bahasa Indonesia kelas X
kurikulum 2013
Cerpen ditulis pengarangnya tentu
memiliki tujuan, yaitu untuk menghibur dan memberi kesan kepada pembacanya.
Kesan yang ditangkap berupa kesan estetis, etis, dan sosial. Kesan estetis
yaitu kesan keindahan atau nilai seni karena cerpen merupakan karya seni. Kesan
etis, yaitu kesan etika dan moral. Biasanya, seorang pengarang selalu memberi gambaran
moral dan etika tokoh-tokohnya, melalui pengkarakterannya. Dalam cerpen moral
dan etika yang digambarkan melalui tokoh-tokohnya, dan pesan sosial digambarkan
melalui latar cerita, peristiwa yang terjadi, serta konflik yang dibangun
pengarang. Pesan sosial pun bisa terlihat dalam pengembangan karakter tokoh dan
sudut pandang pengarang.
Baca cerpen di bawah ini! Tandai hal-hal yang menarik pada
teks cerpen di bawah ini!
Rindu Ibu pada Bumi
Cerpen: Ida Ahdiah
Di awal musim gugur itu Ibu duduk
di tepi jendela, menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang
telah berubah warnanya, kuning, merah, dan tembaga itu mendarat di atas rumput
yang mengerut kedinginan. Bumi telah kehabisan kehangatannya. Sebentar lagi
pohon-pohon itu kesepian, ditinggalkan daun-daun. Angin yang menderu-deru
bersekutu dengan angkasa yang buram, tak bercahaya.
Kulihat dua titik air bening di
kedua sudut mata Ibu. ”Apakah Ibu tidak bahagia?” tanyaku.
Ia membawa telapak tanganku ke
pipinya yang basah dan hangat oleh air mata. ”Ibu hanya rindu pada bumi tempat
ari-ari Ibu dikubur. Bumi yang sudah berulang-ulang kuceritakan padamu.
Tidakkah kamu bosan, anak perempuanku?”
Aku menggeleng. Aku senang
melihat Ibu bahagia saat menceritakannya.
Ibu rindu pada sebuah desa dengan
sawah membentang, sambungmenyambung, menyundul bukit dan gunung. Harum padi
yang siap dipanen, di bawah gerimis senja, kata Ibu, tak bisa dimasukkan ke
dalam botol atau menjadi aroma tisu basah. Hanya bisa dinikmati masa lalunya,
kala Ibu berjalan di pematang sawah dengan kaki telanjang, bertudung daun
pisang. Lalu lembayung muncul di sela dua bukit, di langit sebelah selatan.
Ibu rindu pada rumah masa
kecilnya yang bau asap kayu bakar dari dapur yang berjelaga. Ada kolam ikan di
belakang rumah yang tepinya ditanami pohon jarak, leunca, daun bawang, dan
seledri. Lalu kandang ayam tempat si Burik dan Jago ayam Ibu menghabiskan malam
bersama ayam lain milik kedua adik dan kedua kakak Ibu. Pagi, Ibu mencampur
dedak dengan air panas dibuat sarapan kedua ayamnya. ”Burik beranak-pinak dan
seekor anaknya adalah bebek, yang Burik sayang dan dilindungi seperti anaknya
sendiri. Tiap kali orang mendekati bebek, tiap kali pula Burik menaikkan
sayapnya dan berlari siap mencengkeram,” kata Ibu.
”Ayam beranak
bebek!”
”Kakek menaruh sebutir telur
bebek untuk dierami Burik,” kata Ibu.
”Ibu rindu
Burik?”
”Burik disembelih. Dagingnya
Nenek buat opor untuk lauk makan kami.”
”Bu, ceritakan
tentang sumber air panas di kaki gunung,” pintaku.
Sumber air panas bau belerang itu menyumur di kaki
gunung di bawah pohon beringin. Ibu dan teman-teman menemukannya secara
kebetulan, sepulang mencari mangga yang jatuh dari pohonnya. Mereka memagari
sumber air panas yang dalamnya setinggi dengkul itu dengan daun kelapa agar
bisa mandi leluasa. Temuan itu beredar dari mulut ke mulut. Sumber air panas
berbau belerang itu kemudian ramai dikunjungi karena dipercaya bisa
menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Kepala desa kemudian memperbaiki,
mengangkat juru kunci dan menetapkan tarif bagi siapa saja yang mandi.
”Ibu masih
menyimpan foto-foto masa kecil Ibu?”
Pertanyaanku mengagetkan Ibu yang
kembali sedang memandangi daun-daun lepas dari tangkainya.
”Saat itu kamera masih langka.
Semuanya Ibu abadikan di sini.” Ibu menunjuk dadanya. ”Dengarkan saja cerita-cerita
Ibu. Mintalah
Ibu bercerita
jika kamu ingin.”
***
Di awal musim dingin Ibu duduk di tepi jendela,
menyaksikan serpih-serpih salju melayang, berkejaran, sebagian menyangkut di
ranting-ranting kosong yang ditinggalkan daun-daun di musim gugur. Sebagian
salju mendarat di mana saja, di bumi yang beku, yang berselimut putih sejauh
mata memandang, yang seolah tak mampu menopang kehidupan. Padalah waktu tetap
berisi gerak dan langkah seperti musim-musim terdahulu dan yang akan tiba.
Orang-orang tetap bekerja dan berkarya.
Kulihat dua titik bening di kedua
sudut mata Ibu. ”Apakah Ibu tidak bahagia?” tanyaku.
Ibu meraih
tanganku tanpa melepas pandangan dari luar jendela.
Menempelkan telapak tanganku ke pipinya yang hangat
dan basah. Ibu tidak menjawab, ia malah bertanya, ”Maukah kau menemai Ibu ke
bumi tempat ari-ari Ibu dikuburkan?”
Untuk sebuah liburan, napak tilas di bumi tempat
ari-ari Ibu dikubur, amat kuimpikan. Ingin aku berjalan di pematang sawah
dengan kaki telanjang di bawah hujan gerimis bertudung daun pisang. Menengok
Nenek, Kakek, dan saudara-saudara yang kerap Ibu sebut dalam cerita-ceritanya,
yang tak kuhafal nama-namanya. Betapa nyamannya membayangkan mandi air panas di
kaki gunung.
”Ibu, Papa, dan
aku?”
Ibu menggeleng.
”Hanya Ibu dan kamu.”
Sudah lama Ibu dan Papa tak
banyak berkata-kata. Jika mereka bicara suara mereka kencang dan bahasa mereka
kasar. Lama sekali tak pernah kulihat Papa mencium pipi Ibu. Sudah lama tak
kudengar Ibu memanggil Papa, Darling.
”Papa menyakiti
hati Ibu?”
”Kami saling
menyakiti.”
”Sudah habiskan
cinta Ibu buat Papa?”
”Ibu pernah menjatuhkan seluruh
perasaan dan harapan hanya untukku. Ibu ikhlas diusir dari bumi tempat ari-ari
Ibu dikubur karena mereka tidak setuju Ibu menikah dengan pria asing, beda
keyakinan.”
Aku terkesima, tak menyangka.
”Maukah Ibu bercerita tentang perempuan muda yang pemberani itu.”
Perempuan muda itu, kata Ibu,
ingin melihat bumi di balik gunung, di seberang sungai, di langit berbeda, di
seberang samudra, di mana saja asal bukan di bumi tempat ari-ari Ibu dikubur.
Ia jenuh melihat sawah, padi, gunung, lenguh kerbau, dan bau lumpur. Ia tak
ingin lagi malam-malamnya terus diganggu oleh suara jangkrik atau katak seusai
hujan. Ia muak dengan bau taik ayam dan asap kayu bakar.
Perempuan muda itu akhirya
meninggalkan desa. Ia pindah ke kota yang bertabur cahaya, masuk sekolah
menengah pemandu wisata. Lulus sekolah ia bekerja di sebuah biro perjalanan,
menemani palancong, mengulang-ulang cerita tentang riwayat sebuah tempat. ”Ibu
tabung sisa penghasilan yang tak seberapa, siapa tahu Ibu bisa melancong ke
bumi lain,” kata Ibu.
Sampai pada kala seorang turis
meminta tour yang tidak biasa. Ia ingin pergi ke desa. Ibu mengajak turis pria
itu menyaksikan petani membajak sawah dengan kerbau. Ibu membawanya ke pasar
yang hanya buka pagi, di hari Sabtu. Ia terbeliak melihat kerbau, ayam, dan
kambing dijual hidup-hidup. Saat makan tiba Ibu membawa turis itu ke rumah
nenek, yang memasak nasi dan sayur dengan kayu bakar dan tungku tanah.
”Kami saling jatuh cinta. Kami
saling tergila-gila. Kebesaran cinta itulah yang membawa Ibu ke negeri ini,”
tutur Ibu. Larangan Kakek dan Nenek untuk tidak menikah dengan pria asing tak
Ibu indahkan. Ibu diusir. ”Kakek bilang, Ibu boleh pulang kalau Ibu sudah
bercerai dengan Papamu.”
”Aku tak mengerti mengapa Nenek
dan Kakek sekejam itu. Bukankah Papa juga manusia?”
”Nenek dan Kakek menganggap aib
besar anak gadisnya menikah dengan pria asing, berlainan keyakinan.”
Untuk memahaminya aku mungkin perlu menemani Ibu,
menengok bumi tempat ari-ari Ibu dikubur. Buminya yang memiliki suhu, warna
kulit, makanan, dan cara pandang yang berbeda.
”Bu, apakah Nenek dan Kakek akan menerima kehadiran
Ibu? Kehadiranku?” Ibu menggeleng. ”Tidak, sebelum Ibu dan Papa bercerai.”
***
Di awal musim semi Ibu duduk di tepi jendela,
menyaksikan dahan-dahan yang mulai
berputik. Panas matahari melepaskan kepengapan rumput-rumput yang selama musim
dingin bertahan hidup di bawah timbunan salju. Lembar-lembar daun tulip dan dafodil
mencuat dari tanah. Sebentar lagi bunganya yang berwarna-warni memenuhi taman,
dikunjungi serombongan burung yang baru kembali dari negeri hangat, tempat
mereka tinggal selama musim dingin. Kulihat dua titik bening di kedua sudut
matanya, ”Apakah Ibu tidak bahagia?” Entah mengapa aku kembali mengulang
pertanyaan bodoh, yang sebenarnya aku tahu jawabnya dengan melihat air mata di
pipinya.
Ibu membawa telapak tanganku ke
pipinya yang hangat dan basah oleh air mata. ”Ibu bahagia memilikimu. Bahagia
melewati musim demi musim bersamamu. Bahagia melihatmu tumbuh dewasa. Musim
panas nanti, maukah menemani Ibu pulang ke bumi tempat ari-ari Ibu dikubur?”
Gambar 4.4 Seorang ibu sedih duduk di depan jendela Ini
ajakan kesekian kalinya setelah Papa dan Ibu bercerai. Pengadilan menyerahkan
segala keputusan padaku untuk ikut Papa, Ibu, atau memilih
tidak ikut siapa-siapa. Di usiaku, secara hukum aku berhak menentukan pilihan.
”Di sana aku
akan menikmati musim panas sepanjang tahun,” kata Ibu.
” Tapi aku
akan kehilangan musim semi seperti ini.”
”Kau akan bertemu
dengan Nenek, Kakek, dan saudarasaudaramu.”
”Aku tak
akan tertemu Papa dan teman-teman.”
”Kau bisa mencari teman baru.”
”Aku suka teman baru, tetapi berat hati meninggalkan teman
lama.”
”Kau bisa jadi pemain sinetron,
muncul di televisi, dan populer,” canda Ibu yang tahu itu bukan pilihanku.
Teman-teman Ibu juga bilang wajah indoku bakal laku keras untuk diangkat jadi
bintang sinetron.
”Tinggallah
di sini bersamaku. Aku akan menjaga Ibu seperti orang di negeri Ibu menjaga
orang tuanya.”
Ibu
menolehku, lemah. Matanya berkaca-kaca. Susah payah ia menelan ludahnya.
”Kau memilih tinggal bersama
Papa?” Aku menggeleng.
”Ke mana kau
akan pergi?”
”Aku belum
tahu?”
Ibu
membawaku ke pelukannya.
”Kembalilah
ke bumi tempat ari-ari ibu dikubur jika itu membuat
Ibu bahagia. Aku berjanji akan
mengunjungi Ibu.” ”Begitu cepat waktu membawamu dewasa,” bisik Ibu.
***
Di musim
panas Ibu membawaku duduk di taman, di tepi sungai dengan kapal-kapal pesiar
lalu lalang di sekitarnya. Pohon-pohon rindang, rumput-rumput hijau dan air
mengalir di bawah panas matahari yang lengket. Burung camar saling berganti
menukik ke permukaan sungai, menangkap ikan.
Besok Ibu
akan kembali ke bumi tempat ari-arinya dikubur. Tak ada dua titik bening di
kedua sudut matanya. ”Mintalah Ibu bercerita jika kamu ingin, sebelum Ibu
pergi,” kata Ibu.
”Ibu dan
Papa berjanji akan menyimpannya hanya untuk kami berdua.”
”Mengapa
cinta Ibu dan Papa yang semula mendasar, mendalam, hilang ....”
”Lebih baik
kau mencari tahu bagaimana orang lain sukses memelihara cinta dan kesetiaan.”
”Bu, di mana
ari-ariku dikubur?”
”Ibu tidak
mengubur ari-arimu.”
”Mengapa?”
”Ibu
menghanyutkan ari-arimu di sungai ini. Membungkusnya dengan dua bendera
negara.”
”Ibu ....”
”Ari-arimu
mungkin singgah di berbagai benua. Mungkin kini menetap di bawah laut atau
Alien telah membawa ari-arimu ke luar angkasa.”
”Ibu ....”
”Harapan Ibu
kau bisa pergi ke mana pun. Kau bisa membawa diri di bumi dan angkasa mana pun
kau menginjakkan kaki ....”
Ibu telah
melapangkan jalanku untuk merdeka! Sejak lama!
**** Montreal, musim gugur 2006. Sumber: Suara Karya, 20 Oktober 2007
1. Hal apa saja yang menarik dari cerpen di
atas?
○2. Apakah
cerpen di atas menghibur?
3.
Sebutkan nilai kebaikan yang digambarkan dalam cerpen
di atas!
4.
Pesan moral apa yang terdapat dalam cerpen di atas?
5.
Diskusikan dengan teman sebangku kalian mengenai
gambaran tokoh-tokohnya dan amanat yang dijadikan pesan dalam cerpen tersebut!