya, kemungkinan besar nama Raja "Shih-li-pi-cho-yeh" ini merupakan asal-usul nama pemerintah yang muncul ratusan tahun kemudian (abad ke-7) di Sumatera. [15] Pada tahun 671 Masehi, I-Tsing mengunjungi kota Bogha (Palembang) dan menetap di sana selama 6 bulan untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta dan Bahasa Melayu. Dari Palembang, beliau mengunjungi pula negeri Mo-Lo-Yu yang menurutnya terletak 15 hari pelayaran dari Bogha. Dari catatan I-Tsing, nama negeri Mo-Lo-Yu baru berubah menjadi Sribogha ketika ia mengunjunginya. [19] Keterangan I-Tsing dilihat konsisten dengan beberapa catatan prasasti yang menunjukkan kekaisaran Sriwijaya dibentuk pada abad ke-7.

Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit tanggal 605 saka (683 Masehi), pemerintah Srivijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Dapunta Hyang yang memimpin satu armada dengan 20.000 tentara dari Minanga Tamwan ke Matayap dan menaklukinya. Beberapa prasasti lain yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 Masehi), Karang Birahi di Jambi Hulu (686 Masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, menceritakan peristiwa yang sama. Dari deskripsi batu-batu bersurat ini, dapat disimpulkan yang Jayanasa mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka. [20] Asal usul Raja Jayanasa dan posisi sebenarnya Minanga Tamwan masih diperdebatkan ahli sejarah, ada yang berpendapat armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, kemungkinan besar dari Semenanjung Tanah Melayu. [21]

Sriwijaya memperluas kekaisarannya dengan menaklukkan bagian barat Pulau Jawa pada akhir abad ke-7. Prasasti Kota Kapur yang bertarikh 608 saka (686 Masehi) menceritakan tentang kutukan Maharaja Sriwijaya ke atas sebuah kerajaan di Pulau Jawa sebelum Srivijaya menyerang pemerintah tersebut. Waktu peristiwa ini terjadi adalah bertepatan dengan waktu jatuhnya pemerintah Tarumanagara dan pemerintah Kalingga (Ho-Ling dalam catatan Cina) di Jawa Barat. Ada juga catatan menyatakan sebuah keluarga kerajaan beragama Buddha yang memiliki hubungan dengan Sriwijaya, mendominasi bagian tengah pulau Jawa saat itu [22], kemungkinan besar dari kerabat Sailendra. [23] Keberhasilan Sriwijaya menguasai Pulau Jawa, Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu memungkinkannya mengontrol rute perdagangan utama di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda dan Selat Karimata.

Pada awal abad ke-8, pelabuhan-pelabuhan Champa di timur Indochina mulai bangkit menjadi pesaing bagi kekuasaan perdagangan Sriwijaya. Untuk menghapus ancaman ini, Maharaja Sriwijaya, Sri Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pesisir Indonchina. Kota Indrapura yang terletak di tepi Sungai Mekong pernah suatu ketika dikuasai oleh Sriwijaya pada abad ke-8. [23] Dominasi Sriwijaya di pesisir Indocina berakhir ketika Raja Jayavarman II mendirikan Kekaisaran Khmer pada abad yang sama. [24] Sri Dharmasetu digantikan oleh Samaratungga yang menjadi Kaisar Srivijaya dari tahun 792 sampai 835 Masehi. Tidak seperti Sri Dharmasetu yang mengamalkan dasar perluasan kekuasaan, Samaratungga lebih memilih untuk memperkuat posisi Sriwijaya di Jawa. Candi Borobudur di Jawa tengah dibangun dan diselesaikan pada tahun 825 Masehi, ketika pemerintahan Samaratungga. [25]




Struktur dan pusat pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat diperoleh dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang istilah-istilah kadātuan, Vanua, samaryyāda, mandala dan Bhumi. [26]

Kadātuan dapat membawa arti daerah Datu, (tnah rumah) tempat tinggal bini haji, tempat disimpan mas dan hasil pajak (drawy) sebagai daerah yang harus dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh Vanua, yang dapat dianggap sebagai daerah kota Sriwijaya yang di dalamnya ada vihara yang menjadi tempat beribadah masyarakat. Kadātuan dan Vanua ini merupakan kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan daerah yang berbatasan dengan Vanua, yang dihubungkan dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang berarti interior. Sementara mandala merupakan satu daerah otonom dari Bhumi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Srivijaya.

Pemerintah Srivijaya memakai gelar Dapunta Hyang atau Kaisar, dan dalam lingkaran raja ada secara berurutan Yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putera mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). [27] Prasasti Telaga Batu banyak menjelaskan berbagai posisi dalam struktur pemerintahan kerajaan pada zaman Sriwijaya.

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan penelitian dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking (di provinsi Sumatera Selatan sekarang). [2] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di daerah hilir Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), [1] dengan catatan Mo-lo-yu (I-Tsing) tidak di area tersebut , jika Mo-lo-yu berada di daerah tersebut, ia cenderung kepada pendapat Moens, [28] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berada di kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), berdasarkan perkiraan petunjuk arah perjalanan dalam catatan I -Tsing, [29]. Ahli sejarah Thai berpendapat, daerah Chaiya di provinsi Surat Thani juga pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, berdasarkan penemuan banyak rumah-rumah ibadat dengan gaya arsitektur unik yang berasal dari zaman Sriwijaya. [30] [31] [32] Namun yang pasti pada waktu penaklukan Rajendra Chola I, berdasarkan Prasasti Tanjore, ibukota Sriwijaya adalah di Kadaram (Kedah sekarang). [1]




hubungan luar
Pada tahun 100 Hijrah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan memohon beliau mengirim seorang Ulama untuk menjelaskan tentang agama Islam. Surat tersebut berbunyi:

Dari Raja kepada sekalian Raja yang merupakan keturunan dari seribu Raja-Raja, yang permaisurinya juga merupakan cucu dari seribu Raja-Raja, yang taman hewannya berisi seribu gajah, yang di dalam daerah ada dua sungai yang mengairi pohon jadam, rempah wangi, pala dan jeruk tipis yang aromanya tersebar sejauh 12 mil. Ke depan Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan yang lain selain Allah. Aku telah mengirim padamu satu hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda persahabatan. Aku mohon agar kamu mengirim padaku seseorang yang bisa mengajarku tentang Islam dan menjelaskan padaku undang-undangnya. [33]



Peristiwa ini menjadi bukti yang istana Srivijaya telah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan dunia Islam-Arab. Namun ia tidak berarti yang Maharaja Sriwijaya telah memeluk Islam, tetapi mungkin untuk menunjukkan hasrat Sri Indravarman yang ingin mendalami hukum dan budaya mitra dagang Srivijaya dan peradaban-peradaban di sekitarnya seperti Cina, India dan Timur Tengah.

Sriwijaya menjalin hubungan yang erat dengan Pemerintah Pala di Benggala. Prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Masehi ada mencatat yang Maharaja Balaputradewa menghadiahkan sebuah kuil Buddha kepada Universitas Nalanda. Hubungan dengan pemerintah Chola di selatan India juga pada awalnya sangat baik. Sekitar tahun 1005 Masehi, Kaisar Sri Chulamanivarman yang disebut dalam prasasti-prasasti India sebagai "Raja Kataha dan Srivijaya" telah memerintahkan pembangunan sebuah kuil Buddha di Nagapattinam, selatan India yang dinamakan bersempena namanya yaitu Chulamanivarmavihara. Rajaraja Chola I menghadiahkan harta yang banyak dari sebuah desa ke kuil ini. [34] [35]

Sri Chulamanivarman juga melanjutkan tradisi menjalin hubungan yang erat dengan negeri Cina seperti yang dipraktekkan pendahulu-pendahulunya, dengan mengirim beberapa utusan ke sana. [36] Pada tahun 1003 Masehi, Raja Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma -tian-hwa (Sri Chulamanivarman) mengirim dua utusan menghadap Kaisar Cina untuk menyampaikan upeti; mereka menceritakan yang negara mereka ada membangun sebuah kuil Buddha untuk mendoakan kesejahteraan Kaisar dan mereka memohon perkenan Kaisar Cina untuk memberikan nama dan bel untuk kuil tersebut. Satu titah perintah telah dikeluarkan dengan kuil itu mendapat nama Cheng tien wan shou yang berarti "karunia 10.000 tahun dari surga" (terpercaya Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus [37]) dan sebuah lonceng ditempa untuk dihadiahkan kepada utusan tersebut. Beberapa utusan kemudian dikirim lagi ke negeri Cina pada tahun 1004, 1008, 1016, 1017 dan 1018. [34]

Hubungan yang erat Srivijaya dengan dua kekuatan besar di Asia pada saat itu, Chola di India dan Dinasti Song di China telah memungkinkan putera Sri Chulamanivarman yang menggantikannya, Maharaja Sri Mara Vijayatunggavarman membalas dendam perbuatan Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah yang menyerang Sriwijaya pada tahun 990 Masehi. Pada tahun 1006 Masehi, tentara Srivijaya menyerang Kerajaan Medang dan menghancurkan Istana Watugaluh di Pulau Jawa. Dharmawangsa dan para pembesarnya kemudian dibunuh, menyebabkan berakhirnya Kerajaan Medang. [34]

Hubungan baik Sriwijaya dengan Kerajaan Chola namun tidak bertahan lama ketika Rajendra Chola I naik tahta pada tahun 1012 dan meluncurkan perang melawan Sriwijaya pada tahun 1025 Masehi. [38] Rajendra Chola I menaklukkan hampir seluruh kota-kota di Semenanjung Tanah Melayu dan Sumatera. Serangan besar-besaran pemerintah Chola ini bagaimanapun tidak menyebabkan kelangsungan politik Chola atas wilayah-wilayah yang diserang karena pada tahun 1028 Masehi, Kaisar Sri Sangrama Vijayatunggavarman yang ditawan di Kadaram telah digantikan oleh seorang Kaisar baru yang kemudian mengirim satu utusan ke negeri Cina. Dalam Sejarah Sung, Kaisar ini dikenal dengan nama Shih-Li-Tieh-Hua atau "Sri Deva" (mungkin satu nama yang tidak lengkap). [34]





agama
Pemerintah Sriwijaya banyak dipengaruhi oleh agama-agama besar dari India, pada mulanya oleh agama Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Dari catatan Keterangan tentang Orang barbar yang dikumpulkan pada zaman Dinasti Sung, masyarakat "San Bo Tsai" dikatakan ada mengamalkan satu adat yang dikenal sebagai Tung-Sheng-Ssu (hidup dan mati bersama), yang mirip dengan praktek Suttee dari agama Hindu. [39] Namun, berdasarkan catatan Cina dan India yang lain serta penemuan arkeologi, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang utama di Kepulauan Melayu.

Sebagai pusat perkembangan agama Buddha Vajrayana yang utama, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara lain di Asia, antara yang terkenal adalah biksu Buddha dari Cina, I-Tsing. Pada tahun 671 Masehi, dalam perjalanan ke Universitas Nalanda, India, ia singgah di Sriwijaya untuk mempelajari Sabdavidya (tata bahasa Sansekerta). Pada tahun 695, ia mengunjungi Sriwijaya sekali lagi untuk mendalami agama Buddha. Menurut I-Tsing, penduduk Sriwijaya mencoret gambar Buddha dengan emas dan memberi sembahan kepada Buddha dalam bentuk bunga teratai emas. Ibu kotanya dihuni oleh banyak sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha yang utama di seluruh Nanyang (laut selatan).

"Banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau di Laut Selatan percaya dan mengagumi Buddha, di hati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di balik tembok kota Sriwijaya, ada lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik. Mereka mengkaji dan mempelajari semua subjek yang ada sama seperti di "Kerajaan Tengah" (Madhya-desa, India); tidak banyak perbedaan dalam aturan-aturan dan upacara-upacaranya. Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke Barat (India) untuk mendengarkan (ceramah) dan membaca (teks asli), lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami aturan-aturan yang benar sebelum melanjutkan ke tengah India. - I-Tsing [40] "
Selain aliran Vajrayana, ajaran Buddha dari aliran Hinayana dan Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Dharmarakshita atau Suvarnadvipi Dharmakīrti, salah seorang sarjana Buddha yang terkenal dengan teks Mahayana beliau, "Roda Senjata Tajam" (bahasa Tibet: blo-sbyong mtshon-cha 'khor-lo) hidup pada zaman pemerintahan Sri Chulamanivarman, dan merupakan kepala sarjana Buddha di Suvarnadvipa (Sumatera). Sarjana Buddha dari Benggala yang terkenal dengan perannya mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet yaitu Atisha, dikatakan pernah berguru dengan Dharmarakshita di Sumatera, dari tahun 1011 sampai 1023 Masehi. [41]

Kemahsyuran Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara kemungkinan besar menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah menyebarkan agama Islam. Beberapa pemerintah yang pada awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, bakal muncul menjadi kerajaan-kerajaan Islam di Semenanjung dan Sumatera, ketika pengaruh Sriwijaya semakin lemah. Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 tertarik untuk mengetahui tentang agama Islam [42], sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirim surat kepada khalifah Islam di Damaskus. Salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya. [43]




Seni dan Budaya
Berdasarkan beberapa sumber sejarah, satu masyarakat kosmopolitan yang kompleks dengan nilai peradaban yang tinggi, dipengaruhi secara mendalam oleh aliran Buddha Vajrayana, telah mendiami ibu kota Sriwijaya. Prasasti Talang Tuwo dari abad ke-7 ada menerangkan tentang satu ritual agama Buddha untuk memberkati upacara pembukaan satu taman Sriksetra (taman umum), anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kompleksitas susunan pangkat para pembesar kerajaan Sriwijaya, sementara prasasti Kota Kapur menyebut tentang kekuatan bala tentara Sriwijaya ke atas Pulau Jawa. Beberapa batu-batu bersurat ini adalah dalam bahasa Melayu Kuno, bahasa yang digunakan oleh orang Sriwijaya yang merupakan leluhur dari bahasa Melayu Klasik yang kemudian menjadi dasar bagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu Kuno telah digunakan di Nusantara, dibuktikan oleh batu-batu bersurat Sriwijaya dan beberapa prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuno yang ditemukan di pesisir pantai Kepulauan Melayu, misalnya prasasti Bukateja, Gandasuli, Kayumwungan, Sojomerto dan Manjusrigrha yang ditemukan di Jawa, serta Plat Tembaga Laguna yang ditemukan di Manila, Filipina. Perkembangan perdagangan adalah antara faktor utama penyebaran bahasa Melayu Kuno karena ia adalah medium komunikasi yang utama bagi para pedagang. Sejak itu, bahasa Melayu Kuno menjadi Lingua franca dan digunakan secara luas di Kepulauan Melayu. [44]

Sejarah Sung (960-1279) ada menceritakan sedikit sebanyak tentang masyarakat "San Bo Tsai" (Sriwijaya). Menurut Sejarah Sung, Orang Srivijaya menyapu tubuh mereka dengan sejenis minyak wangi dan mereka memproduksi arak dari bunga, kelapa, pin-lang atau madu. Mereka menulis menggunakan tulisan Sansekerta dan Rajanya menggunakan cincinnya sebagai Cop Mohor, mereka juga tahu menulis dalam karakter Cina yang sering digunakan ketika mengirimkan upeti. Selain itu, banyak orang Srivijaya memiliki pangkal nama "Pu". Keterangan tentang Orang barbar yang juga dikumpulkan pada zaman Dinasti Sung menyebut yang orang Srivijaya melilit tubuh mereka dengan pakaian dari kapas (Sarung) dan menggunakan payung dari sutra. Mereka berperang di darat dan juga di laut dan organisasi militer sangat baik. Ketika seseorang Raja mangkat, rakyat akan mencukur kepala mereka sebagai tanda berkabung. Di ibu kotanya, ada satu patung Buddha yang disebut "Gunung Emas dan Perak". Rajanya pula sering disebut "Sari Ular", dan dia memakai satu mahkota dari emas yang sangat berat. Negara Sriwijaya memiliki beberapa pusat perdagangan utama yang mengontrol semua kapal yang keluar masuk, perbatasan-perbatasan pelabuhan ditandai dengan rantai-rantai besi. [39]

Meskipun mampu membangun kekuatan ekonomi, budaya dan militer yang besar, Sriwijaya hanya meninggalkan sejumlah kecil monumen arkeologi di pusat kerajaannya di Sumatera, berbeda dengan daerah yang pernah mendapat pengaruhnya di bawah pimpinan dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang memiliki tinggalan monumen seperti mandala Kalasan, Sewu dan Borobudur. Kuil-kuil Buddha yang dibangun pada zaman Sriwijaya di Sumatera antaranya adalah Candi Muaro Jambi, Muara Takus dan Biaro Bahal, namun tidak seperti candi-candi di Jawa Tengah yang dibangun dari batu andesit, kuil-kuil di Sumatera dibangun dari batu bata merah.

Beberapa arca seperti Buddha dan Boddhisattva Avalokiteshvara ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang, [45] Jambi, [46] Bidor, Perak [47] dan Chaiya, Surat Thani. [48] Beberapa arca ini menampilkan keanggunan dan gaya biasa yang dikenal sebagai "Seni Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan - mungkin terinspirasi - dari seni Amaravati India atau Sailendra (abad ke-8 - ke-9). [49]



perdagangan
Dalam dunia perdagangan, Srivijiya adalah kekaisaran yang mengontrol dua rute utama antara India dan Cina, yaitu Selat Sunda dari Palembang dan Selat Malaka dari Kedah. Catatan Arab menyatakan yang kekaisaran Maharaja Sriwijaya adalah sangat luas sehingga kapal yang paling laju pada zaman itu pun tidak mampu untuk berlayar mengelilingi semua pulau-pulanya selama dua tahun. Menurut deskripsi I-Tsing, Raja Sriwijaya memiliki kapal-kapal yang banyak untuk tujuan perdagangan. Komoditas utama adalah rotan, gaharu, kino merah, kapur barus, jadam, cengkeh, minyak cendana, pala, kapulaga, buah pinang, buah kelapa, kemukus, gading dan timah, membuat kekayaan kerajaannya sebanding dengan setiap raja di India. [29]. Sriwijaya juga adalah negara yang sangat kaya dengan emas, bahkan I-Tsing pernah menjulukinya sebagai "Chin Chou" atau "Kepulauan Emas". Rakyatnya menyediakan sembahan kepada Buddha dalam bentuk bunga teratai emas, menggunakan bekas-bekas dari emas, dan membangun patung-patung dari emas. Berbeda dengan mata uang China pada zaman tersebut yang biasanya terbuat dari tembaga, kuningan atau besi, orang Srivijaya hanya menggunakan emas dan perak dalam perdagangan. [39]

Selain menjalin hubungan dagang yang menguntungkan dengan India dan Cina, Sriwijaya juga membentuk jaringan perdagangan dengan dunia Arab. Kemungkinan besar, satu utusan yang dikirim Kaisar Sri Indravarman untuk menyampaikan surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah pada tahun 718 Masehi, telah kembali dengan Zanji (budak wanita kulit hitam dari Zanj), hadiah Khalifah kepada Kaisar. Kemudian, catatan Cina menyebut tentang Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indravarman), Kaisar Shih-li-fo-shih yang mengirimkan kepada Kaisar Cina ts'engchi (sebutan Cina untuk kata Arab Zanji) sebagai hadiah. [33]




zaman keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10, ketika zaman kejatuhan Dinasti Tang dan kebangkitan Dinasti Song, perdagangan berkembang dengan pesat di antara dunia luar China dengan pemerintah Min di Fujian dan pemerintah Nan Han di Guangdong. Dengan kemakmuran yang dialami pada zaman awal Dinasti Song, kondisi ini sangat menguntungkan Sriwijaya. Pada tahun 903 Masehi, penulis Islam Ibn Rustah sangat kagum dengan kekayaan pemerintah Srivijaya sehingga beliau pernah menyatakan yang tiada Raja lain yang sekaya dan sekuat Raja Sriwijaya. Pusat kota utama Sriwijaya pada zaman itu adalah di Palembang, Muara Jambi, Kedah dan Chaiya.

Di era keemasannya, Sriwijaya adalah pemerintah yang terkuat dan terkaya di bagian barat kepulauan Melayu, dan kekaisarannya meliputi 15 negara seperti yang diceritakan oleh Chou-Ju-Kua [50]; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), kilan-ton (Kelantan), Fo-lo-an (Dungun), Ji-lo-t'ing (Cherating), Ts'ien-mai (Semawe, Semenanjung), Pa-t'a (Sungai Paka, utara Semenanjung), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor atau Nakhon Si Thammarat), Kia-lo-hi (Krabi ), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Kien-pi (Jambi) dan Si-lan (Kamboja). [1] [51] [52].

Pengaruh kekuasaan perdagangan Srivijaya di Samudera India telah menyebabkan migrasi penduduk kepulauan Melayu ke Madagaskar. [53] Selain itu, pengaruhnya juga menjalar ke bagian timur ke Borneo sampai ke kepulauan Filipina, terutama kepulauan Sulu dan Visayas. Pada abad ke-10, Pemerintah Tondo yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya telah didirikan di Manila. [54] [55]






zaman kejatuhan
Akibat dari kekacauan yang terjadi di pesisir pantai Cina ketika zaman kejatuhan Dinasti Tang, bukan hanya kegiatan perdagangan orang Arab dan Persia dengan China terpukul, bahkan Sriwijaya juga menerima dampak besar darinya. Meskipun ia masih menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan pesisir utara Semenanjung Tanah Melayu, perdagangan dan kekayaannya mulai menurun pada akhir abad ke-9 dan awal abad ke-10. Menjelang tahun 925 Masehi, tidak ada lagi komunitas pedagang asing di Cina, kekacauan dan pembajakan semakin menjadi-jadi selama beberapa dekade berikutnya di sepanjang pesisir selatan Cina. Pada akhir abad ke-10, perdagangan dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara mulai pulih dengan peran Dinasti Song Selatan di Cina, namun ia menimbulan persaingan yang serius di antara Sriwijaya dengan Kerajaan Medang di Jawa Timur dan Dinasti Chola di India selatan. Ketiga pemerintah bersaing merebut rute perdagangan dengan Cina yang baru pulih. [56]

Di antara tahun 1003 dan 1018, Sriwijaya mengirim 7 utusan ke Cina, mengiklankan produk-produk Asia Selatan beserta dengan barang wangi, rempah dan lada. Pemerintah Medang juga mencoba menjalin hubungan perdagangan langsung dengan Cina sementara Chola pula mengirim satu utusan ke sana pada tahun 1015. Akibat dari persaingan tiga hal ini, Srivijaya menyerang dan menghancurkan kerajaan Medang pada tahun 1006, namun ia diserang pula oleh angkatan laut Chola di bawah Rajendra Chola I pada tahun 1025. Angkatan laut Chola menyeberang Teluk Bengal, menjarah ibukota Sriwijaya di Kadaram, dan menawan kerajaannya, Sri Sangrama Vijayatunggavarman. Selain Kadaram, Pannai di Sumatera dan Malaiyur di Semenanjung Tanah Melayu juga diserang. [57]. Prasasti Tanjore yang bertarikh 1030 Masehi ada menceritakan tentang kampanye militer Chola ini:



Dalam waktu 100 tahun, beberapa lagi serangan diluncurkan oleh Dinasti Chola ke atas Semenanjung dan Sumatera. Meskipun dipaksa berperang secara defensif dalam waktu yang sangat lama, kekuatan Sriwijaya yang terletak di pulau-pulau yang mengontrol selat-selat, tidak mampu terkontaminasi oleh angkatan Chola yang kuat. Serangan-serangan Chola selama 100 tahun ini bisa dianggap sia-sia karena tidak menyebabkan pendudukan efektif Dinasti Chola di Kepulauan Melayu, sebaliknya ia hanya mampu melemahkan posisi Sriwijaya bahkan menggagalkan Chola sendiri dan membuka kesempatan kepada penguasaan orang Islam di Samudra Hindia. [56]

Kelemahan Sriwijaya telah menyebabkan banyak negara lindungannya membebaskan diri dari kekuasaannya, beberapa pemerintah daerah lain yang kuat juga mulai muncul menyainginya, seperti Kediri dan kemudian Singhasari. Pemerintah-pemerintah ini yang berbasis pertanian, adalah berbeda dengan Sriwijaya yang sangat tergantung pada perdagangan pesisir dan jarak jauh. Kekuatan militer Srivijaya yang semakin lemah juga menyebabkan ia tidak mampu lagi mempertahankan dirinya dari serangan-serang dua pemerintah yang kuat: Sukhotai Siam di utara dan Singhasari di selatan. Sukhotai menawan Ligor, Takuapa dan lain-lain kota pelabuhan di Segenting Kra. Singhasari pula menawan kebanyakan wilayah di bawah supremasi Sriwijaya di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1288, Singhasari meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan negeri-negeri Melayu di Sumatera. Menjelang tahun 1292, kekaisaran ini telah runtuh sepenuhnya, Marco Polo yang mengunjungi kepulauan Melayu pada tahun tersebut tidak ada menyebut langsung tentang Sriwijaya. [56] Begitu juga dengan Kakawin Nagarakretagama yang dikarang pada tahun 1365, tidak lagi menyebut tentang Srivijaya untuk wilayah-wilayah yang dulunya di bawah supremasi Srivijaya.




Warisan
Berakhirnya Kerajaan Sriwijaya tidak berarti berakhirnya tradisi pemerintahan istana Melayu. Beberapa upaya untuk menghidupkan kembali Sriwijaya telah dilakukan oleh ahli waris-waris kerajaan Sriwijaya yang menjadi pengungsi di negeri-negeri yang masih setia. Pada tahun 1293, Majapahit yang merupakan pengganti Singhasari menguasai sebagian besar Sumatera. Pangeran Adityawarman diberi tanggung jawab memerintah Sumatera pada tahun 1347 oleh pemerintah ketiga Majapahit, Tribhuwana Wijayatunggadewi. Satu pemberontakan yang terjadi pada tahun 1377 berhasil dipatahkan oleh Majapahit. Pada tahun 1324, Sang Nila Utama yang mengklaim dari keturunan kerajaan Srivijaya dari Bentan, bersama para pengikut dan pasukannya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Temasek. Menurut Sejarah Melayu dan ahli sejarah Cina, Wang Ta Yuan, orang Siam menyerang pemerintah Singapura di antara tahun 1330 sampai 1340, namun berhasil dikalahkan. Serangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 namun berhasil menundukkan pemerintah ini, dan Rajanya yang terakhir, Parameswara terpaksa melarikan diri ke Semenanjung Tanah Melayu.

Parameswara kemudian mendirikan Kesultanan Melayu Melaka pada tahun 1402. [59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan posisi Sriwijaya sebagai kekuatan politik Melayu yang utama di kepulauan Melayu. [60] [61] Meskipun Kesultanan Melaka jatuh pada tahun 1511, Malaka tetap menjadi suatu prototipe lembaga : satu paradigma tata kelola negara dan satu titik referensi budaya Melayu untuk negeri-negeri pengganti seperti Kesultanan Johor (1528-sekarang), Kesultanan Perak (1528-sekarang) dan Kesultanan Pahang (1470-sekarang). [62]

Peninggalan terpenting pemerintah Sriwijaya kemungkinan besar adalah bahasa Melayu itu sendiri. Selama beberapa abad, melalui penaklukan, kekuatan ekonomi dan kekuatan ketenteraannnya, Srivijaya memainkan peran besar dalam menyebarkan bahasa Melayu Kuno ke seluruh Kepulauan Melayu. Ia menjadi bahasa utama perdagangan dan lingua franca, digunakan di banyak pelabuhan dan pusat bisnis di wilayah ini. [63] Bahasa Melayu kemudian semakin berkembang saat era pengganti Sriwijaya, Kesultanan Melayu Melaka. Era Kesultanan Melaka menyaksikan pengaruh Islam yang kuat dalam bahasa Melayu, dengan masuknya banyak kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia. Perkembangan ini menghasilkan Bahasa Melayu Klasik yang kemudian menjadi dasar bagi bahasa Melayu Modern yang banyak digunakan hari ini di Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. [64]

Nasionalis modern di Indonesia melihat Sriwijaya serta Majapahit, sebagai sumber kebanggaan masa lalu Indonesia. [65] Sriwijaya menjadi fokus kepada kebanggaan nasional dan identitas regional, terutama kepada warga Palembang khususnya, dan kepada semua Orang Melayu umumnya. Bagi penduduk Palembang, Sriwijaya telah menjadi sumber inspirasi kesenian untuk lagu Gending Sriwijaya dan tari tradisional.

Hal yang sama terjadi di Thailand, di mana tarian "Sevichai" (Thai: Sriwijaya) telah diaktifkan kembali berdasarkan keanggunan seni budaya Sriwijaya kuno. Warisan Sriwijaya kini dirayakan dan sering dikaitkan dengan minoritas Melayu di Selatan Thailand. Di antara contoh rumah-rumah ibadat yang dibangun berbasis kesenian Srivijaya adalah Phra Borom Mathat di Chaiya (abad ke-9 - ke-10), Wat Kaew Pagoda, dan Wat Long Pagoda. Wat Mahathat yang asli di Nakhon Si Thammarat (salah sebuah kota Srivijaya) kini telah ditutupi oleh bangunan dengan gaya Sri Lanka yang lebih besar. [66]

Di Indonesia, nama "Sriwijaya" diabadikan pada jalan-jalan di banyak kota dan telah menjadi identik dengan Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan pada tahun 1960 di Palembang, dinamakan bersempena nama Sriwijaya. Kodam Sriwijaya (unit komando), PT Pupuk Sriwijaya (perusahaan produsen pupuk), Sriwijaya Post (koran harian di Palembang), Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya FC (klub sepak bola Palembang), semuanya dinamakan demikian untuk menghormati dan memuliakan kerajaan maritim kuno ini.

Artikel Terkait