Periode Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(Tahun 1999 sampai Sekarang)
129
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan
berhenti dari jabatan presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa
besar-besaran, yang menandakan dimulainya era reformasi di Indonesia. Proses
reformasi yang sangat luas dan fundamental itu dilalui dengan selamat dan aman.
Negara kepulauan yang besar dan majemuk dengan keanekaragaman suku, berhasil
menjalani proses reformasi dengan utuh, tidak terpecah-belah, terhindar dari
kekerasan dan perpecahan.
Pada 1999 sampai 2002, MPR melakukan Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjadi tuntutan reformasi 1998.
Pada awal era reformasi, muncul desakan di tengah masyarakat
yang menjadi tuntutan reformasi dari berbagai komponen bangsa, termasuk
mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain sebagai berikut:
1) Amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2) Penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI).
3) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia
(HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
4) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan
daerah (otonomi daerah).
5) Mewujudkan kebebasan pers.
6) Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang digulirkan
130
oleh berbagai elemen masyarakat dan kekuatan sosial politik
didasarkan pada pandangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dianggap belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis,
pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. Selain itu di dalamnya terdapat
pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi
penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang
menimbulkan mereosotnya kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pertama kali dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang
menghasilkan Perubahan Pertama. Setelah itu, dilanjutkan dengan Perubahan Kedua
pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Ditinjau dari segi sistematika, Undang-Undang Dasar 1945
sebelum perubahan terdiri atas tiga bagian (termasuk penamaannya), yaitu:
1. Pembukaan (Preambule);
2. Batang Tubuh;
3. Penjelasan.
Setelah perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri dari atas dua bagian, yaitu:
1. Pembukaan;
2. Pasal-pasal (sebagai ganti istilah Batang Tubuh).
131
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal
Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dengan perubahan yang dilakukan pada tahun 1999-2002, dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat antara lain
pengaturan prinsip checks and balances sytem, penegasan otonomi daerah,
penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, pengaturan institusi lainnya terkait dengan hal keuangan dan lain-lain
dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan ketetanegaraan.
Perubahan terjadi atas pasal dan ayat dan amat fundamental.
Pembukaan disepakati untuk dipertahankan dan dinyatakan berada di luar
jangkauan perubahan Undang-Undang Dasar. Aturan perubahan Undang-Undang Dasar
hanya menyangkut pasal dan ayat, tidak dapat menjangkau Pembukaan. Bentuk
negara kesatuan dinyatakan dengan tegas sebagai substansi yang tidak dapat
diubah (non-amendable). Sistem ketatanegaraan dengan MPR sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dan merupakan penjelmaan seluruh rakyat yang memiliki
kewenangan salah satunya memilih Presiden dan Wakil Presiden telah diganti
dengan sistem politik check and balance, dimana Presiden dipilih langsung oleh
rakyat untuk masa jabatan 5 tahun. Seseorang hanya boleh menjadi Presiden
berturut-turut untuk 2 masa jabatan.
Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan Presiden
132
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (sistem
presidentil). Pemilihan presiden dilakukan langsung oleh rakyat dimana calon
presiden dicalonkan dalam 1 paket berpasangan dengan calon wakil presiden oleh
partai atau gabungan partai peserta pemilu. Pemenang adalah pasangan yang
memperoleh suara 50% + 1 secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar
sebagai mayoritas di paling tidak 2/3 provinsi. Bila tidak ada yang memperoleh
dukungan demikian maka digelar pemilihan ulang. Pemenang pertama dan kedua
dalam putaran pertama akan bertanding dalam putaran kedua. Kali ini pasangan
yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang. Aturan ini
ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu
tersebar dan amat majemuk. Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan
dukungan jumlah suara 50 % + 1 yang terpusat di daerah tertentu saja tetapi
Presiden bagi segenap bangsa dan tanah air.
Supremasi hukum ditegaskan dengan menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum, bukan sekedar negara berdasar hukum. Prinsip itu
menegaskan bahwa tidak ada pihak, termasuk Pemerintah, yang tidak dapat
dituntut berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman ditegaskan merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Pembentukan lembaga-lembaga negara baru dalam bidang kekuasaan
kehakiman, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah untuk
menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Bentuk negara sebagai negara kesatuan diperkokoh. Tetapi
sekaligus dengan itu, memahami kemajemukan
133
bangsa dan luasnya negara, otonomi ditegaskan dan diberikan
menurut kekhasan daerah. Kalimat yang digunakan “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, menegaskan
bahwa kewenangan otonomi daerah berasal dari pelimpahan kedaulatan nasional
melalui undang-undang.
Hak membentuk undang-undang dipindahkan dari Presiden ke
DPR. Sumber asal Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa dari Anggota DPR, DPR,
Presiden, dan DPD (dalam hal RUU tertentu). Proses penyelesaian RUU adalah
proses antara DPR dengan Presiden. Sebuah RUU bisa menjadi Undang-Undang bila
disetujui oleh bersama DPR dan Presiden. Pada dasarnya kedudukan Presiden dan
DPR sama kuat. Itu sebabnya sebuah RUU yang telah disetujui bersama tidak dapat
diveto kembali, baik oleh Presiden maupun oleh DPR. Jika dalam waktu 30 hari
Presiden tidak mengundangkan Undang-Undang baru itu maka Undang-Undang itu
otomatis berlaku sebagai Undang-Undang dan Presiden wajib mengundangkannya.
Walaupun hak membentuk Undang-Undang ada di tangan DPR tetapi kewajiban
mengundangkannya ada di tangan Presiden sebagai Kepala Negara.
Proses pembuatan Undang-Undang pada dasarnya adalah proses
politik, tidak lepas dari tawar-menawar atau dominasi mayoritas, yang
mengandung kemungkinan terjadinya inkonsistensi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai
134
mahkamah uji konsistensi undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar dan putusannya bersifat final dan mengikat. Ada mekanisme
untuk menegakkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar yang harus ditaati
peraturan perundangan dibawahnya. Dengan demikian proses politik pembentukan
Undang-Undang mempunyai mekanisme koreksi, yaitu 9 orang hakim konstitusi yang
berasal dari 3 sumber, DPR, Presiden dan MA.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengenai perekonomian dipertahankan tetapi judulnya diubah dari
“Kesejahteraan sosial” menjadi “Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial”
dan dilengkapi dengan ayat (4) dan ayat (5) dan ditegaskan bahwa ketentuan
pelaksanaan pasal 33 diatur dalam undang-undang. Ayat (1), (2) dan (3) tidak
lagi dapat dijabarkan terlepas dari ayat (4) dan ayat (5) yang memberikan
kualifikasi atas ayat (1), (2) dan ayat (3). Ringkasnya, dengan perubahan itu,
perekonomian tidak dapat lagi dijalankan dengan pendekatan etatisme dan
sentralistis di satu pihak dan di lain pihak tidak juga lepas-bebas menurut
hukum dan kekuatan pasar. Efisiensi berkeadilan merupakan salah satu ciri
pengembangan ekonomi nasional yang menggunakan kekuatan pasar yang diintervensi
secara demokratis untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan guna
mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
Keberadaan Bank Sentral dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mendapat perhatian mendalam. MPR berpendapat
bahwa sistem yang dipakai adalah sistem bank sentral, independensi bank
135
sentral akan diatur dengan undang-undang, bukan oleh
Undang-Undang Dasar dan nama Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak perlu
dicantumkan untuk menghindarkan komplikasi konstitusional. Bila Bank Indonesia
merupakan lembaga tertentu yang menerima kewenangannya langsung dari
Undang-Undang Dasar akan timbul kerumitan bila kebijakan bank sentral berbeda
dengan kebijakan Pemerintah. Persoalannya akan menjadi permasalahan
konstitusional. Menjadi pertimbangan juga bahwa bank sentral yang independen
sepenuhnya dapat menjadi jalan masuk berbagai kepentingan yang tidak sejalan
dengan kepentingan nasional
Dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR
memutuskan bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak lagi dikenal adanya Penjelasan. Dalam sejarahnya, Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 tidak disahkan bersama dengan Pengesahan Undang-Undang
Dasar tanggal 18 Agustus 1945. Penjelasan Undang-Undang Dasar tersebut baru ada
setelah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 7 tahun 1946.
Hal ini tidak berarti bahwa karena tidak secara bersamaan disahkan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan tersebut menjadi tidak bisa dikatakan
bersifat tidak autentik.
Penjelasan yang sekarang adalah sama dengan yang diucapkan
dalam rapat PPKI. Dalam rapat penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, peranan
Prof. DR. Mr. R. Soepomo sangat besar, karena itu pemikirannya sudah tentu
dapat terbaca pula dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar tersebut.
136
Pada saat Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku
kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 tersebut dimuat bersama dengan Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 yang sesuai dengan apa yang dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia nomor 7 tahun 1946 (pada Lembaran Negara Nomor 75 tahun 1959). Dengan
demikian maka tampaklah bahwa Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
bagian yang resmi dan tak terpisahkan dari Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya, dapat dilihat pula dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 yang dinyatakan tetap
berlaku oleh Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia yang menyatakan bahwa:
”.... Dalam pada itu isi Batang Tubuh Undang-Undang Dasar
1945 dapat lebih dipahami dengan mendalami Penjelasannya yang otentik....”
Jadi, menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat, Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah penjelasan yang autentik.
Selanjutnya, seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar
1945 yang dilakukan MPR pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, Penjelasan
ini sudah tidak lagi menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar, sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal II Aturan Tambahan yang menyatakan bahwa
“dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara
137
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal.